BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM


SEBUAH PENGANTAR
Sebuah kotak korek api yang dipegang miring sehingga orang yang di sebelah kanan akan melihat suatu gambar sedang orang yang berada di sebelah kiri akan melihat gambar yang berbeda dengan apa yang dilihat orang di samping kanan. Semuanya melihat korek api tapi dalam perpekstif yang berbeda. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang lain yang berdiri di sisi yang berlawanan dengan kita, apalagi yang sifatnya menghujat atau menyalahkannya. Karena kita tidak berdiri pada sisi yang sama dengannya.
Kebenaran yang hakiki adalah milik Allah, dan kita manusia mempunyai keterbatasan dalam menaksir suatu kebenaran. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, tapi ketika berbeda pendapat, kepala harus tetap dingin, dan menghargai orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.
Adalah sesuatu yang sangat zalim, ketika tercipta pertengkaran dan konflik akibat perbedaan pandangan, pemikiran dan pendapat. Apalagi ketika merasa diri kita paling benar dan kemudian menuduh orang lain kafir. Allah swt telah berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu orang yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)
Alquran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ini berarti bahwa kebebasan beragama merupakan keniscayaan. Ini merupakan  hak  asasi  manusia  yang  harus  dihormati.  Adalah  hak,  bahkan  kewajiban setiap orang untuk meyakini bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain untuk bersikap sama terhadap agamanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi perang klaim tentang kebenaran dan janji keselamatan. Hanya agamanyalah yang benar, dan karenanya hanya penganut agama itu yang akan masuk surga dan mendapat kasih Tuhan. Agama lain adalah agama yang sesat, dan karena itu penganutnya tidak berhak memperoleh surga dan kasih Tuhan. Mereka  akan masuk  neraka dan akan mendapatkan murka-Nya.  Adalah hak,  bahkan kewajiban setiap orang untuk meyakini bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain untuk bersikap sama terhadap agamanya Padahal, yang maha benar  dan maha tahu  hakikat kebenaran hanyalah Tuhan. Manusia hanya mencari tahu dan berupaya  memperoleh apa yang dimaksudkan benar oleh Tuhan itu. Demikian pula dengan surga dan neraka. Bukankah pemiliknya adalah Tuhan? Berarti, yang berhak memasukkan ke sana pun hanyalah Dia. Kewenangan itu sepenuhnya  merupakan hak prerogatif-Nya.
Sungguh merupakan kesombongan luar biasa, siapa pun manusia yang mengaku dapat memasukkan ke surga atau ke neraka. Karena hal itu, sama dengan memposisikan dirinya  dengan  Tuhan.  Setidaknya,  telah  mengambil  alih  kewenangan-Nya. Mungkin perlu dikemukakan, bahwa berdasarkan firman Allah, “surga itu luasnya seluas langit dan bumi”. Dibuat seluas itu, nampaknya, supaya dapat menampung seluruh umat yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya, sejak umat nabi/rasul pertama (Nabi Adam) hingga umat nabi/ rasul yang terakhir (Nabi Muhammad saw.). Rasa-rasanya, surga itu terlalu luas kalau hanya dihuni oleh penganut agama tertentu, apalagi kalau oleh warga NU, Muhammadiyah, atau PUI saja.
Oleh karena itu, diperlukan saat ini adanya ukhuwah basyariyah, adalah menuntut  dikembangkan paham Multikulturisme, suatu pandangan yang mendorong untuk menghormati pihak lain yang berbeda, bukan karena mengakui kebenaran agama lain itu, tetapi karena setiap orang harus menghormati tradisi pihak lain dalam menyembah Tuhan.

PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah saw., para sahabat, sampai ustadz dan para pemikir Islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan proses transmisi ini berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, kuttab, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah.  Dalam proses tersebut  para  pemeluk  agama  ini telah  memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektifnya.
Studi ini menggunakan pola kajian Islamic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi akademik  modern  (barat).  Pola  ini  tidak  sama  dengan  pengertian  pendidikan agama Islam (al-tarbiyah al-islamiyah), yang secara konvensional lebih merupakan proses transmisi  ajaran  agama,  yang  melibatkan aspek  kognitf (pengetahuan  tentang  ajaran Islam), afektif dan psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran). Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah. Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.
Agama islam ada diantara normatif dan historian, tekstual dan kontekstual. Ada 5 bentuk gejala agama:
  1. Teks, naskah, sumber ajaran, dan simbol-simbol
  2. Penganut , pemimpin, pemuka agama
  3. Ritus ibadat, lembaga
  4. Alat-alat (mesjid, topi/kopiah/peci, sorban, jilbab, dan lain-lain)
  5. Organisasi
Islam sebagai produk sejarah:
  1. Islam Syiah
  2. Islam Sunni
  3. Nadhatul Ulama
  4. Muhammadiyah
  5. Ahmadiyah, dan lain-lain.
Agama dalam bahasa adalah religion, din, millah, yang berarti :
  • pengakuan adanya hubungan manusia dengan yang gaib yang harus
  • dipatuhi pengakuan adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia
  • Pengakuan pada sumber diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia
  • Kepercayaan pada kekuatan gaib
STUDI  AL-QURAN
Al-Quran dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya adalah sebagai berikut:
  1. Al Huda (petunjuk). Dalam Al-Quran terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Quran:  petunjuk  bagi menusia secara umum (QS.  Al-Baqarah: 185), Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 2), dan sebagai petunjuk bagi orang beriman (QS. Fushilat: 44).
  2. Al-Furqan (pemisah) antara yang hak dan yang batil.
  3. Al-Shifa (obat), berfungsi sebagai obat  bagi penyakit  yang  ada di dalam dada/jiwa (QS. Yunus : 570).
  4. Al-Mau’idzah/nasihat (QS. Ali Imran: 138).
  5. Al-Mubin/yang  menerangkan (QS.  Al-Maidah : 15).
  6. Al-Mubarak/yang diberkati (QS Al-An’am : 92).
Al-Quran berisi 30 juz, 114 surat, dan ± 6236 ayat. Ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran terdiri dari :
  • Ayat Makkiyah    : sebagai ayat-ayat pokok yang terdiri dari ± 4789 ayat
  • Ayat Madaniyah : sebanyak ± 1456 ayat
Apabila ada pertentangan antara makkiyah dan madaniyah, maka yang dipilih adalah Madaniyah, sedangkan pendapat lainnya adalah sebaliknya.
