Qalbu merupakan salah satu istilah –berasal dari bahasa Arab-- yang sudah diadaptasi (dipinjam) oleh bahasa Indonesia –dan dieja menjadi kalbu-- dan digunakan dalam arti hati atau hati nurani. Padahal makna generiknya adalah: membalik (yang berada di atas menjadi di bawah; yang di kanan menjadi di kiri; yang nyata menjadi tidak nyata); berpaling; berubah; marah; inti, esensi dan jantung (Anis, II, 1970: 753 dan Wehr, 1980: 784). Qalbu memang menjadi salah satu ukuran kualitas manusia. Karena itu, kita sering mendengar ungkapan: berhati emas, berhati baja, berhati iblis, berhati mulia. Sifat-sifat manusia, yang baik maupun yang buruk, juga sering dilukiskan dengan menggunakan idiom hati, seperti: iri hati, panas hati, gelap hati, besar hati, kelembutan hati, jatuh hati, kecil hati, dan sebagainya.

Qalbu merupakan salah satu karunia Allah Swt. yang sifat dan fungsinya luar biasa besar dalam kehidupan manusia, sehingga tidak jarang kita menemui ungkapan: "Dalamnya laut dapat diduga; dalamnya hati siapa tahu". "Hatiku tidak dapat dibohongi." "Hati adalah pangkal pahala dan dosa," kata Ebied G. Ade. Dalam al-Qur'an Qalb disebut sebagai  alat untuk memahami  realitas dan nilai-nilai (QS. al-Hajj [22]: 46). Qalb hanya menampung hal-hal yang disadari, dan keputusan yang diambil oleh qalb berimplikasi pahala dan dosa (Mubarok, 2001: 6). Oleh karena itu, Allah pada hari kiamat tidak akan melihat rupa dan fisik kita, tetapi yang dilihat (dan dinilai) oleh-Nya adalah hati dan amal perbuatan kita (HR. Muslim).
Tulisan singkat ini akan menjelaskan makna, aneka kualitas, sifat, penyakit, dan fungsi qalb (hati) dalam al-Qur'an. Tujuan utama tinjauan tematik mengenai qalb adalah agar kita dapat lebih mengoptimalkan fungsi positif qalb kita melalui manajemen qalbu (MQ) yang berlandaskan nilai-nilai Qur'ani, sehingga kita lebih mampu memaknai kehidupan ini dengan benar, baik dan indah.
Nafs, Qalb, Ruh, Bashirah, Fu'ad dan `Aql
            Manusia merupakan makhluk Allah yang paling baik atau paling sempurna penciptaannya (QS. al-Tin [95]: 4 dan al-A'la [87]: 2). Ia terdiri dari unsur jasmani (fisik, raga, badan) dan unsur ruhani (Nafs, qalb, ruh, bashirah, 'aql, fu'ad, fithrah). Kedua-duanya mempunyai kebutuhannya masing-masing. Fisik memerlukan: oksi-gen, makanan, minuman, berolahraga, berhubungan seksual, beristirahat, dan sebagainya. Sedangkan  ruhani manusia memerlukan: agama, norma, etika, latihan spiritual, dzikir, do'a, berpikir, belajar, pendidikan, dan sebagainya. Idealnya, hidup manusia dapat menyeimbangkan pemenuhan kedua kebutuhan tersebut, agar ia menjadi bermartabat, tidak jatuh menjadi seperti hewan atau binatang. Hidupnya menjadi tak bermakna, penuh kegelisahan, tidak pernah merasa berkecukupan, frustasi, bahkan bunuh diri. Dengan kata lain, hidup manusia merupakan pergulatan antara pemenuhan unsur tanah dan ruh (hawa nafsu, kepentingan materi yang cenderung rendah, dan kebutuhan spiritual yang luhur)
Di dalam al-Qur'an terdapat beberapa istilah yang  digunakan dalam arti yang –kadang-kadang— kurang lebih sama, padahal berbeda dan saling melengkapi atau menjelaskan. Qalb secara bahasa dan dalam arti fisik identik dengan jantung, organ yang berfungsi memompa dan mengalirkan darah ke seluruh jaringan tubuh manusia. Namun secara psikis, qalb dimaknai sebagai sifat atau kualitas dalam diri manusia yang cenderung berubah-ubah, tidak tetap dan tidak konsisten. Qalb dapat memberi pertimbangan dan pengambilan keputusan yang baik atau yang buruk. Karena itulah, salah satu do'a yang sering dibaca oleh Nabi Muhammad saw. selepas shalat adalah sebagai berikut:
          اللهمّ يا مقلب القلوب ثبّت قلبي على دينك. اللهمّ مصرّف القلوب صرّف قلوبنا على طاعتك  رواه مسلم عن عمرو بن العاص.
