Abdul Hadi W. M.
Semboyan negara kita ialah Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan
pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang
multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan
terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini
bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan
mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan
keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang,
yang membawanya ke arah persatuan. Lagi pula sebagian besar etnik yang
bhineka itu berasal dari rumpun yang sama yaitu Melayu Mongoloid, demikian
juga berbagai bahasa dan dialek yang digunakan termasuk ke dalam rumpun
yang sama yaitu rumpun bahasa-bahasa Austronesia. Ini berbeda misalnya
dengan keragaman etnik yang terdapat di negeri-negeri seperti Amerika Utara,
Australia, dan bahkan Malaysia yang tidak berasal dari satu rumpun ras dan
tidak memiliki hubungan keagamaan satu dengan yang lain.
Walaupun dalam pelaksanaannya mengalami banyak rintangan dan tidak
jarang pemerintah sendiri mengabaikan kenyataan-kenyataan tersebut, namun
semangat yang lahir dari semboyan itu masih tetap hidup dan meresap dalam
jiwa masyarakat kita. Sebagai cita-cita dan gagasan pula, tidak ada yang cacad
dan cela dalam semboyan itu. Bahkan unik dalam sejarah negara modern, karena
pada mulanya munculnya negara modern didasarkan atas ide monokultural,
sebagaimana tampak pada negara-negara di Eropa dan Amerika Utara.
Sebaliknya negara-negara modern di Asia dan Afrika yang didirikan pasca
Perang Dunia II seperti India dan Indonesia kebanyakan bercorak multikultural.
Oleh karena itu sangatlah mengherankan bahwa gagasan multikulturalisme
yang dewasa ini banyak diperdebatkan di negara-negara Barat, muncul pula
menjadi wacana yang ramai diperdebatkan di negara-negara yang pada
dasarnya sudah multikultural seperti Indonesia.
Harus diakui bahwa asumsi dan argumensi yang diajukan oleh para
penganjur gerakan ini sering mengejutkan dan menarik perhatian, akan tetapi
jika dilihat dari perspektif sejarah Indonesia kehadiran multikulturalisme itu
sebenarnya dapat dikatakan ahistoris atau memotong sejarah. Kecuali itu jika ia
benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan politik seperti di Australia dan
Canada, negeri asal gerakan ini, ia akan menimbulkan konsekwensi yang
mungkin tidak terbayangkan oleh penganjurnya itu sendiri. Namun untuk dapat
membayangkan dampak yang ditimbulkannya adalah tidak mungkin apabila
kita tidak mengetahui apa yang dimaksud multikulturalisme oleh para
penganjur dan pendukungnya, maupun tanggapan para penentangnya di negara-negara yang mulai melaksanakan kebijakan multikultural dan merasakan akibat-akibatnya.
Multikulturalisme lahir pada awal 1970an, bermula gerakan intelektual
yang menamakan diri ‘gerakan multikultural’ di Australia, Canada dan Amerika
Serikat. Meskipun pada mulanya merupakan gerakan kultural dan intelektual,
dalam waktu yang tidak lama multikulturalisme berkembang menjadi gerakan
politik yang salah satu agendanya ialah mempengaruhi kebijakan pemerintah
terhadap kaum minoritas, khususnya kaum imigran yang terutama sekali
berdatangan dari Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah, Amerika Latin dan
Afrika. Kaum minoritas yang hadir sebagai muhajirin baru ini bukan saja multietnik
dan multi-budaya, tetapi juga multi-ras dan multi-agama, yang dalam
banyak hal tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa, agama dan budaya
dominan yang telah sedia ada sejak lama di negara-negara tersebut.
Dalam dasawarsa 1980an gerakan multikultural berkembang di Eropa
dan mulai mempengaruhi kebijakan politik pemerintah setempat. Di Perancis
misalnya ia mengusung agenda politik yang sama dengan agenda yang
diperjuangkan di Canada dan Amerika Serikat. Padahal, seperti banyak
diketahui, Perancis merupakan negara Barat yang paling gigih mempertahankan
gagasan unikultural dan nation-state, dan telah lama menolak gagasan
multikultural. Begitu pula dengan di negara Eropa lain seperti Jerman, Inggeris,
Denmark dan Belanda.