Rincian penganturan ayat-ayat dalam Al-quran:
  • ± 10 ayat tentang hubungan antara kaya dan miskin
  • ± 10 ayat tentang kenegaraan
  • ± 13 ayat tentang pengadilan
  • ± 25 ayat tentang hubungan muslim dan non muslim
  • ± 30 ayat tentang pidana
  • ± 70 ayat tentang kekeluargaan, perkawinan, dan waris
  • ± 70 ayat tentang perekonomian, jual beli, sewa, pinjam meminjam
  • ± 136 ayat tentang keimanan, tuhan, malaikat, Rasul, Kitab dan hari Akhir
  • ± 140 ayata tentang ibadah, sholat, zakat, puasa, haji
  • ± 150 ayat tentang sains (fenomena alam)
  • ± 228 ayat yang mengatur dasar-dasar kemasyarakatan, dan seterusnya.
Al-Quran merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya merupakan undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan jalan qoth’i (absolut), yang kebenarannya tidak boleh diragukan, alasan lain bahwa Al-quran sebagai mukjizat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran itu memang ternyata tidak ada yang mampu meniru.
Macam-macam hukum di dalam Al-Quran :
  1. Hukum aqidah (ahkam ’itiqodiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang harus dipercaya oleh mukalaf, yang disebut rukun iman.
  2. Hukum-hukum akhlak (Ahkam Khuluqiyah) yaitu hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang harus dipakai setiap mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan menghindarkan diri dari kehinaan.
  3. Hukum Amaliyah (Ahkam ’Amaliyah) yaotu hukum yang erat hubungannya dengan seluruh tidakan atau perbuatan mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad) dan kegiatan –kegiatan lainnya dan hidup sehari-hari.
Bila dilihat dari segi hukumnya terbagi 2 bagian yaitu nash yang qoth’i (yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mungkin menerima takwil, atau tidak ada pengertian yang lain selain makna tersebut) dan nash yang dzanni (nash yang menunjukkan makna yang mungkin menerima takwil atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada makna yang lain). Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa nash tersebut mempunyai beberapa pengertian dan penafsiran.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat Al-Quran :
  • Beda dalil yang dipakai
  • Beda Paham tentang dalil
  • Beda Metoda ijtihad
  • Beda Konsep Masalah
Beberapa persoalan tentang Al-Quran :
  • Al-Quran Mahluk / kalamullah?
  • Sistematis Al-Quran , siapa yang menyusunnya
  • Mengapa Indonesia tidak memakai hukum Islam
  • Bermazhab
  • Bid’ah
  • Hadis hubungannya dengan Al-Quran
Kalau ada perbedaan pandangan tentang Islam, lalu dikembalikan pada Al-Quran dan hadist, persoalan tidak begitu saja selesai. Sebab ayat yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berpotensi untuk diartikan lain. Al-Quran sebagai gudang, petunjuk, obat, yang dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Jangan berada dalam perdebatan yang proporsional.
STUDI  AL-HADIS
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Diantara naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
  • Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam),
  • Al-Shahifah al-Shadiqah,
  • Shahifah Sumarah bin Jundub,
  • Shahifah Jabir bin ‘Abdullah,
  • Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Dapat disebutkan beberapa faktor hadis di masa  Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
  • Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
  • Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
  • Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
  • Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
  • Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah.
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
  • Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan  seterusnya.
  • Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
  • Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah mursal (terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa al-Ada’.
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Gejolak Pemikiran Tentang Hadis
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis.
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain. Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir.
Pada masa modern, cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Dari sisi outsider, Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
STUDI  ILMU KALAM (TEOLOGI)
Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan  berupaya  membuktikan  keabsahannya  dan  menjawab  keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :
  1. Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif    (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya  yang  dibawa oleh Rasul,  tujuannya untuk  meng-counter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
  2. Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
  3. Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi tuhan cahaya  (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
  4. Masalah  sifat  Allah dan  hubungannya  dengan  zat-Nya,  apakah zat-Nya  sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden)  serta  aqnumiyah (oknum  dalam  teologi  kristen)  yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
  5. Masalah  tanzih (pensucian)  Allah  dan  penolakan  tasybih (penyeruan  Allah), tujuan untuk  membantah pandangan orang  yahudi yang  menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
  6. Masalah  kalam  Allah,   baik  qadim  maupun  baru,   ini  terpengaruh  dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah. menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.
  7. Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.
  8. Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
  9. Masalah tempat  kembali (al-mi’ad)  yang  membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
  10. Masalah al-jabr  wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak)  yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.
Sejarah Kemunculan Permasalahan Ilmu Kalam
1.   Aliran Khawarij
Kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik atas terbunuhnya Ustman bin Affan yang berbuntuk penolakan Mua’wiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Shifin yang berakhir dengan keputusan Tahkim, dimana Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan Mu’awiyah. Mereka berpendapat persoalan yang terjadi tidak  dapat  diputuskan  dengan  tahkim,  semboyan  mereka  hukum  harus  kembali kepada Al-Quran. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah dan mereka meninggalkan barisannya, sehingga mereka disebut khawarij.
Menegaskan  bahwa orang  yang  berdosa besar  adalah  kafir.  Dalam arti telah keluar dari Islam atau telah murtad dan wajib dibunuh. Mereka umumnya berasal dari suku Badawi, kehidupannya di padang pasir yang tandus, sehingga mereka hidup bersifat sederhana  baik dalam cara hidup dan pemikiran, keras hati, radikal, bengis dan suka kekerasan, fanatik berfikiran sempit, tidak dapat mentolerir hal-hal yang dianggap menyimpang dalam pandangan keislamannya. Sehingga merekapun dengan mudah terpecah belah menjadi golongan kecil-kecil. Sehingga dapat dimengerti mengapa mereka terus mengadakan perlawanan dengan penguasa jamannya. Golongan Khawarij ada 8 yang terbesar yaitu : Al-Muhakkimah, Al- Azariqah, Al-Nadjat, Al-Baihasiyyahn, Al-ajaridah, Al-Sa’alibah, dan Al-Shufriyah.