            Artinya: "Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah kami untuk tetap (mengikuti) agama-Mu. Ya Allah, Dzat yang membuat hati berpaling, kokohkanlah hati kami untuk senantiasa taat kepada-Mu." (HR. Muslim).
            Al-Qur'an menyebut al-Nafs dengan berbagai derivasinya sebanyak 303 kali. Akan tetapi, jiwa –dalam pengertian yang saling melengkapi dan membentuk satu sistem ruhaniah—disebut al-Qur'an dengan beberapa istilah, seperti: aql (meski yang digunakan dalam al-Qur'an hanya bentuk verbanya), qalb, ruh, dan bashirah. Al-Nafs digunakan al-Qur'an untuk menyebut totalitas manusia (QS. al-Maidah [5]: 32 dan Yasin [36]: 54), sisi dalam (jiwa) manusia dan sebagai penggerak tinggah laku (QS. al-Ra'd [13]: 11). Jika tubuh manusia mempunyai sistem, demikian pula dengan jiwa manusia. Sistem nafsani terdiri dari elemen-elemen: qalb, 'aql, ruh, bashirah dan fithrah dengan fungsi masing-masing sebagai subsistem (Mubarok, 2001: 6).
            Selanjutnya, hubungan atau interaksi dari elemen-elemen itu diikat oleh perasaan dan pikiran sehingga nafs sebagai satu kesatuan dapat melahirkan tingkah laku sebagai hasil akhir dari sistem nafsani tersebut. Nafs juga dapat digambarkan sebagai ruang yang sangat luas dalam diri manusia di mana di dalamnya terdapat "kamar-kamar" yang didesain untuk dimungkinkannya kelangsungan berpikir dan merasa, tetapi nafs bukan alat. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisisnya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui jaringan qalb, 'aql dan bashirah, tetapi kesemuanya itu baru berfungsi manakala ruh (nyawa) berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna (akil-baligh) (Ibid.)
            Nafs –bentuk jamaknya nufus dan anfus—memang mempunyai banyak arti, antara lain: jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) dan pikiran (mind). Oleh para filosof, antara lain Ibn Sina dan Ibn Miskawaih, manusia disebut sebagai al-nafs al-nathiqah (jiwa atau pribadi yang berakal). Namun demikian, nafs dalam al-Qur'an juga digunakan dalam arti nafsu –sebagaimana yang kita pahami dalam bahasa Indonesia—yaitu dorongan-dorongan kepada keinginan rendah yang menjurus kepada hal-hal yang negatif, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
            إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي . سورة يوسف:53
Artinya: "Nafsu itu berkecendrungan untuk menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.." (QS. Yusuf [12]:53).
            Sebenarnya dalam al-Qur'an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan "nafsu", yaitu al-nafs itu sendiri dan hawa' (jamaknya ahwa') yang memang mengan-dung arti: hasrat (desire), tingkah (caprice), hawa nafsu (Arab: hawa' al-nafs= keinginan/dorongan pribadi) atau kecenderungan pribadi untuk bersikap (inclination). Kata ini tercantum dalam al-Qur'an sebanyak 17 kali.
            Surat al-Syams [91]: 7-10 menyebutkan bahwa  nafs itu diciptakan oleh Allah secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat (durhaka dan melanggar perintah Allah). Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda sesuai dengan  bagaimana usaha  manjaganya dari hawa (QS. al-Nazi'at [79]: 40-41), yakni dari kecenderungannya untuk memenuhi syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu merupakan tingkah laku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistemewa-annya (al-Maraghi, vol. x, 1985: 168-69).