Faktor yang mendorong Perancis menerima multikulturalisme
sesungguhnya sederhana, ekonomi. Yaitu hadirnya kaum imigran dalam jumlah
besar dari Turki, dan negara-negara bekas jajahan Perancis seperti Maroko,
Aljazair, dan Tunisia. Pesatnya pertumbuhan ekonomi negeri itu pada
permulaan era pasar bebas atau neo-liberalisme, banyaknya lapangan kerja yang
tidak dapat dipenuhi oleh penduduk negeri itu, mendorong hadirnya jumlah
besar imigran dari negara-negara yang penduduknya beragama Islam itu. Selain
faktor hadirnya jumlah besar imigran dari negara-negara Islam di Afrika Utara,
Timur Tengah dan Asia Barat, faktor lain ialah apa yang disebut gagasan
Eurabia, gagasan membentuk pakta perdagangan Eropa dan Arab. Gagasan ini
lahir pada awal 1970an dan bertujuan mengurangi ketergantungan negaranegara
Eropa kepada Amerika.
Tetapi dengan diberlakukannya neo-liberalisme sebagai dasar kebijakan
baru kapitalisme, negara Eropa menjadi kian tergantung pada AS. Faktor ini
membuat pemerintah Perancis mundur ke belakang, tetapi dengan dampak
tidak terbayangkan pula. Di sisi lain, ini yang cukup mengejutkan, kebijakan
multikultural lantas disamakan dengan strategi untuk mengislamkan Eropa.
Gagasan Eurabia lantas dihujat habis-habisan, terutama oleh golongan kanan
yang ingin mempertahankan budaya Pencerahan.
Sebenarnya apakah sebenarnya multikulturalisme itu? Mengapa
pelaksanaannya berbeda di negeri yang satu dengan di negeri yang lain? Jika
budaya-budaya yang beragam itu berasal atau dibawa dari luar, bagaimana menyikapi budaya nasional atau budaya-budaya lokal? Mana yang harus diistimewakan oleh suatu negara, jika budaya lokal dan budaya nasional mulai terancam punah atau terkikis oleh hantaman budaya dari luar akibat dahsyatnya
gelombang globalisasi? Agar tidak bertele-tele, saya ingin mulai dengan di Amerika.
Multikulturalisme di Amerika
Menurut Peter L. Wilson (1998) di Amerika gerakan ini berawal dari
kegagalan pemerintah AS untuk mengintegrasikan dan memadukan
kebudayaan orang Negro dan Indian, juga kaum imigran lain yang banyak
berdatangan di AS pasca Perang Arab-Israel 1973, Perag Vietnam 1975, Perang
Teluk 1991, Perang Dingin 1990, dan peristiwa-peristiwa lain di dunia baik di
Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Sampai akhir tahun 1960an, apalagi pada 1970an, gelombang penolakan
terhadap budaya non-kulit putih yang aneka ragam itu menemui kenyataan
getir. Kebijakan memadukan budaya yang bhinneka itu dengan budaya
mainstream sepenuhnya gagal. Assimilasi dan integrasi ternyata tidak mungkin
disebabkan faktor-faktor internal dalam budaya Anglo-Saxon yang didasarkan
atas Protestanisme. Malahan upaya tersebut menghadapi perlawanan yang
sengit. Upaya untuk menjadikan Amerika Serikat sebagai melting pot hanya
merupakan sebuah utopia. Kebudayaan Orang Hitam dan pendatang Muslim
dari Timur Tengah tidak akan sepenuhnya terpadukan dengan kebudayaan
Orang Putih. Selain persoalan bias ras dan budaya di kalangan penduduk kulit
putih, persoalan agama juga menjadi hambatan besar. Dengan demikian
konsensus berada di ambang bahaya.
Golongan kanan dengan sikap schizoperenia-nya terhadap ras dan budaya
lain, mengalami frustasi. Serupa dengan sekelompok orang di Indonesia yang
antipati dan fobi terhadap orang Islam, dan kebudayaan masyarakat
penganutnya. Kegagalan tersebut mendorong lahirnya konsensus baru, yang
dinamakan ‘konsensus neo-liberal’. Jadi hampir bersamaan waktunya dengan
dicetuskan neo-liberalisme di bidang ekonomi ketika AS dan Inggeris berada di
bawah pemerintahan Ronald Reagan dan Margaret Tatcher (1979). Konsensus
baru inilah yang kemudian yang dikenal sebagai Multikulturalisme. Ini
merupakan strategi baru untuk melindungi kepentingan global dua negara
adidaya terrsebut. Dengan konsensus baru tersebut, dan kebijakan neoliberalisme
dalam bidang ekonomi, keduanya dapat tetap mempertahankan
hegemoninya secara ideologis dalam bidang ekonomi, politik dan budaya.