2.  Aliran Murji’ah
Nama murjiah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan.memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat  Allah (arja’a) atau orang  yang  menunda penjelasan kedudukan seseorang  yang  bersengketa yaitu  Ali dan Muawiyah serta pasukannya.
Murjiah  menangguhkan penilaian terhadap orang  yang  terlibat  dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah. Karena Allah lah yang mengetahui iman seseorang. Demikian pula orang-orang  mukmin yang  melakukan dosa besar dianggap tetap mukmin/bukan kafir selama ia tetap mengucapkan 2 kalimat syahadat.
Terdapat nama-nama seperti Al-Hasan Ibnu Muhammad bin Ali bin bi Thalib. Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Menurut Abu Hanifah, Iman adalah pengetahuan dan pengetahuan adanya Tuhan, Rasul-rasulnya dan tetang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian: Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam hal iman.
3.  Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara (kemampuan dan kekuatan), aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan . dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri.
4.  Aliran Mu’tazilah
Ajaran Mutazilah yang mengalami jaman kejayaan pada saat peradaban Islam the golden age (abad 7 abad sampai abad 13). Ketika itu muncul banyak ilmuwan seperti Ibnu Sina (bapak kedokteran), Ibnu Khawarijmi (bapak matematika). Aliran Mu’tazilah mengakar dari paham qadariyah. Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah. dibina oleh Wasil bin Ata. (lahir 81-131  H), belajar pada Hasan al-Basri salah satunya.
Ada 5  pokok  ajaran Mu’tazilah  yang  menjawab masalah akal dan wahyu dalam menjawab persoalan teologis yaitu: (1) Al-Tauhid, yaitu Kemahaesaan Tuhan, Tuhan Maha Esa, zat yang Unik dan tiada yang serupa dengan dia. (2) Al-adl, yaitu Keadilan Tuhan, Dari sini timbullah paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, manusia harus bertanggung jawab kepada perbuatannya,  paham  al-shalih  wa-ashlah,  wajib  bagi  Tuhan  berbuat  baik  kepada manusia, mengirin nabi-nabi untuk menyampaikan segala yang diketahui akal, wajib untuk tidak memberi beban diluar batas kemampuan, terikatnya tuhan kepada janji-janji-Nya dan sebagainya,  (3) Al-Wa’d wa al-wa’id,  memiliki arti Tuhan wajib memberi pahala bagi orang yang berbuat baik dan wajib menghukum orang yang berbuat mungkar di akherat. (4) Al-Manzilah bayna al-manzilatain, yaitu pemposisian di tengah bagi pembuat dosa besar, mereka tidak kafir tetapi juga tidak mukmin, tidak surga dan tidak juga neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak diantaranya, (5) Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an Al-munkar, yaitu suatu perintah berbuat baik dan larangan berbuat  jahat  yang  berhubungan dengan usaha  membina  moral dan suatu kontrol sosial.
5.  Aliran Jabariyah
Jabara mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab. Di hadapan alam yang tandus, ganas, berpasir, indah namun kejam, menyebabkan jiwa mereka dekat kepada Zat yang Maha. Dengan semata-mata tunduk, patuh pasrah. Al-Shaffat ayat 96, ditegaskan: Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
6.  Aliran Asy’ariyah
Nama  lengkapnya Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-asyari 260 H/873M –  324 H/935M),  keturunan  Abu  Musa  Al-Asyari.,  salah  satu  perantara  dalam  sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i , yang diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, setelah bersembunyi selama 15 hari, kemudian ia pergi ke Mesjid Basrah dan di depan orang banyak, mula-mula dia mengatakan bahwa: Quran itu mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala. Dia tidak lagi sepaham dengan mu’tazilah yang melibatkan akal di atas  segalanya. Ia mengkawatirkan  quran  dan Hadist  yang  menjadi korban paham-paham mu’tazilah yang menurutnya pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pekerjaan akal dan pikiran. Abu  Hasan  al-Asy’ari  tampil  dengan  konsep  kasb (perolehan,  acquisition)  yang cukup rumit. Yakni, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).
7.  Aliran Maturidiyah
Abu Mansur ibnu Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkhan pada pertengahan ke-dua dari abad ke 9, wafat tahun 944 M, ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham- paham teologi nya banyak persamaan dengan Abu Hanifah. Pendapatnya    tentang  perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai faham Qadariyah dan bukan jabariah, Mengenai orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa-dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akherat,  iapun menolak paham posisi  menengah kaum Mu’tazilah.
STUDI  TASAWUF
TASAWUF, menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata SHAFA, orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan Allah. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf  berdasarkan istilah,  (1)  Menurut  Al-Jurairi,  Memasuki  segala  budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut Al- Junaidi,  ia  memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa  yang  hak adalah  yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Adalh beserta Allah tanpa adanya penghubung.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu. Mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Fase perkembangan tasawuf :
  1. Fase Askestisme (zuhud). Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan akherat, Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang zahid
  2. Fase Akhlaki. Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah, dimana para sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut, sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat islam, dari sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standar akhlak.
  3. Fase Al-Hallaj. 1 abad kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan fenomental yang  diwakili oleh al-Hallaj,  beliau  mengajarkan tentang  kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap membahayakan stabilitas umat.
  4. Fase Tasawuf Moderat. Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad kelima hijriyah dengan seorang  tokohnya  yaitu  Imam  Ghazali,  yang  sepenuhnya  hanya  menerima tasawuf yang  berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali askestisme. Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh  tasawuf  dengan  dasar  moderat  ini  telah  meluas  hampir  keseluruh pelosok dunia islam, lalu  mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian mengembangkan  tarekat  tertentu  untuk  murid-murid  mereka,  seperti  Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani.