            Sementara itu, 'aql –yang arti dasarnya adalah mengikat, menahan, atau mengaitkan, lalu berkembang dalam arti memahami dan memaknai—tidak pernah disebut dalam al-Qur'an dalam bentuk kata benda ('aql), melainkan dalam bentuk verba (kata kerja), seperti: ya'qilu, ta'qilu, ta'qilun, dan sebagainya. Dari 49 ayat yang menyebut verba dari 'aql itu mengandung arti: mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi, pengertian berpikir juga diungkap oleh al-Qur'an dengan menggunakan  kata seperti: nazhara atau melihat secara abstrak (QS. 50: 6-7; 86: 5-7; dan 88:17-20), tadabbara yang berarti merenungkan (QS. 38: 29 dan 47: 24), tafakkara yang berarti berpikir (QS. 16: 68-69 dan 45: 12-13), faqiha-yafqahu yang berarti mengerti (QS. 17: 44 dan 16: 97-98), tazdakkara yang berarti mengingat, memperoleh pengertian, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari (QS. 16: 17; 39:9 dan 51: 47-49) dan fahima-yafhamu yang berarti memahami (QS. 21: 78-79). Hal ini menunjukkan bahwa dimensi berpikir menurut al-Qur'an sangat luas, tidak semata-mata menggunakan akal, tetapi juga menggunakan kedalaman ruhani.
            Al-Qur'an juga menerangkan  pertumbuhan akal (QS. al-Sajdah [32]: 7-9; al-Nahl [16]: 78; dan al-'Alaq [96]: 4-5), kemampuannya (QS. al-Furqan [25]: 44 dan al-Jatsiyah [45]: 5), dan kapasitasnya (QS. al-'Ankabut [29]: 63). Al-Qur'an juga menyebut ciri-ciri kederdasan akal, antara lain: mampu memahami hukum kausalitas (QS. al-Mu'minun [23]:  80), memahami sistem jagad raya (QS. al-Syu'ara' [26]: 18-28), mampu berpikir distintif (QS. al-Ra'd [13]: 4), menyusun argumen yang logis (QS. Ali Imran [3]: 65), berpikir kritis (QS. al-Maidah [5]: 103), mampu mengatur taktik strategi (QS. Ali Imran [3]: 118-120) dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman (QS. al-Maidah [5]: 164-169).
            Ruh dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin (Mubarok, 2001:10). Al-Qur'an, antara lain, menggunakan kata ruh untuk menunjukkan makna nyawa menyebabkan seseorang masih tetap hidup (QS. al-Isra' [17]: 85), malaikat (QS. al-Syu'ara' [26]: 193), rahmat Allah (QS. al-Mujadalah [58]: 22) dan al-Qur'an (QS. al-Syura [42]: 52). Mengenai ruh manusia, meski disebutkan  ada proses peniupan ruh ke dalam tubuh manusia (QS. al-Shaffat [37]: 7-9), tetapi dari ayat itu juga dapat dipahami bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh. Artinya ketika organ-organ tubuh manusia semuanya berfungsi maka ruh hadir, dan ketika tidak berfungsi, ruh menghilang, sehingga kehadiran ruh dapat dipahami sebagai sunnatullah (hukum Allah) yang dapat dirumuskan dengan: jika x maka y. (Ibid.)
            Bashirah dapat diartikan sebagai mata hati atau jendela hati (hati nurani). Allah disebut Bashir karena Dia mampu melihat sesuatu secara total, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, tanpa memerlukan alat. Jika dihubungkan dengan manusia, bashirah mempunyai empat arti: (1) ketajaman hati, (2) kecerdasan, (3) kemantapan dalam beragama, dan (4) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Hati nurani dengan demikian dapat dipahami sebagai pandangan mata hati (suara hati kecil yang tidak pernah berdusta) sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Al-Qur'an juga menggunakan kata fu'ad untuk menyebut hati manusia (QS. al-Isra' [17]: 36 dan al-Syu'ara' [26]: 89). Fu'ad terkadang juga dimaknai sebagai hati yang tidak berdusta, selalu menyuarakan kebenaran (QS. al-Najm [53]: 11).
Fungsi dan Potensi Qalb
            Seperti dijelaskan di atas, fungsi utama qalb adalah sebagai alat untuk memahami realitas (kehidupan) dan nilai-nilai seperti terdapat dalam surat al-Hajj sebagai berikut:
          أفلم يسيروا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بـها أو آذان يسمعون بـها فإنـها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور.  سورة الحج: 46
          Artinya:  "Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada." (al-Hajj [22]: 46).