Ini dapat ditelurusi dalam tulisan-tulisan penentang multikulturalisme.
Salah satunya ialah tulisan Kenan Malik “Against Multiculturalism” (1998).
Kenan Malik mengatakan bahwa multikulturalisme sebenarnya merupakan
buah dari kegagalan politik beruntun yang dialami negara-negara Barat seperti
AS dan Eropa. Berakhirnya Perang Dingin, ambruknya gerakan-gerakan kiri
(Neo-Marxist, New Leftist, dll), gagalnya berbagai gerakan pembebasan termasuk Teologi Pembebasan, dan redupnya berbagai gerakan sosial di Eropa, telah menciptakan kesadaran baru yang ditransformasikan ke dalam bentuk yang disebut Multikulturalisme. Sementara itu tuntutan akan penyetaraan dan perlakuan yang sama terhadap masyarakat yang budayanya berbeda di negaranegara Barat semakin meningkat dan meluas. Dalam kampanyenya gerekan ini mengibarkan bendera equalitas dan menentang kebijakan monocultural yang berlaku di negara-negara seperti AS dan Eropa.
Di antara slogan yang disuarakan secara lantang, ialah “We live in diverse
world, enjoy it”. Nancy Fraser, seorang tokoh gerakan multikultural, mengatakan
lebih kurang, “The remedy required to redress injustice will be cultural ecognition as
opposed to political economic dredistribution”. (Jalan keluarnya dalam menghapus
ketidakadilan itu ialah dengan mengakui kebinnekaan budaya”.
Tariq Modood, seorang penulis asal Pakistan di Inggris pada tahun
1990an, membedakan antara ‘equality of individualism’ dan ‘equality
encompassing public ethnicity’. Menurutnya keadilan dalam pelaksanaannya,
penyetaraab dan persamaan tidak boleh mengabaikan asal-usul etnik, komunitas
dan budaya seseorang. Semua itu harus dihargai dan dihormati. Ia harus koeksis
dalam kehidupan masyarakat.
Asas-asas Multikulturalisme
Sebagai konsensus baru yang lahir dari kebijakan neo-liberal, menurut
penganjurnya, multikulturalisme hendaknya tidak dipahami sebagai doktrin
politik atau aliran falsafah yang di dalamnya terdapat teori tersendiri tentang
kodrat manusia dan tempatnya di dunia. Di dalamnya tidak ada pandangan
hidup (way of life) dan gambaran dunia (Weltanschaung) serta sistem nilai tertentu
sebagai pegangan pokok. Padahal justru ketiga hal ini yang membedakan
kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lain. Menurut pendukung gerakan
ini, terutama di Amerika Serikat, multikulturalisme mengandung tiga asas
penting yang mempengaruhi arah pandang gerakan multikultural:
Pertama, manusia tumbuh dan besar dalam masyarakat yang memiliki
tatanan adab dan budaya tertentu. Berdasarkan itu masyarakat
mengorganisasikan kehidupan dan hubungan sosial dalam suatu tatanan
tertentu di mana sistem nilai dan makna diterapkan dalam berbagai ungkapan
dan simbol budaya. Ini tidak berarti manusia ditentukan semata-mata oleh
budaya masyarakatnya di mana ia tumbuh dan besar, yaitu dalam arti tidak
melampaui kategori-kategori pemikiran yang tumbuh dalam lingkungan
kebudayaan masyarakatnya. Juga tidak berarti bahwa ia tidak mampu bersikap
kritis dan mengevaluasi nilai-nilai dan sistem makna yang ada dalam
kebudayaannya. Sekalipun bisa mengatasi kategori-kategori pemikiran dalam
masyarakatnya dan mengevalusasi nilai serta sistem makna yang berlaku dalam
budaya masyarakatnya, setiap orang pada dasarnya dibentuk oleh kebudayaan
tertentu dan dipengaruhi olehnya.