  5. Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat yang muncul pada abad ke 6 Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H), Syek Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.
Pemikiran Tasawuf Akhlaki
Tasawuf disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam pemikiran  ini tidak  hanya  bersifat  lahiriyah tapi juga  batiniyah,  dengan latihan (riyadoh) tujuannya adalah menguasai hawa nafsu. Untuk  itulah tasawuf akhlaki  menerapkan  terapi  pembinaan  mental  dan  akhlak  yang  disusun  sebagai berikut :
  1. Terapi takhalli adalah  mengosongkan  diri dari prilaku  dan akhlak  tercela, adalah langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis tasawuf yang suci. Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan duniawi.  Sebagai  penghalang  perjalanan  seorang  hamba  pada  Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang hakiki, Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka pamer). Imam Al-Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam politeisme.
  2. Terapi Tahalli, dilakukan agar seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul karimah, Tahp ini dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu berusaha   berjalan   diatas   ketentuan   agama,   tahap   ini   adalah   isi   dari pembersiha diri dan pengosongan jiwa. Beberaoa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa prilaku tadi adalah :
1)        Taubat: penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai dengan permohonan.
2)        ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbukan dosa itu kembali
3)        Cemas  dan  Harap  adalah  sikap  mental tasawuf  yang  selalu  bersandar kepada salah seorang tokoh yaitu hasan Al-Basri yaitu suatu perasaan yang timbul karena banyak yang berbuat dosa dan lalai kepada Allah.
4)        Zuhud yaitu sikap mental sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap kenikmatan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi.
5)        Al-faqr, sikap bermakna, dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain. Sikap ini merupakan benteng terhadap pengaruh kenikmatan duniawi dan menghindari keserakahan, Pada prinsipnya sikap ini adalah rentetan dari sikap zuhud, hanya saja zuhud lebih eksrim sedangkan faqr adalah sekedar.
6)        Pendisiplinan, sikap inipun pada gilirannya akan menimbulkan sikap wara dalam diri sufi.
7)        Al-Shabr adalah hal yang paling  mendasar dalam tasawuf kaena sabar mengandung makna keadaan jiwa yang kokoh stabil, konsekwensi dalam pendirian, walaupun godaan dan tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu terjadi merupaka kehendak Allah dan kita  harus  menerimanya  dengan  sabar,  tapi  iktiar  juga  tetap  harus dijalankan.
8)        Ridha,  sikap  ini  merupakan  kelanjtan  dari rasa  cinta  yang  merupakan perpaduan Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung makna lapang dada, berjiwa besar, hati terbuka terhadap apa yang bersadar dari Allah baik menerima ketentuan agama dan masalah nasib itu sendiri.
9)        Muraqqabah,  sikap  ini  adalah  berarti  mawas  diri  atau  lebih  tepat  nya dengan  self  correction,  sikap dimana kita siap  siaga setiap  saat  untuk meneliti keadaan diri sendiri. Sikap ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengamati setipa gerak dan langkah kita selama hidup di dunia.
3.     Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari tahap tahlli yang bermakna nur ghaib, yaitu dengan menghayati rasa keber Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu yang amat sangat kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai kesempurnaan kesucian jiwa, hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah secara mendalam, maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.

STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,  interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :
  1. Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
  2. Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
  3. Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
  4. Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran dalam antropologi agama, diantaranya :
1.    Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
2.   Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
  • Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
  • Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
  • Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.    Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.
STUDI ISLAM PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  HISTORIS
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
STUDI  ISLAM PENDEKATAN  KAWASAN
Pokok bahasan setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama  adalah fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan, seperti do’a, upacara-upacara ritual, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos dan simbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci dan sakral, makhluk-makhluk supernatural, dan sebagainya. Penyelidikan terhadap fenomena agama tersebut dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya. Wilayah agama tentu selalu merujuk pada tipe karakteristik tertentu terhadap data yang ada seperti kepercayaan, praktik, perasaan, keadaan jiwa, sikap, pengalaman, dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa yang berbeda menunjukkan karakteristik atau pengalaman yang berbeda pula. Demikian pula agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat, dan perdamaian batin individu, sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme sektarian, dan sifat tidak toleran, pengacuhan, dan kesia-siaan.
Disamping itu agama memiliki kecenderungan untuk menjadi sponsor ketakhayulan, magic, dogmatik, kepercayaan, mudah percaya tanpa dipikir dahulu dan kepercayaan pada supernatural. Sebaliknya agama pun telah memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner. Sehubungan dengan persoalan ini timbul pertanyaan atau bahkan keragu-raguan yang ditujukan kepada hakekat ilmu agama. Apakah ia merupakan disiplin ilmu yang bersifat teologis, filosofis, historis atau sosiologis?
Perkembangan awal studi agama biasanya melihat perkembangan agama dari interpretasi sosiologis yang menyebut agama sebagai ‘ilmu primitif’ sehingga sampai pada studi tentang struktur dalam agama dan berusaha menjelaskan model ilmiah dalam agama. Jika dikategorisasikan, interpretasi agama ini dapat dibagi ke dalam empat bentuk; intelektualis, fungsionalis, simbolis dan strukturalis. Di sebut penelitian agama bukan hanya karena metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Pada intinya, bidang kajian agama ada dua, yakni beliefs (ajaran) dan practices (praktik-praktik agama atau keagamaan). Ajaran adalah teks, baik tulisan maupun lisan, yang sakral dan menjadi rujukan bagi pemeluk agama. Keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung pada ajaran. Keberagamaan muncul dalam lima dimensiaa: ideologis, intelektual, ekspresiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Ada problem lain yang muncul sebagai tantangan dalam studi Islam sehubungan dengan kajian-kajian agama yang menggunakan disiplin empiris ini. Misalnya, bisakah agama didekati secara ilmiah ? Bukankah agama sudah mutlak benar karena didasarkan kepada wahyu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mirip.