            Dalam ayat tersebut, qalb mempunyai potensi yang sama dengan akal, atau yang dimaksud qalb di sini mempunyai arti sama dengan akal. Qalb secara sadar dapat memutuskan  sesuatu atau melakukan sesuatu, dan dari potensi inilah, maka yang harus dipertanggunggjawabkan  manusia kepada Tuhannya adalah apa yang disadari oleh qalb dan fu'ad.  Allah berfirman: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan oleh sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (QS. al-Baqarah [2]: 225). Dalam ayat lain Allah juga berfirman: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya (QS. al-Isra' [17]: 36).
            Ada beberapa potensi (kemungkinan, kemampuan) qalb yang dijelaskan oleh al-Qur'an, yaitu sebagai berikut:
1.   Qalb dapat berpaling (dari kebenaran), seperti pada QS. al-Taubah: 117.
2.   Qalb dapat merasa kecewa dan kesal (QS. al-Zumar [39]: 45)
3. Qalb secara sengaja memutuskan untuk melakukan sesuatu (QS. al-Ahzab [33]:5 dan al-Baqarah: 225)
4.   Qalb dapat berprasangka buruk (QS. al-Fath [48]: 12)
5.   Qalb dapat menolak sesuatu (QS. al-Taubah [9]: 8)
6.   Qalb dapat mengingkari (QS. al-Nahl [16]: 22)
7.   Qalb dapat diuji (QS. al-Hujurat [49]: 3)
8.   Qalb dapat ditundukkan (QS. al-Hajj [22] 54)
9.   Qalb dapat diperluas dan dipersempit (QS. al-An'am [6]: 125)
10. Qalb bahkan dapat ditutup rapat/dikunci mati (QS. al-Baqarah [2]: 7).
Selain itu, qalb juga mempunyai fungsi untuk mengetahui (mengenal) Pencipta-nya, mencintai, mengesakan dan hanya beribadah kepada-Nya. Hati pula yang membuat seseorang merasa senang mendekatkan diri kepada Allah, ridha, tawakkal, selalu mengingat-Nya, dan tidak suka atau benci terhadap kemaksiatan, sedih dan menyesal ketika berdosa dan tidak melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya (Ibn al-Qayyim, IV, 2000: 185).
Kualitas dan Kandungan Qalb
Selain mempunyai  potensi tersebut, qalb juga ibarat wadah yang di dalamnya terkandung banyak kualitas dan muatan-muatan yang  memperkuat potensi tersebut. Al-Qur'an menyebutkan bahwa di dalam qalb terkandung kualitas dan muatan-muatan sebagai berikut:
1.      Penyakit (QS. al-Baqarah [2]: 10 dan al-Ahzab [33]: 32). Penyakit hati dalam dua ayat ini masing-masing menunjukkan penyakit lemah keyakinan dan penyakit  "kenakalan".
2.       Perasaan takut (QS. Ali Imran [3]: 151)
3.      Getaran (QS. al-Anfal [8]: 2)
4.      Kedamaian (sakinah) (QS. al-Fath [48]: 4)
5.      Keberanian (QS. Ali Imran [3]: 126)
6.      Cinta dan kasih sayang (QS. al-Hadid [57]: 27)
7.      Kebaikan (QS. al-Anfal [8]: 70)
8.      Iman (QS. al-Hujurat [49]: 7, 14)
9.      Kedengkian atau iri hati (QS. al-Hasyr [59]: 10)
10.  Kufur (QS. al-Baqarah [2]: 93)
11.  Kesesatan (QS. Ali Imran [3]: 7)
12.  Penyesalan (QS. Ali Imran [3]: 156)
13.  Panas hati (QS. al-Taubah [9]: 15)
14.  Keraguan (QS. al-Taubah [9]: 45)
15.  Kemunafikan (QS. al-Taubah [9]: 77)
16.  Kesombongan (QS. al-Fath [48]: 26)
Berdasarkan muatan dan kualitas hati manusia tersebut, dapat ditegaskan bahwa qalb itu memang cenderung tidak stabil, berubah-ubah, terkadang didominasi oleh "niat baik", dan terkadang didominasi "niat jahat". Yang membuat hati manusia selalu berubah adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia (QS. al-Nas [114]: 4-5) agar mau mengikuti jalan kesesatan dan kehinaan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan umatnya agar selalu membaca ta'awwuzd dan basmalah ketika hendak memulai sesuatu yang baik.