(Catatan: Ini merupakan hal biasa dalam sejarah kebudayaan dan
kemanusiaan. Hanya saja di negara-negara berkembang seperti Asia dan Afrika,
khususnya di negara-negara bekas jajahan Eropa, hal tersebut banyak berlaku.
Terutama sejak proses modernisasi berjalan semasa diperkenalkannya
pendidikan ala Barat oleh pemerintah kolonial. Sejak itu lahir sekelompok elite
terpelajar yang kritis terhadap budaya dan tradisi masyarakatnya, dan berusaha
mengimplementasikan nilai-nilai budaya Barat ke dalam kebudayaan
tradisional. Pasca kemerdekaan proses itu berlangsung terus dan kian intensif
karena kelompok elite terpelajar ini tampil sebagai penguasa. Pengalaman
Indonesia menunjukkan hal ini. Budaya daerah atau tradisional, yang dilapisi
nilai-nilai dan pandangan hidup agama-agama besar seperti Hindu dan Islam,
dari waktu ke waktu mengalami pengikisan dan pendangkalan. Tentu terdapat
reaksi dan respon dari pendukung budaya-budaya tradisional dan budayabudaya
berdasarkan agama ini. Polemik Kebudayaan 1935-1941 adalah contoh
paling awal dari perdebatan tentang arah kebudayaan itu. Begitu pula
perdebatan tentang dimasukkannya kembali kalimat “Dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila).
Kedua, kebudayaan yang aneka ragam dan berbeda-beda itu
memperlihatkan adanya visi dan sistem makna yang berbeda-beda tentang
kehidupan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang elok dan
yang tidak elok. Masing-masing mewujudkan kemampuan tertentu dalam
menanggapi kondisi kehidupan dan memberikan perasaan tertentu dalam
berhadapan dengan berbagai peristiwa dalam sejarah kemanusiaan. Tetapi
menurut pendukung Multikulturalisme, masing-masing kebudayaan itu
memiliki keterbatasan, kelemahan dan kekurangan. Untuk itu diperlukakan
kebudayaan lain untuk memahami kehidupan dan mengembangkan kehidupan
yang lebih baik. Dengan memahami kebudayaan lain, cakrawala pengenalan
makna hidup bisa diperluas.
Suatu masyarakat perlu bantuan tradisi budaya lain dalam rangka
memperluas cakrawala intelektual, mengembangkan ethos kerja atau budaya
politiknya. Dengan demikian ia akan mampu menyelamatkan diri dari bahaya
narkistis budaya. Apalagi dalam dunia seperti sekarang di mana saling
ketergantungan budaya tambah besar.
(Catatan: Asas ini yang paling banyak mendapat reaksi, terutama di Eropa, Cina,
dan di kalangan masyarakat Muslim. Bangsa Eropa merasa bahwa
kebudayaannya sangat unggul, tidak perlu mempelajari kebudayaan lain. Orang
Islam telah lama mempelajari kebudayaan lain untuk memperkaya
kebudayaannya, tidak merasa memerlukan multikulturalisme. Sejauh nilai-nilai
dan pandangan hidup tidak mengalami perusakan sebagai dampak dari
kebudayaan lain, umat Islam akan terus belajar dari kebudayaan lain untuk
memperkaya budaya bangsanya)
Ketiga, setiap kebudayaan secara internal itu majemuk dan mencerminkan
selalu terjadinya dialog berkelanjutan antara berbagai tradisi yang berbeda-beda.
(Catatan: Inipun sudah dialami orang Kristen, Hindu, Islam, dan lain-lain,
sebagaimana juga dialami bangsa Eropa. Tetapi pada fase puncak kemantapan
perkembangannya dialog itu harus dihentikan sementara untuk memperkuat
proses internalisasi nilai-nilai yang tengah dikembangkan.)
Terjadinya dialog antar-budaya sepanjang sejarah itu tidak mengingkari
kebenaran universal dan identitas suatu kebudayaan atau sub-budaya. Suatu
kebudayaan tidak dapat menghargai kebudayaan lain tanpa menghargai
kebinnekaan dalam dirinya sendiri dan dalam tradisi budaya lain. Dialog antartradisi
dan budaya diperlukan, antara lain melalui pemikiran, perenungan,
penelitian, penyebar luasan dialog antar-budaya dan antar-agama.