SEBUAH AKHIR PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama pada masa sebelum abad ke –19 memiliki beberapa karakteristik yaitu, sinkritisme, penemuan area baru, dan untuk kepentingan misionari. Dipicu oleh semangat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi agama mengalami perubahan.
Studi-studi agama tidak lagi bersifat bersifat primordial atau bersifat hanya untuk kepentingan penyebaran agamanya, tetapi lebih didorong oleh semangat metodologis atau ilmiah, yakni berangkat atas dasar kepentingan dan perkembangan ilmu pegetahuan. Maka muncullah berbagai kajian agama dengan metode dan pendekatan yang beragam pula, sesuai dengan kecenderungan dan keahlian akademik para masing-masing sarjana (penstudi) itu sendiri.
Beberapa kecenderungan pengkajian agama dapat dilihat setidaknya atas tiga alasan, yaitu; pertama, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran-pemikiran ilmiah mempengaruhi dinamika beragam sehingga minat intelektual untuk mengkaji agama secara lebih mendalam sangat tinggi. Kedua, kecenderungan untuk merekonstruksi agama dalam upaya mengembangkan semua urusan dunia. Ketiga, pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional yang mempengaruhi agama-agama.
Dari berbagai macam pendekatan studi Islam di atas timbul suatu metode studi Islam yang secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkon aspek sejarah, metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.
2.      Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis. Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia.
  2. Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
  3. Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur yang unik.
  4. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron: 104)
  5. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengn jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)
3.      Metode Problem Solving (hill al musykilat)
Metode mempelajari Islam untuk mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.
4.      Metode Empiris (Tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui prosed realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif dapat dirumuskan dan suatu sistem norma baru.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (QS. Ali Imron: 104)
  2. Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
  3. Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura: 13).
  4. Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
  5. Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)
5.      Metode Deduktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
6.      Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
  1. Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
  2. Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
  3. Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
  4. Implikasi formulasi yang baru tersebut.

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc

Pembelajaran Bahasa


Ibnu khaldun berkata, “Sesungguhnya Pembelajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan  pengetahuan,  keterampilan,  dan  kecermatan  karena  ia sama halnya  dengan  pelatihan  kecakapan  yang  memerlukan  kiat,  strategi dan ketelatenan,  sehingga  menjadi  cakap  dan  professional.”  Penerapan metode Pembelajaran  tidak  akan  berjalan  dengan  efektif  dan  efisien  sebagai media pengantar  materi  Pembelajaran  bila  penerapannya  tanpa  didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang metode itu. Sehingga metode bisa saja akan menjadi  penghambat  jalannya  proses  Pembelajaran,  bukan  komponen yang menunjang  pencapaian  tujuan,  jika  tidak  tepat  aplikasinya.  Oleh  karena itu, penting  sekali  untuk  memahami  dengan  baik  dan  benar  tentang karakteristik suatu  metode.  Secara  sederhana,  metode  Pembelajaran  bahasa  Arab dapat digolongkan  menjadi  dua  macam,  yaitu:  pertama,  metode tradisional/klasikal dan kedua, metode modern.
Metode  Pembelajaran  bahasa  Arab  tradisional  adalah  metode  Pembelajaran bahasa Arab yang terfokus pada “bahasa sebagai budaya ilmu” sehingga belajar bahasa  Arab berarti  belajar  secara  mendalam  tentang  seluk-beluk  ilmu  bahasa Arab,  baik  aspek gramatika/sintaksis  (Qowaid  nahwu),  morfem/morfologi (Qowaid as-sharf) ataupun sastra (adab). Metode yang berkembang dan masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah Metode qowaid dan tarjamah. Metode tersebut  mampu  bertahan  beberapa  abad, bahkan  sampai  sekarang  pesantren-pesantren  di  Indonesia,  khususnya  pesantren salafiah  masih  menerapkan metode  tersebut.  Hal  ini  didasarkan  pada  hal-hal sebagai  berikut:  Pertama, tujuan Pembelajaran bahasa arab tampaknya pada aspek budaya/ilmu, terutama nahwu dan ilmu sharaf. Kedua kemampuan ilmu nahwu dianggap sebagai syarat mutlak  sebagai  alat  untuk  memahami  teks/kata  bahasa  Arab  klasik yang  tidak memakai  harakat,  dan  tanda  baca  lainnya.  Ketiga,  bidang  tersebut merupakan tradisi turun temurun, sehingga kemampuan di bidang itu memberikan “rasa percaya diri (gengsi) tersendiri di kalangan mereka”.
Metode  Pembelajaran  bahasa  Arab  modern  adalah  metode  Pembelajaran yang berorientasi  pada  tujuan  bahasa  sebagai  alat.  Artinya,  bahasa  Arab dipandang sebagai  alat  komunikasi  dalam  kehidupan  modern,  sehingga  inti belajar  bahasa Arab adalah  kemampuan  untuk  menggunakan  bahasa  tersebut secara  aktif  dan  mampu memahami  ucapan/ungkapan  dalam  bahasa  Arab. Metode  yang  lazim  digunakan dalam  Pembelajarannya  adalah  metode  langsung (tariiqah al - mubasysyarah). Munculnya metode ini didasari pada asumsi bahwa bahasa  adalah  sesuatu  yang  hidup, oleh  karena  itu  harus  dikomunikasikan  dan dilatih terus sebagaimana anak kecil belajar bahasa.
a. Metode Qawaid  dan Terjemah
Para  pakar  dan  praktisi  pembelajaran  bahasa  asing  sering  juga  menyebut metode ini dengan metode tradisional. Penyebutan tersebut berkaitan dengan sebuah  cerminan terhadap  cara-cara  dalam  jaman  Yunani  Kuno  dan  Latin dalam mengajarkan bahasa. Asumsi dasar metode ini adalah adanya „logika semesta‟  (universal  logic)  yang merupakan  dasar  semua  bahasa  di  dunia, sedangkan tata bahasa adalah cabang logika.