Sifat-sifat Qalb
            Qalb manusia itu ternyata mempunyai banyak sifat positif maupun negatif. Al-Qur'an menjelaskan setidak-tidaknya ada 24 empat sifat hati sebagai berkut:
1.      Keras dan kasar hati (Ghalizh al-qalb) (QS. Ali Imran [3]: 159)
2.      Hati yang bersih/sehat (qalbun salim) (QS. al-Syu'ara' [26]: 89). Orang yang berhati inilah yang akan dapat bertemu dengan Allah di akherat kelak.
3.      Hati yang terkunci mati,  tidak dapat menangkap sinyal kebenaran Ilahi (QS. al-Syura [42]: 24 dan al-Mu'min [40]: 33)
4.      Hati yang bertaubat (qalbun munib) (QS. Qaf [50]: 33)
5.      Hati yang berdosa (atsimun qalbuh) (QS. al-Baqarah [2]: 283)
6.      Hati yang terdindingi, tertutup (QS. al-Anfal [8]: 24)
7.      Hati yang tetap tenang (qalbun muthmainnun) (QS. al-Nahl [16]: 106).
8.      Hati yang lalai (lahiyah qulubuhum) (QS. al-Anbiya' [21]: 3)
9.      Hati yang menerima petunjuk Tuhan (QS. al-Taghabun [64]: 11)
10.  Hati yang teguh (QS. al-Qashash [28]: 10 dan Hud [11]: 20)
11.  Hati yang taqwa (QS. al-Hajj [22]: 32)
12.  Hati yang buta (QS. al-Hajj [22]: 46)
13.  Hati yang terguncang (QS. al-Nur [24]: 37)
14.  Hati yang sesak (QS. al-Mu'min [40]: 18)
15.  Hati yang tersumbat (QS. al-Baqarah [2]: 88)
16.  Hati yang sangat takut (QS. al-Nazi'at [79]: 8)
17.  Hati yang condong kepada kebaikan (QS. al-Tahrim [66]: 4)
18.  Hati yang keras membatu (QS. al-Baqarah [2]: 74)
19.  Hati yang lebih suci (QS. al-Ahzab [22]: 53)
20.  Hati yang hancur (QS. al-Taubah [9]: 110)
21.  Hati yang ingkar (QS. al-Nahl [16]: 22)
22.  Hati yang takut (QS. al-Mu'minun [23]: 60)
23.  Hati yang kosong (QS. Ibrahim [14]: 43 dan al-Qashshah [28]: 10)
24.  Hati yang terbakar (QS. al-Humazah [104]: 6-7).
Penyakit Hati dan Penyembuhannya
            Manusia mungkin lebih sering sakit hati daripada sakit jasmani. Bahkan tidak sedikit orang yang jasmaninya sakit lebih  diakibatkan oleh penyakit hati. Kalau penyakit fisik obatnya bersifat fisik (dipijat, diberi tablet, cairan, dsb.), maka obat untuk penyakit hati tentu saja lebih bersifat psikologis atau spiritual. Menurut Ibn al-Qayyim, penyakit hati yang paling berbahaya adalah syirik (menyekutukan Allah), lupa dan meremehkan ajaran agama, ragu-ragu terhadap apa yang dibawakan oleh Nabi saw. (Ibid.) Selain itu, hati manusia juga cenderung berpenyakit: iri, dengki, hasad, sombong, congkak, riya', sum'ah dan sebagainya.
            Jika penyakit-penyakit hati terus-menerus menghinggapi diri manusia, maka hidupnya tidak akan pernah tenteram: selalu waswas, tidak senang melihat orang lain bahagia, cenderung menjadi pendendam, su'udzan (buruk sangka), negative thinking (berpikiran negatif) dan tidak lapang dada. Padahal Allah sangat menganjurkan kita untuk berdoa seperti yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Musa: "Ya Allah lapanglah dadaku, mudahkanlah urusanku, lepaskanlah ikatan dalam lisanku agar mereka dapat memahami tutur kataku (QS. Thaha [20]: 25-28).
            Penyakit hati yang juga sangat berbahaya adalah nifaq (munafik). Dalam al-Qur'an (al-Baqarah: 8-10) digambarkan bahwa orang munafiq itu hatinya penuh penyakit, lalu penyakit itu ditambah oleh Allah. Orang-orang yang bermuka dua ini pada masa Nabi sangat membahayakan keutuhan umat Islam, karena mereka itu ibarat musuh dalam selimut: di hadapan Nabi menyatakan beriman, tetapi hatinya tetap kufur. Karena itulah, orang-orang munafiq akan disiksa oleh Allah dengan azab yang sangat pedih (QS. al-Baqarah: 10).