Dilihat dari sudut pandang multikulturalisme, tidak ada doktrin politik
dan ideologi yang secara penuh merepresentasikan kebenaran tentang
kehidupan manusia. Liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme masing-masing
merepresentasikan pandangan khusus tentang kehidupan. Pandanganpandangan
tersebut bersifat parsial dan sempit. Karena itu fundamentalisme
keagamaan , dalam Islam, Hindu, Kristen, dan lain-lain ditentang keras,
walaupun pendukung apa yang disebut ‘fundamentalisme’ tidak akan pernah
mengakui pandangannya sempit dan parsial.
Menurut penganjur multikulturalisme pula, agar manusia kreatif ia harus
melakukan dalam diri dan dalam masyarakatnya dialog berkelanjutan antarbudaya.
Pandangan ini semu dan dibuat-buat. Tidak hanya dialog seperti itu
yang membuat masyarakat kreatif. Arnold Toynbee mengatakan bahwa suatu
masyarakat atau bangsa tergerak untuk kreatif bila ada kehendak kuat untuk
menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya. Iqbal mengatakan bahwa
suatu bangsa atau kaum akan kreatif jika memiliki tenaga pendorong dalam
dirinya untuk mencapai cita-cita tinggi. Daya pendorong itu ialah cinta kepada
kebenaran dan keuniversalan ajaran agama. Apa yang dikemukakan Toynbee
dan Iqbal didasarkan atas pengalaman sejarah kemanusiaan di Barat maupun di
Timur. Dialog atau interaksi budaya yang satu dengan lain, yang mengikuti
penyebaran agama, adalah hal yang tidak bisa dielakkan, namun tidak
selamanya membuahkan kreativitas.
Penentang Multikulturalisme
Para penentang multikulturalisme mempunyai argumentasi lain, terlebih
setelah melihat pelaksanaannya. Bagi mereka, seperti dikatakan Peter Lamborn
di Amerika, multikulturalisme merupakan “Strategi yang dirancang untuk
menyelamatkan negara Barat, khususnya gagasan nation-state.”
Multikulturalisme juga merupakan sistem pengawasan terhadap masyarakat
yang terdiri dari berbagai komunitas budaya dan pemeluk kepercayaan agama
yang binneka.
Di AS dan Eropa, nation-state harus diselamatkan dari munculnya kaum
pendatang yang membawa aneka budaya dan kepercayaan agama berbeda, telah
mengancam eksistensi kebudayaan nasional dan nasionalisme. Ancaman konflik sosial dan disintegrasi mendorong negara-negara tertentu di Barat mengambil
kebijakan multikulturalisme, walaupun harus mendapatkan reaksi dari
masyarakat luas. Ancaman lain yang mendorong lahirnya multikulturalisme
ialah ancaman terhadap liberalisme dan demokrasi, dan dengan sendirinya
terhadap kebijakan ekonomi neo-liberalism. Untuk itu diperlukan sistem
pengawasan terhadap masyarakat multi-budaya, multi-etnik, multi-agama, dan
multi-ras.
Sebagai sistem pengawasan masyarakat dijabarkan menjadi kebijakan
sebagai berikut: Masing-masing kebudayaan yang binneka itu diperbolehkan
berkembang dan hidup, tetapi dengan keharusan memangkas unsur-unsur
identitas dan takaran kemandiriannya. Salah satu di antaranya melalui
pendidikan. Karena itu sejak kebijakan multukultural dilaksanakan, beberapa
universitas membuka Departemen Multikulturalisme. Setiap budaya minoritas
mendapat tempat dalam kurikulum untuk dipelajari. Tetapi sayangnya di
Indonesia pengajaran dan penelitian kebudayaan Islam, sejak lama telah
dipangkas. Khususnya sebagai dampak politik etis.
Di AS anak-anak kulit putih dipaksa mempelajari sejarah orang berkulit
hitam dan budayanya. Tetapi di Indonesia orang Islam mempelajari sejarah
Eropa dan bangsa lain, tetapi dijauhkan dari pengajaran sejarah peradaban dan
kebudayaan Islam, serta tradisi intelektualnya seperti kesusastraan dan seni
Islam. Multikulturalisme di sini tampak sebagai bentuk konsensus dan
kompromi baru. Kompromi dijadikan norma dan menjelma sebagai seperangkat
norma yang bertujuan mempertahankan gagasan nation-state dan pengawasan
sosial.
Sebagai sistem norma, anekaragam budaya dilebur dan dibaurkan dengan
budaya mainstream, yaitu budaya sekular yang didasarkan atas norma neoliberal
yang dipandang paling unversal. Konsekwensinya dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Sebagai sebuah konsensus neo-liberal, norma-normanya juga harus
didasarkan atas norma-norma neo-liberal yang meliputi hal-hal seperti berikut:
Pertama, prinsip-prinsipnya didasarkan atas aksioma-aksioma rasionalistik
Eropa; kedua, penilaian didasarkan atas scientisme dan neo-positivisme; ketiga,
kebijakan budaya ditentukan oleh ‘the ruling class’ atau kelompok yang dekat
serta dapat mempengaruhi ‘the ruling class’.
2. Multikulturalisme menempatkan diri sebagai sumbu peradaban,
sedangkan budaya-budaya lain yang anekaragam diletakkan di pinggiran
membentuk lingkaran yang mengitari sang sumbu, yaitu multikulturalisme.
Dengan demikian budaya-budaya non-Barat yang tidak dilandasi asas-asas
scientisme dan neo-positivisme, atau kesadaran ‘Budaya Pencerahan’, diberi
ruang yang kecil untuk menghidupkan eksistensinya.
Catatan: Dalam pandangan neo-liberal dan neo-positivisme, kebebasan
adalah ketundukan masyarakat terhadap aturan-aturan masyarakat liberal.
Agama memberi petunjuk melalui wahyu, tetapi yang diutamakan bagaimana memberi kemungkinan lebih luas terhadap kebudayaan yang tidak didasarkan
pada wahyu, melainkan dicapai melalui ikhtiar akal budi manusia.
Dipengaruhi oleh konsep ini kebudayaan atau culture didefinisikan
sebagai ‘tingkah laku yang dipelajari dari masyarakat liberal dan individualistik.
Neo-positivisme, yang pandangan-pandangannya ditanamkan dalam ilmu-ilmu
sosial, anthropologi, sejarah, dan lain-lain memandang kebudayaan sebagai
bersifat mekanistis murni. Kebudayaan adalah produk dari tingkah laku
manusia. Dengan kata lain, kebudayaan tidak perlu dipelajari dari sejarah
kebudayaan dan agama, tetapi melalui ilmu sosial, politik, anthropologi, sejarah
politik, dan lain-lain. Ini pandangan yang sangat reduksionis terhadap
kebudayaan.
Lantas timbul anggapan dalam masyarakat neo-liberal bahwa
kebudayaan sebenarnya bebeas nilai dan berada di luar kode etik dan moral apa
pun. Karena itu, kebudayaan harus dikosongkan dari nilai-nilai agama dan
moral. Begitulah kebudayaan ditakrif sebagai himpunan tindakan, reaksi dan
tingkah laku, atau sebuah kompleks dari berbagai kegiatan manusia seperti seni,
sastra, ilmu, falsafah, politik, dls, bahkan gaya dan pola hidup serta bentukbentuk
aktivitas manusia secara keseluruhan.
Dalam Islam, pengertian kebudayaan bukan itu. Semua itu hanya produk
akhir dari kebudayaan yang juga disebut peradaban. Kebudayaan adalah
bangunan batin peradaban yang terdiri dari pandangan hidup (way of life),
kerangka nilai, dan gambaran dunia (Weltanschauung) yang hidup dalam pikiran
atau jiwa masyarakat. Atau disebut juga sebagai cara berpikir, sikap mental dan
falsafah hidup yang dihayati oleh suatu masyarakat dan mempersatukan gerak
serta cita-cita masyarakat tersebut.
Karena asumsi dasarnya yang lemah itu maka dewasa ini wacana
multikulturalisme, sebagaimana wacana pluralisme, lebih merupakan monlog
dibanding dialog. Tidak jarang ia dipaksakan sebagai kebijakan yang paling
benar dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang majemuk.
Akibatnya multikulturalisme tampil seolah-olah sebagai faham ‘universalisme
baru’ (neo-universalism) yang cenderung ‘totaliter’. Ia terkait langsung dengan
gagasan Pasar Global, Neo-Liberalism, the End of History, dn Post-Modernism.
Bahkan dengan Post-Milleniarism, yang didasarkan pada Apokaliptisisme
Yahudi-Kristen.
Perspektif Lain
Dilihat dari sudut pandang lain multikulturalisme juga merupakan bentuk kompromi antara rasionalisme atau modernisme kanan dengan postmodernisme yang semula ditentangnya. Seperti halnya neo-liberalisme, postmodernisme dijadikan kendaraan untuk mempertahankan norma-norma universal rasionalis (rasionalisme Pencerahan) menghadapi serangan dari fundamentalisme keagamaan dan kebudayaan non-Barat yang juga mulai berkembang. Belakangan juga melawan bangkitnya kembali gerakan kiri di Amerika Latin.
Postmodernisme dan neo-liberalisme berdampak besar dalam kehidupan
kita. Cita-cita menyeragamkan pola dan gaya hidup manusia mulai tercapainya,
setidak-tidaknya di kota-kota besar. Postmodernisme memperderas arus
relativisasi nilai-nilai dan despiritualisasi manusia. Neo-liberalisme, yang
berusaha menarik umat manusia ke pasar bebas menjadi pencandu barangbarang
konsumsi, memperparah pendangkalan budaya dan membuat kian
seragamnya pola dan gaya hidup manusia.
Sejak 1960an manusia di Barat dan kota-kota besar lain di dunia
dipandang telah meninggalkan alam modern. Ditandai dengan redupnya
redupnya ideologi dan beberapa paham yang lahir dari rasionalisme, neopositivisme
dan ideologi seperti sosialisme, idealisme, patriotisme, dan lain-lain.
Cirinya: (1) Manusia sebagai subyek telah mati, seperti dikatakan Fucoult.
Individu tak memiliki kesadaran utuh, tidak memiliki tuntutan akan kebenaran.
Kehidupannya dikuasai retorika mental dan sandiwara kata-kata. Manusia
hanya berwacana, tanpa tanggungjawab terhadap apa yang dilakukan; (2)
Penafian terhadap realitas. Realitas adalah fiksi yang diciptakan oleh imaginasi
manusia. Boudrillard (1983): Realitas hanya simulacra yaitu citraan-citraan tanpa
hakikat asasi. Citraan-citraan ini dihamburkan kepada manusia di seluruh dunia
melalui media informasi. Jika realitas tidak ada, maka yang ada hanya timbulan
citraan atau simulasi yang tidak bermakna. (3) Nihilisme menguasai jiwa
manusia, perasaan bahwa segalanya tidak bermakna. Nilai-nilai mengalami
keruntuhan. Manusia hanya benda yang digerakkan oleh kesadaran yang tidak
utuh, berserak-serak. Apa yang dilakukan tidak merupakan kehendaknya. Satusatunya
makna ialah makna yang dibeikan setiap orang dengan cara berbedabeda
sesuai tuntutan keadaan. (4) Penolakan naratif besar dan penafian
kebenaran universal. Di antara naratif besar yang ditolak ialah ‘pembebasan
manusia dari mitos’ dengan mengerahkan seluruh daya akalnya dalam meraih
kebenaran.
MK dan Nation-state
Kita telah tahu bahwa multikulturalisme bertentangan dengan
‘monokulturalisme’ yang secara historis berarti norma-norma yang berlaku
dalam sebuah negara bangsa. Dalam monokulturalisme terdapat kesatuan
kultural yang normatif dan menjamin homogenitas budaya tersebut.
Kebudayaan identik dengan bangsa, dibebaskan dari kepentingan politik praktis
dan pencemaran komersialisasi. Sepanjang sejarah monokulturalisme menjamin
keutuhan nation-state, khususnya di Eropa.
Karena multikulturalisme dalam pelaksanaannya mengancam gagasan
nation-state, beberapa negara Eropa seperti Denmark, Belanda, Inggeris, Jerman,
dan Perancis mulai mengubah kebijakan multikultural mereka. Penentang
multikulturalisme beranggapan bahwa kebijakan itu bisa mendorong timbulnya ‘ghetto-ghetto budaya’ dan merusak identitas nasional, dan bangsa itu sendiri.
Di Eropa bahkan sering dipandang sebagai konspirasi untuk mempercepat
proses islamisasi Eropa.
Di antara kebijakan multikultural yang ditentang ialah: (1) Pengakuan
kewarganegaraan ganda, yang sering merupakan akibat dari hukum yang
berlaku di negeri tempat asal imigran; (2) Dukungan pemerintah terhadap
penerbitan suratkabar menggunakan bahasa minoritas, begitu terhadap siaran
televisi dan radio; (3) Dukungan terhadap festival, perayaan dan hari libur kaum
minoritas; (4) Diperbolehkannya pelajar atau mahasiswa menggunakan pakaian
tradisional dan keagamaan tertentu di sekolah, dalam masyarakat dan organisasi
militer; (5) Dukungan untuk menghidupkan seni dan musik dari budaya
minoritas; (6) Dihidupkannya program yang memberi kaum minoritas berperan
aktif dalam lapangan politik, pendidikan, dan kemasyarakatan yang lain.
Bagaimana dengan di Indonesia? Jika yang dimaksudkan dengan
kebijakan multikultural adalah seperti yang dilakukan di Eropa, di Indonesia
kita sudah melaksanakannya. Masalahya, sejak lama masyarakat kita telah
tercerabut dari akarnya dan keanekaragaman yang dimilikinya telah tersisihkan
setidak-tidaknya oleh dua hal: (1) Kebijakan penyeragaman yang dilakukan
Orde Baru; (2) Globalisasi dan ekspansi pasar bebas, dengan dukungan efektif
media massa atau media elektronik serta pelaku pasar, proses penyeragaman itu
semakin menjadi-jadi.
Kebhinnekaan budaya kita tinggal sebagai puing-puing di tengah
maraknya tayangan film Hollywood, Bollywood dan Mandarin. Jangankan
bahasa-bahasa daerah, bahasa Indonesia memiliki kedudukan politik yang lebih
kuat saja sudah berantakan dan tidak berdaya menghadapi status terhormat
bahasa Inggeris, bahkan bahasa Mandarin.
Sebagai dampak dari globalisasi dan ekspansi pasar bebas, yang
berkembang adalah budaya populer dan hedonistis. Di mana-mana sebagai
dampaknya terjadi pendangkalan budaya, penghayatan agama, dan
menurunnya kecerdasan bangsa kita dalam merespon perkembangan mutakhir
dunia. Kita terpuruk dalam ekonomi. Politik carut marut. Budaya kita tenggelam
oleh hiruk pikuk komersialisme dan konsumerisme.
Apa artinya kita bicara pluralisme dan multikulturalisme? Bukankah
nation-state kita sedang terpuruk dan telah mulai retak? Apa arti
multikulturalisme jika mendorong menguatnya etnisitas dan politik etnis? Jika
yang diusung sebenarnya hanya kepentingan suatu komunitas politik dan
ekonomi? Apakah dengan multikulturalisme kita harus mengakui hak-hak kaum
homo dan lesbian untuk menikah sesama jenis? Apakah demi minoritas kita
harus membuat sengsara mayoritas?
Toleransi agama dan budaya memang penting. Tetapi di mana batas-batas
toleransi itu? Apakah selama ini memang tidak ada toleransi agama di negeri
kita? Bagaimana jika semua komunitas sama-sama bebal dan keras kepala? Di
mana tempat hak-hak individual dan di mana pula tempat hak-hak sosial atau
kelompok? Multikulturalisme dan pluralisme bukan harga mati. Begitu pula
dengan demokrasi. Di luar itu masih terbentang masalah lain, khususnya yang
berkaitan dengan nilai-nilai. Dan ternyata hanya sebagian kecil saja darinya yang
terjangkau oleh penggerak-penggerak multikulturalisme dan demokrasi.
Akhirnya penduduk negeri ini memang bhinneka. Tetapi bagaimana
menentukan ‘tunggal’ nya dan bagaimana mencapai ‘ika’, hingga tidak berhenti
hanya pada ‘bhinneka’ semata-mata? Itulah soal yang mesti dipecahkan secara
arif dan bijak.
http://syangar.bodo.blogspot.co.cc