Metode ini ditujukan kepada peserta didik agar, (1) lebih mempu membaca naskah berbahasa Arab atau karya sastra Arab, dan (2)  memiliki nilai displin dan perkembangan intelektual. Pembelajaran dalam metode ini didominasi dengan kegiatan membaca dan menulis. Adapun kosakata yang dipelajari adalah kosakata dari tes bacaan, di mana kalimat diasumsikan sebagai unit yang terkecil dalam bahasa, ketepatan terjemahan diutamakan, dan bahasa Ibu digunakan dalam prose pembelajaran.
b. Metode Langsung (Mubâsyarah)
Karena adanya ketidak puasan dengan metode qawa’id dan tarjamah, maka terjadi suatu gerakan penolakan terhadap metode tersebut menjelang pertengahan abad ke 19. Banyak orang Eropa yang merasa bahwa buku-buku pembelajaran bahasa asing yang beredar tidaklah praktis, karena tidak mengajarkan bagaimana berbahasa namun lebih    memperhatikan pembicaraan tentang bahasa. Karena itu, banyak kemudian bergulir ide-ide untuk meperbaharui metode tersebut.
Berdasarkan asumsi yang ada dalam proses berbahasa antara Ibu dan anak, maka F.Gouin (1980-1992) mengembangkan suatu metode yang diberi nama dengan metode langsung (thariqah mubasyarah), sebuah metode yang sebenarnya juga pernah digunakan dalam dunia pembelajaran bahasa asing sejak jaman Romawi (± abad XV). Metode ini memiliki tujuan yang terfokus pada peserta didik agar dapat memiliki kompetensi berbicara yang baik. Karena itu, kegiatan belajar mengajar bahasa Arab dilaksanakan dalam bahasa Arab  langsung  baik  melalui  peragaan  dan  gerakan.  Penerjemahan  secara langsung dengan bahasa peserta didik dihindari.
c. Metode Silent Way (Guru Diam)
Metode ini digulirkan oleh C. Gatteno (1972). Kendati ia mengembangkan teori  dan  metode  pembelajaran  yang  terpisah  dengan  teori  Chomsky, namun didalamnya banyak persamaan. Ide dasarnya adalah bahwa belajar sangat bergantung pada diri (self) seseorang. Diri tersebut mulai berfungsi pada waktu manusia diciptakan dalam kandungan, dimana sumber awal tenaganya dalah DNA (deoxyribonu acid).  Diri menerima masukan-masukan dari luar dan mengolahnya sehingga menjadi bagian dari diri itu sendiri.
Dalam penggunaan metode silent way, guru lebih banyak diam, ia menggunakan gerakan, gambar dan rancangan untuk memancing dan membentuk reaksi. Guru menciptakan   situasi   dan lingungan yang mendorong peserta didik “mencoba-coba” dan menfasilitasi pembelajaran. Seolah  hanya  sebagai  pengamat,  guru  memberikan  model  yang  sangat minimal dan membiarkan peserta didik berkembang bebas, mandiri dan bertanggung  jawab.  Adapun  penjelasan,  koreksi  dan  pemberian  model sangat minim, lalu peserta didik membuat generalisasi, simpulan dan aturan yang diperlukan sendiri. Hanya saja, di dalamnya masih digunakan pendekatan struktural dan leksikal dalam pembelajaran.
d. Sugestopedia
Sugetopedia merupakan metode yang didasarkan pada tiga asumsi. Pertama, belajar itu melibatkan fungsi otak manusia, baik secara sadar ataupun dibawah sadar. Kedua, pembelajar mampu belajar lebih cepat dari metode- metode lain. Ketiga, Kegiatan belajar mengajar dapat terhambat oleh beberapa faktor, yakni (1) norma-norma umum yang berlaku di tengah masyarakat, (2) suasana yang terlalu kaku, kurang santai, dan (3) potensi pembelajar yang kurang diberdayakan oleh guru. Metode  ini dicetuskan oleh seorang psikiatri Bulgaria yang bernama George Lozanov.
Metode  Sugestopedia  mempunyai  tujuan agar peserta didik mampu bercakap-cakap tingkat tinggi. Dalam metode ini, butir-butir bahasa Arab dan terjemahannya disajikan dalam  bahasa Ibu dalam bentuk dialog. Tujuan utama bukan sekedar penghafalan dan pemerolehan kebiasaan, tetapi  tindakan  komunikasi.  Karena  kegiatan  belajar  meliputi  peniruan, tanya jawab, dan bermain peran, maka peserta didik diharapkan bisa metoleransi dan menerima perlakuan seperti kanak-kanak (infantilization).
  1. Problematika Pengajaran Bahasa Arab
Sudah bertahun-tahun kita mengelauhkan pengajaran bahasa Arab menyangkut keberhasilannya yang masih jauh dari harapan. Paling tidak ada dua problem yang sedang dan akan terus kita hadapi yaitu:
  1.  
    1. Problem kebahasaan yang sering disebut problem linguistic
    2. Problem non kebahasaan atau problem non linguistic
Pengetahuan guru tentang kedua problem itu penting agar guru dapat meminimalisasi problem tersebut dan dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Sehingga apa yang diharapkan dari pengajaran bahasa Arab dalam batas-batas minimal dapat tercapai dengan baik.
Problem kebahasaan antara lain meliputi:
  1. Problem Aswat Arabiyah
  2. Problem qowaid dan i,rab
  3. Problem Tarokib
Adapun problem non kebahasaan antara lain meliputi:
  1. Motivasi dan minat belajar
  2. Sarana belajar
  3. Kompetensi guru baik akademik maupun paedagogik, kepribadian dan social.
  4. Metode pembelajaran yang digunakan
  5. Waktu yang tersedia
Dari kedua problem di atas nampaknya yang paling dominant mempengaruhi berhasil tidaknya pembelajaran bahasa Arab adalah problem-problem non kebahasaan yang salah satunya adalah metode.
  1. Kata Kunci Yang Terkait Dengan Pembelajaran Bahasa Asing:
Ada tiga kata kunci yang perlu dipahami dengan baik dalam kaitan dengan pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing yaitu:
  1.  