            Agar penyakit hati itu dapat diterapi, manusia perlu kembali merenungkan hakikat, makna, tujuan dan orientasi hidupnya. Dengan begitu, ia mempunyai kesadaran terhadap pentingnya kehadiran Tuhan dalam hidup ini. Ia harus menyadari bahwa manusia memang memerlukan kemurahan dan ampunan Tuhan. Karena itu, solusi atau terapi yang diberikan oleh para sufi menjadi sangat relevan, yaitu manusia hendaknya selalu bertaubat, berdzikir dan bertaqarrub kepada Allah swt. Nabi memberikan kiat mudah agar kita senantiasa menjalankan kebajikan, yaitu: istafti qalbaka, al-birru ma ithma'anna ilaihi al-nafsu wa ithma'anna ilaihi al-qalbu… Artinya: Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa yang [jika engkau melakukannya] jiwa dan hatimu merasa tenang; sedangkan dosa adalah yang selalu menghantui jiwamu dan membuat hatimu bimbang, serta engkau merasa tidak suka dilihat oleh orang lain saat melakukannya…(HR. Ahmad dan al-Darimi).
Selain itu, jalan syari'at juga harus dilalui dan dipatuhi dengan benar, agar semua aktivitas dalam hidup ini bernilai ibadah. Nilai-nilai akhlak yang terpuji, seperti: jujur, amanah, tidak sombong, rendah hati, qana'ah, menghormati orang lain, dan sebagainya juga harus menjadi perhiasan dalam hidupnya agar hati tidak lagi terpolusi oleh sifat-sifat buruknya. Untuk itu, tazkiyat al-nafs (penyucian diri) menjadi sangat penting, yaitu melalui takhalli (pengosan diri dari dosa dan sifat-sifat tercela), tajalli (penampakan atau aktualisasi  syari'at dalam kehidupan nyata) dan tahalli (penghiasan diri dengan moralitas yang luhur. Kecerdasan intelegensi, emosi dan spiritual harus dioptimalkan dan diberdayakan secara proporsional, agar hidup manusia menjadi seimbang, damai dan sejahtera lahir batin. Oleh karena itu, hati memang harus dijaga kebersihan dan kekhusyu'annya sebab ia adalah pangkal segala kebaikan. Sabda Nabi: Ketahuilah bahwa di dalam dirimu terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh perbuatan tubuhnya, dan jika ia buruk, maka buruklah segala perbuatan tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati." Semoga hati kita menjadi hati bersih dan sehat, sehingga dapat menangkap cahaya Ilahi yang senantiasa menyinari dan memberkahi kehidupan kita ini. Amin…

DAFTAR BACAAN
`Abd al-Bâqî, Muhammad Fu'âd, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur'ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. II, 1991.
Anîs, Ibrâhim dkk., al-Mu'jam al-Wasîth, Jilid II, Kairo: Majma' al-Lughah al-`Arabiyyah, 1970.
al-Anshâri, Jamâluddîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-`Arab, Jilid X, Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah, tt.
al-Ashfahâni,  Al-Râghib, Mufradât fi Gharîb al-Qur'ân, Tahqîq/Editor: Muhammad Sayyid Kailâni, Beirut: Dâr al-Ma'rifah,  tt.
Hawwa, Sa'id,  al-Asâs fi al-Tafsîr, Jilid II,  Kairo: Dâr al-Salâm, Cet. V, 1999.
Ibn al-'Arabi, Ahkâm al-Qur'ân, Jilid I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt.
Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma'ad fi hady Khair al-Ibad, Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 2000.
Mubarok, Ahmad, Psikologi Qur'ani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Quthb, Sayyid, Tafsîr fi Zhilâl al-Qur'ân, Jilid I, Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, Cet. I, 2002.
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr, Juz V, Bairut: Dâr al-Ma'rifah, 1993.
Shihab, M. Quraisy, dkk., Ensiklopedi al-Qur'an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, Cet. I, 1997.
al-Thabrasi, Abû 'Alî al-Fadhl ibn al-Hasan, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Beirût: Dâr al-Ma'rifah, 1986.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Bairut:  Librarie du Liban, Cet. X, 1980.
al-Zuhali, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-'Aqîdah wa al-Syarî'ah wa al-Manhaj, Jilid 5-6, Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet. II, 1998.
http://syangar.bodo.blogspot.co.cc