    1. Pendekatan ( Al Madhol)
    2. Metode (Al Thariqoh)
    3. Teknik ( Al Tekniik)
Konsep ini yang ditawarkan oleh Edward Anthony. Sedangkan menurut Richards  juga ada tiga tetapi, dengan menggunakan istilah lain yaitu:
  1. Pendekatan
  2. Disain yang meliputi silaby, pemilihan materi, perumusan tujuan, dan penyediaan sarana belajar.
  3. Prosedur.
Metode menurut Richards merupakan payung. Ini berarti kalau kita bicara metode, maka pada saat yang bersamaan kita bicara ketiga hal di atas.
Metode pembelajaran bahasa nampaknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan atau al madhol apa yang mendasari seseorang terhadap persepsinya tentang bahasa: Banyak sekali asumsi tentang bahasa misalnya : Bahasa adalah kebiasaan (al- ‘adah) dan kebiasaan membutuhkan pengulangan dan pembiasaan. Asumsi lain mengatakan bahwa bahasa adalah hebit (al-malakah) sedang tulisan hanyalah symbol. Yang lain mengatakan bahasa adalah apa yang diucapkan dan bukan apa yang seharusnya diucapkan. Masih banyak lagi asumsi-asumsi lain menyangkut bahasa yang dari asumsi itu melahirkan cara baik cara belajar maupun cara mengajar. Dari sini para pakar mengatakan bahwa pendekatan adalah sejumlah asumsi tentang bahasa. Dengan ungkapan yang sederhana dapat dikatakan bahwa bila asumsi oarng tentang bahasa adalah lisan maka ia akan mengajarkan bagaimana keterampilan berbahasa harus dicapai dan materi apa yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Sebaliknya bila asumsi orang tentang bahasa adalah yang tertulis atau tulisan, maka yang akan diajarkan adalah bagaimana memahami yang ditulis.
Saat guru mengajar di kelas baik pendekatan, maupun metode tidak akan nampak, karena keduanya menyatu di dalam seni mengajar atau teknik mengajar. Walaupun demikian guru bahasa harus berbekal dengan kompetensi akademik yang di dalamnya adalah penguasaan metode, penguasaan materi, dan pemahaman tentang berbagai pendekatan.
  1. Teori Yang Mendasari Metode
Ada kategorisasi tentang metode yaitu: metode tradisional seperti metode qowaid dan terjemah, dan kedua metode modern. Kategorisasi ini didasarkan pada ada tidaknya teori yang mendasari metode .
Ada dua kerangka teori yang mendasari sebuah metode sehingga ia disebut modern yaitu:
  1. Teori Linguistik yakni teori tentang bahasa itu sendiri.
  2. Teori Psikologi Pembelajaran Bahasa.
Kedua landasan teori itulah yang digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran bahasa.
Teori psikologi pembelajaran bahasa menegaskan bahwa orang belajar bahasa harus dengan stimulus-respon. Ini artinya belajar bahasa menuntuk keaktipan pembelajar. Namun, apa yang disebut stimulus tidak harus datang dari pihak luar atau dari orang lain, melainkan bisa diciptakan oleh pembelajar sendiri.
Teori psikologi pembelajaran bahasa ada beberapa aliran atau madzhab antara lain:
  1. Madzhab Behaviorisme yang tokohnya antara lain : Thorndike yang berpandangan bahwa belajar bahasa dilakukan dengan teori trial and error yang bisa dilakukan oleh guru dengan melatihkan pembelajar secara berulang-ulang. Ini menuntut guru harus pandai merekayasa lingkungan pembelajaran. Atas dasar pandangan inilah muncul metode al-samiyah syafahiyyah (aural oral approach). Yakni metode yang melatihkan kemahiran pendengaran dan kemudian melatihkan pengucapan secara baik dan benar. Metode ini menitik beratkan pada kegiatan reinforcement atau al-ta’ziz, yang medianya bisa menggunakan media tadribat, menghafal kosakata, dialog dan latihan pola-pola kalimat.
  2. Madzhab Kognitif yang menyatakan bahwa lingkungan bukanlah penentu hasil pembelajaran. Pembelajar pada saat menerima stimulus mempunyai hak untuk menentukan pilihan respon yang sesuai. Pengikut madzhab ini adalah Noam Chomsky yang berpandangan bahwa setiap orang memiliki kesiapan fitrah untuk belajar bahasa. Sejak lahir setiap oaring telah dibekali Allah SWT piranti pemerolehan bahasa (jihaz  iktisab al-lughah). Karena itu dalam hal berbahasa ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu (1) ta’allum al-lughah dan (2) iktisab al-lughah)
Teori linguistik atau teori kebahasaan yang turut mendasari lahirnya metode dan perkembangannya. Teori kebahasaan ini mendasari cara pandang terhadap hakikat bahasa. Dari teori ini lahir dua aliran atau madzhab:
  1. Aliran Struktural yang dipelopori oleh Ferdinan de Saussure . Menurut aliran ini bahasa adalah :
    1. Ujaran (lisan) dan bukan tulisan.
    2. Kemampuan bahasa diperoleh melalui latihan pembiasaan dan pengulangan. Jadi bukan mengalihkan dari bahasa pembelajar ke dalam bahasa target(BT)
    3. Tiap bahasa mempunyai system yang berbeda dari yang lain.
    4. Tidak ada bahasa yang bisa dinyatakan unggul atas bahasa yang lain
    5. Semua bahasa yang hidup mengalami perkembangan baik kosa kata maupun pola dan strukturnya.
    6. Sumber baku bahasa adalah penutur bahasa tersebut. Dari sinilah muncul ungkapan “ bahasa adalah apa yang diucapkan dan bukan apa yang seharusnya diucapkan.”
Proses pembelajaran bahasa menurut aliran struktural ini adalah :
  1. Pembiasaan, latihan dan menirukan harus diintensifkan
  2. Kemahiran berbahasa harus dimulai dari mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
  3. Pendekatan pembelajaran bahasa bisa memanfaatkan analisis kontrastif (dirasah taqabuliyah) untuk mencari sisi kesamaan antara bahasa pembelajar dengan bahasa target dan mencari perbedaan-perbadaannya.
  4. Perlunya contoh penuturan yang fasih menyangkut bunyi-bunyi, termasuk yang  harus dibaca panjang dan pendek. Juga kefasihan struktur agar tidak terkesan mengarabkan struktur Indonesia.
Dari dasar kedua teori baik linguistik maupun teori psikologi pembelajaran bahasa inilah muncul metode audiolingual.
  1. Aliran Generatif-Transformasi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Noam Chomsky.
Menurut teori ini bahasa itu terdiri dari dua struktur yaitu struktur dalam (al-bina al-asasy) dan struktur luar (al-bina al-dhahiry). Misalnya ketika orang mengatakan “ Al-muwaddhof ?                           Itu sama dengan kalau ia mengatakan “ hal anta muwadhof ?
Selanjutnya menurut Chomsky kemapuan seseorang dalam berbahasa ada dua macam yaitu kompetensi ( al-kafa’ah) dan performasi (al-ada’). Ini artinya kemapuan seseorang dalam hal berbahasa antara kompetensi dengan performansi berbeda dan tidak berbanding lurus.Kemampuan al-ada’ lebih rendah dari kemampuan kompetensinya, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulisan.
Menurut Chomsky kemampuan seseorang tentang tatabahasa baru brada pada kompetensi linguistic belum pada kemahiran berbahasa. Memang kemampuan seseorang dalam berbahasa pun dapat dibedakan menjadi :
  1. Kemapuan berbahasa sekedar dapat dipahami “ Al-lughoh al-mufahhamah
  2. Kemampuan berbahasa fasih” Al-lughoh al-fasihah
  3. Kemapuan berbahasa indah Al-lughoh al balighoh
Berdasarkan teori transformasi generatif, maka pembelajaran bahasa dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Bahwa kemampuan berbahasa merupakan sebuah proses kreatif. Karena itu pembelajar harus diberi kesempatan yang luas untuk mengkreasi ujaran-ujaran dalam situasi komunikatif, bukan sekedar menirukan dan verbalisme.
  2. Pemilihan materi tidak ditekankan pada hasil analisis kontrastif melainkan pada kebutuhan komunikasi.
  3. Kaedah nahu hanya diberikan bila diperlukan dan lebih bersifat implicit untuk mendukung kemahiran berbahasa.
  1. Bagaimana Mengajarkan Struktur Yang Baik
Pertu diingat bahwa qowaid termasuk di dalamnya tentang strukur atau tarakiib bukan lah tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan “ Al-qowaid laisat ghayah wa innama hiya wasilah li al-wusul ila al-ghayah”. Karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa” Dalam mengajarkan struktur di bawah payung all in one sitem pengajaran struktur diajarkan secara implicit karena tujuannya adalah untuk mendukung kemahiran berbahasa. Maka yang perlu dipahami adalah misalnya srtuktur ismiyah itu mulai dari mana? Dan hingga batas mana kemampuan yang ingin dicapai?
Memang secara teori struktur dapat diajarkan melalui pendekatan dedutif yaitu mulai dari kaedah baru kemudian memberi contoh-contoh. Tapi contoh-contoh inilah yang nantinya dilatihkan. Karena itu contoh yang ditampilkan harus bahasa yang komunikatif. Pendekatan yang lain adalah pendekatan induktif yang dimulai dengan contoh-conth baru pembelajar diminta untuk memberi kesimpulan kaedahnya.
Pembelajaran struktur implicit untuk mencapai kemahiran berbahasa dapat menggunakan beberapa media antara lain:
  1. Qowalib yakni dengan cara mengganti satu kata, tetapi strukturnya masih sama  misalnya:
هذا ولد ذكى                                                                 هذه  —- —–  (بنت(
هذا   ——– –    (تلميذ (
هذا تلميذ مجد     ( مجد ) ة
Dengan model Tahwil yakni mengubah bentuk, misalnya dari ismiyah menjadi fi’liyah atau sebaliknya, dari mubtada muqaddam menjadi mubtada muakhar dst.Misalnya :
( فعلية )     يذهب احمد إلى المدرس
( اسمية )    احمد يذهب إلى المدرسة
(منفى )      لا يذهب المدرس إلى المدرسة
  1. Kesimpulan
Penyelesaian Problem pembelajaran bahasa Arab khususnya dan bahasa asing umumnya belum mencapai tingkat keberhasilan yang memadai. Banyak faktor yang menyebabkannya,  salah satunya adalah persoalan metode pembelajaran yang digunakan. Walaupun demikian metode hanyalah salah satu dari banyak faktor dan metode pada saat digunakan terkait dengan faktor-faktor lain, seperti sarana belajar, lingkungan belajar, motivasi , kompetensi guru dan profesionalismenya.
Maka untuk membenahi itu semua hal yang harus dilakukan adalah pembenahan terhadap kompetensi dan profesionalisme guru mulai dari jengjang pendidikan  paling rendah hingga tingkat tinggi. Di samping itu paradigma pembelajaran bahasa Arab harus diubah dari sekedar sebagai alat spiritualisasi menjadi alat saintifikasi dan perubahan ini harus didukung dengan politik pemerintah baik Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim maupun pemerintah Negara-negara Arab yang mestinya memiliki semangat kuat untuk mengembangkan masyarakat muslim berbahasa Arab melalui pemberian bea siswa besar-besaran untuk study lanjut dan bahkan peluang bekerja di Negara-negara Timur Tengah dengan syarat memiliki kompetensi berbahasa Arab secara baik lisan maupun tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hajjaj, Al Lughah al-Lisaniyah Ta’limuha wa Ta’allumauh, Kuwait, 1988
Bambang, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Jogyakarta, Karnisius, 1990
Baraja, M.F, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa, Malang, IKIP Malang , 1990
Effewndy, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang, Penerbit          Misykat, 2005
Manshoer Pateda, Linguistik Terapan, Jogyakarta Penerbit Nusa Indah, 1991
Sri Utari, S. Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta , Gramedia Pustaka, 1993

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc