BAB   I
PENDAHULUAN

1.1. Panca Sraddha.
Dalam menyusun buku ini penulis berusaha agar alur penjelasannya sesuai dengan  dasar pengertian yang diajarkan oleh Agama Hindu, oleh sebab itu penulis mendasari uraian ini sesuai dengan kepercaayaan yang dianut oleh pemeluk Agama Hindu, terutama di Bali dan Jawa karena yang diuraikan menyangkut wayang versi Bali dan Jawa.
Agama Hindu memiliki lima dasar kepercayaan yang disebut Panca Sraddha,yaitu :
1.    Brahma Sraddha atau Widhi Sraddha yaitu percaya dengan adanya Tuhan (Hyang Widhi)
2.    Atma Sraddha yaitu percaya dengan adanya Jiwa (Atman atau Atma)
3.    Karmaphala Sraddha yaitu percaya adanya hokum sebab-akibat.
4.    Punarbhawa  Sraddha yaitu percaya adanya samsara atau kelahiran berulang-ulang.
5.    Moksa Sraddha yaitu percaya adanya kebebasan abadi atau manunggaling kawula lawan Gusti.
Kelima sraddha tersebut di dalam pewayangan Jawa biasa disebut Kalima Sada, yaitu jimat yang dikuasai oleh Prabu Puntadewa maharaja di Amertapura)..
                                                                                                    
1. 1. 1. Brahmana Sraddha.
Sabagaimana agama-agama lain yang lahir belakangan, yang menyatakan percaya dengan adanya Tuhan, maka demikian juga dengan agama Hindu sebagai agama yang tertua di muka bumi percaya terhadap adanya Tuhan. Istilah kepercayaan terhadap adanya Tuhan dalam bahasa agama Hindu dikenal dengan istilah Brahma Sraddha. Sesuai dengan keagungan nama Tuhan, maka tidak ada nama yang menyamai nama-Nya. Namun untuk kepentingan memuja kepada Nya, maka kepada-Nya segala nama yang menunjukkkan keagungan dan kemahaan-Nya dapat diberikan berbagai macam nama, antara lain : Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Murba-amisesa, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Parameng Kawi, Sang Hyang Murbeng Dumadi, Sang Hyang Sangkan-Paran, Sang Hyang Kawekas, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Narayana dan masih banyak lagi nama-nama yang dapat diberikan kepada Nya, karena semua nama adalah nama-Nya (sahasanam atau juga saravanam) oleh sebab itu Tuhan Yang  Tunggal, walaupun Beliau itu Esa namun dalam ajaran Hindu nama Tuhan tidak harus disebut hanya dengan satu nama. Beliau boleh disebut dengan berbagai macam nama sesuai aspek kemahakuasaann-Nya, sebagaimana ungkapan dalam Veda mengatakan : “eko narayanad nadvityo’sti kascit” artinya Tuhan itu satu tidak pernah ada dua-Nya. “Ekam sat viprah vahuda vadanti” artinya Tuhan itu satu tapi orang bijaksana menyebut dengan banyak nama. 

1. 1. 2. Atma Sraddha.
Kepercayaan atau keyakinan yang kedua dalam agama Hindu adalah percaya terhadap adanya Atman (Atma, Nyawa). Semua makluk hidup mempunyai Atman (nyawa atau juga kerap disebut jiwatman).  Dalam dunia pewayangan, wayang yang masih di dalam gedog (kotak, peti) dipandang dalam keadaan   mati (belum lahir), tetapi setelah dipegang oleh ki Dalang dan dimainkan, barulah wayang tersebut seolah-olah diberi Atman dan menjadi hidup, sehingga bisa bergerak dan bicara. Asumsi itu memberikan pengertian bahwa Atman itu sifatnya langgeng, sesuai dengan sifat Tuhan, sedangkan raga wadag (jasmani) sifatnya sementara. Raga wadag adalah alat bagi Atman untuk melihat, merasa, mencium, berkata, berpikir dan lain-lain ; sehingga apabila raga wadag sudah rusak tidak dapat digunakan lagi oleh Atman. Apabila orang mati, maka yang mati (rusak) adalah raganya saja , sedangkan Sang Atman pergi meninggalkan raga, menuju alam Atman, yang diyakini bahwa apabila dalam penjelmaan sebagai manusia berlaku buruk terus, maka Atman itu akan berawa di sorga (swarga loka) dalam waktu relatif singkat dan Atman akan lebih lama berada di dalam neraka (naraka loka).   . 
1. 1. 3. Karmaphala Sraddha.
Karma yang berasal dari akar kata kr yang artinya kerja, karya, kardi , gawe.. Karma itu pada setiap orang berada pada tiga tempat,yaitu: dalam pikiran, dalam perbuatan dan dalam ucapan. Semua makhluk yang ada di jagad raya ini bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dan dari aktivitas kerja itu  kemudian  mendapatkan hasil sesuai dengan usaha yang dilaksanakan, hasil kerja itu disebut karmaphala.  (phala  = hasil). Matahari bekerja menyinari bumi, menimbulkan panas dan hasilnya tumbuh-tumbuhan bisa hidup. Anak-anak  yang rajin belajar mendapat nilai baik, sedangkan. anak-anak yang malas belajar akan mendapatkan  nilai yang jelek; demikian pula kucing yang mencuri lauk-pauk bila ketahuan akan dipukuli oleh yang memeliharanya. Hasil kerja dapat dinikmati sekejap sesudah pekerjaan dilakukan atau lama sesudah pekerjaan dilakukan :
Pencuri dapat menikmati hasil curiannya satu hari setelah mencuri dan sepuluh hari kemudian ditangkap polisi dan ditahan; Petani menamam jagung memetik buahnya setelah tiga bulan, tetapi apabila menanam kelapa akan memetik hasilnya setelah tiga tahun. Hukum karma tetap berlaku di mana saja dan kapan saja, pelaku atau  keturunannya adalah pasti akan memetik hasilnya (phala-nya), sebagai contoh : Kalau kita main bola sodok (bilyard), kita menyodok bola putih untuk dikenakan kepada  bola nomor satu, maka bola nomor satu lari kesana-kemari  dan akhirnya mengenai  (membentur) bola putih lagi. Berhubung di meja belyard terdapat banyak bola, maka apabila bola putih mendorong bola nomor satu, maka oleh bola nomor satu diteruskan ke bola nomor 2 dan seterusnya, yang akhirnya bola nomor 9 mengenai bola putih lagi. Begitu pula kiranya kejadian-kejadian di masyarakat yang terdiri dari banyak anggotanya. Inilah konsep karma yang mirip dengan rumus aksi-reaksi dalam hukun Newton. Konsep karma adalah konsep pasti tidak dapat diingkari, tidak dapat ditawar. Itulah sebabnya Sri Krisna dalan Bhagavadgita mengatakan : “Kewajiban manusia hanya bekerja, bukan pada harapan akan hasilnya. Sebab hasil perbuatan itu adalah pasti”.
Jadi seyogyanya setiap orang (kita) menyadari bahwa apabila ingin memberikan sesuatu kepada seseorang jangan hanya karena motif untuk mengharapkan balasan dari orang tersebut. Perbuatan baik yang dilakukan terhadap seseorang walaupun tidak mendapat balasan langsung dari orang tersebut, akan ada orang lain yang memberikan sesuatu kepada kita. Begitu pula apabila kita berbuat baik atau buruk kepada seseorang, hasilnya adalah pasti. Oleh sebab itu orang tidak perlu ragu dalam berbuat kebajikan, sebab hasilnya sudah pasti.   

1. 1. 4. Punarbhawa Sraddha.
Menurut keparcayaan Agama Hindu, orang yang mati tetapi belum sempurna (masih terikat pada keduniawian) Atman-nya akan menjilma kembali (menitis) ke makhluk lain. Orang Jawa menyebut pindah kurungan, yaitu seperti burung dalam sangkar apabila sangkarnya rusak, burung tersebut dipindah ke sangkar lain. Menurut kepercayaan Agama Hindu , orang yang mejilma kembali akan mendapatkan tempat sesuai dengan karma-nya masing-masing. Dengan demikian kepercayaan ini memberi dorongan kepada umat manusia untuk berbuat baik, agar ketika menjilma kembali mendapatkan tempat yang baik dan menjadi orang yang baik.

1. 1. 5. Moksa Sraddha.
Moksa juga disebut kembali ke asal. Apabila seseorang yang meninggal sudah tidak mempunyai hutang kebaikan atau keburukan serta tidak terikat lagi oleh masalah kedunawian (kebendaan), maka orang tersebut akan kembali ke asalnya dan tidak akan lahir lagi (tidak menjilma lagi) yang disebut moksa.

Dari ke lima macam kepercayaan ini kita didorong untuk selalu ingat (eling) kepada Tuhan dan harus berbuat baik, membebaskan diri dari keterikatan keduniawian, karena keterikatan diri dengan keduniawian menimbulkan susah dan senang (suka dan duka) yang sifatnya sementara (tidak langgeng).


1.2.  Ciptaan Tuhan.
Selain percaya kepada Panca Sraddha tersebut, pemeluk agama Hindu juga percaya kepada adanya ciptaan Tuhan yang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu yang bersifat Dewa, yang bersifat Buta dan yang bersifat Nyata (dapat dirasakan oleh panca indra).
Dewa dari akar kata div yang berarti sinar atau terang dan Bhuta yang berarti gelap (buteng) dan  keberadaan kedua kelompok makluk tersebut tidak dapat dirasakan dengan panca indra, tetapi dapat dirasakan dengan batin. Dewa dirasakan sebagai makhluk yang membantu manusia dalam menuju kebaikan, sedangkan Bhuta mengganggu manusia untuk diajak menuju kejelekan, Sedangkan makhluk  Nyata yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah makluk yang bisa dimanfaatkan manusia untuk tujuan kebaikan dan tujuan keburukan.

1. 2. 1. Konsep Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Dalam konsep yang lebih luas tentang dunia beserta isinya, maka makhluk-makhluk nyata yang ada di dunia ini disebut dengan Bhuana Alit, sedangkan dunia atau jagat raya ini disebut dengan Bhuana Agung.  Konsep Buana Agung dan Bhuana Alit ini mampu untuk memahami semua konsep keberadaan.  Di dalam cerita pewayangan kita sering mendengar cerita melalui ki Dalang tentang adanya Tri Buwana serta pembagian Buwana Alit dan Buwana Agung.
Dalam membahas masalah ini Buwana Alit dan Buwana Agung dipandang dari dua segi, yaitu dari segi kejiwaan dan dari segi keduniawian. Yang dimaksud dengan segi kejiwaan adalah bahwa semua itu hanya dapat dirasakan dengan indra yang lebih halus, sedangkan segi kedunawian berarti dapat dirasakan dan dilihat secara fisik.
             
( 1 ). Pndangan Kejiwaan.
Dari segi kejiwaan (hanya bisa dirasakan dalam mata batin) buwana alit dan buwana agung dapat dirasakan sebagai berikut :

a. Buwana Agung.
Sang Hyang Tunggal (Hyang Maha Kuasa) dalam memegang kekuasaan-Nya berwenang melingkupi tiga dunia, yaitu : Alam Marcapada (alam nyata kasat mata) yaitu alamnya Atman pada waktu memakai jasad kasar, disebut : Bur Loka
Alam Kadewatan yaitu alamnya Atman pada waktu tidak memakai jasad kasar, disebut : Bhuah Loka. Dalam dunia pewayangan biasa disebut Ari Loka
Sedangkan alam Sang Hyang Tunggal sendiri, sebagai Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan Maha Pemusnah yang sifatnya tan kena kinaya ngapa disebut : Swah Loka.

b,. Bhuana Alit
Di dalam diri manusia ada tempat bersemayamnya jiwa atau kekuatan yang dapat kita rasakan atau sadari (apabila kita mau mempelajarinya) yaitu: pada waktu kita berpikir, kesadaran (pikiran) kita terpuasat pada suatu masalah (pekerjaan), jiwa kita seolah-olah tertumpu di pikiran atau otak, tempat ini disebut Indra Loka. Ditempat ini kita membayangkan kebahagiaan, kesenangan dan kesusahan yang bersifat material (kebendaan) dan datangnya disebabkan kita memikirkan masalah duniawi.
Pada waktu kita bersemadi, duduk hening sekali, kita melupakan keduniawian dan menuju ke Sang Hyang Tunggal , tempat ini disebut Giri Loka. Di tempat ini kita membayangkan dan menyerahkan diri sepenuhnya ke hadapan Sang Hyang Wenang, sehingga kila lupa segala hal yang bersifat keduniawian, tetapi tidak tidur, tidak mabuk dan tidak gila.
Pada waktu kita sanggama, hening sekali, kita melupakan keduniawian, tetapi tidak menuju ke Sang Hyang Agung dan tidak tidur, tempat ini disebut Jana Loka.



( 2 ). Pandangan Kedunawian.
Dari segi keduniawian yang artinya dapat kita rasakan dengan panca indra, bhuana agung dan bhuana alit sebagai berikut :

a. Buwana Agung.
Buwana Agung mencakup seluruh alam semesta di mana antara satu bagian dengan bagian saling berhubungan dan tidak terpisahkan.
Seabagai contoh : Apabila kita berbicara melalui pesawat telepon, kita tidak dipisahkan oleh kabel, tetapi dihubungkan oleh kabel. Contoh lainnya apabila kita melihat bulan, kita tidak dipisahkan oleh sinar, tetapi dihubungkan oleh sinar. Contoh lainnya lagi : Apabila hutan dibabat habis sampai gundul, kalau ada hujan deras menyebabkan banjir, karena air tidak dapat terserap ditanah.
Bhuana Agung diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dengan unsur-unsur yang nyata yaitu : tanah, air, udara, api dan kosong (kekosongan)atau disebut Panca Maha Bhuta.

b. Bhuana Alit
Bhuana Alit adalah dunia tiap-tiap individu (orang per orang), yang didalamnya masih terdiri dari dunia-dunia yang lebih kecil, yang mempunyai hubungan satu sama lain dan mempunyai karasteristik serta kekuatan tersendiri. Dalam hal ini kita membatasi yaitu yang dimaksud dengan buwana alit adalah diri pribadi manusia.
Yang perlu diingat yaitu bahwa Bhuana Agung dan Bhuana Alit ada di dalam kekuasaan dan pengendalian Sang Hyang Murba-amisesa (Sang Hyang Widhi).
Jadi apa yang terjadi di bhuana agung mirip dengan yang terjadi di bhuana alit. Sebagai contoh :Di bumi ada gunung meletus, banjir dan kebakaran, maka di badan seseorang ada bisul meletus, sakit kencing manis, atau banyak keringat, dan dadan terasa panas dingin (demam). Di masyarakat ada organisasi penjahat yang merusak tatanan masyarakat dan di badan juga terdapat napsu jahat yang merusak pribadi seseorang
Bhuana Alit diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dengan unsur-unsur yang nyata yaitu : tanah, air, udara, api dan kosong (kekosongan) atau disebut Panca Maha Bhuta.
Gunungan
BAB  II
TAT TWAM ASI

2.1.  Tata Twam Asi Swbagai Wujud Puncak Kesadara,
Dari bab di depan telah diuraikan bahwa semua isi alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, sehingga hak dan kewajibannya sesama ciptaan itu dihadapan Tuhan adalah sama. Semua makhluk diberi jasad yang berbeda-beda namun Atman yang sama. Jadi sesungguhnya makhluk itu ada dari proses yang sama yaitu : lahir (utpeti), lalu hidup (sthiti) dan mati (praline).
Berdasarkan kesadaran terhadap hakekat keberadaan dari setiap makhluk itu memiliki proses, tahap dan asal keberadaan yang sama, maka hal itulah yang menyebabkan munculnya puncak kesadaran terhadap axas yang ada dibalik semua unsure keberadaan. Kesadaran inilah yang kemudian tercetus menjadi kalimat : “Kau sesungguhnya sama dengan aku, aku sama dengan dia, dia sama dengan kau” yang biasa disebut Tat Twam Asi.
Berdasarkan pandangan di atas, maka muncul suatu ajaran yang mengatakan bahwa; jika kamu merasa sakit dicubit, maka hendaknya kamu jangan mencubit orang lain. Selanjutnya muncul yang lebih lanjut, jangan menghina makhluk lain, sebab sesungguhnya semua itu sesungguhnya ciptaah Tuhan, walaupun keberadaannya berdeda-beda, ada yang kaya, buruk wajah, cantik,ganteng dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan wujud dari keadilan hukum karma yang diciptakan Tuhan. Kesadaran semacam ini sesungguhnya juga terdapat dalam tembang Jawa, pupuh Dandanggula, sebagai berikut :
Tetandingan ing donya puniki
Jalu estri bodo lawan limpat
Ing ngisor lan ing duwure
Pan surya candra iku
Tan beda lan segara hardi
Ana swarga ana nraka
Siang tuwin dalu
Upama dirasakena
Ta sira kabeh pada bisa mangerti
Manungsa mung sadrema
Perbandingan di dunia ini
Laki-perempuan, bodoh dan pintar
Di bawah dan di atas
Serta matahari dan bulan
Tidak berbeda laut dan gunung
Ada Surga ada Neraka
Siang dan malam
Seumpama dirasakan
Toh enkau semua bisa mengerti
Manusia hanya sekedar menerima

3.2. Kesadaran Tat Twam Asi dan Slogan Aja Dumeh.
Kalimat filosofis yang pendek berupa kata-kata Tat Twam Asi ini memberikan inspirasi yang luas kepada manusia untuk mewujudkan sifat-sifat luhur yang dimiliki oleh manusia baik secara perorangan maupun tindakan kolektif. Dalam diri setiap orang muncul kesadaran tentang belas kasihan terhadap orang lemah, orang tidak mampu dan tidak berdaya. Sedangkan dalam kesadaran kolektif muncul organisasi-organisasi sosial yang memiliki kesadaran dan tanggungjawab sosial yang sangat tinggi. Hal ini sangat nyata sebagaimana kita lihat adanya organisasi SAR, organisasi PMI, organisasi penyelamatan terhadap korban bencana, organisasi pemberi bantuan terhadap wabah penyakit, busung lapar dan sebagainya. Dalam bentuk kesadaran kolektif formal kota mengenal Departemen Sosial dengan slogan “Tat Twam Asi”. Selanjutnya  hakekat slogan Tat Twam Asi ini juga memberi inspirasi munculnya semboyan “Aja dumeh”, seperti :     
--Aja dumeh dia orang miskin, jangan kamu hina, siapa tahu dikemudian hari anaknya menjadi orang kaya dan kamu akhirnya menjadi pesuruh.
--Aja dumeh dia orang desa yang buta huruf, jangan disepelekan, siapa tahu dikemudian hari anaknya ada yang menjadi Presiden.
--Aja dumeh kamu jadi pejabat, jangan sewenang-wenang orang di sekelilingmu, siapa tahu anakmu jadi morfinis.
--Aja dumeh kamu berkuasa (merampas hak orang lain), siapa tahu anakmu nanti jadi buronan polisi.

Pandangan Tat Twam Asi dengan kata-kata yang pendek ini memberikan inspirasi mumculnya kesadaran kemanusiaan yang bersifat universal. Adanya kesadaran bahwa seluruh umat manusia itu adalah bersaudara. Karena pandangan Tat Twam Asi inilah maka muncul semangat gotong royong dan sikap welas asih terhadap semua makhluk, Sikap ini menuntut agar kita  tidak membenci terhadap apapun yang terjadi di dunia ini. Tat Twam Asi pada akhirnya memunculkan puncak kesadaran manusia bahwa semua ciptaan diciptakan, dipelihara dan dimusnahkan  oleh Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)..

--o--

























BAB  III
TRI HITA KARANA

3. 1. Kesadaran Tiga Dimensi.
Manusia hidup di Bhuana Agung selalu berhubungan dengan semua keberadaan lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lainnya, itu sebabnya manusia disebut sebagai makhluk social. Juga manusia tidak bisa lepas dari ikatan dengan Sang Pencipta, yang telah menyebabkan manusia ada di bumi, itulah sebabnya manusia disebut sebagai makhluk relegius, Selain itu pula manusia tidak bisa mengabaikan makhluk=maqkhluk lain sebagai pendukung lingkungan keberadaan manusia, itulah sebabnya manusia disebut makhl;uk spiritual. Pola tiga macam hubungan hubungan manusia menjadi konsep Tri Hita Karana, yaitu :
( 1 ) Hubungan manusia dengan Sang Hyang Tunggal,
( 2 ) Hubungan manusia dengan manusia,
( 3 ) Hubungan manusia dengan makhluk lain (lingkungan).
Berdasarkan kesadaran dan keyakinan  bahwa ketiga pola hubungan itu sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam meningkatkan kualitas manusia, maka manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara demikian banyaknya ciptaan, maka manusia menjadi teladan dalam mengungkapkan sara terima kasih. Ungkapan rasa terima kasih itu dapat diwujudkan melalui kata-kata maupun dalam wujud pemberian sesuatu materi, juga dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan, juga dengan cara lainnya sesuai dengan tujuan dan sasaran penyampaian ucapan terima kasih itu.

3. 2. Pernyataan Terima Kasih Kepada Tuhan.
Sampai saat sekarang berlaku di masyarakat pedesaan, yaitu di waktu selesai panen raya , panen berlimpah, penduduk sehat-sehat, keadaan desa aman, maka penduduk setempat mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Jagadnata dengan membuat upacara yang diikuti dengan keramaian dan makan –makan (sasana andrawina dan bujana andrawina) yang biasa disebut Sedekah Bumi, Nyadran  atau Manganan
Pada waktu hamil tujuh bulan , pada waktu anak lahir, pada waktu anak lulus sekolah biasanya kita mengadakan upacara ucapan terima kasih kepada Sang Hyang Wenang.

3. 3. Pernyataan Terima Kasih Kepada Orang Lain.
Apabila kita mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, atas asung kerta wara nugraha-Nya, maka kita juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada sesama manusia, karena seseorang telah memberikan kenikmatan dan kesenangan kepada kita.Terima kasih kepada seseorang kadang–kadang berupa ucapan dan kadang-kadang berupa hadiah.

4. 6. Pernyataan Terima Kasih Kepada Makhluk Lain.
Selain kepada Tuhan dan kepada sesama manusia, kita juga mengucapkan terima kasih kepada makhluk lain, karena makhluk lain tersebut bermanfaat dan memberi kenikmatan kepada kita. Ucapan kepada makhluk lain disampaikan dengan melaksanakan upacara, sebagai contoh :
(a). Upacara Wiwit yaitu upacara yang dilakukan oleh petani pada waktu mulai menuai padi.
(b). Upacara Gumbregan yaitu untuk hewan piaraan
(c). Upacara Melabuh yaitu upacara yang dilakukan oleh nelayan karena telah berhasil mendapatkan ikan.
Dewa Brahma Manifestasi Tuhan Sebagai Pencipta
BAB  IV
CATUR  WARNA

4. 1. Catur Warna Sebagai Inspirasi Masyarakat Profesional.
Dalam dunia pewayangan dijumpai adanya pembagian masyarakat menurut fungsinya, yaitu :                       
(1).  Golongan Brahmana
(2). Golongan Ksatriya
(3). Golongan Waisya
(4). Golongan Sudra
Pembagian masyarakat ini disebut dengan Catur Warna atau dalam bahasa yang kurang pas biasanya disamakan dengan Kasta. Dalam konsep aslinya pembagian profesi masyarakat dalam ajaran Hindu hanya empat macam sebagaimana uraian di atas. Tetapi dalam pengertian lain konsep catur warna yang berasal dari Veda, kemudian diasumsikan sama dengan konsep kasta yang berasal dari Barat. Oleh sebab itu di dalam masyarakat terdapat lagi satu golongan diluar kasta yaitu apa yang disebut dengan golongan Paria.
Pembagian masyarakat seperti di atas itu adalah pembagian yang bersifat fungsional dan pada hakekatnya tidak ada orang yang dapat menolak pembagian masyarakat tersebut. Sebab fakta social menunjukkan bahwa tubuh masyarakat tersebut terdiri dari empat macam fungsi tersebut. Pembagian fungsi masyarakat di atas sesungguhnya sebagai bentuk pembagian yang rasional sesuai fakta. Apabila seluruh masyarakat melaksanakan fungsi brahmana (rohaniawan, pembimbing spiritual, guru, dosen), maka tidak akan ada yang dibimbing. Dalam masyarakat mesti ada yang membimbing dan yang dibimbung. Juga kalau masyarakat menjalankan fungsi ksatria (pembela, pelindung negaradan pelindung yang lemah), maka tidak ada yang melaksanakan bimbingan rohani, tidak ada yang menghidupkan perekonomian Negara, tidak ada yang melaksanakan pekerjaan pekerjaan tangan (kasar).  Demikian pula jika semua orang dalam masyarakat menjalankan fungsi waisya (bidang perekonomian), maka kerohanian tidak ada dan keamanan tidak ada, serta tranprotasi barang dan jasa juga akan toidak ada. Itu berarti dunia juga akan hancur karena sistem social akan berhenti. Oleh karena itu konsep warna adalah konsep brelian yang setara dengan teori sistem dan teori fungsi.   
Konsep warna adalah konsep pembagian secara fungsional karena orang yang hidup dalam masyarakat mempunyai tugas pekerjaan (fungsi) yang berbeda. Pembagian ini tidak berlaku bagi anak-anak yang hidupnya masih ikut pada orang tuanya atau belum memiliki pekerjaan sebagai profesinya.
Dengan demikian dalam masyarakat ini pada garis besarnya terdapat pembagian fungsional (disadari atau pun tidak oleh orang yang bersangkutan), sesungguhnya mereka terbagi menjadi :
(1).Golongan yang mengajarkan atau yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan (pendidik), golongan ini disebiut Brahmana.
(2).Golongan yang memegang pemerintahan, yang berkecimpung di dalam dunia pemerintahan (politik praktis), golongan ini disebut Ksatriya.
(3).Golongan interpreneur, yaiu golongan yang berkecimpung di dalam dunia perekonomian. Contoh-contoh tentang aktivitas golongan ini adalah :
a..Golongan yang pekerjaannya mengambil langsung dari hasil alam, antara lain: berburu, menangkap ikan di laut/sungai, mengambil hasil tambang  (Biasa disebut usaha extractif).
b..Golongan yang pekerjaannya bercocok tanam, memelihara ikan, beternak, (Biasa disebut usaha pertanian).
c..Golongan yang pekerjaannya mengolah hasil usaha extractif dan hasil pertanian untuk dijadikan lebih berguna (penambahan nilai). (Biasa disebut usaha perindustrian).
d..Golongan yang pekerjaannya memberikan jasa kepada pihak lain, antara lain perbankan, pengangkutan.(Biasa disebut usaha jasa).
e..Golongan yang pekerjaannya memperdagangkan hasil dari extractif, pertanian, perindustrian dan jasa. (Biasa disebut usaha perdagangan).
Golongan yang menopang perekonamian (lima macam) ini disebut Waisiya.

(4).Golongan yang membantu kelancaran tugas dari ketiga golongan tersebut, yaitu orang yang bekerja atas perintah golongan tersebut di atas, yaitu antara lain :
a.  Pembantu rumah tangga di ketiga golongan (Brahmana, Ksatriya dan Waisya).
 b.  Pembantu di tempat kerja dari ketiga golongan (Brahmana, Ksatriya dan Waisya)
Golongan ini disebut Sudra.

Bila dianalisis secara rasional dengan kejujuran intelektual  sesungguhnya apa yang disebut dengan Catur Warna itu adalah sesuatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Aktivitas masyarakat tidak akan lancer apabila tidak didukung oleh keempat golongan tersebut.

(5). Selain keempat golongan itu ternyata masih ada satu golongan lagi yang tidak mendukung jalannya perputaran roda masyarakat, bahkan menjadi beban masyarakat, yaitu :
a. Orang yang sedang sakit, tidak bekerja, pengemis.
b. Orang yang menodai warna-nya.
c. Orang yang pekerjaannya berjudi, pemabuk, pemadat, pencuri, pelacur dll.
Golongan yang tidak diperhitungkan awalnya (bolongan kelima) ini adalah apa yang oleh 0rang India disebut sebagai golongan Paria ( di luar warna).

4. 2. Hakekat Catur Warna Sebagai sebuah sistem Sosial..
Bila dikaji penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi masing-masing, maka kelima golongan itu dapat diasumsikan sebagaimana gambaran jari kita yang terdiri dari lima buah, yaitu :  Dalam dunia pewayangan dijumpai adanya pembagian masyarakat menurut fungsinya, yaitu :               
a. Ibu jari (jempol), melambangkan Brahmana, apabila menghormati seseorang atau menunjuk sesuatu untuk orang tua atau guru memakai ibu jari.
b. Jari telunjuk, melambangkan Ksatria, misalnya bila  Camat memerintah Kepala Desa, atau Lurah memerintah rakyat, mereka menggunaka telunjuk, walaupun mungkin orang yang diperintah lebih tua usianya, karena itu berlaku bagi pekerjaan dinas (pemerintah / negara).
c. Jari manis, melambangkan Waisya, apabila kaum pedagang dan petani mempunyai kekayaan harus di jaga baik-baik dan biasanya kekayaan itu disimpan dalam bentuk (asset, investasi),  dan harta benda berupa emas di taruh pada jari manis dalam bentuk cincin.
d. Jari kelingking, melambangkan Sudra, apabila pekerjaan yang tidak banyak memerlukan pikiran diseraahkan kepada jari kelingking. Bahkan bila kita menganggap suatu permasalahan itu hanya masalah kecil saja sering juga kita menunjukkan isyarat dengan menyentik jari kelingking.
e. Jari tengah, dalam kajian ini dianggap menjimbulkan tentang kelompok masyarakat di luar warna. Walaupun berada di luar warna tapi ia tetap menghendaki yang enak-enak saja, le3bih cenderung sembunyi-sembunyi.
Di dalam percaturan politik yang paling gethol hanya ada tiga golongan, yaitu : Brahmana, Ksatriya dan Sudra Hal ini dapat dijelaskan dengan suatu permainan adu jari (Suit), hanya memakai tiga jari, yaitu : ibu jari, telunjuk dan kelingking. Apabila ada pergolakan politik biasanya yang bertarung hanya pemegang pemerintahan (penguasa), kaum buruh dan kadang- kadang ikut campur golongan brahmana (kaum intelektual / cendikiawan), sedangkan golongan pedagang dan petani  tidak ambil pusing, apalagi yang tidak berwarna.
Keempat warna tersebut biasanya berusaha menghancurkan, mengekang atau menjahui golongan yang tidak berwarna, karena golongan tidak berwarna dianggap merusak atau mengganggu masyarakat, yaitu dengan cara : 
(1). Tidak bergaul dengan pencuri
(2). Tidak bergaul dengan pemabuk
(3).  Tidak bergaul dengan pelacur
(4). Tidak bergaul dengan penderita lepra, TBC dan AIDS.

4.3. Menghindari Pergaulan Dengan Orang=orang Tertentu.
Di Jawa ada ajaran (dalam bentuk tembang) yang bertujuan untuk mengajarkan agar menghindari pergaulan dengan golongan orang yang tidak memiliki warna, yaitu sebagai berikut :

(1). Jari manis kerkata :
Jentik-jentik penunggul patenana
(Kelingking, kelingking bunuhlah jari tengah).
(2). Telunjuk memberi komentar :
“ Aja dhi, aja dhi   dulur tuwa malati
( Jangan dik, jangan dik ,   saudara tua malati).
(3). Ibu jari memberi pendapat :
Bener, bener jenang ager-ager dirubung laler rasane ernak seger
( Benar, benar, jenang agar-agar yang dikerumuni lalat rasanya enak dan segar).

Jadi di sini kaum Waisya memerintahkan kepada kaum Sudra untuk menghancurkan golongan Paria (koroptor, pelacuran, perjudian dan lain lain).
Usul ini diberi komentar oleh pemegang kekuasaan (Ksatriya), bahwa hal itu tidak benar, karena korupsi, pelacuran, perjudian dan lain-lainnya itu merupakan saudara tua kita, yang keberadaannya sudah sejak dahulu kala, yaitu sejak adanya masyarakat, (maka dari itu lebih baik dibuatkan lokalisasi saja), karena pekerjaannya itu malati (menular), artinya :  Apabila anda mencemooh kepada perbuatan itu, jangan lupa pada suatu ketika anda dapat terseret dan mengikuti perbuatan yang anda kutuk itu, maka jangan coba-coba mendekat, lebih baik diberi tempat saja, tetapi di luar perkampungan.
Brahmana memberikan pendapat, bahwa keduanya sama-sama benar, tetapi ingat bahwa jenang agar-agar yang dijual di pinggir jalan, yang sudah dikerumuni oleh lalat (tidak sehat lagi), tetapi tetap mengiurkan dan ingin menyantapnya, dan kadang-kadang kita lupa bahwa di rumah sendiri telah disediakan agar-agar yang dijamin enak, sehat dan halal.      “ Aneh apa ora ? “

4. 4. Fluktuasi Catur Warna.
Secara sosiologis, orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya ingin agar derajat atau istilah lain kastanya dipandang orang semakin naik. Misalnya seorang tentara atau ABRI (ksatriya) jika sudah pensiun ingin menjadi Guru atau menjadi rohaniawan (Pandita / Begawan). Demikian juga seorang yang mulanya sebagai politisi, akhirnya ingin menjadi pengajar di bidang politik atau mengajarkan teori-teori politik. Selanjutnya seorang buruh ingin menjadi seperti majikannya dengan jalan membuka usaha sendiri di rumahnya; pada kenyataannya terhutung banyak jumlah orang yang berhasil seperti ini, dan bahkan jauh melampaui keberhasilan majikannya. Pada sisi lainnya seorang petani juga ingin jika anaknya suatu saat bisa masuk AKABRI dan lulus menjadi perwira TNI, atau diterima di AKPOL agar bisa menjadi perwira Polisi.
Memperhatikan motif setiap orang, sesungguhnya semua orang tidak ingin turun derajatnya (kastanya) di tengah-tengah masyarakat, sehingga di tengah-tengah masyarakat kerap kita dengar slogan : “biar kecil yang penting jadi bos” atau juga sering kita dengar istilah “yang penting jadi ketua, pemimpin, berkuasa dari pada sebagai orang besar tetapi menjadi pesuruh, pembantu atau kuli”, dan otrang tidak ingin turun ke golongan rendah (asor) yang disebut sebagai golongan paria.  Walaupun demikian, mesti disadari bahwa dunia ini berputar dan berfluktuasi tiada henti .  

--o—








BAB  V
SUSUNAN WAYANG

5.1. Babon Atau Sumber Cerita Wayang.
Wayang Purwa yaitu wayang yang ceritanya bersumber dari cerita epos Ramayana dan epos Mahabarata. Keduanya kitab epos tersebut dipandang kitab suci dalam agama Hindu, sebagai kitab Itihasa.
Pengajaran agama Hindu di Nusantara sejak kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di Nusantara dilaksanakan antara lain melalui media wayang. Selain itu pengajaran agama Hindu diajarkan melalui media seni lainnya sesuai dengan konsep desa, kala dan patra (tempat, waktu dan keadaan).
Wayang adalah merupakan bayangan atau gambaran dari kehidupan manusia dan alam semesta. Hal ini dapat ditembangkan dengan pupuh  Kinanthi  sebagai berikut :

Tembung wayang tegesipun
Jagad raya iku kelir
Iya blencong Sang Hyang Surya
Pan wayang wong kabeh iki
Tandha bumi iku gedog
Aran Dhalang iku Widhi

Kata wayang artinya
Kelir sebagai gambaran jagad raya
Blencong sebagai matahai
Wayang sebagai orang semua ini
Gedog (kotak) sebagai bumi
Dhalang sebagai Tuhannya

Sabanjure kabeh kemput
Upama lor kidul iki
Tan beda kulon lan wetan
Aran lelakon wong urip
Mahanani obah owah
Akarana saking Widhi


Selanjutnya semua tercakup
Seumpama utara selatan ini
Tidak berbeda barat dan timur
Sebagai jalannya orang hidup
Melaksanakan pergerakan
Karena dari Tuhan

5. 2. Tuhan Sebagai Pemberi Energi Pada Wayang.
Dalam dunia pewayangan Dalang merupakan simbol dari aktivitas Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Anggapan ini berasal dari permis-permis filsafat, sebagaimana dinyatakan bahwa manusia di dunia ini dapat melaksanakan apa saja hanya sebagai pelaku dari apa yang harus dilakukan sesuai dengan titah Hyang Widhi Wasa.  Dalam asumsi yang sama maka premis tadi dapat diperlakukan dalam dunia pewayangan, yaitu bahwa wayang dapat bergerak karena ki Dhalang  yang memberikan tenaga untuk menggerakkan, hal mana aktivitas pemberian tenaga tersebut analog dengan aktivitas Tuhan. Itulah sebabnya dalam dunia pewayangan Ki Dhalang diasumsikan sama dengan (Tuhannya) wayang. Jadi dalam dunia pakeliran Dhalang merupakan gambaran dari Sang Hyang Widhi yang berwenang memberikan gerak  kehidupan kepada wayang.
Berdasarkan susunan wayang di pakeliran dapat diuraikan beberapa hal sebagai bahan keterangan, sebagai berikut :
(1). Blencong.adalah lampu yang dipergunakan pada waktu pertunjukan wayang dilaksanakan pada malam hari.
(2).  Kelir.adalah kain putih yang lebar dibeber (dibentangkan) dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah.
(3). Debog adalah pohon pisang yang dipergunakan sebagai  tempat untuk menancapkan wayang disusun sedemikian rupa sehingga wayang dapat tertata rapi.
(4). Gedog adalah kotak untuk tempat wayang yang akan dimainkan dalam masa pertunjukan .
(5). Susunan wayang.
Sebelum wayang dimainkan terdapat wayang yang disusun secara rapi di pakeliran dan ada pula yang tersisa di dalam gedog (kotak).
Wayang yang disusun rapi di pakeliran sebagai berikut :
a.  Ada satu wayang yang dibungkus dengan kain putih, tidak pernah dibuka dan ditempatkan disebelah kanan, dekat gunungan.
b. Ada gunungan yang di dalamnya memuat gambar rumah, raksasa, banaspati, binatang-binatang, kolam dan pohon serta disebaliknya polos berwarna merah.
c. Wayang-wayang ditata rapi berjajar sebelah kiri dan sebelah kanan berurutan berdasarkan tinggi rendahnya wayang, yang sebelah kiri menghadap ke kiri dan yang disebelah kanan menghadap ke kanan.
d. Wayang disusun, di sebelah kiri atas disisipkan wayang Betari Durga dan disebelah kanan atas disisipkan wayang Batara Guru. Jadi kedua wayang ini tidak menancap di pohon pisang.

5. 3. Makna Perangkat-perangkat Wayang.
Berdasarkan susunan pakeliran dalam dunia pewayangan tersebut dapat dijelaskan makna-makna yang terdapat dalam beberapa perangkat wayang, sebagai berikut :
1)      Blencong atau lampu menggambarkan matahari (Sang Hyang Surya) yang menyinari alam semesta.
2)      Kelir menggambarkan jagad raya , maka dibagian atas kelir biasanya dihiasi dengan bintang dan bulan.
3)      Debog (pohon pisang) simbol tanah tempat kita berpijak.
4)      Gedog (kotak) menggambarkan bumi atau guwa garbha.
5)      Wayang yang dibungkus kain putih dan tidak pernah dimainkan (dibuka) menggambarkan Sang Hyang Widhi atau Mahadewa yang tidak mungkin dan tidak pernah akan tersingkap oleh manusia.
6)      Wayang gunungan simbol isi dunia yang terdiri dari: manusia, binatang melata, burung, ikan, makhluk halus (gandarwa, banaspati, bregasakan, peri perayangan), benda mati dan tumbuh-tumbuhan.Wayang gunungan di bagian belakang berwarna merah dapat dipergunakan sebagai lambang kobaran api, dahsyatnya air bah, dan kencangnya angin ribut.
7)      Wayang-wayang yang ditata si sebelah kanan (dengan wajah berwarna putih, kuning atau hitam) simbol adanya manusia yang berkelakuan baik dan disebelah kiri (dengan wajah berwarna coklat atau merah) simbol adanya manusia yang berkelakuan kasar (tidak baik).
8)      Wayang Betara Guru dan Betari Durga di atas wayang yang lain sebagai simbol bahwa semua kehidupan ini di bawah kekuasaan maut, yaitu semua yang hidup akan mengalami sakit, tua dan mati (pralaya, kembali ke asalnya). Semua makhluk akan diadili dan hasilnya berupa hadiah atau hukuman sesuai dengan karmanya masing-masing (karma phala).

--o--


Pertunjukan Wayang




BAB  VI
MACAM – MACAM  WAYANG

6.1.  Wayang Kedewataan.
Wayang Kedewataan adalah wayang yang menyebutkan nama Dewa-Dewa dan peranannya dalam kehidupan manusia. Dalam uraian ini penulis membagi dewa-dewa menjadi lima kelompok sesuai fungsinya terhadap kehidupan manusia. Lima kelompok tersebut adalah :
(1). Mahadewa
(2). Tri Murti
(3). Dewa-dewa penguasa alam
(4). Dewa penghubung
(5). Dewa di dunia manusia (marcapada).
Selain menerangkan mengenai kelompok wayang kadewataan, pada bagian uraian wayang kadewataan juga akan memuat cerita yang berhubungan dengan kadewataan, upacara yang dilakukan masyarakat berhubungan dengan kadewataan dan suatu ajaran yang mencontoh sifat-sifat dewa. Khusus mengenai upacara yang berhubungan dengan kadewataan tidak disebutkan macam sesajinya, karena sesaji dibuat berbeda untuk masing-masing daerah , sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra).

6.2.  Wayang Bhuta.
Pada umumnya orang menafsirkan bahwa raksasa sama dengan bhuta. Di dalam cerita pewayangan sesungguhnya raksasa tidak sama dengan bhuta, arena yang dimaksud dengan raksasa adalah orang (makhluk) yang besar, kuat dan sifatnya kasar seperti bhuta. Sedangkan bhuta adalah sifat-sifatnya, tetapi karena sudah salah kaprah maka raksasa disamakan dengan bhuta.   Selain raksasa dan bhuta terdapat wayang yang digolongkan sebagai drubhiksa, yaitu makhluk halus yang menempati daerah tertentu. Penggunaan wayang untuk menggambarkan golongan raksasa, bhuta dan drubhiksa biasanya digunakan wayang yang sama, hanya raksasa yang menjabat sebagai raja atau patih dan anak raja yang disiapkan dengan wayang tersendiri.

6.3.  Wayang Ramayana.
Cerita (epos) Ramayana yang asli dari India ditulis oleh Maha Rsi Wamilki sudah banyak mengalami penterjemahan , baik dalam bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Baru, bahasa Bali maupun dalam bahasa Indonesia dan bahasa aing lainnya. Karena telah mengalami berbagai upaya penterjemahan, maka sudah tentu terjadi bias-bias atau juga versinya, apalagi di Jawa dan Bali cerita ini berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing dhalang. Dalam buku ini penulius tidak menceritakan lakon (cerita) yang bersangkutan secara lengkap, tetapi hanya tentang makna simbol-simbol yang penulis tangkap dari cerita Ramayana, baik dari hasil membaca buku maupun melihat pagelaran wayang kulit / wayang orang dan petunjuk dari orang tua.
Mengingat keterbatasan penulis membaca buku yang telah ada dan sangat sedikit penulis melihat pertunjukan wayang, maka penulis hanya memasukan lakon yang penulis anggap ada maknanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penjelasan yang penulis sajikan tidak presis seperti alur cerita pada buku-buku lain yang telah ada dan tidak menyebutkan sumber analisis dan bisa dianggap sebagai perepsi pribadi penulis.
Jika ada pendapat lain tentang tulisan ini, atau bertentangan, penulis dapat menerimanya, karena wayang berarti bayangan yang dapat ditafsirkan dari beberapa sudut sesuai dengan pandangan masing-masing individu. Untuk mendapatkan gambaran yang penulis harapkan, maka penulis mengambil intisari (persepsi pribadi) mengenai cerita : 
(1). Pengabdian Sumantri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu di Negara Mahespati. Karena malu mempunyai adik yang jelek, maka Sumantri tega membunuh adiknya Sukrasana.
(2). Rsi Gotama mempunyai isteri yang cantik dan mempunyai anak tiga orang. Karena isterinya mempunyai Cupu Manik Astagina, maka sang Rsi marah dan dikutuklah isterinya.
(3). Kerajaan Alengka diperintah oleh Prabu Sumali, yang akhirnya diserahkan kepada cucunya yaitu Dasamuka. Prabu Dasamuka menculik Dewi Sinta dan akhirnya dikalahkan oleh Sri Rama dan kerajaan diserahkan kepada Wibisana.
(4). Kerajaan Ayodya diperintah oleh Prabu Dasarata, kemudian diserahkan kepada anaknya Bharata dan riwayat terusirnya Sri Rama dari kerajaan, akhirnya Sri Rama kembali ke Ayodya detelah Dewi Sinta dapat diboyong kembali dari Alengkapura.
(5).  Rsi Wasista dan Wiswamitra. Rsi Wasista adalah seorang Rsi yang terkenal, suatu ketika kedatangan Raja yang bernama Wiswamitra yang bermaksud minta sapi yang dipelihara oleh Rsi Wasista untuk dibawa ke Istana. Akhirnya adu kedigdayaan yang diakhiri dengan pengakuan kalah dari Wiswamitra.    

--o--
-

Dewa Siwa
BAB VII
WAYANG  KEDEWATAAN

7. Kelompok-kelompok Dewa.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa wayang kedewataan adalah wayang yang memerankan nama Dewa-dewa dalam kehidupan manusia. Ada lima kelompok dewa yang diuraikan dalam pembahasan ini, yaitu : (!). Mahadewa, (2) Tri Murti, (3) Dewa-dewa penguasa alam, (4) Dewa penghubung, (5) Dewa di dunia manusia (marapada).

7. 1. Dewa Mahadewa.
Wayang Mahadewa merupakan penggambaran dari Sang Hyang Widhi , yaitu merupakan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang. Wayang Mahadewa dibungkus kain putih dan tidak pernah dimainkan, diletakkan di jajaran sebelah kanan.
Dibungkus kain putih melambangkan bahwa Tuhan itu ada dan suci, tidak dapat dilihat atau diraba, hanya dapat dirasakan dengan mata batin yang jernih. Mahadewa adalah yang murba-amisesa seluruh alam semista, tidak berawal dan tidak berakhir (anadi anantah), langgeng adanya. Keadaan-Nya tidak dipengaruhi oleh dunia material (kebendaan) karena dunia semesta ini adalah ciptaan-Nya.

7. 2. Dewa Tri Murti.
Sang Hyang Tunggal itu kekuasaan-Nya maha tidak terbatas. Dari tidak keterbatasannya itu dapat dibagi menjadi tiga , yang berlaku umum untuk semua makhluk yang tersebar di alam semesta ini, yaitu disebut Tri Murti. Tri Murti yaitu kekuasaan Sang Hyang Wenang untuk menciptakan (utpeti), memelihara (sthiti) dan menghancurkan (pranila). Jadi semua makhluk dan kejadian apapun berlaku hukum ini, tidak satupun yang dapat menghindar. Dalam ajaran agama Hindu masing-masing kekuasaan (kewenangan) tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :


7.2.1. Dewa Brahma.
Kekuasaan Sang Hyang Wenang dalam menciptakan disebut Sang Pencipta atau Brahma. Jadi semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, atau dengan kata lain semua makhluk ber Tuhan, tidak ada makhluk yang tidak ber Tuhan. Kekuasaan Tuhan ini sebagian dapat didelegasikan (dilimpahkan) kepada makhluknya, tetapi keputusan tertinggi dan yang bertanggung jawab semua hasil atau ciptaannya adalah Sang Hyang Wenang itu sendiri (Brahma)
Contoh :
Kekuasaan Sang Hyang Wenang dilimpahkan kepada tukang sepatu. Tukang sepatu hanya dapat membuat dan membentuk sepatu, tetapi bahannya berasal dari Tuhan. Tukang sepatu tidak dapat mengetahui dan memastikan kapan sepatu itu jadi, sebab detik (waktu) lahirnya sepatu itu ditetapkan langsung oleh Sang Hyang Wenang. Jadi kalau kita pesan sepatu kepada tukang sepatu, maka tukang sepatu tidak dapat memastikan kapan sepatu itu selesai dibuat. Dalam pewayangan Brahma disebut sebagai Bhatara Brama
Wayang Bhatara Brama berwajah warna merah atau coklat yang melambangkan api atau sifat keras dan ditaruh pada jajaran wayang sebelah kiri. Brama juga disebut dewanya api , yang disebut Sang Hyang Agni.
Dewa Brahma
7.2.2. Dewa Wisnu
Kekuasaan Sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Murba-amisesa dalam memelihara makhluknya disebut Pemelihara yang maha asih dan maha pemurah disebut Wisnu. Jadi semua yang ada di alam semesta ini dilindungi dan dipelihara oleh Sang Hyang Murba-amisesa dengan penuh rasa kasih saying-Nya.
Kekuasaan Sang Hyang Wenang dalam hal ini dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada makhluknya tetapi keputusan tertinggi dan yang bertanggung jawab sepenuhnya juga Sang Hyang Wenang itu sendiri. Ibu dan Bapak diberi kekuasaan oleh Tuhan untuk memelihara anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, sebab kemampuan tiap orang berbeda. Di dalam hal memelihara anak , orang , kucing, semut, cecak, kura-kura, burung ternyata berbeda, tetapi semuanya menunjukkan cinta kasih dan untuk mempertahankan hidupnya. Hakekat rasa cinta kasih ini sama seperti yang dimiliki  Sang Hyang Wisnu.
Seorang kepala negara mempunyai wewenang memelihara kelangsungan hidup dan keamanan warga negaranya, tetapi kekuasaan tertinggi tetap berada di Sang Hyang Wisnu. Seorang dokter merawat pasien dengan tekun dan penuh rasa kasih sayang, tetapi semua kasih sayang dan obat-obatan yang diberikan kepada pasien adalah merupakan perantara belaka, karena kekuasaan tetinggi adalah di  Sang Hyang Wisnu sebagai Sang Hyang Murba-amisesa
Dewa Wisnu
Dewi Sri
Di dalam pewayangan Sang Hyang Sri Bhatara Wisnu mempunyai isteri yaitu Bhatari Dewi Sri, berkehendak mempunyai keturunan di marcapada (dunia), sehingga wewenangnya dapat dilimpahkan kepadanya. Selanjutnya Dewi Sri turun ke alam semesta sebagai padi, buah-buahan dan lain-lain untuk sarana kelangsungan hidup semua makhluk dan diberikan dengan rasa kasih sayang..Jadi sesuai dengan sifat Dewi Sri sebagai manifestasi Sang Hyang Wisnu yang berfungsi sebagai pemelihara, maka Wisnu menurunkan  sarana untuk memelihara, yaitu makanan yang diperlukan oleh semua makhluk hidup. Selain itu Sang Hyang Wisnu juga menurunkan orang-orang yang diberi tugas untuk memelihara perdamaian dunia, yang biasa disebut dengan istilah Awatara dan juga menurunkan orang-orang yang memiliki kelebihan-kelebihan khusus untuk memegang kekuasaan negara. Maka dari itu di dalam pewayangan biasanya seorang raja yang adil dan bijaksana disebut juga sebagai nitise Sang Hyang Sri Bhatara Wisnu atau Bhatara Wisnu mangeja wantah..Wayang Bhatara Wisnu dan Dewi Sri berwajah warna hitam yang menggambarkan kesabaran ditaruh di jajaran wayang sebelah kanan.
Sebagai catatan penting dari uraian ini agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran teologis adalah bahwa di atas tadi diuraikan Bhatara Wisnu mempunyai isteri. Pernyataan ini harus dilihat sebagai sebuah pernyataan metodologis, artinya bahwa pernyataan ini sesungguhnya bersifat metodologis bukan histories. Sebab untuk mengungkapkan kerahasiaan Tuhan adalah tidak mungkin, maka para bijak mencarikan jalan keluar agar manusia percaya terhadap Tuhan, maka dideskripsikanlah Tuhan itu mirip dengan pola perilaku manusia dengan berbagai kehebatannya seperti maharaja di raja. Dalam metodologi yang demikian itu, maka tuhanpun tidak luput dari pengandaian memiliki isteri. Itulah sebabnya Bhatara Wisnu sebagai manifestasi TGuhan sebagai Pemelihara juga dianggap sebagai isteri dan isterinya iru disebut atau diberi nama Bhatari Sri atau Dewi Sri sebagai penjelasan Teologi Saguna Brahma bukan dalam hal Teologi Nirguna Brahm. Bila tidak diberi penjelasan tambahan seperti ini, maka uraian Bhatara Wisnu yang memiliki isteri dapat diinterpretasikan lain oleh para teolog agama lainnya.

7.2.3. Dewa Siwa
   Kekuasaan Sang Hyang Wenang di dalam mengembalikan makhluk ke asalnya, merekonstruksi (membongkar), mengadili dan memberi hadiah serta hukuman disebut Siwa Jadi semua makhluk yang ada di dunia ini akan dihancurkan oleh Tuhan dan dikembalikan ke asalnya. Kekuasaan Tuhan dalam hal ini dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada makhluknya, tetapi keputusan tertinggi dan yang bertanggungjawab adalah tetap pada Sang Hyang Widhi itu sendiri. Orang mati dapat terjadi dengan bermacam-macam sebab, sesuai dengan siapa yang diberikan pelimpahan kekuasaan oleh Sang Hyang Widhi. Orang mati dapat terjadi karena sakit, karena kecelakaan lalu lintas, karena tertimpa pohon tumbang, karena tersengat listrik, karena perang atau karena bunuh diri; semuanya itu hanyalah sebagai sebab, tetapi yang menentukan saat kematian adalah Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi itu  sendiri.
Pabrik gelas memproduksi 1.000 buah gelas dalam waktu satu hari, dari sekian banyak gelas itu tidak ada yang sama persis dan saat hancurnya pun tidak sama, ada yang pecah pada waktu baru dibungkus, ada yang pecah pada waktu diangkut ke kendaraan, ada yang tenggelam ke dasar laut bersamaan dengan tenggelamnya kapal, ada yang pecah didapur.
Jadi dengan cara berpikir berdasarkan ajaran tersebut, maka apabila gelas anda dijatuhkan oleh seseorang hingga pecah, maka anda tidak perlu marah, sebab kematian si gelas ini ditentukan oleh Tuhan yang berwenang sebagai pralina, bukan oleh yang menjatuhkan
Di dalam pewayangan Siwa disebut Bhatara Guru berwajah warna putih dan ditaruh di atas jajaran wayang sebelah kanan.
Bhatara  Guru

Dewi Durga
Batara Guru mempunyai isteri Bhatari Uma atau Bhtari Durga. Maksud beliau beristeri sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai wujud dari teologi Saguna Brahma. Dengan asumsi bahwa Beliau memiliki isteri, sebagaimana hokum alamiah yang menyatakan bahwa setiap pasangan suami-isteri pasti memiliki kemungkinan besar akan memiliki eturunan, maka Beliau juga mempunyai keturunan di marcapada atau dunia ini. Kepada keturunannyalah sebagaian wewenangnya dapat diloimpahkan. Di dalam pewayangan Bhatari Durga berwajah raseksi (serem dan menakutkan) dan ditaruh di atas jajaran wayang sebelah kiri.  Gambaran Dewi Durga dalam dunia pewayangan Jawa dan Bali sangat berbeda dengan gambaran Dewi Durga di India. Di India Dewi Durga digambarkan memiliki wajah yang sangay cantik, bahkan di India banyak anak perempuan benama Durga; sebaliknya di Bali dan Jawa tidak akan ada seorang yang mau memberi nama anak purinya dengan nama Durga. Di Jawa Bhatara Guru dianggap paling berkuasa sebagai Sang Hyang Wenang, Bhatara Brama dan Wisnu dianggap sebagai anaknya.
Ajaran ini ditafsirkan oleh orang Jawa bahwa kalau anda ingin belajar ke Tuhanan harus meguru terlebih dahulu, atau anake Guru yang artinya anane saka meguru.
Bhatari Durga

Putra-putra Bhatara Guru.
(1). Dewa (Bhatara) Srani.
Dewa Srani adalah Dewa yang mempunyai pengikut (anak buah) makhluk halus yang tugasnya menggoda manusia di dalam kejiwaannya, hal ini terjadi apabila ada seseorang yang pikirannya sedang bimbang atau kalut.
Di dalam pewayangan pengikut Dewa Srani berupa : bregasakan, gandarwa, banaspati, tetekmel, wewe gombel, periprayangan; semuanya ini akan menggangu orang yang pikirannya kalut, mereka menyusup di alam pikiran orang, sehingga orang lupa dirinya dan lupa segalanya. Hal ini menjadi gangguan yang bersifat mental.
Di Jawa ada ajaran yang mengatakan bahwa “Jangan tidur di waktu matahari terbenam (sandhyakala), nanti bisa kesurupan (kerasukan)”; sehingga kalau mempunyai anak tidur di waktu matahari terbeman (sandhyakala) selalu dibangunkan.
Di dalam pewayangan Bhatara Srani berwajah warna merah dan ditaruh di jajaran wayang sebelah kiri.

(2). Dewa (Bhatara) Kala
Bhatara Kala adalah Dewa yang mempunyai pengikut (anak buah) mkhluk berbadan wadag (kasar) yang tugasnya menggoda atau mengganggu manusia dalam alam kenyataan/kebendaan/fisik/jasmaniah.
Kala adalah waktu yang selalu mengintai kelengahan makhluk hidup. Pengikut Bhatara Kala antara lain Kala Jengking, Kala Abang (Klabang), Kala Mende dan semua hewan berbisa yang lain, tugasnya adalah mengganggu orang lewat yang kurang hati hati. Kala-kala ini biasanya mengganggu manusia pada saat matahari terbenam (sandhyakala). Di dalam pewayangan Bhatara Kala menghadang mangsanya pada waktu tengah hari (matahari di atas kepala). Di Jawa ada ajaran yang mengatakan bahwa :”Jangan berjalan atau berangkat bepergian di tengah hari atau di saat mata hari terbenam”.
Di dalam pewayangan Bhatara Kala berwajah raksasa warna merah berpakaian bhatara; ditaruh di jajaran wayang sebelah kiri.
Bhatara  Kala
(2). Dewa (Bhatara) Yamadipati
Tuhan yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai penguasa keadilan, mengadili atau memberi hukuman dan hadiah kepada makhluknya. Tugas kekuasaan tersebut dilimpahkan Sang Hyang Yamadipati (yang memegang kekuasaan mencabut nyawa). Istilah pralina dalam agama Hindu dimaksudkan secara luas adalah sesudah pekerjaan / kejadian selesai. Jadi bila seseorang mau belajar dengan baik dan tekun akan diberi hadiah dengan nilai 10 (sepuluh), sedangkan yang malas belajar diberi hadiah (hukuman) dengan nilai 3 (tiga). Pencuri dalam waktu satu jam tertangkap oleh masyarakat, dihadiahi bogem mentah dan diserahkan ke Kantor Polisi dan akhirnya dipenjara, Hal ini semua ada pada kekuasaan Sang Hyang Yamadipati.  
Di dalam dunia pewayangan Bhatara Yamadipati berwajah raksasa berpakaian Bhatara; ditaruh di jajaran wayang sebelah kiri.
Bhatara Yamadipati

7. 3. Dewa-dewa Penguasa Alam
         Umat Hindu percaya bahwa Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan wewenangnya untuk mengatur semua isi alam ini. Makhluk yang diberi pelimpahan wewenang tersebut disebut Dewa, yang berasal dari kata div yang berarti “sinar” atau “terang”. Karena kuasaannya hanya sebagian kecil dari kekuasaan Hyang Widhi maka sama dengan penguasa kecil atau dewa penguasa alam .Dewa-Dewa penguasa alam yang biasa disebut dalam dunia  pewayangan, antara lain :
Dewa Indra, Dewa Surya, Dewi Candra, Dewa Baruna, Dewa Bayu, Dewa Agni, Dewi Pertiwi, Dewa Anantaboga, Dewa Gumbreg, Dewa Kuwera.

(1).  Dewa Indra
Dalam dunia pewayangan Dewa ini disebut sebagai rajanya para Dewa, Dewa Hujan, Dewa Perang, karena gagah berani dan sakti, juga disebut juga Dewa Petir, dan masih banyak gelar lainnya.
Dewa Indra (Bhatara Indra) digambarkan sebagai Dewa bersayap dan berjanggut tebal, wajah berwarna hitam dan ditaruh pada jajaran wayang sebelah kanan. Kahyangannya disebut Indra Loka.
Catatan : Anak Prabu Dasamuka (Rahwana) yang berasal dari pemujaan kepada Mendung (Mega) dinamai Indrajit.

Bhatara Indra


 (2). Dewa Surya
Dewa Surya juga disebut Bhatara Surya, Sang Hyang Baskara, Sang Hyang Arka, Sang Hyang Rawi, Sang Hyang Aditya, Sang Hyang Radite atau Dite. Dewa ini menguasai matahari, atau disebut juga Dewa Matahari atau dewa sinar yang memberi penerangan kepada semua makhluk , baik penerangan lahir maupun batin.
Dewa Surya berwajah hitam dan ditaruh di jajaran wayang sebelah kanan.
Bhatara Surya

(3). Dewi Chandra
Dewi Chandra ini juga disebut Dewi Soma, Sang Hyang Sasi, Sang Hyang Wulan, Sang Hyang Sutengsa. Dewa ini dalam perwujudannya dianggap sebagai perempuan karena sifatnya yang sejuk. Dewa ini menguasai bulan atau disebut juga Dewi Bulan yang bersinar sejuk, berseri-seri dan menyenangkan, selalu memberi kesejukan kepada makhluk, baik kesejukan lahir maupun batin. Dewi ini sering disebut dalam cerita, tetapi tidak pernah dipertunjukkan dalam wujud wayang tersendiri.

(4). Dewa Baruna
Dewa Baruna juga disebut Sang Hyang Waruna. Dewa ini menguasai laut, air beserta isinya. Biasanya orang yang akan mencari ikan di laut atau di sungai menyebut (berdoa kepada) Sang Hyang Baruna. Dewa ini sering disebut dalam cerita (lakon Anoman Tambak), tetapi tidak pernah dipertunjukkan dalam wujud wayang tersendiri.

(5). Dewa Bayu
Dewa Bayu ini sering disebut dengan nama Bhatara Bayu. Dewa ini menguasai angin yang dapat berupa beberapa wujud :Maruta angin keras, .Bajra (Topan) angin keras dan bersuara gemuruh, biasanya diiringi dengan hujan, Lesus angin yang arah njalannya berputar dengan skala kecil. Ulur-ulur, angin yang arah jalannya berputar dan membawa air hujan yang memanjang dari atas ke bawah yang apabila dilihat dari kejahuan seperti pohon besar yang membubung dari tanah ke langit.
 Amukan angin dalam pewayangan diganmarkan dengan wayang gunungan dibalik (warna merah). Sifat Batara Bayu jujur, apa yang diberitakan (dikabarkan) sama dengan apa yang dilalui (ditetahui). Dewa Bayu berwajah hitam, berpakaian corak kotak-kotak hitam putih.
Bhatara Bayu
(6). Dewa Agni
Dewa Agni (Geni) dalam dunia pewayangan digambarkan dengan wujud Dewa Brahma. Dewa ini menguasai api yang tempatnya disenut Arga Dahana (gunung berapi). Jilatan api dalam pewayangan digambarkan dengan wayang gunungan dibalik (warna merah).

(7). Dewi Pertiwi
Dewa ini dianggap sebagai perempuan dan disebut Dewi karena menguasai Bumi yang bersifat murah hati dan selalu memberi pertolongan. Dewi ini berwajah hitam dan dalam pewayangan juga disebut sebagai isteri dari Krisna dan mempunyai anak Sitija dengan salah kaprah orang menyebut dengan nama Suteja. (Siti artinya tanah, bija artinya biji).
Dalam uraian ini penulis mensitir sedikit cerita (lakon) Kikis Tunggarana, yaitu peperangan antara Sitija (Prabu Bumanarakasura) dengan Prabu Anom Gatutkaca karena  perebutan tanah Kikis Tunggarana daerah Pringgadani yang dikuasai oleh Sitija. Dalam peperangan Sitija sulit dikalahkan karena selama jasatnya masih menumpang bumi, Sitija hidup lagi, sehingga untuk mengalahkannya Sitija yang sudah meninggal ditaruh di anjang-anjang. Artinja semua bibit (benih) tanaman semasa masih menyentuh bumi pasti hidup lagi, supaya tidak hidup harus ditaruh ditempat kering tanpa menyentuh tanah. 
Dewi Pertiwi sering disebut dalam cerita, tetapi tidak pernah dipertunjukkan dalam wujud wayang tersendiri.

(8). Dewa Anantaboga
Dewa ini biasa disebut sebagai dewanya ular atau Sang Hyang Anantaboga yang berada di dalam  bumi (disebut Kahyangan Sapta Patala) atau Bumi lapis tujuh. Dewa ini menyediakan makanan (boga) untuk semua makhluk, yaitu orang, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Semua makanan asalnya dari dalam bumi.
Dewa Anataboga berwajah hitam dan ditaruh di jajaran wayang sebelah kanan.

(9). Dewa Gumbreg
Dewa ini menguasai binatang piaraan (kerbau, sapi, kambing). Dewa ini jarang disebut dalam pewayangan. Untuk menunggu hewan piaraan di marcapada Dewa Gumbreg menunjuk Dadungawuk (Jawa) atau Rareangon (Bali).
Dalam dunia pewayangan (lakon Parta Krama) Dewa Gumbreg dan Dadungawuk digambarkan sebagai raksasa yang sabar, tetapi berwajah angker. Di Jawa, Dewa Gumbreg diupacarai tiap 210 hari sekali dengan nama Gumbregan yaitu jatuh pada Wuku Gumbreg.
Dadungawuk
(10). Dewa Kuwera
Dewa ini menguasai kekayaan , atau Dewa terkaya di bidang materi. Nama Dewa ini biasa diucapkan pada waktu panen padi di sawah dan pada waktu menyimpan padi di lumbung. Dewa ini jarang disebut dalam pewayangan, tetapi dalam upacara bersih desa (nyadran) Dewa Kuwera disebut dengan maksud hasil panen dapat disimpan dengan baik untuk kemakmuran desa setempat .
(11). Dewa Sambu
Di dalam dunia pewayangan ada Dewa Sambu, tetapi jarang diperankan dalam suatu pentas karena  kurang jelas pisisinya.

(12). Dewa Basuki
Di dalam pewayangan ada Dewa Basuki yaitu Dewanya Ular yang ada di Kahyangan, yang mempunyai keturunan Dewa Ananta Basu dan cucu bernama Ananta Boga.

(13). Dewa Penyarikan
Di dalam pewayangan ada Dewa Penyarikan atau  di Bali disebut Bhagawan Panyarikan disebut sebagai juru tulis (sekretaris Kedewataan) , dalam bahasa Jawa (Carik = Sekretaris Desa).

Wayang Dewa  Penguasa Alam biasanya muncul pada waktu pentas kalon (cerita) yang berhubungan dengan keadaan Kahyangan, sedangkan lakon yang berhubungan dengan manusia hanya melibatkan Dewa tertentu saja..

7. 4. Dewa-Dewa Penghubung
Dewa penghubung tugasnya adalah menghubungkan kehendak Sang Hyang Wenang dengan makhluknya (terutama manusia).

(1).  Batara Narada.
Di dalam pewayangan Bhatara Narada dianggap lebih tua dari Bhatara Guru. Tugas Bhatara narada adalah menyampaikan berita atau hadiah dari kahyangan (alamnya dewa-dewa) kepada manusia di marcapada.Dewa ini jujur, selalu membela kebenaran dan lucu. Dalam pewayangan digambarkan sebagai Dewa Pendek, menghadap ke atas (mendongak) dan berpakaian Bhatara.
Dewa Narada atau Bhatara Narada sering juga disebut Dewa Sri Narada berani menyalahkan Dewa Siwa (Bhatara Guru) apabila Batara Guru dianggap salah dalam melaksanakan keadilan.
Pada uraian ini menjadi cayayan penting pula bahwa apa yang diuraikan di sini termasuk jenis uraian dalam Teologis Saguna Brahma. Dewa Siwa dianggap dapat berbuat salah membutuhkan koreksi dari Narada. Jenis urtaian yang metodologis seperti ini memiliki fungsi sangat metodologis guna menggiring pemahaman manusia yang sederhana ke pemahaman yang lebih tinggi.

Bhatara Narada

(2).  Dewa Kamajaya dan Dewi Kama Ratih.
Dewa Kamajaya dalam pewayangan disebutkan sebagai putra dari Bambang Ismaya ( Semar ).
Dewa Kamajaya selalu bersama dengan isterinya (Dewi Ratih ), merupakan lambang orang berumah tangga (suami isteri) yang selalu rukun (kadya mimi lan mintuna), tugasnya menyampaikan berita dari Kahyangan ke marcapada, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga dan kedamaian. Dewa Kamajaya berwajah tampan dan Dewi Ratih berwajah cantik.

Dewi  Ratih
Bhatara Kamajaya

(3).  Dewi Saraswati
Dewi Saraswati dipandang sebagai manifestasi Sang Hyang Mahadewa (Dewa Brahma) dalam menyampaikan ilmu sebagai penganugerah ilmu pengetahuan kepada manusia.
Dalam pewayangan Dewi Saraswati digambarkan berwajah cantik dan bertangan empat, berdiri di atas teratai didampingi oleh angsa putih serta memegang genetri (rosario, tasbih), bunga, keropak (tempat buku) dan biola/gitar yang berarti Dewi Saraswati mengajarkan ilmu pengetahuan ketuhanan yang digambarkan dengan bunga, kesenian yang digambarkan dengan biola, ilmu pengetahuan umum yang digambarkan dengan keropak dan berlaku terus yang digambarkan dengan genitri.
Ilmu pengetahuan dapat memisahkan antara benar dan salah, digambarkan dengan angsa putih yang bersih dapat memisahkan lumpur dan makanan. Ilmu pengetahuan dapat dipakai di mana saja dan kapan saja digambarkan sebagai teratai yang hidup dalam lumpur, dalam air dan di udara.
Dewi Saraswati mengajarkan kepada para siswa supaya berbujdi luhur, cerdas menhadapi segala ilmu pengetahuan dan sehat badan dan jiwa.


Dewi Saraswati

7. 5. Dewa-Dewa  Marcapada
Selain Dewa yang ada di Kahyangan, Dewa Penguasa Alam dan Dewa Penghubung ada pula Dewa di masyarakat (Arcapada = Marcapada). Dewa-Dewa ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Dewa yang memihak kebaikan dan Dewa yang memihak keburukan. Kedua macam dewa ini tidak mati mulai dunia ada sampai akhir jaman, sama dengan Dewa yang ada di Kahyangan.
Setiap ada pertunjukan wayang Dewa-Dewa di arcapada (marcapada) ini selalu dimainkan, maka perlu dikupas mengenai peranan dan simbol-simbol  yang melekat pada wayang tersebut.
1). Dewa Yang Memihak Kebenaran
Semasa hudup kita tidak dapat menyendiri, tetapi harus selalu berhubungan dengan makhluk lain. Dalam hubungan ini timbullah kerja yang mempengaruhi tindakan kita. Tindakan kita itu ada di tiga tempat (tri loka)
Yang disebut orang baik bukanlah karena rupanya, pangkatnya, derajatnya atau kekayaannya, tetapi yang disebut orang baik adalah orang yang baik dalam 3 hal, yaitu : (1) pikirannya baik, (2) perbuatannya baik dan (3) ucapannya baik. Ketiga hal ini disebut tri Kaya Parisuda.
Tri kaya parisuda ini dalam pewayangan digambarkan sebagai ponakawan, dinyatakan hidupnya bersamaan dengan adanya alam semesta.
Dalam pewayangan digambarkan wayang ponakawan yang selalu mengabdi pada seorang kesatria sebagai berikut :
a.  Nala Gareng (Manacika)
Di dalam pewayangan kita mengenal nama Gareng yang nama lengkapnya Nala Gareng. Nala artinya hati atau pikiran dan Gareng artinya garing (kering / bersih)
Perbuatan yang masih berupa (dalam) pikiran disebut manacika (manah = pikiran).
Ciri – ciri Nala Gareng :
Pertama: Mata juling (kera = Jawa), itu berarti dalam berpikir kita harus berhati-hati, sebab apa yang kita lihat belum pentu sama dengan keadaan yang sebenarnya, sering kita tertipu oleh penglihatan. Sehingga jika kita akan mengambil keputusan harus melihat dengan baik, apakah latar belakang dari keadaan yang dilihat itu. 
 Contoh : kalau kita melihat kayu yang ada di dalam air kelihatan bengkok, tetapi kenyataannya lurus, kita melihat rel kereta api kelihatan ketemu antara ujung rel kanan dengan rel kiri, tetapi kenyataannya tidak ketemu.
 Kedua :Tangan bengkok (ceko = Jawa), itu berarti dalam berpikir kita harus berhati-hati, sebab apa yang kita pegang atau kita kerjakan belum tentu seharusnya kita pegang atau kita kerjakan, apa yang kita terima belum tuntu seharusnya kita terima.
Ketiga: Kaki bubulan atau belakan (luka di tumit dan telapak kaki), itu berarti dalam berpikir kita harus berhati - hati, sebab apa yang kita jalani belum tentu seharusnya kita jalani, mumgkin kita masih dapat menghindar.
Nala  Gareng

Ada pepatah mengatakan  :Hati – hati berjalan, jangan sampai terantuk batu, lihatlah ke bawah jangan melihat ke atas terus.Ingatlah asal-usul kita, jangan sok, jangan sombong.
Hidung besar itu berarti dalam berpikir kita harus hati-hati, karena apa yang kita cium belum tentu sama dengan yang kita terka.
Dosa yang disebabkan oleh kesalahan pikiran disebut manasadosah.

Terkait dengan pikiran, perlu ditelusuri lebih jauh, sebab pikiran merupakan kunci dari berbagai permasalahan di dunia.  Setiap orang setiap hari merasakan senang, susah, trenyuh, terharu dan merasakan asin, pedas, pahit, kecuyt, sepet, manis silih berganti. Dengan adanya perasaan tadi kita akan bertanya :
-     Dari mana datangnya rasa itu ?
-     Di mana tempatnya ?
-     Bagaimana cara mengendalikannya ?
-     Mengapa perasaan itu berbeda pada setiap orang ?

Dari pertanyaan tersebut di atas nampaknya akan terjawab bila kita mengkaji masalah pikiran. Di dalam buku Aswaweda  disebutkan masalah pikiran kurang-lebih sebagai berikut :
(1). Pada waktu siang hari keadaan terang-benderang kita beranggapan bahwa matahari  ( Sang Hyang Surya ) lah yang memberi penerangan dan yang paling terang.
(2). Pada waktu malam hari, bulan purnama, cuaca terang tidak berawan, kita beranggapan bahwa bulan ( Sang Hyang Sasi ) lah yang memberi penerangan.
(3). Pada waktu malam hari cuaca terang tidak berawan , tetapi tidak nampak bulan, maka kita beranggapan bahwa bintang ( Kartika ) lah yang memberi penerangan.
(4). Pada waktu malam hari cuaca gelap-gulita, tetapi kita memasang lampu ( damar ), maka kita beranggapan bahwa lampulah yang memberi penerangan.
(5). Pada malam hari, cuaca gelap, tidak ada lampu, tetapi terdengar suara di seberang sana, maka  suaralah yang kita anggap memberi penerangan, karena terbukti bahwa kita tahu, bahwa di seberang sana ada sesuatu (yang bersuara).
(6). Pada waktu malam hari, cuaca gelap, tidak ada lampu, tidak ada suara, tetapi kita masih tahu, bahwa ibu berada di sana, bapak berada di sana, Jakarta ada di sana, lima kali lima ada dua puluh lima.
Siapakah yang memberi penerangan tersebut ?
Yang memberi penerangan ternyata adalah pikiran kita.
Dengan demikian apabila kita renungkan dan telusuri lebih lanjut, maka terbuktilah oleh kita bahwa yang paling terang sesungguhnya adalah pikiran kita.

           Betulkah demikian ? 
Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
(1). Suatu ketika kita piknik ke telaga Sarangan konon kabarnya merupakan tempat yang indah permai, keadaan pada waktu terang benderang, orang-orang merasa senang menikmati keindahan alam. Tetapi sayang dalam rombongan piknik ini terdapat seseorang yang pikirannya sedang susah (tidak terang), maka sepulang dari piknik dia tidak dapat menceritakan atau merasakan keindahan tempat pinik tersebut. Orang ini pada waktu di telaga Sarangan tidak tahu apa-apa, pikirannya susah, tidak seperti teman-temannya.       

(2) Apabila ada lima orang bersama-sama makan ayam goreng, maka mereka akan mengeluarkan pendapat yang berbeda-beda terhadap ayam goreng tersebut, yaitu :si A  berpendapat terlalu asin, si B  berpendapat terlalu pedas, si C  berpendapat terlalu enak, si D  berpendapat tidak enak, si E  tidak berselera makan sama sekali. Pada hal kita tahu (menduga) bahwa susunan lidah kita sama, tetapi mengapa rasanya ayam goreng tadi tidak sama? Hal ini disebabkan pikiran kita tidak sama pada waktu menghadapi masalah tersebut, yaitu tidak sama dalam hal memberi penerangan. Pikiran si A banyak dicurahkan memberi penerangan kepada asinnya, sedangkan pikiran B dicurahkan memberi penerangan kepada pedasnya.

(3). Pada waktu Bapak guru mengajar di  depan kelas, si A memandang ke depan (sama dengan teman-teman yang lain), tetapi si A tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Pak Guru.   
Apa sebabnya ?   
       Hal ini terjadi karena pada waktu itu  si A memandang ke arah Pak Guru, pikirannya tidak tertuju pada Pak Guru atau pelajaran , namun pikirannya tidak tertuju kepada Pak Guru atau pelajaran, tetapi pikirannya tertuju pada hal lain  (mungkin memikirkan jajan) yang dianggap lebih penting.
       Jadi pikiran si A tiak memberi penerangan, karena sedang sibuk memberikan penerangan masalah jajan.

Terkait dengan masalah pikiran ini dapat kita lihat di pewayangan ceritera (lakon) Dewa Ruci. Dalam lakon tersubut bahwa yang memberi penerangan sebenarnya adalah pikirannya sendiri, yang dalam ceritera digambarkan sebagai Dewa Ruci yang rupanya persis sama dengan Bratasena (walaupun kecil, namun Bratasena dapat masuk ke dalamnya), yaitu diri pribadi yang disebut pikiran .

Dalam lakon Dewa Ruci disebutkan, bahwa :
-  Pada mulanya Bratasena disuruh oleh Pandita Druna untuk mencari air penghidupan  (amerta) di atas gunung Reksamuka, tetapi di sana tidak diketemukan air penghidupan yang dimaksud, yang diketemukan adalah dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala, akhirnya terjadi peperangan sehingga kedua raksasa tersebut bisa dikalahkan dan berubah menjadi Dewa Indra dan Bayu.
     Dari cerita ini dapat diambil maknanya bahwa orang yang ingin menemukan tirta amerta harus bisa mengendalikan panca indra (dengan simbol Dewa Indra) dan mengatur pernapasan / pranayama (dengan simbol  Dewa Bayu).
-    Selanjutnya Druna memberi tahukan bahwa amerta ada di tengah (telenging) samudera, Bratasena segera berangkat terjun ke samudra. Baru terjun berjumpa dengan seekor naga bernama “Sembur Nawa”. Setelah naga dikalahkan Bratasena tidak mendapatkan tirta amerta , tetapi yang dijumpai adalah Dewa Ruci yang akhirnya memberi tahukan bahwa amerta tempatnya ada di diri pribadi.
Dari cerita ini dapat diambil maknanya bahwa orang yang ingin menemukan tirta amerta harus bisa menguasai diri dengan menutup babahan hawa sanga, yang artinya harus bisa menutup sembilan lobang udara yaitu : mata (2), telinga (2). Hidung (2), mulut (1), anus (1) dan kemaluan (1), dalam lakon ini dilambangkan dengan wujud Nada Sembur Nawa).
Dari cerita ini secara ringkas dapat diambil maknanya dahwa tirta amrerta ada di telenging samuda tanpa tepi (pikiran), dan untuk mencapainya harus ditanyakan kepada diri pribadi (Dewa Ruci).  
Lakon mengenai pikiran ini juga dapat di baca dalam Buku Kancil Kridamartana (Karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita), di sana digambarkan bahwa Kancil masuk ke guwa-garba-nya keong, sama dengan Bratasena masuk ke guwa-garba-nya Dewa Ruci.
Dari uraian di atas diketahui bahwa sebenarnya kita tidak mendapat penerangan dari matahari, dulan, bintang, lampu, suara,  termasuk penjelasan dari Pak Guru (teman), tetapi pikiran sendirilah yang memberi penerangan kepada kita. Apabila kita menyelesaikan soal / pekerjaan, menurut orang lain (teman) hasil pekerjaan tersebut sudah betul, tetapi kita tetap belum yakin apabila pikiran kita sendiri belum bilang betul, atau dalam pikiran kita masih ada pertanyaan atas pendapat teman tadi, yaitu :“Apa iya pekerjaan saya telah betul ”
Jadi jawaban untuk pertanyaan : “ dari mana datangnya rasa itu, di mana tempatnya, bagaimana cara pengendaliannya, karena apa perasaan itu berbeda untuk tiap orang  ?”, semuanya adalah pikiran -

Penilaian Terhadap Benda
Semua orang berusaha mengekang nafsu, tetapi jarang orang yang menemukan cara yang efektif untuk mengekang nafsu. Lalu bagaimana cara mengendalikan pikiran agar seseorang dapat mengekangnya ?
Pemuasan nafsu menimbulkan senang dan susah, cinta dan benci, panas dan dingin, hal ini semuanya tidak ada yang kekal. Sampai sekarang orang berusaha mengekang nafsu, tetapi banyak orang tidak /  belum tahu cara mengekang nafsu, sehingga dalam usaha mengekang nafsu yang satu ternyata menimbulkan nafsu yang lain; orang mengekang supaya tidak tergantung pada sesuatu, tetapi ternyata timbul ketergantungan terhadap hal yang lain.
Contoh :
Seorang perokok berusaha mengekang nafsunya supaya tidak merokok lagi yaitu dengan jalan mengganti kebiasaannya dengan makan permen, akhirnya malah timbul ketergantungan terhadap permen; begitulah seterusnya.
Setelah kita membaca Masalah Pikiran , kita akan merasakan bahwa nafsu itu timbulnya dari pikiran kita sendiri. Mengapa pikiran kita demikian ?. Karena kita masih memberi penilaian kepada benda (material) baik yang nyata maupun abstrak.
Karena kita memberi penilaian kepada benda, maka kita akan terbelenggu oleh benda itu sendiri, dan keterikatan kepada benda akan menimbulkan senang dan susah, cinta dan benci, panas dan dingin, yang akhirnya menuntun kita ke surga dan neraka .
Hanya orang yang dapat membebaskan dirinya dari penilaian terhdap bendalah yang masuk ke nirwana yaitu tidak dihinggapi rasa senang dan susah, rasa cinta dan benci, dan rasa panas dan dingin.

Mengapa demikian ?

Apabila anda menilai sesuatu benda dengan nilai 100 (seratus), maka pada suatu saat penilaian anda akan berubah mendadak menjadi  - 100 (min seratus), apabila anda memberi penilaian terhadap sesuatu benda dengan nialai 90, maka dalam sekejab bisa berubah menjadi – 90, demikian pula apabila memberi penilaian 10, maka dapat segera berubah menjadi – 10, tetapi apabila anda memberi penilaian kepada sesuatu benda dengan nilai 0 (nol), atau tidak memberi penilaian, suatu ketika akan berubah menjadi – 0 ( min nol ) atau tetap tidak memberi penilaian.
Apabila anda memberi penilaian kepada suatu benda terlalu tinggi, maka perasaan senang dan susah akan dirasakan terlalu manis dan terlalu pahit, lain halnya apabila peniliana kepada sesuatu benda hanya sekedar saja, maka rasa senang dan susah hanya terasa sekedar saja.
Untuk mempermudah menjelaskannya hal ini dapat digambarkan dengan grafik sebagai berikut :



   100      100

     80                       80

     60                                      60

     40                                                  40

     20                                                                20

     10                                                                                  10

       0 ----------------------------------------------------------------

-   10                                                                                  -10

-    20                                                               -20

-    40                                                 -40

-    60                                     -60

-    80                       -80

-  100      -100

Grafik Penilaian
Contoh :
(1). Apabila Anda mempunyai baju lima buah, maka Anda akan memberi penilian kepada masing-masing baju dengan urutan sesuai dengan harga atau enaknya dipakai. Anggaplah penilaian tersebut dengan nilai : 100, 80, 60, 40 dan 20. Anda akan lebih senang memakai baju yang nilainya 100 (seratus), karena masih baru dan harganya mahal apabila dibandingkan dengan baju yang nilainya 20 (dua puluh) karena baju lama dan harganya murah. 
Apabila salah satu baju ini hilang atau rusak, maka akan merasa sedih dan kesedihan itu akan sebanding dengan nilai semula yang Anda berikan; jadi apabila yang hilang bernilai 100, maka anda akan lebih susah bila dibandingkan dengan yang hilang itu bernilai 20.
Dengan demikian maka akibat penilaian terhadap baju dengan 100 dan 20 akan menimbulkan kesenangan 100 dan 20, begitu pula sebaliknya akan menimbulkan kesusahan yang sebanding yaitu – 100  dan – 20 .

(2). Anda cinta kepada seseorang di masyarakat dapat diberi penilaian sebagai berikut :
       a.. Kepada  isteri                 100
       b. Kepada anak                     80
       c. Kepada saudara                60
       d. Kepada keponakan           40
       e. Kepada tetangga               20
       f. Kepada orang asing            1
Karena Anda memberi penilaian berbeda, maka kesenangan Anda berbeda apabila kita berjumpa dengannya, tetapi apabila timbul penyelewengan oleh orang-orang tersebut di atas, maka Anda akan benci sesuai dengan perbandingan kecintaan kita tadi.
 - Apabila isteri Anda nyeleweng, mungkin anda tega membunuhnya.
 -  Apabila anak Anda nyeleweng, anda tega mengusir dan tidak mengaku sebagai anak lagi.
 - Apabila keponakan yang nyeleweng, Anda akan mengusirnya dan tidak boleh menginjak rumah anda lagi.
 -. Apabila tetangga yang nyeleweng, Anda hanya akan mengurangi pergaulan dengan tetangga tersebut.
 -  Apabila yang nyeleweng orang asing (Amerika) yang tidak Anda kenal, maka Anda akan berkomentar :”amit-amit jabang bayi “.
Pada hal Anda tahu bahwa masalahnya sama, yaitu penyelewengan yang dilakukan oleh seorang wanita.

(3). Apabila anda di pasar , anda tertabrak oleh seseorang, Anda tidak akan marah atau merasa tersinggung, tetapi apabila Anda ditabrak orang di jalan yang lengang anda akan tersinggung / merasakan.
Merasakan di sini bisa enak (senang) dan tidak enak (benci), kalau yang menabrak cantik rasanya enak, tetapi kalau yang menabrak jelek dan kumal ya tidak enak.
Hal ini timbul karena pada waktu di pasar, Anda tidak memberi penilaian terhadap orang-orang yang ada di sekeliling Anda, tetapi apabila di jalan yang lengang Anda akan memberi penilaian terhadap orang yang lewat.

(4). Apabila Anda bertempat tinggal di dekat mesin disel PLN yang selalu menderu, Anda tidak akan merasa kebisingan, tetapi coba saja Anda yang bertempat tinggal di daerah yang sepi menjadi tamu di tempat dekat disel PLN, maka Anda akan merasa bising.
Hal ini timbul karena Anda yang bertempat tinggal di dekat mesin disel PLN tidak memberi penilaian terhadap suara bising tersebut, sedangkan Anda sebagai tamu memberi penilaian

(5). Apabila Anda sebagai perokok, maka anda memberi penilaian rokok lebih penting dari pada makanan, maka apabila tidak punya rokok satu jam saja sudah gelisah.

(6). Apabila Anda memberi penilaian diri Anda sendiri jauh lebih tinggi martabatnya dan lebih penting dari pada orang lain, maka Anda akan mudah tersinggung dan mudah marah
Begitulah seterusnya, maka ternyata kesusahan, kesenangan, kemurungan, kemarahan, cinta dan benci timbul di pikiran kita, karena kita memberi penilaian kepada sesuatu benda.
Jadi apabila kita tidak memberi penilaian kepada denda kita tidak akan terganggu oleh rasa senang, susah, cinta, benci, adanya hanya rasa damai. “ Aum, santi, santi, santi, Aum “.

R a s a k a n l a h, apabila Anda sedang khusuk sembahyang (samadhi), maka Anda tidak memberi penilaian kepada apapun yang ada di sekeliling Anda, maka Anda tidak merasakan susah, senang, cinta dan benci , panas dan dingin, adanya hanya kedamaian lahir dan batin.

- Lalu untuk apa kita belajar hal ini ?
Kita mempelajari hal ini bertujuan untuk mencari ketenteraman, sebab orang hidup itu ingin ketenteraman.

Untuk jelasnya diulang sebagai berikut :
(1). Kita percaya bahwa semua yang ada di alam semesta ini ciptaan Tuhan, jadi semua adalah sama terhadap Tuhan, yang berarti tidak ada orang atau makhluk yang tiadak ber Tuhan, hanya memang semuanya diciptakan berbeda antara satu dan lainnya.
(2). Kita percaya adanya Atman yang bersemayam di semua makhluk hidup.
(3). Kita percaya bahwa Hukum Karma tetap berlaku.

Karena kita memandang keadaan di alam semesta ini sama, maka kita harus memberi penilaian yang sama, atau tidak memberi penilaian yang sama, sehingga kita tidak terombang-ambing oleh perasaan senang, susah, cinta dan benci.
Jadi apabila ada kecelakaan di jalan, kita memberi komentar : “itu kehendak Tuhan “, apabila kehilangan : “ itu kehendak Tuhan”, anak tidak lulus sekolah : “itu kehendak Tuhan, ya sabar besuk mengulang lagi”.
Apabila Anda masih terganggu oleh kebiasaan merokok, maka Anda harus menghilangkan dengan cara tidak memberi penilaian kepada rokok, sebab selama Anda masih memberi penilaian kepada rokok, maka masih tetap timbul perasaan senang dan benci terhadap rokok, dan anda akan mencoba merokok lagi.
Apabila Anda sedang sakit, maka Anda jangan memberi penilaian kepada sakit itu, tetapi anggaplah penyakit itu hal yang wajar dan karunia Tuhan, maka bersamadhilah, supaya sara sakit (sedih) akan hilang.
Apabila Anda dipukul orang, janganlah Anda memberi penilaian kepada pukulan itu, tetapi percayalah bahwa itu karunia Tuhan, maka Anda akan tetap tenang, tidak sedih dan tidak membeci kepada orang yang memukul.
-.  Bisakah orang bertidak demikian ?
-.  Jawagnya “Sulit, hal itu harus dengan latihan dan disiplin”.

Bagaimana cara melatihnya ?

Penulis akan mencoba memberi cara melatih diri untuk tidak memberi penilaian (ndableg) kepada benda, mudah-mudahan berguna bagi pembaca, yaitu sebagai berikut :
(1). Jangan melamun mengenai suatu benda (baik yang nyata maupun abstrak).
(2). Orang yang melamun hal yang baik / buruk (hal senang / susah) sebetulnya menipu diri.
(3). Pada saat pikiran kalut usahakanlah bersamadhi.
(4). Membiasakan diri memandang sesuatu apa adanya, jangan memberi penilaian baik / buruk, karena semua itu ciptaan Tuhan, hanya kebetulan sekarang diciptakan sebagai baik / buruk, dan ketahuilah bahwa dalam satu detik saja yang baik bisa berubah menjadi buruk dan yang buruk berubah menjadi baik, kalau Tuhan menghendakinya.
(5). Apa yang Anda alami pada saat ini adalah karunia Tuhan, baik sehat maupun sakit, baik mendapat rejeki maupun kehilangan.
(6). Beranggapanlah bahwa semua di dunia ini milik Anda, jadi harus ikut merawat dan melestarikannya, tetapi juga semua itu bukan milik Anda , jadi kalau hilang jangan susah, sehingga tidak serakah untuk memiliki benda (karena bukan milik Anda).
(7). Perlu diketahui bahwa dalam saat yang bersamaan seseorang dapat mengalami kesenangan dan kesusahan (ketakutan) dan dalam satu saat ada yang senang dan ada yang susah, pada saat yang sama ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan .

Beberapa contoh :
Pertama, ada seorang yang suka memancing ikan, pada satu saat pancing Anda dibawa oleh ikan besar, dengan sendirinya Anda merasa senang, namun demikian Anda akan merasa susah (takut) kalau ikan yang sudah nyangkut pada pancing lepas lagi.
Kedua, ada seseorang mengendong anaknya yang sedang sakit dan datang ke rumah seorang dukun dengan perasaan susah, tetapi si dukun sangat senang karena sudah tiga hari tidak ada pasien yang minta jampi-jampi kepadanya.
Ketiga, ada pertandingan tinju dimana si A menang telak dengan KO, maka dia senang sekali, tetapi bagi si B yang kalah KO sangat sedih.
Mungkin petunjuk ini masih dianggap kurang, maka masih ada petunjuk lain dalam bentuk tembang Dandanggula, sebagai berikut :
Tan kena ngelamun sira yekti
janma kudu pasrah mring Hyang Manon
iku lerem tetundone
panggah tan darbe rusuh
tentrem lahir tumusing batin
aran weruh sangkan paran
supadya tumungkul
ucap, pikir lan pratingkah
tan mbedakna kabeh kahanan puniki
manungsa mung sadrema

Tidak boleh anda melamun
orang harus pasrah kepada Tuhan
itulah yang disebut tenteram
tetap tidak punya pikiran kotor
tenteram lahir batin
dapat dikatakan tahu asal usul
supaya pasrah
ucapan, pikiran dan perbuatan
tidak membedakan semua keadaan
manusia hanya sekedar menerima

Demikianlah kiranya cara kita untuk melatih diri agar dapat menjadi orang yang sabar dan dapat mengekang hawa nafsu yang timbul dari diri pribadi.

b.  Petruk Si Kantong Bolong.( Kayika ).
Sosok yang dibambarkan dengan kantong bolong dalam pewayangan adalah Petruk. Kantong bolong artinya raga (wadag), yaitu kantong bolong apabila pada siang hari diisi, maka paginya lagi isi tersebut keluar, apabila diisi air akan keluar sebagai keringat lewat pori-pori dan berupa air kencing. Raga  ini melakukan pekerjaan-pekerjaan nyata, jadi tidak berupa angan-angan, tetapi sudah merupakan pekerjaan yang nyata.
Perbuatan yang sudah nyata ini disebut Kayika.

Ciri-ciri Petruk :
Pertama : Badan tinggi besar yang menggambarkan kekuatan.
Jadi apabila kita bertindak harus ingat berapa kekuatan kita, sehingga kita harus berbuat yang baik sesuai dengan kekuatan / kemampuan yang kita miliki.
Kedua :Tangan panjang menggambarkan bahwa kita dapat menggapai sesuatu, yaitu tangan kita dapat untuk berbuat baik, suka bekerja dan menolong, tetapi juga suka mencuri dan menyakiti makhluk lain. Jadi dalam hidup ini kita harus berbuat sesuai dengan jangkauan kita, hati-hati menggunakan tangan. Gunakanlah tangan untuk maksud yang baik.
Ketiga: Kaki panjang menggambarkan jangkauan perbuatan, kita dapat lari dengan jangkah yang lebar untuk menjangkau sesuatu dengan maksud yang baik maupun buruk. Jadi dalam hidup ini kita harus berusaha mengejar untuk menjangkau yang baik.
Keempat : Mata sipit menggambarkan bahwa manusia suka mengintip, ingin mengetahui segala hal, lebih-lebih hal yang disembunyikan. Jadi kita harus berusaha untuk mengintip (mengetahui) hal-hal yang baik.
Dosa yang disebabkan oleh kesalahan perbuatan disebut Kayikadosah..
Petruk

c.  Bagong  (Wacika)
Di dalam dunia pewayangan kita mengenal nama Bagong atau disebut juga Wacika atau Wicara.
Wacika artinya ucapan, yaitu selain pikiran dan perbuatan kita juga harus mengendalikan ucapan.

Ciri-ciri Bagong :
Pertama :.Bibir ndonble atau memble (bibir pada bagian bawahnya panjang), hal ini  menggambarkan bahwa banyak bicara, terutama hal-hal yang jelek dan juga senang menjilat atasan.
Karena kita menyadari hal ini, maka kita harus hati-hati berbicara, jangan sampai ucapan kita menyakiti orang lain atau membicarakan kejelekan orang lain.
Kedua :Mata lebar menggambarkan bahwa mata kita ini selalu membelalak, ingin tahu terhadap hal yang dapat menguntungkan diri sendiri, menyenangkan dan mengasikkan. Karena kita menyadari hal ini, maka kita harus hati-hati menggunakan mata, supaya tidak salah apa yang diucapkan nanti.
Ketiga :Badan gendut (perut besar) menggambarkan bahwa ucapan-ucapan kita sering untuk menjilat dengan tujuan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat bahwa ucapan itu merugikan orang lain. Karena kita menyadari hal ini maka pada waktu bicara harus hati-hati, jangan mengatakan jeleknya orang lain, atau membicarakan sesuatu yang benar tetapi mencelakakan orang lain.
Bagong

Contoh :
Saya tahu teman saya bernama A berduaan dirumah makan dengan perempuan bukan isterinya dan saya tidak mengerti (tahu) siapa orang perempuan itu. Saya buru-buru kerumah A untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada isteri A. Karena isteri A sedang hamil menanggapi ucapan saya secara serius, akhirnya pada saat mendengar suaminya datang lalu marah-marah.
Untung suaminya sabar dengan tersenyum ia berkata “ Oo, begitu, yang saya ketemu dijalan itu adikmu sendiri si Denok, sedang membeli ayam goreng untuk kamu, la ini ayamnya, si Denok sekarang masih ngomong sama ibu; la itu orangnya”. Setelah mendapat penjelasan dari suami dan mengetahui kalau yang datang adiknya, maka isteri A senang sekali.
Jadi yang saya ucapkan itu benar, tetapi tidak baik untuk orang lain.
Dosa yang disebabkan oleh ucapan disebut Wacikadosah.
Di dalam pewayangan seorang ksatriya (misalnya Harjuna) selalu diikuti oleh ketiga ponakawan ini, yang berarti seorang ksatriya yang akan menegakkan  kebaikan harus : berpikiran baik / bijaksana, berbuat baik dan berucap baik.
Untuk mengendalikan diri, maka kita harus dapat memperkecil kesalahan yang ada di tiga tempat (tri loka), hal ini dapat ditembangkan (dalam pupuh Pucung ) sebagai berikut :
Sembahipun, ping tiga sadintenipun,
Iku ya tri sandya
Wajibe wong isih urip
Iku srana pangekesing dur hangkara

Sembahnya tiga kali sehari
Itu “tri sandya” namanya
Kewajiban orang masih hidup
Itu sarana mengekang nafsu

Sadaya pun angkara agung gumulung
Iku panggonira
Wus mesti ing telung margi
Iya pikir, tumandang lan ing pangucap

Semua nafsu bergelora
Itu tempatnya
Sudah pasti di tiga jalan
Di pikiran, perbuatan dan ucapan

Sinten purun ngekes kabeh angkara gung
Iku wong utama
Wus ngereh diri pribadi
Ingaranan kinarilan ing Hyang Manon

Siapa mau mengekang hawa nafsu
Itu orang utama
Sudah mengendalikan diri sendiri
Disebut terlindungi oleh Tuhan

d.  Semar  (Bambang Ismaya)
Di dalam dunia pewayang Semar masa mudanya digambarkan sebagai ksatria yang bagus bernama Bambang Ismaya bertempat di Kahyangan yang berarti maya – maya ( samar ), setelah di marcapada disebut Semar yang berarti Samar, malsudnya ia tidak samar lagi ( selalu tahu ) tentang perubahan alam semesta baik yang kelihatan maupun yang ada di batin seseorang, sebagai Dewa berbadan manusia dan sebagai manusia berumur Dewa.
Jadi apabila kita mempunyai teman ( lingkungan / masyarakat ) yang akrap dan selalu mengajak berbuat baik, maka di situ ada Dewa yang masuk di dalamnya, yaitu Bambang Ismaya ( Semar ).
Apabila kita tidak mau menuruti petunjuk yang diberikan, maka Semar akan meninggalkannya. Apabila ada orang tua yang memberikan petuah kebaikan dan keagamaan, maka di situ ada Semar.
Ciri-ciri Semar :
Pertama: Badan bulat artinya kemauan dan pandangannya bulat, tidak dapat tergoyahkan demi kebaikan dan kebenaran. Susu besar seperti perempuan, tetapi selalu dipanggil Bapak ( Rama ), berarti teman baik atau sesepuh itu bisa orang laki-laki atau perempuan.
Rambut putih dan dapat digunakan sebagai cermin untuk melihat dunia lain(Swarga Loka dan Naraka Loka) artinya Semar itu sudah tua, sudah banyak pengalaman , maka di benaknya sudahtersimpan segala sesuatu rahasia alam  ( Datan samar obah musike bhuana )
Semar
Dalam pewayangan digambarkan dengan tembang  Pucung sebagai berikut ::
Semar iku, sugih tangis sugih guyu,
Inggih sugih utang
Wus kaloka sugih duwit
Inggih malih si Semar sugih carita

Semar itu kaya tangis dan tertawa
Juga kaya utang
Sudah terkenal kaya uang
Dan lagi si Semar nayak cerita
Artinya.:
Teman yang baik itu ikut menangis (merasakan sedih) apabila kita sedang ditimpa kesusahan  dan ikut bersenang apabila kita sedang mendapat kesenangan. Dia terus terang pinjam uang apabila membutuhkan, tetapi juga suka menolong apabila kita sedang membutuhkan. Semar juga dikenal banyak cerita yang dapat digunakan sebagai suri teladan.

Semar itu, pamonge satriya agung,
Inggih trahing Dewa,
Wus kondang sak margi-margi,
Inggih Semar Dewa pangawak manungsa
Semar itu yang momong satria
Ia titisan Dewa
Sudah terkenal di mana-mana
Semar Dewa berbadan manusia

Artinya :
Semar selalu mengikuti dan menemani satria agung, Semar lahir mulai dunia ada dan mati bersama dunia,  artinya teman baik itu ada mulai kita lahir sampai kita meninggal.
Di Jawa simbol Semar, Gareng, Petruk, Bagong ini digambarkan berupa sesajen pada waktu sembahyang, yaitu biasa disebut Kembang Telon.
Sesajen kembang telon itu berupa : gelas diisi air dan di dalam air diisi tiga macam bunga ( biasanya mawar, gading dan cempaka, tetapi juga dapat diganti dengan bunga lain (sesuai desa kala patra).
Arti sesajen itu sebagai nerikut :
(1). Bunga, mengandung arti bahwa yang dapat kita persembahkan kepada Tuhan itu bukan ( drajat, pangkat, banda lan rupa ) tetapi pikiran baik, perbuatan baik dan ucapan baik, dalam hal ini digambarkan dengan tiga macam bunga.
(2). Air bersih, mengangdung makna lingkungan yang baik (bersih)
(3).  Tempat ( gelas ), mengandung makna sebagai Pemerintahan yang kuat, negara yang kokoh, aman, sentosa.

Jadi kalau kita akan sembahyang harus memenuhi tiga syarat tersebut (kembang telon) karena ini yang akan dipertanggung-jawabkan setiap orang kepada Tuhan. Drajat, pangkat, banda (harta) dan rupa adalah ciptaan Tuhan yang dititipkan kepada kita untuk sarana memenuhi kebutuhan hidup, sehungga tidak dapat dipersembahkan karena dapat berobah dalam sekejab sesuai dengan kehendak Tuhan.
Orang yang mempunyai drajat pangeran (anak raja) kalau koropsi atau mencoleng akan jatuh namanya; orang yang mempunyai pangkat tinggi suatu ketika dapat dipecat atau pensiun, orang yang mempunyai banyak harta seketika dapat menjadi miskin karena kebakaran; orang yang mempunyai rupa cantik ( ngganteng ) seketika rupanya dapat berubah menjadi jelek, karena hidungnya hilang akibat kena ledakan petasan.
Persembahan tiga macam itupun belum cukup sempurna, karena walaupun pikiran kita sudah baik, perbuatan sudah baik, ucapan sudah baik, tetapi lingkungan kita tidak baik ( kumuh ), maka kita mudah diserang penyakit, sebagai hukuman dari Tuhan atas kurangnya kebersihan lingkungan.
Empat macam persembahan inipun masih kurang, yaitu harus ditambah satu lagi berupa negara yang kuat dan damai, sebab apabila negara tidak kuat dan damai walaupun empat unsur di atas telah terpenuhi, kita masih dapat dijajah negara lain yang berbentuk jajahan fisik, ekonomi maupun kebudayaan. Selain untuk sembahyang tiap hari, sesajen juga harus dipenuhi apabila orang akan sekolah, akan bertani, akan berdagang, dan bekerja sebagai buruh atau pegawai negeri , maknanya :
(1). Orang sekolah bisa berhasil harus menyediakan tiga sesajen, yaitu : (a) niat belajar, (b) tersedianya biaya, (c)  kemampuan otak. Kita punya banyak uang, ada niat belajar, tetapi otak tidak mampu, maka tidak dapat terlaksana (begitu pula  sebaliknya) dan lingkungan (keluarga dan masyarakat) harus mendukung dan negara dalam keadaan aman.
(2)     Orang bertani bisa berhasil harus menyediakan tiga sesajen ( syarat ), yaitu : (a) niat bertani, (b) tersedianya biaya, (c) kemampuan bertani, serta kedua syarat lainnya.
(3)     Orang berdagang bisa berhasil harus menyediakan tiga sesajen yaitu : (a) niat berdagang, (b) tersedianya biaya, (c) kemnampuan berdagang, serta kedua lainnya.
2). Dewa Yang Memihak Kejelekan
Semasa kita hidup dalam masyarakat, kita jumpai godaan - godaan atau teman yang mengajak berbuat tidak baik. Dalam pewayangan digambarkan wayang ponakawan yang selalu mengabdi kepada Bhuta (Raksasa) sebagai berikut :

a. Togog (Tejamantri)
Di dalam pewayangan Togog masa bernama Tejamantri ( Teja berarti sinar atau api  dan mantri artinya ngenger / mengabdi ) bertempat di Kahyangan, sesudah di marcapada disebut Togog atau Begog .  (begog artinya tolol ).
Jadi apabila kita mempunyai teman  ( lingkungan / masyarakat ) yang akrap dan selalu mengajak berbuat tidak baik, maka disitu ada Dewa  ( kekuatan ) yang mnasuk ke dalamnya, yaitu Tejamantri / Togog. Apabila kita tidak mau menuruti / mengikuti petunjuknya (kemauannnya ), maka si Togog akan meninggalkannnya dan menjelek-jelekakan nama kita.
Ciri-ciri Togog :
Pertama : badannya bulat artinya kemauan dan pandangannya bulat tak tergoyahkan untuk menuju kebatilan dan kejelekan.
Kedua : susunya besar seperti perempuan, tetapi selalu dipanggil Bapak (Wa), berarti teman atau sesepuh yang mengajak jelek itu dapat berupa orang laki-laki atau perempuan.
Ketiga : mulutnya lebar yang berarti suka makan berlebihan, suka mengerogoti milik teman.
Jadi berdasarkan uraian ini kita harus berhati-hati memilih teman ( lingkungan atau masyarakat ), baik di dalam pekerjaan sehari – hari maupun teman hidup, begitu pula mencai orang tua / sesepuh atau guru.

Togog

b. Bilung.
Bilung sifatnya hampir sama dengan Togog, tetapi wayang ini lebih istimewa lagi, karena wayang ini banyak bicara yang bahasanya bermacam-macam. Dialeknya sesuai dengan kehendak yang diikuti, yang jelas semua ucapannya menjilat kepada majikan untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan / menjelekkkan orang lain, yang akhirnya untuk menguntungkan diri sendiri.
Ciri-ciri Bilung :
Pertama : badannya biasa artinya perbuatan / ucapan itu dapat dilaksanakan oleh siapa saja dan di mana saja.
Kedua : bibirnya kecil (nylumik = Jawa ) seperti bibir ikan gurami/sepat artinya banyak bicara untuk kepentingan diri sendiri.
Ketiga: badan, tangan dan kaki normal artinya biasanya perbuatan/ucappan dilaksanakan oleh orang yang kelihatannya normal
Jadi berdasarkan uraian ini kita harus hati-hati memilih teman, karena di dalam rumah tangga, di dalam kantor (lingkungan kerja), di masyarakat biasanya ada seorang Bilung yang mengajak sengsara orang lain.

--o--
BAB    VIII
CERITA  WAYANG  KEDEWATAAN
DAN  UPACARA  ( SESAJEN ).

8.1. Cerita Wayang Kedewataan.
Banyak cerita wayang yang berhubungan dengan wayang Kedewataan, namun penulis hanya mengambil sebagian contoh yang penulis anggap ada suri teladan untuk kehidupan.

8.1.1  Lahirnya Dunia.
Di dalam dunia pewayangan lahirnya dunia digambarkan sebagai lahirnya Togog, Semar dan Batara Guru. Dalam cerita tersebut digambarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh Mahadewa berupa telur, sesudah telur dipecah ternyata lahir (muncul) Togog,dari kulitnya, Semar dari putihnya dan Batara Guru dari kuningnya.
Selanjutnya Togog dianggap paling tua, kemudian Semar dan yang bungsu Batara Guru. Dalam cerita-cerita selanjutnya Togog dan Semar memanggil Bhatara Guru dengan sebutan Adi Guru, dan Bhatara Guru memanggil Togog dan Semar sebagai kakang. Dari cerita ini dapat diambil kesimpulan bahwa kita sebagai manisia ini sebenarnya terdiri dari 3  (tiga) unsur, yaitu :
(1). Unsur jasad kasar  ( wadag = wadah) yang perlu dirawat dengan makananan terdiri dari benda-benda  (material), digambarkan sebagai Togog yang mulutnya lebar suka makan.
(2). Unsur jasad halus (kejiwaan) yang perlu dirawat dengan santapan rohani, disini digambarkan sebagai Semar yang sabar dan menuju kebenaran.
(3). Unsur Atman (Sang Hidup) di dalam bahasa Jawa disebut Ingsun yaitu dat (sat) yang memberi atau menyebabkan hidup, bersifat gaib digambarkan sebagai Bhatara Guru.
Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan, dapat dirasakan keadaannnya sebagai berikut :
(a). Orang sakit badan (umpama luka atau sedang lapar ), orang tersebut merasa sakit, tetapi jiwanya tidak sakit dan tetap dapat melaksanakan kegiatan tiap hari.
(b).Orang sakit jiwa (umpama suka mbolos pada jam kerja), orang tersebut tidak merasa sakit badannya, tetapi nyatanya suka duduk sendiri, tidak mau bekerja, melamun dan tertawa tanpa ada teman bercanda. Orang demikian tidak merasa sakit. Kalau dikatakan oleh orang lain bahwa ia gila malah membalas bahwa orang yang mengatakan gila itu yang dianggap gila.
(c). Atman sendiri tidak merasakan (terkena) sakit, sedih, senang dan lain-lain, seperti apa yang dirasakan oleh raga dan jiwa.
(d). Pada waktu sadar orang merasakan kalau kakinya sakit karena luka, tetapi pada waktu tidur nyenyak tidak merasa sakit. Di sini digambarkan bahwa pada waktu tidur Semar menjahui atau tidak berhubungan dengan Togog, tetapi Batara Guru masih bersama dengan kedua-duanya.
(e). Pada waktu mimpi seseorang merasakan melihat sesuatu atau mengalami sesuatu kejadian. Di sini digambarkan bahwa pada waktu mimpi jiwa tetap beraktivitas tetapi tidak diikuti oleh raga.
(f). Apabila mati ketiga unsur tadi berpisah menuju ke tempat asalnya masing-masing.

8.1.2.  Mencari Tirtha Amerta.
Dalam suatu cerita pewayangan digambarkan bahwa tirtha amerta (air kehidupan) disimpan di dasar samudra. Untuk menemukan / mendapatkan tirtha amerta (yang memberi kehidupan kekal) itu dilakukan dengan cara memutar gunung sebagai alat untuk mengaduk air laut.
Dalam mengaduk air laut ini terjadilah adu kekuatan antara para Dewa dengan Buta (Raksasa), kebetulan yang menang adalah para Dewa sedangkan para Raksasa kalah.
Pada saat pembagian tirtha amerta kepada semua para Dewa ternyata ada Raksasa yang menyamar dengan pakaian Dewa, sehingga mendapatkan bagian tirtha amerta. Raksasa yang mendapatkan tirtha amerta ini lari ke dalam kelompok Raksasa dan membagikan tirtha amerta kepada teman-temannya. Dengan demikian Dewa dan Raksasa menjadi makhluk abadi, dan dapat diambil kesimpulan bahwa kebaikan dan kejahatan itu selalu ada. Secara fisik dapat dirasakan bahwa apabila ada penyakit (wabah) bisa diatasi dengan suatu obat, sebentar lagi timbul penyuakit (wabah) baru, begitu seterusnya, sehingga peperangan di dunia ini rasanya tidak pernah berhenti.

8.1.3. Gempa Bumi..
Gempa bumi dalam dunia pewayang digambarkan sebagai Sang Hyang Anantaboga sedang bergerak, karena beliau bearada di pusatnya bumi (Kahyangan Sapta Pratala) maka bumi ikut bergetar. Dalam kenyataannya hal ini dapat dihubungkan dengan gempa tektonik, yaitu gempa karena pergeseran / peretakan bebatuan di dalam bumi.
Ada pula gempa bumi yang disebabkan oleh kemarahan Sang Hyang Batara Brama yang menyemburkan api ke angkasa , karena ia menguasai gunung berapi (Kahyangan Arga Dahana), maka bumi ikut bergetar. Dalam kenyataannya hal ini dapat dihubungkan dengan gempa vulkanis, yaitu gempa yang disebabkan oleh aktivitas gunung berapi.

8.1.4.. Gerhana Matahari dan Bulan
Dari cerita mencari tirtha amerta disebutkan bahwa para Dewa dan Raksasa tidak dapat mati, kedua kelompok ini selalu bermusuhan. Suatu ketika salah satu raksasa ( Bhuta Ijo ) mengganggu perjalanan Sang Hyang Rawi (matahari) atau Sang Hyang Sasangka (bulan), dan bertengkarlah. Dalam pertengkaran dimenangkan oleh Bhatara Surya (Sang Hyang Rawi), leher Bhuto Ijo dipenggal, kepalanya terbang ke angkasa mengejar matahari dan bulan dan  badannya jatuh ke bumi. Apabila bulan dapat dikejar maka bulan ditelan oleh kepala Bhuta Ijo tadi, tetapi karena raksasa tersebut sudah tidak berbadan, maka bulan dapat keluar lagi. Demikian cerita gerhana bulan, begitu pula cerita tentang gerhana matahari.
Badan raksasa yang jatuh ke bumi mengeluarkan sinar dan suara gemuruh seperti meteor jatuh, maka dalam masyarakat Jawa / Bali meteor jatuh dianggap sebagai pecahan dari badannya Bhuta Ijo. Desa yang kejatuhan meteor dinamakan Tuban (watu tiban = batu jatuh).

8.1.5. Lhirnya  Bhatara Kala.
Di dalam pewayangan  diceritakan kisah perjalanan Bhatara Guru dengan Bhatari Durga dari gunung Himalaya (Jong giri salaka) di India ke gunung Semeru (Mahameru) di Jawa. Dalam perjalan di angkasa tersebut Bhatari Durga berada di depan dan Bhatara Guru ada di belakangnya (layaknya orang Jawa yang sedang berjalan di pematang sawah), yang perempuan ada di depan. Dalam penerbangan ini kain yang dipakai Bhatari Durga tersingkap sedikit dan Bhatara Guru melihat hal itu, sehingga timbul birahi, tetapi Bhatari Durga tidak mau melayani, karena dalam perjalanan.
Karena jengkel Betari Durga mengumpat bahwa Betara Guru seperti raksasa, maka pada waktu itulah Betara Guru bertaring dan sang kama jatuh ke laut. Kama yang jatuh ke laut itu disebut kama salah dan lahir sebagai raksasa yang mengerikan dan minta nama kepada orang tuanya, karena merasa sebagai anak Dewa maka harus diberi gelar Dewa juga, akhirnya Bhatara Guru memberi nama Dewa (Bhatara) Kala.
Dalam hidupnya Bhatara Kala selalu bertengkar dengan Bharata Wisnu, karena Bhatara Kala dianggap sebagai orang yang tidak beribu, tetapi dalam pertengkaran Bhatara Wisnu selalu kalah, akhirnya Batara Wisnu mengetahui kesaktian Bhatara Kala yaitu pada dahinya ada tulisan yang belum terbaca. Akhirnya Bhatara Wisnu dapat membaca tulisan tersebut dan lenyaplah kesaktian Bhatara Kala, mulai saat itu Bhatara Kala menyerah kepada Batara Wisnu.
Tulisan yang dibaca oleh Bhatara Wisnu tersebut disebut Rajah Kala Cakra, yaitu mantra yang ampuh untuk mengalahkan Bhatara Kala maupun Bhatara Srani. 
Mantra ini oleh penulis tidak ditulis dalam buku ini, karena penulis menganggap (percaya) bahwa mantra ini sakti yang tidak boleh dibaca sembarang orang, kecuali lewat perguruan.

8.1.6. Murwa Kala.
Dalam pewayangan ada lakon yang disebut murwa kala atau ruwatan. Murwa kala adalah upacara yang dilaksanakan untuk mengeluarkan seseorang dari gangguan Bhatara Kala atau Bhatara Srani karena terbawa (akibat) dari kelahirannya.
Upacara ini dilaksanakan dengan nanggap wayang (pentas wayang) dengan lakon Murwakala. Kelahiran yang diruwat (diupacarai) adalah :
(1). Anak yang lahir sendirian saja tanpa memiliki saudara, yaitu anak tunggal yang biasa diistilah anak semata wayang, baik sebagailaki-laki atau perempuan, dalam istilah lain juga disebut ontang-anting.
(2). Anak yang bersaudara berdua saja, baik bersaudara sebagai laki-laki semua atau perempuan semua, yang disebut dengan istilah kembang sepasang
(3). Anak yang bersaudara berdua saja, sebagai laki-laki dan perempuan, yang disebut kedana-kedini (dana-dini).
(4). Anak yang bersaudara tiga, dengan uratan kelahiran : laki-laki, perempuan, laki-laki (perempuan ditengah), yang disebut sendang apit pancuran.
(5). Anak yang besaudara tiga, dengan urutan kelahitran : perempuan, laki-laki, perempuan (laki-laki ditengah) yang disebut pancuran apit sendang.
(6). Anak yang bersaudara lima, laki-laki semua atau perempuan semua, yang disebut pandawa.
(7). Anak yang lahir pada waktu ayahnya sudah meninggal, kalau laki-laki disebut jaka sunthi dan kalau perempuan disebut prawan sunthi.
(8). Anak yang lahir pada waktu matahari terbit , yang disebut julung wangi
(9).Anak yang lahir pada waktu matahari terbenam, yang disebut julung pujut.
                   ( julung artinya naas = apes )

Dalam cerita disebutkan bahwa Bhatara Kala minta makan kepada bapaknya (Bhatara Guru), karena orang hidup harus diberi makan, maka Bhatara Guru memberikan sesuatu yang dapat dimakan, yaitu :
(1).  Orang-orang yang kelahirannya tersebut di atas.
(2). Orang yang berjalan sendirian pada saat tengah hari, yaitu pada saat matahari berada ditengah-tengah (diatas kepala).
(3). Orang yang berjalan sendirian pada saat matahari terbenam (sandhiya kala).
(4). Orang yang menanam waluh, labu, bligo, blonceng di muka rumah tetapi tidak dibuatkan penyangga (anjang-anjang = Jawa, baha Bali = tratag).

Untuk membebaskan malapetaka bagi orang tersebut, maka dalam cerita peruwatan, ki Dhalang sanggup menjadi pengganti dari orang yang diruwat, maka ki Dhalang berbincang-bincang terus dengan si Bhatara Kala dan dengan kesaktiannya ki Dhalang dapat mengalahkan Bhatara Kala serta waktu yang ditetapkan telah lewat, maka Bhatara Kala tidak berhak untuk memakan orang yang diruwat lagi.

Cerita peruwatan dilaksanakan pada siang hari, untuk memenuhi syarat waktu tengah hari dan dalangnya dipilih Dhalang Sejati, yaitu dalang yang pandai atas dasar belajar sendiri atau turunan tanpa meguru ke orang lain.

8.2.  Upacara.
Upaara yang dilakonkan (dipentaskan) oleh pengikut agama Hindu ada beberapa macam, yang pada garis besarnya dibagi menjadi 5 macam, yaitu : Upacara Dewa Yadnya, Upacara Pitra Yadnya, Upacara Resi Yadnya, Upacara Manusia Yadnya dan Upacara Bhuta Yadnya.

8.2.1. Upacara Dewa Yadnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memetri (menghormati) dan terima kasih kepada Dewa-Dewa, terutama kepada Mahadewa (Tuhan Yang Maha Esa) Upacara-upacara yang lain biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi juga selalu diikuti upacara Dewa Yadnya.

Contoh upacara Dewayadnya :

1). Upacara Galungan.
Upacara persembahyangan yang dilakukan pada waktu hari Galungan merupakan ucapan terima kasih kepada Hyang Widhi karena kebenaran (dharma) telah mengalahkan kejahatan (adharma), yang ada di diri kita masing-masing atau yang ada di dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak mengalami musibah (nir sambikala). Upacara ini dilakukan setiap  210  hari sekali, yaitu jatuh pada :
      Hari                             : Rabu  (Buda)
      Pasaran                        : Kliwon (Kasih).
      Wuku                          : Dungulan
      Ingkel (ringkel)           : Taru

Upacara ini diadakan karena masyarakat / perorangan telah dapat menahan diri, selalu berbuat baik dan dijauhkan dari perbuatan jahat serta memohon keselamatan (kerahayuan), ketenangan dan kedamaian.

2). Upacara Kuningan
Upacara persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Widhi (Bhatara-Bhatari) mehon keselamatan dunia beserta isinya. Upacara ini dilaksanakan setiap  210  hari  sekali, yaitu jatuh pada :
            Hari                 : Sabtu (Tumpak = San1escara).
            Pasaran            : Kliwon (Kasih).
            Ingkel             : Buku (Wuku).
Upacara ini dilakukan sepuluh hari setelah upacara Galungan, yaitu dengan mksud pada masa yang akan datang (hari esuk) dikaruniai keselamatan (kerahayuan) dunia serta isinya..

3). Upacara Saraswati.
Upacara persembahyangan Saraswati adalah merupakan upacara terima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas turunnya ilmu pengetahuan ke dunia yang akan membawa dampak peningkatan tingkat budi pekerti, tingkat kesehatan dan tingkat kemakmuran.
Upacara ini dilakukan setiap  210  hari sekali pada siang hari sebelum jam 12.00 siang,  yaitu jatuh pada :
            Hari                 : Sabtu (Tumpak = Sanescara)
            Pasaran            : Legi (Umanis = Manis).
            Wuku              : Watugunung
            Ingkel             : Buku (Wuku).
Upacara ini dilakukan sebelum jam 12.00 siang (sebelum lingsir) maksudnya ilmu pengetahuan itu sedapat mungkin diserap atau dipelajari sebelum orang menginjak tua (lingsir). Di dalam kehidupan manusia dibagi menjadi  4  (empat) tahap kehidupan disebut asrama dharma yaitu :
(1). Masa kanak-kanak atau masa belajar yang disebut brahmacari
(2). Masa berumah tangga yang disebut grihasta
(3). Masa lepas dari rumah tangga, karena anak-anak telah membangun rumah tangga sendiri. Fase kehidupan ini disebut wanaprasta  Di dalam dunia pewayangan orang yang telah tua hidupnya pindah ke dalam hutan meninggalkan pekerjaan berumah tangga dan mencari makan atas pemberian alam saja (dalam hutan). Sehingga mampu menyerap energi spiritual dengan lebih sempurna.
(4). Masa lebih tua lagi memasuki keadaan matang lagi yang telah sempurna melihat kehidupan ini disebut bhiksuka
Di dalam dunia pewayangan setelah orang menjadi tua, ia hidup dengan cara  mengkhususkan diri yaitu  mendekatkan kepada Sang Hyang Widhi, menjadi bhiksu yang mengajarkan ilmu penetahuan kepada anak-cucu, yang sekarang biasa disebut narasumber.
Dari pembagian tadi jelas bahwa ilmu pengetahuan harus didapat sejak waktu masih muda atau anak-anak, sebagai persiapan menyambut masa berumah-tangga.
Ilmu pengetahuan pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
(1). Ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia untuk berbudi luhur, contoh pelajaran budi pekerti, pelajaran agama.
(2). Ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia untuk mencari jalan memenuhi kebutuhan ekonomi (bekal mencari makan), contoh : pelajaran teknik, pelajaran ekonomi, pelajaran pertanian, pelajaran perdagangan dan lain-lain.
(3). Ilmu pengetahuan yang mengajarkan kesehatan, contoh mulai anak kecil diajari : kalau makan harus cuci tangan dulu, jangan makan makanan yang basi, kalau akan tidur harus cuci kaki dulu dan lain-lain.
Jadi semua orang diharapkan dapat menyerap ilmu  yang diturunkan oleh Sang Hyang Widhi dalam hal ini diwujudkan sebagai Sang Hyang Bhatari Saraswati.

4). Upacara Pagerwesi.
Upaara persembahyangan Pagerwesi dimaksudkan untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk memberikan keseimbangan dunia beserta isinya. Upacara ini dilakukan setiap 210  hari  sekali, yaitu jatuh pada :
      Hari                 : Rabu (Buda)
      Pasaran            : Kliwon (Kasih)
      Wuku              : Sinta
      Ingkel             : Wong (Jalma).
Upacara ini dilaksanakan sesudah Upacara Saraswati dan sebelum (menghadapi) Wuku Landep. Dalam upacara ini semua besi (senjata) dibersihkan dan diberi kekuatan.
Makna upacara ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut :Besi (logam) dapat dipergunakan untuk beberapa macam peralatan yang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
(1). Logam mulia (emas, perak dll) digunakan sebagai cincin, kalung, gelang untuk menambah kehormatan atau kecantikan dan keris menambah kegagahan (perkasaan). Dalam hal ini logam mulia dianggap sebagai simbol budi luhur.
(2). Besi dipergunakan orang untuk alat mencari makan (pacul, skop, palu, tombak). Dalam hal ini logam dianggap sebagai symbol  ketahanan ekonomi.
(3). Logam dipergunakan untuk alat pemberantas penyakit (jarum suntik).Dalam hal ini logam dianggap sebagai simbol kesehatan.
Jadi Upacara Pagerwesi bukan hanya sekedar membersihkan peralatan dari logam saja, tetapi memuat makna bahwa orang (masyarakat) harus memagari diri supaya tidak di jajah atau dihina orang lain. Hal-hal yang perlu dipagari (dipelihara) supaya tetap terhormat di masyarakat yaitu :

(1). Budi Luhur.
Walaupun orangnya kaya dan sehat tetapi tidak berbudi luhur, maka orang tersebut tidak dihormati orang lain atau tidak terhormat di mata masyarakat.
(2) Cukup Ekonomi.
Walaupun orangnya berbudi luhur dan sehat tetapi ekonominya tidak cukup dan banyak utang, maka orang tersebut tidak dihormati orang lain dan malah dijajah.
(3). Sehat.
Walaupun orang tersebut kaya dan berbudi luhur, tetapi tidak sehat badan (sakit-sakitan), maka orang tersebut tidak dihormati dan menjadi beban masyarakat.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk perorangan saja, tetapi juga berlaku untuk lingkungan kerja, paguyuban, daerah dan negara. Negara yang warga negaranya tidak berbudi luhur, suka korupsi, suka mencopet turis asing, maka negara tersebut dijahui oleh turis asing (negara lain). Negara yang warga negaranya miskin dan tidak mempunyai cadangan divisa yang besar, tidak dihormati / disegani oleh negara lain dan mudah dijajah (diombang-ambingkan perekonomiannya). Negara yang warga negaraya tidak sehat, tidak disegani oleh negara lain dan mudah dipermainkan serta menjadi beban negara lain.

Jadi terdapat hubungan antara upacara persembahyangan Saraswati yang mengajarkan budi luhur, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesehatan dengan upacara Pagerwesi yang mengutamakan pemagaran (peningkatan / perbaikan) budi pekerti, ekonomi dan kesehatan. Setelah itu baru menginjak wuku Landep yang artinya kuat / tajam dalam hal ketahanan budi pekerti, ekonomi dan kesehatan.

5). Upacara Gumbregan.
Di Jawa ada upacara Gumbregan yaitu upacara sebagai simbol rasa terima kasih kepada Dewa Gumbreg yang telah ikut memelihara sapi, kerbau atau kambing sehingga tidak ada penyakit yang menimpa hewan piaraan. Selain menyebut Dewa Gumbreg juga menyebut Dadung Awuk (di Bali disebut Rare Angon) yaitu Dewa yang bertugas mengawasi hewan piaraan.
Upacara ini dilaksanakan oleh para penggembala dengan cara  mengalungkan ketupat dan lepet di leher binatang piaraan dan ramai-ramai sambil menyanyi menyebut Dewa Gumbreg dan Dadung Awuk.Upacara ini diadakan jatuh pada Wuku Gumbreg, tetapi sekarang sudah jarang dilakukan.

6). Upacara Wiwit.
Di Jawa dan di Bali ada upacara Wiwit yaitu upacara yang dilaksanakan pada waktu akan mulai (wiwit = Jawa) menuai padi Upacara sebagai symbol ucapan terima kasih kepada Dewi Sri yang telah memberikan padi yang subur dan tidak diganggu hama serta premberitahuan bahwa besuk pagi harinya padi akan mulai dipanen.
Selain upacara wiwit ini mengandung unsur upacara  Dewa Yadnya, namun upacara wiwit juga menyrtakan unsur upacara Bhuta Yadnya yaitu upacara yang disampaikan kepada makhluk yang lebih rendah (padi). Upacara ini bersifat bhuta yadnya, maka lungsuran sesajen yang dipakai untuk upacara ini tidak boleh dimakan oleh manusia. Kalau ada orang yang mengambil sisa  sesajen upacara Wiwit (Bhuta Yadnya) harus berlari sambil berteriak gaok-gaok (layaknya suara burung gagak). Pekerjaan mengambil sisa sesajen upacara ini disebut nggagaki.

7). Upacara Melabuh.
Di Jawa, di Bali, di Sabu (Nusa Tenggara Timur) dan Pulai Kei (Maluku Selatan) ada upacara melabuh yaitu membuang sesajen ke laut. Upacara ini dimaksudkan untuk mengucapkan terima kasih kepada Dewa Baruna yang telah memberi hasil tangkapan ikan dan memohon agar di kemudian hari mendapat hasil ikan lebih banyak dan tidak ada rintangan di laut.
Waktu upacara ini tidak bersamaan, tergantung daerah masing-masing (desa, kala, patra)

8.2.2.  Upacara Pitra Yadnya.
Upacara Pitra Yatnya ini dilaksanakan dengan maksud untuk mengucapkan terima kasih kepada leluhur dan mendoakan semoga leluhur yang telah meninggal atman-nya diterima Tuhan dan Tuhan memberi ampun segala dosanya sesuai dengan karma-nya. Di Jawa upacara ini biasa disebut upacara kirim do’a dilaksanakan pada 3 (tiga) hari, 7 (tujuh) hari, 40 / 42 (empat puluh / empat puluh dua) hari, 100 / 105 (seratus / seratus lima) hari dan 1.000 / 1015 (seribu/seribu lima belas) hari setelah seseorang meninggal. Selain itu, setiap saat keluarga mengadakan upacara manusia yadnya tidak lupa pula mengadakan upacara pitra yadnya dengan cara menyediakan sesajen.

8.2.3. Upacara Rsi Yadnya.
Upacara Resi Yadnya dimaksudkan untuk mengucapkan terima kasih kepada Rsi atau Guru yang telah memberikan pelajaran dan upacara ini juga mengandung makna bahwa upacara ini bertujuan juga untuk mendoakan agar para Guru  dalam kedaan sehat, rahayu dan panjang umur. Upacara ini biasanya dilakukan di asrama (tempat belajar agama) dan di sekolah pada saat murid telah dinyatakan tamat belajar.

8.2.4. Upacara Manusia Yadnya.
Upacara Manusia Yadnya dimaksudkan untuk mendoakan agar orang yang masih hidup dikaruniai kesehatan, rahayu, panjang umur, banyak rejeki dan lain-lain. Upacara ini banyak macamnya, yaitu mulai masih dalam kandungan sampai orang itu kawin, dengan urutan sebagai berikut :

1). Upacara Tingkepan.
Upacara Tingkepan dimaksudkan untuk jabang bayi yang masih dl dalam kandungan dalam umur 7  bulan  atau  6  x  35  hari  = 210 hari ( 6 lapan ). Upacara ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan agar jabang bayi dan ibunya diberi kekuatan dan kesehatan.

2). Upacara Pasung Procot.
Upacara Pasung Procot dilakukan untuk jabang bayi yang masih dalam kandungan dan beberapa hari lagi  dilahirkan. Upacara ini ditujukan kepada Tuhan agar jabang bayi lahir dengan mudah dan cepat (procot) tanpa halangan dan ibunya diberi kekuatan dan kesehatan. Di Jawa upacara ini sudah jarang dilakukan.

3). Upacara Brukuhan.
Upacara Brukuhan dilakukan pada hari saat bayi dilahirkan. Upacara ini ditujukan untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena bayi telah lahir tanpa halangan. Di Jawa upacara ini sudah jarang dilakukan.

4). Upacara Pupak Puser ( Puputan ).
Upacara Pupak Puser dilakukan pada hari saat puser (tali pusar) lepas dari badan bayi. Upacara ini ditujukan untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena pusat bayi telah lepas tanpa halangan.

5). Upacara Potong Rambut.
Upacara potong rambut dilakukan pada waktu rambut si bayi pertama kali dipotong. Upacara ini ditujukan untuk mengucapkan terim kasih kepada Sang Hyang Parameng Kawi supaya anak diberi kesehatan, kecerdasan dan berbudi luhur.

6). Upacara Hari Kelahiran.
Upacara hari kelahiran di Jawa disebut upacara Tiron (dari kata turun – ke Bumi) dan di Bali disebut upacara Otonan (dari kata metu, wetu – keluar, lahir  ke Bumi). Upacara ini dilaksanakan 35 hari sekali yaitu pada hari kelahiran (hari dan pasarannya sama dengan pada waktu lahir), mulai 35 pertama dan seterusnya sampai tua untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi supaya dikaruniai kerahayuan. Hal ini sudah jarang dilakukan, kecuali hal-hal tertentu (mau ujian, mau ikut test pekerjaan dan lain-lain). Upacara ini di Bali masih berlangsung sampai saat ini.

7). Upacara Potong Gigi.
Upacara potong gigi di Jawa disebut pangur supaya gigi rapi, terutama gigi atas dan gigi taring. Upacara ini dilakukan setelah orang (laki-laki / perempuan) menginjak dewasa dengan tujuan memohon kepada Sang Hyang Widhi supaya dikaruniai kekuatan menahan diri, sabar dan tidak rakus. Di Jawa upacara ini sudah jarang dilakukan.

8). Upacara Perkawinan (Pawiwahan).
Upacara Pawiwahan dilakukan pada saat pertemuan jodoh antara laki-laki dan perempuan. Upacara persembahyangan ini dilakukan dengan maksud mohon kepada Sang Hyang Widhi supaya penganten berdua hidup rukun damai, cukup sandang makan dan tempat serta dikaruniai keturunan yang sehat lahir / batin dan cerdas. Upacara ini di Jawa pada umumnya nanggap wayang lakon Arjuna Wiwaha, kalau tidak ada wayang cukup dengan mekidung kekawin Arjuna Wiwaha.

8.2.5. Upacara Bhuta Yadnya.
Upaca Bhuta Yadnya dilakukan untuk meruwat Bhuta Kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Upacara ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan upacara Dewa Yadnya sehingga susah dipisahkan. Cara memisahkannya hanya melihat sesajinya yaitu apabila sisa sesaji (lungsuran) boleh dimakan manusia itu pertanda Dewa Yadnya, tetapi kalau lungsuran tidak boleh dimakan oleh manusia berarti Buta Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya biasanya memakai sesaji daging mentah.
Sebagai contoh upacara Bhuta Yadnya yaitu upacara ngerupuk di Bali atau upacara wiwit dan murwakala di Jawa (lihat upacara wiwit dan murwakala). Upacara Nyadran (manganan / sedekah bumi) di Jawa merupakan upacara Dewa Yadnya sekali gus upacara Bhuta Yadnya yang diadakan di kuburan (setra) dengan maksud mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas keberhasilan panen dan mengusir hama.
Banyak orang masih ingat bahwa upacara mengusir hama tikus pernah yang diadakan di kuburan Dukuh Tandingoro, Desa Tanjungharjo, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro tahun 1963 dengan nanggap wayang lakon Murwakala Tikus merupakan merupakan upacara Bhuta Yadnya.

--o—






BAB  ~IX
WAYANG DAN KONSEP ASTA   BRATA

9.1. Ajaran Asta Brata dalam Lakon Wayang.
Apabila kita menyaksikan pertunjukan wayang purwa cerita (lakon) Wahyu Makuta Rama (Wahyu Mahkota Rama), maka kita mendengar wejangan (pelajaran) = Asta Brata = dari Krisna kepada Arjuna. Ajaran ini sesuai dengan ajaran Sri Rama kepada adiknya (Bharata) pada waktu diserahi memegang tampuk pemerintahan Ayodya, sesuai juga dengan wejangan Sri Rama kepada  Wibisana pada waktu akan diserahi memegang tampuk pemerintahan Alengka Pura.
Asta Btrata adalah ajaran manajemen menurut Agama Hindu yang harus dilaksanakan oleh Raja atau Pemimpin, baik pemimpin negara atau pemimpin rumah tangga.

9.2. Asta Brata Naskah Wayang dan Asta Brata dalam Smrti.
Ajaran atau konsep apapun yang diuraikan dalam lakon wayang dapat dipastikan selalu merujuk kepada sastra-sastra Hindu. Sastra yang dimaksudkan dalam tulisan-tulisan Hindu adalah kitab suci. Sebagaimana diuraikan di depan bahwa cerita-cerita yang terdapat dalam lakon-lakon wayang bersumber dari epos besar Ramayana dan Maha Bharata. Kedua epos tersebut dalam agama Hindu memiliki  kedudukan istimewakarena termasuk kitab suci Hindu. Selain mengambil dari kedua epos itu cerita wayang pula banyak yang mengambil dari Weda Smrti.
Terkait dengan uraian Asta Brata ini untuk lebih jelasnya penulis petikan dari halaman 355 dan 356 buku Manawa Dharmasastra  (keluaran Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1977/1978 (cetakan ke lima) penerbit CV. Junasco,  sebagai berikut :
1. Akan saya nyatakan dan perlihatkan kewajiban raja sebagaimana raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri, sebagaimana (ia) dijadikannya dan bagaimana ia dapat mencapai kesempurnaan yang tertinggi.
2. Ksatria yang telah menerima sakramen menurut Weda, berkewajiban melindungi seluruh dunia sebaik-baiknya.
3. Karena kalau orang-orang ini tanpa raja akan terusir, tersebar ke seluruh npenjuru oleh rasa takut. Tuhan telah menciptakan raja untuk melindungi seluruh ciptaannya.
4. Untuk memenuhi maksud tujuan itu (raja) harus memiliki sifat-sifat pertikel yang kekal dari pada Dewa Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Chandra dan Kuwera.
5. Karena raja (sekarang) memiliki sifat-sifat Dewata dari dewa-dewa itu, karena itu pula sifatnya melebihi kecemerlangan mahluk-mahluk lainnya.
6. (Dan) laksana matahari, ia membakar mata dan hati, demikianlah tak seorangpun di dunia ini yang dapat menatapnya.
7. Malalui kekuatan (gaibnya), ia Agni, Wayu, Arka, Soma, Yama, Kuwera, Waruna, Indra yang perkasa.
8. Walaupun raja masih kecil (sekalipun) jangan (ia) diremehkan dengan anggapan bahwa ia sekedar mahluk biasa karena ia adalah dewata agung, lahiriah berwujud manusia biasa.

Dari uraian di atas maka seorang raja / pemimpin yang bijaksana harus memiliki mengamalkan 8 sifat Dewata, yaitu :
1. Indra, seorang raja atau pemimpin harus mempunyai sifat pahlawan, mempertahankan kebenaran dan mempertahankan daerah yang dipimpinnya, tanpa mengenal menyerah.
2. Bayu  ( Wayu ), seorang raja atau pemimpin harus mempunyai sifat jujur seperti angin, yaitu menyegarkan, apabila melewati barang berbau wangi, maka akan mengabarkan ke tempat lain wangi pula, apabila melewati barang berbau busuk , akan mengabarkan ke tempat lain bau busuk pula.
3.Yama  ( Yamadipati ), seorang raja atau pemimpin harus memberi hukuman dan hadiah seadil-adilnya tanpa pandang bulu, seperti Sang Hyang Yamadipati. Dengan perlakuan dan tindakan yang adil kepada semua penduduk atau yang dipimpinnya, maka yang dipimpin akan tetap taat dan hormat, walaupun pada saatnya diberi hukuman yang berat.
4.Surya, seorang raja atau pemimpin harus bertindak seperti matahari, yaitu menyinari (memberi penerangan) kepada rakyatnya sama rata tanpa pilih kasih. Dengan penerangan yang baik dan merata , maka semua rakyat merasa mendapat kekuatan dan terayomi.
5.  Agni  ( Api ), seorang raja atau pemimpin harus bersifat panas dan bersemangat, jangan sampai loyo. Jadi raja atau pemimpin harus banyak mengeluarkan ide dan semangat pembaharuan atau pembangunan untuk mencapai cita-cita seluruh masyarakat.
6. Baruna ( Waruna ). seorang raja atau pemimpin harus bersifat teguh, kuat seperti ombak lautan, semua yang menghalangi diterjang.
7. Chandra, walaupun raja itu keras, tetapi harus tetap berwajah berseri-seri laksana bulan purnama, siapa yang memandang merasa sejuk dan tenteram.
8. Kubera  ( Kuwera ), seorang raja atau pemimpin harus bersifat hemat terhadap kekayaan negara, tidak hidup bermewah-mewah, berfoya-foya dan korup.

Apabila di bumi ini manusia dengan sungguh-sungguh mau atau berminat ingin menjadi manusia yang bijak, selanjutnya orang-orang  yang bijak seperti itu dapat menjadi pemimpin di berbagai negeri, maka niscaya tidak terdapat masyarakat yang miskin atau paling tidak (tidak terlalu banyak orang miskin). Bila terdapat para pemimpim yang dapat menerapkan Asta Brata, maka kian hari tiap negeri akan kian bertambah kekayaan negarinya, seperti kekayaan Sang Hyang Kuwera.


--o--









BAB   X
WAYANG BHUTA

10.1. Gambaran Umum.
Pada umumnya orang menafsirkan bahwa raksasa sama dengan bhuta. Dalam cerita pewayangan sesungguhnya raksasa itu tidak sama dengan bhuta, karena yang dimaksud dengan raksasa adalah orang (makhluk) yang besar, kuat dan sifatnya kasar seperti bhuta, sedangkan buta adalah sifat-sifatnya, tetapi karena sudah salah kaprah maka raksasa sama dengan bhuta. Selain raksasa dan bhuta terdapat wayang yang digolongkan sebagai drubhiksa, yaiut makhluk halus yang menempati daerah tertentu.
Penggunaan wayang untuk menggambarkan golongan raksasa, bhuta dan drubhiksa  biasanya digunakan wayang yang sama, hanya raksasa yang menjabat sebagai raja atau patih dan anak raja yang disiapkan dengan wayang tersendiri.

10.2. Raksasa.
Raksasa adalah orang yang besar sifatnya kasar, jadi raksasa mempunyai kerajaan dan masyarakat seperti orang biasa dan dapat berobah menjadi orang  dan kawin dengan orang. Raksasa perempuan disebut raseksi (raksasi).  Orang juga bisa mempunyai anak raksasa.
Contoh : Bagawan Wisrawa dengan Dewi Sukeksi dari Negara Alengka Pura adalah orang yang mempunyai anak raksasa, yaitu Dasamuka ( Rahwana ), Kumbakarna, dan raseksi Sarpakenaka, sedangkan Gunawan Wibisana bukan raksasa.
Prabu Trembuku seorang raksasa dari negara Pringgadani mempunyai anak raseksi yaitu Dewi Arimbi. Setelah kawin dengan Bima, Dewi Arimbi berubah menjadi manusia. Perubahan di sini yang dimaksud adalah perubahan sifat yang kasar menjadi halus. Dalam cerita pewayangan banyak rasaksa menjadi raja, yaitu : (1) Prabu Dasamuka, (2)  Prabu Gurawangsa, (3) Prabu Kangsadewa, (4) Prabu Baka, (5) Prabu Trembuku, (6) Prabu Bagaskara.
Seorang Resi berwajah raksasa yaitu : Bhagawan Bagaspati. Ia mempunyai seorang anak cantik bernama Dewi Pujiwati, dikawin oleh Narasoma (Prabu Salyapati), dan mempunyai cucu  raksasa juga bernama Burisrawa.
Raksasa di dalam pewayangan digambarkan sebagai orang yang bertubuh besar, kekar dan biasanya bertaring dan berwajah warna merah atau coklat.

10.3. Bhuta
Wayang Bhuta adalah wayang yang menggambarkan sifat manusia pada waktu pikirannya sedang gelap ( bhuta / buteng ).
Wayang buta diberi nama seperti sifat yang dimaksud yaitu :
a. Rambut  Geni, b. Jurang  Grawah, c. Padas  Gempal, d. Kala  Munyeng, e. Buta  Pengung, f.  Sindung Riwut.
Bhuta – bhuta ini kalau berperang maju secara krubutan  (gerombolan) dan yang bisa mengalahkan adalah Nala Gareng, Kantong Bolong dan Bagong. Ciri-ciri wayang Bhuta adalah sebagai berikut :

1). Ciri – ciri Umum :
Ciri-ciri umum wayang Bhuta adalah tangan sebelah mengepal dfan tidak dapat digerakkan (ikut diapit) dan tangan satunya dengan telapak tangan terbuka dapat digerakkan. Ciri ini menggambarkan bahwa orang yang sedang marah (gelap pikirannya) tidak mau bekerja dan suka merusak barang (nggebrak meja).

2). Ciri-ciri khusus.
a. Bhuta  Rambut  Geni.
Bhuta Rambut Geni yaitu buta yang rambutnya merah seperti kobaran api, tingkahnya galak. Kalau menghadapi musuh tangannya srawehan (bergerak terus) dengan suara mendesis dan matanya membelalak, mulutnya menganga , kakinya menghentak-hentak tanah. Hal ini menggambarkan bahwa orang yang sedang marah otaknya / kepalanya panas , sehingga rambutnya seperti api.

Bhuta Rambut Geni

b. Bhuta Jurang Grawah
Bhuta Jurang Grawah yaitu bhuta yang mulutnya lebar menganga dan tingkahnya galak. Hal ini menggambarkan bahwa orang yang sedang marah memasukkan hal-hal yang ada di luar permasalahan yang dihadapi. Contoh seorang suami yang sedang bertengkar dengan isterinya, kadang-kadang memasukkan mertua, saudara ipar atau bekas pacar sang isteri ke dalam pertengkaran tersebut.
Bhuta  Jurang  Grawah.
Layaknya jurang yang menganga akan memakan apa saja yang lewat, memuat bermacam-macam binatang yang terpeleset ke jurang tersebut, yang tak mungkin dapat bangkit kembali.

c. Bhuta  Padas  Gempal.
Bhuta Padas Gempal yaitu bhuta yang mulutnya menganga dan tindaknya kasar / ganas, matanya besar. Hal ini menggambarkan bahwa orang sedang marah, karena terlalu kalap maka benda-benda yang ada disekelilingnya yang tidak berdosa sekalipun akan ikut menjadi sasaran.
Contoh seorang suami yang sedang bertengkar dengan isterinya masalah anak, tetapi piring yang ada di dekatnya diambil dan dibanting sehingga hancur berantakan.

d. Bhuta  Kala Munyeng.
Bhuta Kala Munyeng yaitu buta yang kepalanya botak dan suaranya sengau (bahasa Jawa : bindeng ).    Hal ini menggambarkan bahwa orang yang sedang marah tidak mengingat wakltu (kala), atau bingung (munyeng).
Contoh seorang suami yang bertengkar dengan isterinya tidak tahu waktu, kira-kira jam satu malam yang tetangga sedang tidur. Atau suatu kelompok teroris yang tidak mengenal waktu, ia marah dan jam dua belas malam mengebom suatu tempat yang orang orang di daerah itu tidak tahu masalahnya.

e. Bhuta Pengung.
Bhuta Pengung adalah bhuta yang berbadan besar, tetapi linglung seperti orang bodoh. (Dalam pewayangan diberi warna hijau, maka disebut Buta Ijo atau Bhuta Terong).
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang sedang marah itu seperti orang bodoh yang tidak mau diperingatkan oleh orang lain.
Contoh seorang yang sedang marah, berhenti sebentar melamun, menyendiri tidak mau ditegur atau diperingatkan orang lain, merasa benar sendiri. Kalau terlalu parah marahnya seseorang bisa menjadi gila.

f.  Bhuta Sindung Riwut.
Orang yang sedang marah suka membuat keributan, tanpa didasari pemikiran yang baik lalu bertindak mengobrak abrik barang-barang disekitarnya. Orang yang sedang merasa benar sendiri tanpa memperhatikan undang-undang ia mengamuk, membakar dan merusak milik orang lain yang dianggapnya tidak benar, merusak tempat hiburan yang menurutnya tidak sesuai dengan kesusilaan, mendahului kewenangan polisi. Orang-orang yang ikut dalam keributan biasanya tidak didasari oleh kesadaran yang tinggi, melainkan hanya didasari marah sesaat.

Yang dapat mengalahkan kelima bhuta itu adalah orang yang berpikiran baik (Nala Gareng), orang yang berbuat baik (Kantong Bolong / Petruk) dan orang yang berucap baik (Bagong), atau biasa disebut orang yang telah melaksanakan Tri Kaya Parisuda.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa bhuta bukan menggambarkan orang per orang tetapi menggambarkan secara umum keadaan seseorang kalau dalam keadaan buteng (bhuta) pikirannya. Dengan demikian setiap orang dapat menjadi bhuta kalau tidak dapat mengendalikan diri. Orang yang dapat mengendalikan kesadarannya adalah orang yang telah melaksanakan Tri Kaya Parisuda, yaitu berpikiran baik, berbuat baik dan berucap baik. Orang yang dapat mengendalikan diri bukanlah hanya orang yang telah dewasa secara kelahiran, tetapi juga bisa saja anak yang masih muda, tetapi jiwanya sudah dewasa. Maka dari itu pelajaran mengenai pengendalian diri (pemusatan pikiran) harus diajarkan mulai kecil, sehingga dalam pergaulan sehari-hari dapat melaksanakan Tri Kaya Parisuda.

Jadi kalau pikiran sedang gelap jangan menyakahkan setan, tetapi kuasailah dirimu, kalau ada orang yang tega membunuh orang bukan karena setan, tetapi orang tersebut tidak dapat mengendalikan emosinya (dirinya).
10.4  Bhuta Cakil
Selain lima macam bhuta yang telah disebutkan di atas dalam pewayangan diceritakan juga adanya satu bhuta yang mempunyai ciri tersendiri dan diberi nama Bhuta Cakil atau  Gerdir Caluring, Gendir Menjalin, Marica.
Ciri-ciri Buta Cakil :
(1). Semua tangannnya dapat digerakkan
(2). Badan langsin
(3). Mata setengah terbuka (bahasa Jawa = kriyip-kriyip)
(4). Suara seperti wanita
(5). Bubir bawah ada giginya satu biji ( gigi tidak di geraham)
(6).Geraknya srawehan (dengan aktif) memegang bagian tubuh musuh.
(7). Wayang Bhuta Cakil dikeluarkan atau dimainkan pada waktu pemirsa (terutama anak-anak) sudah tidur.
(8). Kalu berperang tidak krubutan (kroyokam), artinya berani sendirian melawan musuh.
(9). Musuhnya bukan Nala Gareng, Petruk dan Bagong, tatapi satriya yang sedang berjalan akan menunaikan tugas, umpama Janaka (Arjuna), Abimanyu dan sebagainya (di Jawa disebut Bambangan).
(10).Kalau berperang langsung menuju sasaran, yaitu memegang badan musuh, menciumi dan menggelitik.
Bhuta Cakil
Hal ini menggambarkan bahwa sambekala atau begalan atau gangguan yang sering muncul di dunia manusia ini adalah Bhuta Cakil, dia selalu muncul setiap ada kegiatan apapun, dimanapun serta berlaku umum baik untuk Sudra, Waisia, Ksatria maupun Brahmana. Contoh :
(1). Seorang petani akan pergi ke sawah yang jaraknya kira-kira dua kilometer dari rumah Dalam perjalanan ketemu warung, dari dalam warung kopi itu terdengar suara “Mampir Mas !”. Setelah petani itu melongok ke warung, ternyata di dalam ada Dakocan (dagang kopi cantik), akhirnya ia mampir dan ngobrol, hingga lupa ke sawah.
(2)     Seorang ksatria (seorang pejabat yang terhormat) akan pergi ke Jakarta dalam urusan rapat dinas, di perjalan ketemu dengan Bhuta Cakil (bibir bawah ada giginya satu), tetapi mungkin sudah disengaja atau dengan persetujuan, akhirnya pergi ke Jakarta didampingi oleh Bhuta Cakil itu.
(3)     Banyak contoh yang lain di dalam masyarakat, seseorang dapat terjebak oleh rayuan Bhuta Cakil.

Bhuta Cakil akhirnya dapat dikalahkan bukan oleh Nala Gareng, Petruk dan Bagong , tetapi oleh Ksatria dengan cara menusukkan keris ke bagian lambungnya (atau mungkin dekat-dekat situ), terutama Janaka dengan senjatanya yang ampuh yaitu sarutama (barang kalau dibicarakan saru, tetapi kalau digunakan utama), pada hal keris (bahasa Jawa : senjata keker nanging ora kena kanggo iris-iris) itu semula untuk mainan (dipermainkan) oleh Bhuta Cakil. Anehnya Bhuta Cakil ini setelah ditusuk oleh sang ksatria, kakinya bergerak-gerak dan akhirnya baru mati, tetapi si Bhuta Cakil akan muncul lagi di cerita yang lain dengan peran yang sama.

10.5. Drubhiksa
Drubiksa di dalam pewayangan menggambarkan makhluk halus (dunia panglimunan, siluman) yang menempati tempat-tempat angker. Untuk menggambarkan drubhiksa yang dipakai adalah wayang berbentuk Bhuta atau raksasa.
Di pewayangan (Jawa) dalam lakon Babat Alas Wana Marta (Wisa Marta) disebutkan ada seorang drubiksa bernama Wilawuk. Anaknya yang cantik bernama Sri Mambang mencintai Arjuna, tetapi karena dia tanpa badan kasar (wadag) maka tidak dapat bersatu secara jasmani, tetapi hanya dapat bersatu secara jiwa, yang berarti dapat memberi tambahan kekuatan batin kepada Arjuna. Karena Arjuna mau diikuti Sri Mambang, maka Arjuna diberi minyak pranawa oleh Wilawuk. Minyak pranawa berkasiat, yaitu kalau minyak ini diusapkan di kelopak mata, maka orang yang bersangkutan dapat melihat makhluk halus. 
Mengingat hal ini orang Jawa banyak yang percaya bahwa terdapat tempat-tempat yang dihuni oleh drubhiksa, maka sangat hati-hati melintasi tempat-tempat yang dianggap angker.
Orang Jawa percaya adanya Gandarwo, Wewe Gombel, Banaspati, Tuyul, Sundel Bolong, Otek-otek, Warudoyong dan sebagainya yang bertempat tinggal di pohon beringin, di bawah jembatan, di pohon gayam, di tempat yang rimbun, di air yang menggenang. Orang Jawa banyak yang percaya bahwa seseorang dapat ketempelan (kemasukan) penghuni tempat tertentu, sehingga kalau melewati daerah yang dianggap angker harus mengucapkan “ikut lewat atau numpang lewat” kepada para penghuni yang tidak kelihatan tersebut.
Dalam kitab suci  Manawa Dharmasastra : adhyaya IV sloka 129 disebutkan :
“ Na snanamacaredbhuktwa naturo na mahanici, na wasobhih sahajasram nawijnate jalacaye”.
“ Hendaknya ia jangan mandi setelah sehabis makan, ataupun kalau ia sakit, tidak pula waktu tengah malam, atau jangan terlalu sering berpakaian terlalu lengkap, tidak pula mandi di telaga yang ia sendiri belum begitu tahu.”.
Banyak terjadi orang tenggelam karena mandi di tempat yang ia sendiri belum begitu kenal dengan tempat tersebut, maka dari itu penulis tidak pernah mengajak anak mandi di laut, di telaga maupun tempat pemandian umum (kolam renang) sebelum mengenalkan diri sebangak tiga kali dengan tempat tersebut; jadi baru pada hari kunjungan ke – empat-lah kami dan anak-anak berani mandi.
Sekitar tahun 1981-1982 pernah terjadi anak mati (bahasa Jawa : kalap) di pemandian umum di kota Ambon, padahal tempat itu ramai dikunjungi orang.
Pada tahun 1993 pernah terjadi di sebuah air terjun kawasan kota Kupang (Nusa Tenggara Timur) anak tenggelam di dasar kolam, padahal kolam air terjun tersebut tidak terlalu dalam.
Pada tahun 2002 pernah terjadi air bah besar sekali di tempat pemandian Kecamatan Pacet yang menewaskan banyak orang. Pada tahun 1969 penulis sendiri pernah akan tenggelam di salah satu kolam air terjun sebelah utara kota Jember, pada waktu itu penulis ikut piknik anak-anak SMEA Jember, ke salah satu telaga yang baru penulis kenal pada waktu itu, penulis langsung berenang di kolam, setelah anak-anak naik ke atas , penulis terasa terserap ke bawah, untung pula pada waktu itu sempat minta tolong dengan mengacungkan tangan, sehingga salah satu guru SMEA tersebut terjun mengangkat penulis..
Maka dari itu sekali lagi jangan mandi di sembarang tempat kalau anda belum kenal dengan tempat tersebut.
Bhuta Cakil menghadang  Satria yang akan melaksanakan tugas.
BAB  XI
WAYANG  RAMAYANA

11.1. Gambaran Umum
Epos besar Ramayana asli dari India yang ditulis oleh Maha Rsi Wamilki sudah banyak mengalami penterjemahan, baik dalam bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Baru maupun dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Karena banyak terjemahan (saduran) banyak pula versinya, apalagi di Jawa dan Bali cerita ini berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing dhalang.
Dalam buku ini penulis tidak menceritakan lakon (cerita) yang bersangkutan secara lengkap, tetapi hanya tentang makna dari simbol-simbol yang penulis tangkap dari cerita Ramayana , baik dari hasil membaca buku maupun melihat pagelaran wayang kulit atau wayang orang (wong) dan dari petunjuk orang tua
Mengingat keterbatasan penulis membaca buku yang telah ada dan sangat sedikit penulis melihat pagelaran wayang, maka penulis hanya memasukkan lakon yang penulis anggap ada maknanya dalam kehidupan sehari-hari; sehingga penjelasan yang penulis sajikan tidak persis seperti alur cerita pada buku-buku lain yang telah ada dan tidak menyebutkan sumber analisanya dan bisa dianggap sebagai persepsi pribadi penulis. Oleh sebab itu jika ada pendapat lain tentang tulisan ini, atau bertentangan, penulis dapat menerimanya, karena wayang berarti bayangan yang dapat ditafsirkan dari beberapa sudut sesuai dengan pandangan masing-masing individu.
Untuk mendapatkan gambaran yang penulis harapkan, maka penulis mengambil intisari (persepsi pribadi) mengenai cerita :
!). Sumantri mengabdi  ( bahasa Jawa : Sumantri ngenger )
Diceritakan bahwa Sumantri mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Negara Mahespati, karena malu mempunyai adik yang jelek, Sumantri tega membunuh adiknya si Sukasrana.
2)..Resi Gotama
Rsi Gotama mempunyai isteri yang cantik dan mempunyai  tiga orang anak. Karena isterinya mempunyai Cupu Manik Astagina , maka sang Resi marah dan dikutuklah isterinya.
3). Kerajaan Alengka Pura.
Kerajaan Alengkapura diperintah oleh Prabhu Sumali, yang akhirnya diserahkan kepada cucunya yaitu Dasamuka. Prabu Dasamuka menculik Dewi Sinta dan akhirnya dikalahkan oleh Sri Rama dan kerajaan diserahkan kepada Wibhisana.
4). Kerajaan Ayodya.
Kerajaan Ayodya diperintah oleh Prabhu Dasarata, kemudian diserahkan kepada anaknya Bharata dan riwayat terusirnya Sri Rama dari kerajaan, akhirnya Sri Rama kembali setelah Dewi Sinta dapat diboyong kembali dari Alengkapura.
5). Resi Wasista dan Wiswamitra.
Resi Wasista adalah seorang Rsi yang terkenal , suatu ketika kedatangan Raja yang bernama Wiswamitra yang bermaksud minta sapi yang dipelihara oleh Rsi Wasista untuk dibawa ke istana.
Kelima cerita itulah yang akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini berkenaan dengan pokok masalah Wayang Ramayana.

11.2. Sumantri Mengabdi
Dalam bahasa Jawa Sumantri Mengabdi disebur Sumantri ngenger .Pada jaman kerajaan Mahespati diperintah oleh Prabhu Harjuna Sasrabahu terdapat pertapaan dengan seorang Rsi bernama Bhagawan Suwandageni. Sang Bhagawan terkenal bijaksana dalam mendidik murid-muridnya, begitu juga terhadap kedua anaknya yaitu yang bernama Sumantri dan Sukasrana.
Sumantri adalah pemuda yang tampan, pandai menggunakan peralatan perang, cerdas dan sakti, sedangkan adiknya si Sukasrana berwajah jelek, namun kesaktiannya luar biasa, melebihi kesaktian Sumantri. Setelah menginjak dewasa Sumantri ingin mengabdikan diri kepada Raja, dengan maksud bekerja untuk negara sebagai ksatria, maka pada suatu hari ketika Sukasrana tidak ada di rumah Sumantri minta izin kepada Sang Bhagawan untuk meninggalkan pertapaan pergi ke istana. Setelah mendapat izin dan bekal petuah-petuah dari Sang Bhagawan, Sumantri berangkat menuju istana tanpa diikuti oleh adiknya.
Pesan Sang Bhagawan kepada anaknya dengan Sekar Kusumastuti, sebagai berikut :
Sang putra-putraningsun
Wus wanci sireki
Apan pisah lawan ingwang
Supaya ngabekti
Tekan sira neng praja
Idep labuh nagri
Kang yogya sira gayuh
Amanut Hyang Widhi
Anak-anakku semua
Sudah waktunya dikau
Piasah dengan saya
Supaya mengabdi
Sanpai ke Kerajaan
Sebagai pembela negara
Yang perlu kamu capai
Mengikuti perintah Tuhan
Selanjutnya diteruskan dalam Sekar Dandanggula sebagai berikut
Sayogyane wong arep ngabekti
Sesangua srana kang cukupa
Waton bener penganggone
Aja sira salang surup
Sukasrana aja gondeli
Tatak mantep pisahan
Iya pegatipun
Karo kadang Sukasrana
Aja nganti kalah bujuk rayu neki
Supaya antuk Swarga
Sebaiknya orang mengabdi
Berbekal sarana secukupnya
Asal benar pemakaiannya
Jangan sampai salah
Sukarsana jangan dipeluk
Kuatkan diri untuk berpisah
Ya perpisahannya
Dengan saudara kesukaanmu
Jangan takluk  rayuannya
Supaya mendapat Sorga
Sumantri

Selesai bermain Sukasrana datang ke rumah, ia sangat tercengang karena kakaknya tidak ada di rumah, lalu bertanya kepada Sang Bhagawan tentang kepergian kakaknya. Sementara Sang Bhagawan memberi penjelasan bahwa kakaknya hanya pergi sebentar di sekitar pertapaan saja; tetapi karena ditunggu sampai lama kakaknya tidak dating, maka Sukasrana tidak sabar lagi, akhirnya mendesak terus untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Karena desakan pertanyaan ini akhirnya Sang Bhagawan menjelaskan bahwa kakaknya pergi ke  istana untuk mengabdi kepada raja.
Mendengar jawaban itu Sukasrana minta izin untuk mengikuti jejak kakaknya, namun mengingat Sukasrana masih kecil maka Sang Bhagawan melarangnya. Larangan ini tidak menggoyahkan niat Sukasrana, akhirnya dengan perasaan iba hati Sang Begawan mengijinkan pula. Dengan tergopoh-gopoh Sukasrana mengejar kakaknya, setelah bertemu ia mohon dengan hormat kepada kakaknya untuk ikut mengabdi kepada raja, karena Sukasrana takut kalau kakaknya mendapat halangan di jalan. Sumantri tidak memperbolehkan karena adiknya masih kecil, tetapi dengan rayuan si adik yang kecil ini akhirnya hatinya luluh dan dengan rasa kasih sayang membimbing tangan adiknya untuk ikut ke istana.
Pada waktu akan menghadap Sang Raja, Sumantri memerintahkan adiknya untuk bersembunyi supaya tidak diketahui oleh Sang Raja, mengingat adiknya rupanya jelek dan menakutkan. Akhirnya sumantri menghadap sendiri langsung mengutarakan keinginannya untuk mengabdikan diri kepada Raja.
Sang Prabhu Harjuna Sasrabahu dapat menerima pengabdian Sumantri dengan syarat “Sumantri dapat memindahkan taman Sri Wedari di Kahyangan ke Kerajaan Mahespati”. Syarat ini disanggupi oleh Sumantri, lalu minta pamit untuk segera dapat melaksanakannya.
Sebetulnya Sumantri merasa berat untuk melaksanakan syarat yang ditetapkan oleh Sang Raja, karena Sumantri tidak mempunyai kemampuan untuk memindahkan taman Sri Wedari tersebut, maka dengan muka sedih ia menemuhi adiknya di persembunyian dan menceritakan kepada adiknya mengenai semua persyaratan yang harus dipenuhi tersebut. Setelah mendengar uraian dari kakaknya, Sukasrana menyanggupi membantu memenuhi persyaratan yang diminta oleh raja; dan Sumantri bernapas lega mendengar kesanggupan adiknya yang jelek itu.
Sukasrana pamit kepada kakaknya sebentar untuk bersemadi, dengan kesaktiannya dalam waktu sekejab taman Sri Wedari di Kahyangan telah dipindahkan ke kerajaan Mahespati. Setelah taman Sri Wedari dipindah, Sumantri bermaksud menghadap Sang Raja, dengan syarat Sukasrana tidak boleh ikut. Sukasrana disuruh bersembunyi di antara pohon-pohon yang ada di taman Sri Wedari. Atas larangan ini maka Sukasrana mendesak terus agar permintaannya untuk ikut dikabulkan oleh kakaknya. Karena Sukasrana tidak dapat dilarang, maka Sumantri mengangkat busur yang telah dilengkapi dengan anak panahnya, tanpa disengaja anak panah terlepas dari busurnya dan mengenai tubuh Sukasrana, akhirnya Sukasrana tewas.
Sebelum meninggal Sukasrana berpesan kepada kakaknya :   ”Kakang Sumantri aku telah kau bunuh, tetapi aku tidak sakit hati, karena ini sudah takdir, aku tetap setia kepadamu dan aku akan menunggu Kakang di pintu sorga”.
 Akhirnya Sumantri diterima pengabdiannya di kerajaan Mahespati, diangkat sebagai Patih dengan nama Patih Suwanda. Cerita selanjutnya menyebutkan bahwa Patih Suwanda diuji lagi tingkat pengabdiannya dengan cara diutus oleh raja untuk mengikuti sayembara memenangkan putri Raja di Kerajaan Manggada yang bernama Dewi Citrawati, dan hasilnya diserahkan kepada Prabhu Harjuna Sasrabahu sebagai permaisuri.
Akhirnya Patih Suwanda ikut sayembara dan berhasil memboyong Sang Dewi. Kejadian ini disarikan dalam Sekar Dandanggula :
Sawise pasuwitan katampi
Ana gegayuhaning Sang Nata
Ratu ing Mahespatine
Nantang Manggadanipun
Arsa mboyong Si Citrawati
Diutus Si Suwanda
Inggih mesti purun
Ciptane sampun tetela
Sunyatane Citrawati kaboyong wis
Tama sedyaning driya

Setelah pengabdian diterima
Ada keinginan  Sang Raja
Raja di Mahespati
Menantang Raja Manggada
Akan membawa Si Citrawati
Disuruhlah Si Suwanda
Ya pasti bersedia
Keinginan sudah jelas
Nyatanya Citrawati dibawa
Tercapailah keinginan hati

Sebelum menyerahkan Dewi Citrawati kepada Sang Raja, Patih Suwanda mempunyai angan-angan “Apakah betul Prabhu Harjuna Sasrabahu itu seorang raja bijaksana dan sakti, yang pantas untuk saya jadikan tempat mengabdi dan bernaung”. Maka Patih Suwanda mau menyerahkan Dewi Citrawati apabila Sang Raja dapat mengalahkannya dalam perang tanding. Ditantanglah Prabu Harjuna Sasrabahu untuk perang tanding. Tantangan tersebut disetujui oleh Sang Prabu, maka terlaksanalah perang tanding , ternyata sama saktinya, akhirnya untuk mengakhiri perang tanding tersebut Sang Prabu triwikrama menjadi raksasa besar, lalu menyembahlah Ki Patih Suwanda dan percaya bahwa Sang Prabu adalah titisan Wisnu yang pantas untuk tempat mengabdi. Kejadian ini disarikan dalam Sekar Dandanggula :
Supaya bisa amengerteni
Apa bener ratune utama
Ratune disepeleke
Nantang perang mring Ratu
Arsa nguji degdayaneki
Dasare Ratu utama
Iya datan keguh
Cipta ening ditamakna
Suwanda mesti datan bisa nandingi
Tama manut mring Nata

Supaya bisa mengerti
Apa benar ratunya orang utama
Ratunya direndahkan
Nantang perang kepada ratunya
Akan menguji kesaktiannya
Memang  Ratu utama
Ya tidak keberatan
Cipta ening digunakan
Suwanda pasti tidak bisa melawannya
Akhirnya tunduk menurut sang Raja

Akhirnya Patih Suwanda mati membela Negara pada saat negara Mahespati diserang oleh Rahwana Raja dari Alengkapura.
Dari masalah yang diuraikan di pewayangan tersebut, orang awam menilai bahwa Sumantri sangat jahat dan kejam, hanya karena adiknya jelek, adiknya tidak boleh ikut mengabdi kepada raja dan sampai tega membunuhnya, padahal adiknya selalu membantu apabila ia mendapat kesulitan.
Berhubung cerita wayang adalah salah satu cara untuk mengajarkan agama, maka kita berusaha memandang cerita ini dari sudut agama. Agama adalah suatu ajaran yang tidak mengenal (membedakan) tempat dan waktu, jadi berlaku untuk semua orang di mana saja dan kapanpun juga, berbeda dengan adat yang berlaku hanya untuk orang yang tunduk dan mengikuti adat tersebut. Ditinjau dari pelaku dalam cerita, kira-kira dapat diuraikan sebagai berikut :

(1). Suwandageni dari kata (a) su = baik / lebih, (b). wanda = rupa / raut muka geni = api
(2). Sumantri dari kata (a) su = baik / lebih  mantri = mengabdi (ngenger).
Setelah mengabdi Sumantri diberi nama Patih Suwanda berarti seorang Patih yang baik dan pantas sebagai teladan
(3). Sukasrana dari kata (a) suka = senang (gembira) (b) srana = sarana (bahan). Jadi Sarana untuk mendapatkan kesenangan. Untuk jaman sekarang sarana ini pada umumnya dikaitkan dengan uang.

Dalam ajaran ini  ( berlaku kapan saja, di mana saja, untuk siapa saja ) apabila kita akan mengabdi, kita harus membawa peralatan (sarana), tetapi kalau pengabdian kita telah diterima, kita harus membunuh sarana (uang) tersebut di pikiran kita.

Contoh : Sukasrana Menunggu di Pintu Sorga
(1). Saya masuk sekolah, membawa uang sangu Rp. 100,00 untuk membeli jajan. Pada waktu saya mendengarkan pelajaran, saya harus melupakan uang sangu tadi (pikiran pada uang dibunuh), supaya dapat menerima pelajaran dengan baik, apabila saya selalu memikirkan uang tersebut saya tidak dapat menerima pelajaran dengan baik, sebab uang sangu tersebut akan tetap menunggu di pintu keluar saat istirahat.

(2). Saya pergi sembahyang di Pura, membawa uang, naik sepeda bersama anak dan isteri. Pada waktu saya sembahyang saya harus melupakan uang, sepeda, anak dan isteri, supaya dapat sembahyang dengan khusuk (samadhi) apabila saya masih memikirkan uang, sepeda, anak dan isteri, saya tidak dapat samadhi, sebab setelah nselesai sembahyang toh saya ketemu lagi dengan uang, sepeda, anak dan isteri.

(3). Saya akan mengabdi kepada Pemerintah, menjadi pegawai negeri, membawa ijazah, uang sebagai bekal dan perakatan lain yang diperlukan. Pada waktu saya diterima menjadi pegawai negeri, saya harus melupakan uang itu, tetapi harus selalu bekerja dengan baik, sebab sukasrana menunggu di pintu surga, yaitu :
(a).  tanggal satu – gajian                  = sukasrana datang
(b). dua tahun  - naik gaji berkala     = sukasrana datang
(c). empat tahun  - naik pangkat       = sukarsana datang
(d). akhir pengabdian  - pension       =sukasrana menunggu
(4)     Saya akan mengabdi sebagai tukang batu untuk membangun gedung, saya membawa peralatan yang diperlukan. Pada waktu saya diterima sebagai tukang batu, saya harus melupakan berapa gaji saya, yang penting saya bekerja dengan baik, apabila saya selalu memikirkan uang saja, saya tidak dapat bekerja dengan baik, toh pada hari Sabtu nanti gajian.

Contoh : Sukrasana Tidak Mau Menunggu di Pintu Neraka.
(1). Saya diterima sebagai pegawai negeri, kebetulan diangkat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha, saya tidak dapat membunuh Sukasrana, saya teringat terus kesaktian uang, maka pada waktu ada seorang yang melamar pekerjaan di kantor saya dan ada pegawai saya yang akan naik pangkat, kesempatan bagi saya untuk minta uang pelicin dan pada waktu membeli barang-barang kebutuhan kantor kesempatan menaikkan harga yang selisih harganya masuk kantong saya sendiri. Saya senang sekali sambil berkata : “Sukasrana saya cinta padamu, kalau tidak ketemu kamu saya sangat merindukannya, dengan cara apapun kamu selalu saya cari untuk teman bersenang-senang di dunia ini, marilah Sukasrana ikut saya mumpung ada kesempatan”. Karena perbuatan saya tersebut diketahui oleh atasan, akhirnya saya dipecat, masuk nerakalah saya. Sukasrana tidak mau datang menemui saya lagi, dengan sendirinya :
(a). tanggal satu - tidak gajian= sukarsana tidak menunggu
(b).akhirnya - tidak pension = sukasrana tidak menunggu
Sambil menangis saya berkata : “Sukasrana mengapa saya selalu menggandeng tanganmu; karena kesaktian dan bujuk rayumu saya terlena dan akhirnya terjerumus ke neraka, kalau tahu begini akibatnya aku pasti membunuhmu”.

(2). Saya diterima sebagai tukang batu, tetapi saya jengkel karena sudah lama upahnya tidak dinaikkan, saya selalu memikirkan kenaikan upah, maka saya ogah-ogahan bekerja dan hasil pekerjaan saya menjadi jelek, akhirnya saya mencuri semen untuk saya jual. Perbuatan saya itu diketahui oleh bos dan saya dipecat, masuk nerakalah saya, saya tiap hari Sabtu tidak mendapat upah lagi.
Sambil menangis saya berkata : “Mengapa saya kemarin hanya memikirkan upah saja, tanpa memikirkan prestasi kerja, saya sekarang dipecat, masuk neraka, tidak mendapat pekerjaan lagi, Sukasrana dimanakah engkau berada ?”.

Demikianlah ajaran mengenai Sumantri mengabdi (ngenger), yang intinya kita harus berani membunuh Sukasrana yang sangat kita cintai, karena Sukasrana selalu menunggu kita di pintu surga, tetapi kalau kita terpengaruh bujuk rayunya, kita akan terlena dan masuk neraka, lalu ditinggalkan oleh Sukasrana


Sumantri perang tanding melawan Prabu Harjuna Sasrabahu

11.3.  Rsi Gotama dan Putra-putranya.
Di daerah Gunung Sukendra terdapat pertapaan yang dihuni oleh seorang Rsi bernama Rsi Gotama dengan isterinya yang cantik, konon titisan Dewi Sri yang bernma Dewi Windarti (Retna Windradi) dan ketiga anaknya, yaitu Dewi Anjani, Subali dan Sugriwa yang hidup rukun damai dengan dibantu oleh seorang cantrik (pengasuh) bernama Jembawan.
Dewi Windarti
Rsi Gotama
Ketenretaman tersebut terusik setelah anak-anak menginjak dewasa. Setelah diteliti oleh Rsi Gotama diketahui bahwa pertengkaran anak-anak disebabkan oleh Cupu Manik Asta Gina yang dimiliki oleh Dewi Anjani.  Dewi Anjadi ditanya oleh Rsi Gotama mengaku bahwa Cupu manik didapat dari ibunnya.
Dari penjelasan Dewi Anjani tersebut Rsi Gotama bertanya kepada isterinya : “Dari mana didapat Cupu Manik tersebut”, tetapi Dewi Windarti tidak mau menjawab sepatah katapun, hanya terdiam seperti tugu. Akhirnya Rsi Gotama marah, ia mengatakan “ He, baik benar kau Windarti, tiga kali pertanyaanku tidak kau jawab, dikau  mendiam seperti tugu saja”.  Seketika itu juga Dewi Windarti berubah menjadi tugu, ketiga anaknya menangis , mohon kepada Sang Rsi  supaya ibunya dikembalikan seperti semula. Permintaan anak-anaknya tidak dapat dipenuhi karena sabda Sang Wiku telah terucapkan, tidak dapat diulang kembali ( Sabda Pandita Ratu ). Oleh Sang Rsi tugu Windarti dilemparkan ke udara dan jatuh di dekat negeri Alengka Pura dalam bentuk tugu batu. Cupu manik dilemparkan jauh-jauh, sehingga cupu dan tutupnya terpisah, tutupnya jatuh di pekarangan Istana Ayodya berubah menjadi telaga ( danau = danu = donao = ranu = ranao = air ) nirmala dan cupunya jatuh di hutan negeri Ayodya berubah menjadi danau sumala. Ketiga nanak Sang Rsi berlarian mencari  dimana tempat jatuh tugu ibunya sampai merasa lelah, akhirnya menemukan salah satu telaga yang airnya jernih.Si Subali yakin bahwa tugu ibunya jatuh di danau tersebut, maka tidak pikir panjang ia langsung terjun ke air,  tidak disadarinya ia  berubah wujud menjadi seekor kera;  berikutnya Si Sugriwa begitu  melihat air telaga jernih juga langsung terjun ke air, tidak disadarinya ia berubah menjadi kera pula. Si Subali melihat kera (Sugriwa) di depannya, mengira bahwa kera tersebut yang mengambil cupu dan memakan ibunya di dasar telaga, begitu pula Si Sugriwa melihat kera (Subali) didepannya, mengira bahwa kera tersebut yang mengambil cupu dan memakan ibunya, karena keduanya belum menyadari bila mereka berubah menjadi kera, akhirnya keduanya bertengkar  ramai, karena sama saktinya tidak ada yang terkalahkan.
Pada saat mulai lelah Sugriwa memanggil kakaknya untuk membantu “Kakang Subali, tolonglah aku, aku sedang bergulat dengan kera ditepi telaga !” dan saat itu pula Subali memanggil adiknya “Adikku Sugriwa, tolonglah aku, aku sedang bergulat dengan kera ditepi telaga ! “. ( Maaf  si penulis pada saat mengetik riwayat ini sedang menangis, karena ikut merasakan/terharu bagaimana rasanya kejadian ini”.
Kapi Jembawan
Akhirnya keduanya menyadari bahwa mereka berdua adalah bersaudara, yaitu Subali dan Sugriwa, lalu merangkul erat-erat dengan meneteskan air mata
Berikutnya Dewi Anjani yang diikuti oleh Jembawan, karena lelah dan menemukan telaga yang airnya jernih, tidak berpikir panjang lagi, mereka langsung mencuci muka, dengan tidak disadarinya pula keduanya berubah menjadi berwajah kera dengan tangan yang berbulu lebat. Setelah berkeliling telaga ketemulah keempat orang ini yang semuanya sudah berubah wajah menjadi kera, mereka memohon kepada Sang Hyang Wenang supaya diberikan kesembuhan dan menjadi wajah orang seperti semula.
Dari permohonannya yang tulus itu Sang Hyang Tunggal memerintahkan kepada Sang Hyang Narada untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh ketiga orang tersebut. Sang Hyang Narada datang menemui ketiga orang tersebut dan menceritakan bahwa ketiganya nanti akan menemuhi Swarga Loka dan mengabdi kepada titisan Sang Hyang Bhatara Wisnu, tetapi harus bertapa lebih dahulu. “He titah hulun Dewi Anjani, engkau harus bertapa merendam diri di sungai, boleh makan makanan yang lewat dibawa air dan menyentuh bibirmu; sedangkan titah ulun Subali, engkau harus bertapa diatas pohon dengan kepala di bawah (gantung = ngalong) begitu pula  Sugriwa, kalau titah hulun bisa melaksanakan, engkau akan menemui kebahagiaan”.

11.4.    Dewi Anjani
Karena ketiganya adalah keturunan seorang Rsi (pertapa yang ulung),  maka ketiganya tidak gentar untuk melaksanakan tapa brata yang dimaksud oleh Sang Narada. Dewi Anjani bertapa ditengah sungai, ia memakan barang yang terbawa oleh air. Suatu ketika terdapat daun asam yang jatuh ke air dan terbawa oleh arus sungai yang akhirnya sampai masuk ke mulut Dewi Anjani. Daun asam inilah menjadi makanan Dewi Anjani.. Akibat memakan daun asam ini Dewi Anjani  mengandung, karena  daun  asam ini sebenarnya adalah kama (sperma) dari Bhatara Surya (ada versi lain yang menyebut sperma dari Bhatara Guru) yang sedang melanglang bhuwana menerangi  dunia. Setelah sampai saatnya Dewi Anjani melahirkan, dan alangkah terkejutnya karena anak yang dilahirkan berparas kera dan berbulu putih. Anak ini diasuh dengan seksama oleh pengasuhnya (Jembawan ) dan akhirnya tumbuh sebagai seekor kera yang berbudi luhur, membela kebenaran dan sakti.
Dewi Anjani
Anoman sebagai seekor kera putra Dewa Surya bisa terbang, meneladani sifat-sifat Bhatara Bayu, maka disebut juga sebagai Bayu Suta. Pada waktu dewasanya Anoman ikut berperang memihak Sri Rama, menyerang Alengkapura . Dalam lakon Anoman obong, Anoman sebagai duta Sri Rama untuk mencari di mana keberadaan Dewi Sinta.

Anoman

Dalam pewayangan Anoman berpakaian seperti Bhatara Bayu dengan pakaian corak kotak-kotak hitam pulih, berkuku pancanaka, yang bisa membesar dan mngecil sesuai dengan kebutuhan. Anoman disebut juga sebagai Bhagawan Anoman  (Rsi Anoman). Anoman bisa terbang, tetapi pakaiannya tidak menggambarkan memakai sayap, karena bisa terbangnya dari kekuatan asli, bukan karena jabatan, sedangkan wayang lain bisa terbang karena memakai pakaian sayap, artinya bisa terbang karena jabatan (sebagai raja), sayap lambing kekuasaan (power).

Dalam dunia pewayangan Jawa Anoman dianggap hidup terus sampai jaman kerajaan Kediri di Mawenang dengan sebutan Bhagawan Mayangkara bertempat di Pertapaan Kendalisada. Menurut cerita Jawa Pertapaan Kendalisada adalah di lereng gunung sebelah barat rawa pening,  Ungaran,  Jawa Tengah.
Di Jawa ada tembang pada saat Anoman menemukan Dewi Sinta di Kaputren Alengka Pura. Tembang Kinanti yang terkenal itu (penulis tidak tahu pengarangnya) adalah :

Anoman malumpat sampun                    
Prapteng witing nagasari            
Mulat mangandap tumingal                    
Wanodya yu kuru aking              
Gelung rusak awor kisma                       
Kaiga-iga kaeksi                         

Anoman sudah melompat
Sampai pohon nagarasi
Menengok  kebawah melihat
Wanita cantik kurus kering
Gelung rusak campur tanah
Tulang iga kelihatan

11.5.  Subali  da  Sugriwa
Subali telah melaksanakan bertapa dan mendapatkan kesaktian walaupun mati tujuh kali sehari masih bisa hidup lagi , aji ini disebut  Aji Pancasona” Sugriwa juga telah menyelesaikan bertapanya. Sebali dan Sugriwa setelah selesai bertapa menaklukkan kerajaan Guwa Kiskenda  yang rajanya kakak beradik bernama Lembu Sura dan Mahesa Sura, di dalam pewayangan digambarkan sebagai orang berkepala sapi dan orang berkepala kerbau. Kerajaan Guwa Kiskenda pusat kerajaannya di galam goa.
Goa tersebut tersebut pintunya tertutup batu besar, namun demikian Subali dapat bertempur melawan Lembu Sura dan Mahesa Sura . Sebelum pertempuran dimulai Subali mengatakan kepada Sugriwa bila nanti ada “cairan warna merah” keluar dari goa bararti darah Lembu Sura dan Mahesa Sura, pintu jangan ditutup dengan batu supaya saya dapat keluar dan kamu dapat masuk ke goa; tetapi kalau yang keluar nanti “cairan warna putih” berarti itu darah saya, maka pintu goa segera tutup dengan batu, supaya Lembu Sura dan Mahesa Sura tidak dapat keluar. Sugriwa mengangguk menerima perintah itu.

Rsi  Subali
Prabu Sugriwa
Diceritakan perang satu melawan dua seru sekali. Akhirnya leher Lembu Sura dan leher Mahesa Sura dapat dipegang oleh Subali dan kedua kepala diadu hingga pecah. Pecahnya kedua kepala ini menyemburkan otak (cairan warna putih) sampai ke pintu goa. Sugriwa yang menunggu di luar, setelah melihat cairan warna putih memancar di pintu goa  segera mengambil batu dan ditutupkan di pintu goa, karena yakin bahwa cairan putih yang keluar adalah darah Subali, dan kawatir kalau Lembu Sura dan Mahesa Sura keluar.
Tetapi alangkah sedihnya Subali yang tertutup di dalam goa, tidak dapat keluar, ia memanggil Sugriwa dari dalam goa, tetapi tidak terdengar oleh Sugriwa. Sugriwa langsung melapor ke Kahyangan menjelaskan bahwa Lembu Sura dan Mahesa Sura sudah mati, dari laporan tadi Sugriwa mendapat hadiah Dewi Tara dan menjadi raja di Guwa Kiskenda.
Dalam waktu yang lama Subali berjuang sendirian untuk dapat keluar, akhirnya dengan mengerahkan segala kekuatan dan kesaktiannya dapat keluar, terus mengamuk di istana, Sugriwa dialahkan dan Dewi Tara diambilnya sebagai isteri dan Dewi Tara tahu bahwa yang mengalahkan Lembu Sura dan Mahesa Sura adalah Subali. . Mulai saat itu kedua bersaudara tidak rukun.
Dewi  Tara

Dari perkawinannya dengan Dewi Tara , Subali dikaruniai anak laki-laki berparas kera dan diberi nama Anggada.
 Terdapat suatu cerita bahwa Anoman adalah anak dari Bhatara Guru, maka Bhatara Narada selalu oloh-olok kepada Bhatara Guru, seorang Dewa mempunyai anak kera. Karena jengkelnya Bhatara Guru menaruh kamanya di punggung Bhatara Narada dan akhirnya dari punggung Bhatara Narada lahir seekor kera pendek, diberi nama Anila.

Anggada

Anila

Akhirnya Rsi Subali, Prabu Sugriwa dan anak-anaknya bersamaan dengan Anoman mengabdi kepada Raden Rama, ikut bertempur menyerang Alengkapura.
Selama dalam perjalanan menuju ke Alengkapura,  Subali dan Sugriwa bertengkar terus, akhirnya untuk mendamaikan Sri Rama (sebagai Sang Hyang Sri Bhatara Wisnu) memutuskan untuk mengembalikan Subali ke Swarga Loka menghadap ke Sang Hyang Yamadipati, maka Sri Rama melepaskan jemparing (panah) dan mengenai Subali. Subali meninggal menuju ke Swarga Loka. Setelah Subali meninggal perjalanan ke wilayah negara  Alengkapura tidak ada halangan. Akhirnya Sugriwa, Anoman, Anila, Anggada menang dalam peperangan melawan bala tentara Alengkapura , sedanglan Anoman hidup terus dan gambarnya menghiasi bendera Kerajaan Amerta pada waktu pecah perang Bharata Yuda, sebagai simbol keberanian dan kesucian membela kebenaran.




Kapi Menda

Prabhu Mahesa Sura

Dari cerita tersebut dapat ditarik pelajaran sebagai berikut :

1).  Cupu Manik Astagina
Cupu manik agtagina  adalah suatu pelajaran bagi kaum wanita, yaitu bahwa bagaimanapun seorang isteri sebagai pendamping suami mengatur belanja rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Pelajaran itu adalah :
a.    Seorang isteri harus galitik yaitu teliti terhadap semua pekerjaan, karena kalau ada kesalahan menimbulkan kerugian di kemudian hari.
b.    Seorang isteri harus nastiti yaitu banyak pertimbangan kalau mengambil keputusan atau mengerjakan sesuatu demi kebaikan keuangan dan kerukunan.
c.    Seorang isteri harus ati-ati yaitu hati-hati menggunakan uang yang diterima dari suami, jangan sampai boros (menggunakan uang untuk sesuatu yang tidak perlu atau tidak terjangkau oleh keuangan yang ada).
d.   Seorang isteri harus tetep, yaitu mantap pendirian demi kebaikan rumah tangga, jangan mempunyai perasaan bimbang terhadap jalannya rumah tangga.
e.    Seorang istri harus telaten, yaitu sabar menabung sedikit demi sedikit untuk keperluan dikemudian hari.
f.     Seorang isteri harus atul, yaitu  suka bertanya masalah yang belum diketahui kepada suami.
g.    Seorang isteri harus mantep, yaitu dalam hati ada kemantapan untuk mengabdi kepada suami.
h.    Seorang isteri haus waspada, yaitu waspada terhadap gangguan dari luar yang dapat merusak keutuhan rumah tangga.

2)        Kerukunan
Dari keadaan sehari-hari kehidupan ketiga bersaudara tersebut dapat diambil sebagai contoh atau teladan mengenai kerukunan bersaudara, sehingga segala sesuatu dapat diputuskan bersama Dalam menjalankan kerukunan harus didampingi dengan kewaspadaan, karena kalau tidak waspada ada unsur dari luar yang dapat merusaknya.

3).  Kehati-hatian.
Dari keputusan yang diambil oleh Sugriwa dalam menutup pintu Guwa Kiskenda, tanpa melihat keadaan yang sesungguhnya berakibat Subali terkurung dalam gua, sehingga dapat menimbulkan saling tidak mempercayai antar saudara.Hal ini dapat dijadikan sebagai contoh bahwa apabila kita semutuskan sesuatu harus memperhatikan  tempat, keadaan dan waktu (desa, kala, ptara) yang tepat, supaya tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan.

4).  Kesadaran
Dari musibah yang mereka terima, yaitu berubah keadaan dari manusia menjadi kera, mereka akhirnya menyadari bahwa keadaan semua makhluk ditentukan oleh Sang Hyang Widhi, bukan atas kehendak makhluk tersebut. Sehingga mereka menerima apa adanya dan tetap bersemangat untuk mencapai kebaikan.

5).   Pengabdian
Untuk mencapai kesempurnaan dan menuju ke swarga loka, akhirnya ketiga bersaudara tersebut dengan melalui bertapa dan berjuang mengabdikan diri kepada yang benar. Dari ajaran ini dapat diambil teladan bahwa mengabdikan diri kepada kebenaran bukan hanya dapat dilakukan oleh orang yang kaya, orang yang berpangkat, orang yang keturunan (ningrat), orang yang nggateng atau cantik saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh orang yang jelek dan sudra papa.


--o--






BAB   XI I
KERAJAAN  ALENGKAPURA

12.1.   Kerajaan Alengkapura di Masa Prabu Sumali
Kerajaan Alengkapura adalah kerajaan yang besar dan berwibawa dipimpin oleh Prabu Sumali. Prabu Sumali mempunyai anak seorang putri  yang diberi nama Dewi Sukeksi. Setelah menginjak dewasa Dewi Sukeksi diberi tahu oleh ayahnya kalau akan dikawinkan. Karena anak raja dengan sendirinya harus dengan sayembara. Dewi Sukeksi minta barang siapa yang dapat mengajarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat dialah yang akan memnjadi suaminya.
Setelah diadakan sayembara akhirnya yang dapat mengajarkan Sastra Jendra Hayuningrat adalah Bhagawan Wisrawa, yaitu seorang raja yang telah pensiun (lengser) dari kerajaan , meningggalkan kerajaan dan menjadi seorang Rsi disebut Bhagawan. Sebetulnya niat dari rumah Bhagawan Wisrawa adalah mencarikan isteri untuk anaknya, karena anaknya yang menggantikan kedudukannya sebagai raja belum mempunyai isteri (permaisuri).
Dari perkawinan antara Dewi Sukeksi dengan Bhagawan Wisrawa dikaruniai empat orang anak dan masing-masing diberi nama:
1). Dasamuka atau Rahwana
2). Kumbakarna
3). Sarpakenaka
4). Gunawan Wibisana.
Keempat anak ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda , yaitu :

1).  Dasamuka
Dasamuka mempunyai watak rasaksa angkara murka, ingin menjarah kepunyaan orang lain, ingin menguasai ketiga dunia . Ia bertapa dan mendapatkan kesaktian yaitu tidak dapat meninggal. Ajian untuk tidak dapat meninggal ini disebut aji pancasona. Dari namanya menggambarkan bahwa kepalanya sepuluh, kalau dipenggal satu tumbuh lagi.
Dasamuka juga sisebut Rahwana, yang berarti darah hutan, yang artinya kebiasaan hidup masih layaknya orang di hutan, yaitu ingin menang sendiri.
Dasamuka

Kesaktian Dasamuka biasa ditembangkan dengan pupuh asmaradana sebagai berikut :
Sang Dasamuka puniki
Aran ratu kang sudibya
Raga tan pisah nyawane
Nadyan pejah kaping sasra
Apan maksih saget gesang
Dumugi ing wancinipun
Ingasorken kapibala

Sang Dasamuka itu
Raja yang kuat
Raga dak pisah dengan nyawanya
Walaupun mati seribu kali
Masih bisa hidup lagi
Sampai pada saatnya
Dikalahkan bala tentara kera
Dalam pewayangan Dasamuka digambarkan sebagai orang yang gagah, berpakaian umumnya seorang raja, warna muka cokla yang menggambarkan wataknya yang keras.
Pada waktu masih muda Dasamuka digambarkan sebagai kesatria yang gagah, ngganteng tangannya dapat digerakkan keduanya, tetapi di hari tuanya digambarkan tangan satunya tidak dapat digerakkan, karena pada waktu menyerang Kahyangan Sela Matangkep, terjepit oleh batu raksasa pintu kahyangan.

2).  Kumbakarna
Kumbakarna mempunyai watak ingin makan sebanyak-banyaknya dan ingin tidur selama mungkin, tanpa mempedulikan kebutuhan lain. Namun demikian masih memiliki sifat memperhatikan kebaikan, yaitu makan dengan makanan yang baik, didapat dari usaha yang baik dan tidak setuju kalau kakaknya melakukan pekerjaan yang tidak baik. Kumbakarna kesatria yang tangguh dan gagah berani membela negara, ia bersemboyan “Saya tidak membela kakak saya yang jahat , tetapi membela negara supaya tidak diijnjak-injak orang lain”
Kumbakarna
Dari namanya diketahuai bahwa Kumbakarna, mempunyai telinga yang lebar. Dalam pewayangan Kumbakarna digambarkan sebagai raksasa yang gagak, tinggi besar, perut besar (tidak buncit) seimbang dengan besar pahanya, kelihatan angker berwajah raksasa, raut muka berwarna coklat, kalau makan menghabiskan beberapa ekor kerbau dan berpuluh-puluh bakul nasi, minumnya beberapa ember.dan kalau tidur dapat berbulan –bulan.. Namun demikian Kumbakarna dipuji orang banyak, terutama kaum ksatria karena Kumbakarna adalah ksatria yang tangguh mempertahankan keutuhan serta kewibawaan negaranya.

3).  Sarpakenaka
Sarpakenaka adalah seorang raseksi yang sifatnya selalu ingin menikmati barang yang indah-indah tanpa mempedulikan kebutuhan yang lain dan  ingin menggoda satria yang ngganteng. Ia menimbun banyak kekayaan kerajaan yang berupa perhiasan dan barang antik lainnya, dan mempunyai koleksi sepatu sebanyak 3.000 pasang. Dari namanya diketahui bahwa sarpa  ular  dan kenakakuku”, ini berarti bahwa Sarpakenaka sefatnya seperti ular yang kalau mematuk mangsa, maka mangsanya pasti menyerah dan kalau menggaruk korbannya pasti korbannya kesakitan.
Sarpakenaka
Dalam pewayangan Sarpakenaka digambarkan sebagai seorang raseksi yang sakti, dapat merubah bentuk badan (menjadi orang cantik) untuk menggoda (mengelabuhi) lawan jenisnya,  dapat terbang, digambarkan berwajah coklat. Di dalam pewayangan tidak disebutkan suami Sarpakenaka.

4). Gunawan Wibisana
Gunawan Wibisana adalah seorang yang selalu mengabdikan dirinya kepada hal-hal yang baik , baik untuk diri sendiri dan baik untuk kehidupan orang banyak. Dia selalu mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi. Dia rela meninggalkan saudara-saudaranya yang jahat dan pergi untuk mengabdi kepada orang lain yang dianggap dapat melindungi kebenaran,
Wibisana mempunyai ajian untuk mengusir musuh atau maling/pencuri, menghilangkan ngantuk yang disebut aji dipa.

Gunawan Wibisana

Wibisana selalu berusaha mengusir kegelapan / kebodohan, baik kegelapan di dalam dirinya maupun kegelapan yang ada di masyarakat. Dalam pewayangan Gunawan Wibisana digambarkan sebagai seorang yang ngganteng, berwajah tampan (tidak berwajah raksasa seperti saudara-saudaranya), raut mukanya berwarna hitam atau putih.

12. 2.  Kerajaan Alengka Pura di Masa Prabu Dasamuka
Prabu Dasamuka mempunyai angan – angan untuk memperisteri seorang wanita (yang konon sebagai titisan Dewi Sri), sehingga sang Prabu  selalu ingin menjarah ke negara lain, terutama yang memiliki putri cantik (titisan Dewi Sri). Karena tidak mendapatkan isteri titisan Dewi Sri , Dasamuka juga pernah menyerang Kahyangan.
Dasamuka oleh Sang Hyang Wenang diberi isteri seorang bidadari bernama Dewi Tari, dan dikaruniai seorang anak perempuan.
Karena anak perempuan ini adalah titisan Dewi Sri, maka oleh Gunawan Wibisana anak ini dibuang, untuk gantinya Gunawan Wibisana memuja mega (mendung), jadilah anak dan diberi nama Indrajit.
Dalam pewayangan Jawa , anak perempuan Prabu Dasamuka yang dibuang ini ini akhirnya diketemukan oleh Prabu Janaka dari kerajaan Mantili dan diberi nama Dewi Sinta (Sita) yang terkenal sebagai titisan Dewi Sri, dan akhirnya menjadi isteri Prabu Ramawijaya.

Raden Indrajit

Negara-negara yang diserang Prabu Dasamuka antara lain :
!). Negara Ayodya pada masa pemerintahan Prabu Banaputra, karena ingin merebut Dewi Sukasalya yang dianggap sebagai titisan Dewi Sri.. Dalam penyerangan ini Prabu Banaputra beserta menantunya bernama Bhagawan Rawatmeja gugur.
2). Negara Mahespati, penyerangan ini dilakukan karena ingin merebut Dewi Citrawati yang dianggap sebagai titisan Dewi Sri, dalam penyerangan ini Patih Suwanda gugur.
3). Negara Ayodya, dengan cara menculik Dewi Sinta.

12.3.  Kehancuran Kerajaan Alengka Pura
Negara Alengka Pura pada masa pemerintahan Prabu Dasamuka merupakan Negara yang disegani oleh Negara tetangga karena Rajanya sakti dan tenteranya kuat, namun demikian mengalami kehancuran, yang disebabkan oleh keserakahan Sang Prabu Dasamuka sendiri, dengan uraian sebagai berikut :.

1). Dasamuka menculik Dewi Sinta.
Prabu Dasamuka dengan susah payah mencari titisan Dewi Sri, akhirnya dengan membenarkan berbagai cara jahatnya dapatlah membujuk dan melarikan Dewi Sinta yang ada di hutan yang sedang ditinggalkan oleh suaminya (Rama) dan adik iparnya Lesmana  yang sedang memburu kijang kencana. Dalam penculikan itu diketahui oleh burung Jatayu, burung piaraan negeri Ayodya yang merupakan teman karip Sri Rama. Jatayu menghalangi niat Dasamuka, akhirnya terjadi peperangan antara Dsamuka yang sedang menggendong Dewi Sinta melawan Jantayu, peperangan ramai sekali, akhirnya Jatayu kena senjata dan jatuh ke bumi. Pada saat Sri Rama keliling di tengah hutan mencari isterinya ketemu dengan Jatayu yang sedang sekarat, dengan bergegas Sri Rama akan memberi pertolongan kepada Jantayu, dan Jatayu masih bisa memberikan keterangan satu kata kepada Sri Rama , yaitu “Alengkapura”.
Dari kata Alengkapura yang dikatakan Jatayu inilah Sri Rama mengambil kesimpulan bahwa yang menculik isterinya adalah orang dari kerajaan Alengkapura.
Oleh Dasamuka Dewi Sinta disembunyikan di taman keputren negara Alengka Pura dengan ditemani oleh Trijata (Putra Gunawan Wibisana). Dalam taman keputren Dewi Sinta selalu dirawat baik oleh Trijata, dan Trijata selalu hormat karena ia tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah titisan Dewi Sri, bukan wanita sembarangan. Apabila Dasamuka mendekat dan merayu Dewi Sinta, Trijata selalu menghalang-halangi dengan cara halus, mengingatkan Dasamuka jangan berbuat tidak baik, karena Dewi Sinta adalah isteri Rama. Apabila Dasamuka mendekat dan mau meraba tubuh Dewi Sinta, Dasamuka  selalu terjatuh.

Trijata
Dewi  Sinta

2). Anoman obong.
Setelah diyakini bahwa yang menculik Dewi Sinta adalah dari kerajaan Alengkapura, maka Sri Rama berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Alengkspura. Dalam perjalanan Sri Rama masuk wilayah kerajaan Guwa Kiskenda dan akhirnya bersahabat dengan keluarga kerajaan. Keluarga Kerajaan Guwa Kiskenda sangat senang hatinya karena sesuai dengan petunjuk Dewata pada waktu mereka akan melaksanakan tapa brata, bhawa mereka akan masuk sorga harus mengabdi kepada titisan Wisnu.
Dari persahabatan dengan keluarga kerajaan Guwa Kiskenda, akhirnya Sri Rama menyuruh Anoman sebagai duta untuk meyakinkan bahwa Dewi Sinta ada di negara Alengka Pura. Atas perintah Sri Rama , Anoman melesat ke angkasa terbang menuju taman kaputren Alengka Pura. Dengan susah payah Anoman mencari tempat persembunyian Dewi Sinta, akhirnya sampailah di taman kaputren. Anoman bertengger di pohon nagasari yang ada di dalam taman tersebut dengan menyanyikan lagu-lagu asmara yang memilukan .Nyanyian ini didengarkan oleh Dewi Sinta, akhirnya Dewi Sinta keluar dari rumah dan menemui Anoman. Untuk meyakinkan bahwa dia adalah utusan dari Sri Rama, maka Anoman menyerahkan cincin yang dibawakan oleh Sri Rama kepada Dewi Sinta. Setelah Dewi Sinta yakin bahwa Anoman benar-benar utusan Sri Rama, maka Dewi Sinta memberikan cincin kepada Anoman untuk disampaikan kepada Sri Rama , dan minta kepada Anoman untuk menceritakan keadaannya di tempat penyekapan kepada Sri Rama.
Kejadian ini diketahui oleh tentara kerajaan , sehingga Anoman diburu ramai-ramai dan ditangkap, akhirnya dibakar (diobong).. Anoman adalah seekor kera yang sakti yang tidak termusnahkan oleh api, api hanya membakar tali pengikat dan pucuk ekornya saja, sehingga Anoman bebas lari  kesana-kemari di atas banguan, masuk ke kamar , bergelimpangan di kasur sehingga menimbulkan kebakaran hebat di lingkungan istana kerajaan Alengka Pura. Sebagian besar bangunan istana dimakan api.
Akhirnya Anoman bisa melepaskan diri dan kembali ke Sri Rama, menjelaskan semua kejadian yang dialaminya.

3). Gunawan Wibisana memihak ke Sri Rama.
Prabu Dasamuka mengadakan rapat untuk membahas kemungkinan ada serangan dari Sri Rama , mengingat bahwa Sri Rama telah mengetahui keadaan Dewi Sinta yang diberitakan oleh  Anoman.
Dalam sidang kerajaan diketahui hasilnya sebagai berikut :
a..   Gunawan Wibisana menyarankan kepada Dasamuka untuk menyerahkan Dewi Sinta kepada yang berhak, yaitu Sri Rama tanpa syarat apapun, karena kekacauan negara ini disebabkan oleh tindakan Sang Prabu yang tidak baik. Menurut Gunawan Wibisana tindakan seorang raja harus baik, supaya dapat ditiru oleh semua rakyatnya.
b.        Kumbakarna menyarankan kepada Dasamuka untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh adiknya ( Wibisana ), karena dengan mengembalikan Dewi Sinta, maka peperangan dengan Sri Rama dapat dihindari. Kumbakarna berpendapat bahwa kalau terjadi peperangan maka yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tidak tahu masalahnya.
c.         Sarpakenaka tidak memberi pendapat, karena sibuk memikirkan kegagahan dan kenggantengan Sri Rama dan Lesmana yang pernah dijumpai di hutan.
d.        Dasamuka berpendapat bahwa tindakan menculik Dewi Sinta untuk diperisteri adalah tindakan yang benar, yang menandakan kekuatan yang harus disegani dan dihormati oleh kawan dan lawan. Maka dari itu Dasamuka bersikukuh untuk mempertahankan Dewi Sinta digenggamannya, kalau perlu musuh yang masuk ke Alengka Pura dihadapi sendiri dengan segala kekuatan dan kesaktiannya.

Dari hasil rapat dibicarakan sekali lagi, dan akhirnya Dasamuka mengambil keputusan bahwa Dasamuka tidak mau menuruti saran dari adik-adiknya.

Selesai rapat Kumbakarna kembali ke rumahnya (kesatrian) untuk tidur nyenyak tanpa memikirkan kekacauan negara, Sarpakenaka kembali ke rumah mewahnya dan sibuk menghitung dan mencoba koleksi sepatunya tanpa memikirkan adanya serangan dari Sri Rama, sedangkan Gunawan Wibisana memutuskan diri untuk mengabdi ke Sri Rama yang dianggap sebagai perwujudan Bhatara Wismu dari pada mengabdi kakaknya yang prilakunya tidak baik.
4). Peperangan
a. Peperangan dimulai.
Dilihat dari pusat kerajaan serangan dari Sri Rama yang dibantu oleh ribuan kera dan dipandu oleh Gunawan Wibisana (adik kandung Dasamuka) telah masuk ke lingkungan istana, maka Prabu Dasamuka memerintahkan panglima perangnya untuk menghadapi serangan musuh. Alengka Pura mempunyai pemimpin yang tangguh yaitu Patih Prahasta dan Bupati Jambumangli yang masih merupakan keluarga dekat dari Prabu Sumali. Kumbakarna tidak tahu kalau musuh sudah datang karena sedang tidur nyenyak.
Peperangan antara tentara kerajaan Alengka Pura dengan tentera kera hebat sekali karena tentera Alengka Pura rata-rata sakti dan besar, sedangkan tentara Sri Rama kecil-kecil tetapi jumlahnya banyak sekali. Peperangan hari pertama banyak kera yang mati karena diijak oleh tentara Alengka Pura, sedangkan terntara Alengka Pura banyak yang mati kerena digigit oleh tentara kera. Ada tentara Alengka Pura yang lehernya hampir putus digigit oleh beberapa kera. Di medan peperangan laksana banjir darah dan sampah bangkai raksasa dan kera campur aduk.
Dalam keadaan yang demikian kera-kera yang masih hidup dengan lucunya mencopot pakaian tentera yang sudah mati untuk selimut, ada pula yang mencuri air kran untuk minum.
Ada pula seekor kera yang lama memandang jauh, memperhatikan seorang raseksi yang tinggi besar dan kekar, akhirnya sambil meringis dan bergurau kepada temannya “Bagaimana seandainya saya mempunyai isteri sebesar raseksi itu , pasti akan seperti semut di atas perahu, diombang-ambing oleh ombak, tetapi sang semut tidak terasa”, demikian para tentara kera itu bergurau sesame temannya.
Keesokan harinya peperangan dimulai lagi, dengan mengerahkan segala tenaga yang ada tentara Alengka Pura menyerang gerombolan kera yang sedang bercanda di atas pohon. Kera-kera di atas pohon sambil memakan buah dan bercanda tidak merasa kalau saat itu sedang dalam keadaan perang,  tiap gerombolnya dipimpin oleh satria tangguh keturuan Resi Gotama, yaitu Sugriwa, Anoman, Anggada.
Sedangkan Sri Rama dan Gunawan Wibisana tidak langsung menampakkan diri, kedua ksatria ini mengawasi dari jauh, akan bertindak kalau keadaan sudah sangat memerlukannya.

       Patih  Prahasta

     Jambu  Mangli

b. Prabu Dasamuka memperkuat Pertahanan
Setelah mengetahui banyak prajuritnya gugur di medan laga , Prabu Dasamuka memanggil adiknya (Kumbakarna) untuk maju segera perang membela negara. Memanggil Kumbakarna bukan pekerjaan yang mudah, karena Kumbakarna sedang tidur nyenyak, untuk membangunkan harus dikerahkan beberapa orang untuk menginjak-injak tubuhnya. Setelah dikerahkan beberapa tenaga untuk menginjak-injak tubuhnya ternyata Kumbakarna tidak bangun juga, maka ada saran dari salah seorang peserta yang lantang berkata “Untuk membangunkan Kumbakarna; mari kita cabut bulu ibu-jari kakinya”.
Atas seruan itu peserta turun dari tubuh dan mencari tali untuk mengikat bulu ibu-jari Kumbakarna; setelah bulu ibu-jari kaki kiri diikat baik-baik , sepuluh orang menariknya  dan alangkah kagetnya karena dengan tarian itu Kumbakarna bangun dengan menendangkan kakinya seperti main silat, naas ada seorang raksasa yang ada didepan kaki kanan kena tending dan terlempar sanpai seratus meter. Setelah Kumbakarna bangun, ada seorang utusan berkata : “Hamba kemari diutus Sang Raja bahwa paduka Pangeran Kumbakarna disuruh maju perang melawan tentara Sri Rama !”. Kumbakarna menjawab : “Aku tidak mau perang”.
Sang utusan kembali ke istana untuk memberitahukan penolakan tersebut. Sang Raja mendapat berita tentang penolakan adiknya hanya tersenyum saja, karena telah mengerti kebiasaan adiknya. Sang Raja lalu memerintahkan tukang masak di dapur untuk memasak kerbau sebanyak sepuluh ekor, masak nasi 10 kwintal dan memasak sayur-sayuran tiga gerobak. Setelah masakan selesai Sang Raja memerintahkan salah seorang utusan untuk mengundang Kumbakarna makan siang di istana. Utusan segera berangkat ke kesatrian Kumbakarna dan menyampaikan undangan makan siang di istana; maka Kumbakarna tanpa pikir panjang lebar langsung bergegas berangkat ke ruang makan istana. Di istana Sang Raja sudah menunggu dan dengan senyum manis mempersilakan Kumbakarna dan para undangan untauk makan siang. Kumbakarna yang telah lapar karena sudah berbulan-bulan tidur, makan dengan lahapnya.
Setelah selesai makan Sang Raja memanggil Kumbakarna dan bersabda “Hei adikku sayang negara kita telah dikepung oleh bala tentara Sri Rama, tentara kita sudah banyak yang mati di medan perang, sedangkan adikku mendapat makan dan menikmati tidur di negara ini, maka saya sarankan adik ikut membela negara”. Kumbakarna menjawab “Ya aku mau berperang untuk membela negara, supaya tidak diinjak-injak orang lain, tetapi aku tidak membela kakakku yang melakukan kejahatan”.
Dasamuka memeluk adiknya dan berkata “Terima kasih atas kesanggupanmu, adik sebagai pahlawan Alengka Pura dan sekarang juga adik ku nobatkan sebagai panglima perang”. Saat itu juga semua prajurit yang tersisa dipanggil untuk berkumpul muka istana dan mendengarkan penobatan Kumbakarna sebagai panglima perang.
Perang dimulai lagi, banyak tentara kera yang mati dibanting, dilemparkan jauh-jauh, diinjak-injak, pimpinan kera Prabu Sugriwa dari Guwa Kiskenda , Anila, Anggada dan Anoman, Kapimenda ikut terjun langsung di medan perang. Perang ramai sekali seperti membabi buta, asal pukul, asal gigit asal tendang, yang mati seperti sampah, yang setengah mati meraung-raung kesakitan dan yang dapat membunuh berjingkrak-jingkrak kegirangan tanpa disadari bahwa sedetik lagi nyawanya melayang.
Dalam pertempuran ini tentara pihak Alengkapura dan pihak Sri Rama banyak  yang meninggal.

c.Peperangan berakhir.
Setelah perang ramai dan Kumbakarna gugur di medan laga, Sang Prabu Dasamuka gelisah dan akhirnya memangil anaknya yang bernama Indrajit. (Indra adalah dewa hujan / awan, jadi Indrajit anak yang ada karena pemujaan kepada awan yang dilakukan oleh Wibisana untuk mengganti anak perempuan yang lahir dari Dewi Tari) atau anak Indra, untuk terjun ke medan pertempuran mempertahankan negara.
Indrajid langsung turun ke medan pertempuran dengan perkasa dan dilindungi oleh kesaktiannya yang terkenal yaitu aji begananda (megananda), ia bisa menghilang di sela-sela mega yang hitam pekat. Kesaktian ini diketahui oleh Wibisana, karena yang memuja mega untuk menjelma sebagai manusia adalah Wibisana sendiri. Wibisana tahu bahwa Indrajit tidak mungkin dikalahkan oleh tentara kera, maka Wibisana turun ke medan laga dengan ajidipa yang dimilikinya kegelapan awan dapat disingkap oleh terangnya ajidipa, sehingga Indrajit kelihatan lagi.
Perang ramai sekali karena Indrajit pindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya, akhirnya Indrajit kena panah sakti yang dirangkap dengan ajidipa dan jatuh ke bumi menjadi hujan lebat, menimbulkan banjir bandang menghanyutkan bangkai-bangkai kera dan raksasa yang mati di medan pertempuran.
Setelah Indrajit gugur dalam pertempuran Dasamuka memutuskan untuk maju ke medan laga menghadapi musuh sakti Sri Rama. Peperangan seru sekali karena Dasamuka apabila kena panah sakti dari Sri Rama lehernya terpenggal, kepalanya tumbuh lagi sampai beberapa kali. Untuk menghindari ganti kepala lagi panah Sri Rama ditujukan kepada tangannya sebelah kanan, lalu sebelah kiri, terus tertuju pada kaki kanan, lalu kaki kiri yang terakhir ke lehernya. Gugurlah Dasamuka.
Dalam pewayangan Jawa Dasamuka matinya ditimbun gunung oleh Anoman dan diberi patok (maesan) satu di tengah-tengahnya..
Ditimbun gunung  artinya napsu serakah itu tidak dapat dimusnahkan dari diri kita, dapatnya hanya di kekang (dikendalikan), dan dipatok satu artinya yang dapat mengekang napsu angkara murka adalah orang yang telah mempunyai patokan memuja kepada Sang Hyang Tunggal.
Setelah Prabu Rahwana meninggal rakyat Alengka Pura mengelu-elukan agar Sri Rama mau menjadi raja di Alengka Pura, namun hal tersebut ditolak secara halus oleh Sri Rama, karena tujuan perang tidak untuk merebutkan kerajaan tetapi untuk memusnahkan angkara murka.

12.4. Penyerahan Kekuasaan Kepada Gunawan Wibisana
Setelah perang berakhir dengan gugurnya Dasamuka (Rahwana), maka Wibisana minta kepada Sri Rama, agar Sri Rama mau memerintah negeri Alengkapura; permintaan ini ditolak secara halus oleh Sri Rama dengan alasan peperangan ini bukan untuk merebut negara tetapi hanya untuk membebaskan Dewi Sinta dari cengkeraman angkara murka. Akhirnya atas kemenangannya Sri Rama menyerahkan kekuasaan Alengka Pura kepada Gunawan Wibisana, dan pada hari itu Gunawan Wibisana dinobatkan sebagai Raja di Alengka Pura.
Pada saat penobatan Gunawan Wibisana , Sri Rama memberikan petuah (upanisad) kepada Wibisana yang terkenal dengan sebutan astabrata dan ajaran mengenai kepemimpinan yang antara lain memuat :
Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. maju tanpa bala, menang tanpa aji”.
Dalam dunia pewayangan Jawa ajaran kepemimpinan ini disebut Wahyu Makuta Rama.
Setelah menobatkan Wibisana , Sri Rama minta pamit pulang ke Ayodya diikuti oleh Dewi Sinta, Lesmana, Jembawan, Trijata (menjadi isterinya Jembawan) , Prabu Sugriwa, Anoman dan banyak lagi tentera kera yang masih hidup.
Dari kisah tersebut diatas dapat diambil dan dijadikan pelajaran yang terkandung didalamnya untuk diri pribadi dan untuk masyarakat luas. Pelajaran yang dapat diambil adalah :

1). Pelajaran untuk diri pribadi.

(1). Pelajaran Menitiskan Yang Baik
Dari cerita di atas jika dicermati terdapat pelajaran penting bagaimana kita melakukan sanggama supaya mendapatkan putra yang baik, dan berguna bagi keluarga, nusa dan bangsa. Pada awalnya Bagawan Wisrawa melakukan hubungan suami isteri diliputi oleh napsu angkara murka, karena tujuan awal mencari isteri untuk anaknya, tetapi diambil untuk isteri sendiri, maka napsu yang ditimbulkan pada saat sanggama tunus (tercermin) kepada anak yang dilahirkan, yaitu Dasamuka (Rahwana) yang bertabiat raksasa dan angkara murka. 
Setelah itu Bagawan Wisrawa bertobat dan memperbaiki napsunya, tetapi diimbangi dengan makan yang enak-enak yang disediakan oleh isteri yang umurnya jauh lebih muda dari dirinya sendiri, maka dalam sanggama selalu ingat pada makanan dan tumus kepada kelahiran anak menjadi Kumbakarna yang selalu ingin makan enak, tidur nyenyak.
Selanjutnya Bagawan Wisrawa bertoibat lagi dengan memperbaiki napsunya, tetapi digoda bayangan barang yang indah-indah yang ada di negara Alenglka Pura yang terkenal kaya-raya, maka dalam sanggama selalu ingat keindahan sesuatu dan tumus kepada kelahiran anak menjadi Sarpakenaka yang selalu ingin barang yang indah-indah.
Akhirnya Bagawan Wisrawa bertobat lagi, tanpa memikirkan angkara murka, makanan dan keindahan, tetapi pujinya hanya satu kepada kebenaran dan terpusat kepada Sang Hyang Wenang, maka dalam sanggama selalu berpikir baik dan pada saat mencapai puncaknya selalu ingat kepada Hyang Widhi dan tumuslah kepada kelahiran yang baik Gunawan Wibisana.

(2). Nafsu
Ditinjau dari nama Alengka Pura  terdapat kata pura yang berarti badan atau tempat . Jadi di badan kita ini masing-masing dilengkapi dengan empat nafsu (saudara empat ) yang tidak dapat dibunuh yaitu :
a.    Nafsu angkara murka, yang selalu ingin menguasai segala sesuatu untuk memuaskan pancaindra,
b.     Nafsu memuaskan makan dan tidur,
c.    Nafsu ingin menikmati barang yang indah-indah
d.   Nafsu ingin mengabdi kepada kebenaran atau Tuhan.

Anggaplah badan kita ini sebagai suatu kerajaan, maka baik buruknya kerajaan tergantung pada yang memerintah atau menguasai kerajaan tersebut. Jadi apabila kita sedang dikuasai nafsu angkara murka, maka kita menjadi orang yang serakah, orang suka marah dan menilai diri sendiri yang paling baik.
Mengapa orang marah ? Orang marah karena merasa benar, walaupun sesungguhnya ia tahu kalau ia salah.
Seorang yang memegang jabatan selalu marah kalau diperingatkan bawahannya, karena ia merasa paling benar, walaupun dia tahu kalau salah, tetapi untuk menjaga kewibawaan ia tetap marah.
Apabila kita sedang dikuasai oleh nafsu makan dan tidur, maka kita menjadi orang pemalas, maunya hanya makan dan tidur saja, tidak memikirkan hal lain. Orang yang sedang dikuasai  nafsu makan dan tidur tidak mempedulikan dimana ia berada, walaupun ditempat persidangan agung ia tetap saja tidur, tidak mempedulikan masalah yang dibicarakan didalam rapat, seperti Kumbakarna .
Apabila kita sedang dikuasai oleh nafsu memiliki atau melihat barang yang indah-indah, tidak mempedulikan kebutuhan yang lain. Orang yang sedang dikuasai oleh nafsu memiliki barang yang indah, sedang tugas banding ke daerah lain bukan membicarakan masalah tugasnya, tetapi sibuk membeli cindera mata dan melihat-lihat daerah rekreasi. Anaknya minta uang untuk sekolah ditolak, karena uangnya untuk beli cincin imitasi di pinggir jalan, seperti Sarpakenaka. Napsu ini digambarkan sebagai perempuan (Sarpakenaka) karena kebanyakan yang dikuasai oleh napsu ini adalah perempuan.
Apabila kita sedang dikuasai oleh nafsu mengabdikan diri kepada kebenaran dan Tuhan, biasanya menyingkiri hal-hal yang dihasut oleh napsu lain. Orang yang sedang dikuasai oleh nafsu mengabdikan kebenaran walaupun ada kesempatan untuk korupsi, biasanya menghindar dan berusaha untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Dalam masyarakat kaliyoga (zaman edan), orang yang baik demikian tidak mendapat tempat dan oleh masyarakat dianggap tidak waras, seperti Wibisana oleh kakaknya dianggap tidak waras.
Demikianlah nafsu yang ada di diri kita, tidak dapat dibunuh, hanya dapat dikendalikan, supaya tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.




(3). Simbol –simbol
Apabila anda masuk ke pura di Bali atau Jawa akan menjumpai umbul-umbul (bendera) berwarna merah, hitam, kuning dan putih.
Bendera empat macam warna ini menggambarkan :

a.    Saudara empat pada saat dalam kandungan , yaitu :
-  Merah        =  darah
     -  Hitam         =  plasenta (ari-ari)
     -  Kuning       =  air ketuban
     -  Putih          =  bungkus
b.   Saudara empat pada saat hidupan  (Nafsu), yaitu :  
- Merah sebagai symbol nafsu marah (naik darah),  biasanya orang yang sedang marah telinga dan raut mukanya merah.
-  Hitam sebagai simbol nafsu makan dan tidur, biasanya orang yang empedunya baik napsu makannya tinngi dan suka tidur.
-  Kuning sebagai symbol nafsu ingin memiliki barang yang indah-indah.
-  Putih sebagai symbol nafsu ingin mengabdi kepada kesucian.
c.    Rejeki
-  Putih  adalah bagian rejeki yang kita makan setiap hari
-  Kuning adalah bagian rejeki yang kita gunakan untuk obat (kunir), hal ini dicontohkan dalam cerita Bhagawan Parasara mengobati Dewi Amiswati dengan kunir, sehingga berubah menjadi harum. Kunir adalah obat antibiotik, jadi kalau anda gatal-gatal langsung saja gosok dengan kunir. Untuk penglukatan dasa mala orang memakai beras kuning, yaitu beras yang diaduk dengan kunir.
-  Merah adalah bagian dari rejeki yang didermakan untuk makhluk lain. Apabila anda menyumbangkan (donor) darah, maka dalam waktu seminggu akan diganti lagi oleh Hyang Widhi, tetapi kalau donor mata tak mungkin diganti lagi. .Jadi dermakanlah sesuatu untuk makhluk lain yang pantas untuk didermakan.
-  Hitam adalah bagian rejeki yang disimpan (ditabung) untuk hari esuk. Siapapun akan berharap hari esuk akan lebih baik dari hari ini, caranya dengan menabung.
Contoh :
Ada seseorang bertamu di tetangga disuguhi air teh, si  tuan rumah sudah ikhlas teh itu untuk diminum habis, ternyata teh tersebut tidak dihabiskan, maka sisa teh dibuang; dari the buangan itu gulanya dimakan semut dan airnya diserap oleh tumbuh-tumbuhan.. Ada seorang membeli ayam dengan maksud untuk makan sekeluarga, setelah disebelih darahnya jatuh dimakan semut, bulunya dibuang dimakan semut, setelah dimasak, dimakan bersama, tulang tulangnya dibuang dimakan anjing.

d.    Pasaran
Di Jawa dan Bali orang mengenal pasaran : Legi (Umanis), Pahing, Pon , Wage, Kliwon (Kulawu/Kasih).
Untuk di Jawa :
-  Legi (Petakan) simbulnya bubur warna putih.
-  Pahing (Abritan) simbulnya bubur warna merah.
-  Pon (Cemengan) simbulnya bubur warna hitam.
-  Wage (Jenean) simbulnya bubur warna kuning.
-  Kliwon (Kasih) simbulnya bubur merah putih.
Bubur ini digunakan untuk tiap upacara manusia yadnya
.
e.    Mata angin
-  Timur    Putih ( Petakan ).
-  Selatan  Merah  (Abritan)
-  Barat     Hitam  ( Cemengan )
-  Utara     Kuning (Jenean)
-  Tengah  Merah-Putih (Kamajaya, Kamaratih ).

2).  Pelajaran untuk masyarakat.
Selain pada diri pribadi masing-masing orang terdapat empat nafsu tersebut, di masyarakat juga ada empat golongan (kumpulan) orang-orang yang mempunyai nafsu yang sama , mereka sadar ( tidak sadar ) membentuk lingkungan sendiri.
a. Kumpulan masyarakat yang mempunyai watak serakah (ala Dasamuka) antara lain kumpulan orang-orang koruptor, orang yang mempunyai watak aji mumpung.
b. Kumpulan masyarakat yang mempunyai watak memenuhi kebutuhan makan, tanpa atau kurang memikirkan kebutuhan lainnya,yaitu orang-orang yang senang njajan duduk di warung makan, atau  mengadakan pesta makan (bujana andra wina.).
c. Kumpulan masyarakat yang mempunyai watak memenuhi kebutuhan barang yang dianggapnya indah, yaitu orang yang senang menkoleksi akik, mengkoleksi mobil tua dan sebagainya.
d. Kumpulan masyarakat yang mempunyai watak mengabdi kebenaran, yaitu orang-orang yang tidak suka korupsi (walaupun ada kesempatan) dan dalam kehidupannya mengarah kebaikan..

Untuk menghindari mewabahnya watak Dasamuka, maka di masyarakat perlu adanya pengendalian yang ketat baik dari masyarakat sendiri maupun  dari pemeritah, karena watak ini tidak dapat dihapus, maka harus  dikekang dengan cara menegakkan hukum yang berlaku..


--o--







BAB  XIII
KERAJAAN  AYODYA

13.1  Kerajaan Ayodya di Masa Prabu Banaputra
Kerajaan Ayodya adalah kerajaan yang besar dan masyur karena diperintah oleh seorang raja yang berwibawa yang bernama Prabu Banaputra. Prabu Banaputra adalah  seorang raja yang bijaksana. Prabu Banaputra mempunyai seorang putri bernana Dewi Sukasalya, yang parasnya cantik. Karena cantiknya itulah sang putri diperisteri oleh Bhagawan Rawatmeja adik Prabu Banaputra sendiri. Pada saat Prabu Banaputra inilah kerajaan Ayodya diserang oleh tentara Alengka Pura yang dipimpin langsung oleh Prabu Rahwana. Dalan peperangan yang hebat ini Prabu Banaputra mangkat disusul oleh Bhagawan Rawatmeja.
Dewi Sukasalya ditawan oleh Prabu Rahwana, namun sayang Dewi Sukasalya mati mendadak di tempat tidur. Ternyata Dewi Sukasalya yang nati ini adalah Dwei Sukasalya palsu yang berasal dari bunga yang telah layu dari gelung sang Dewi. Dengan adanya kejadian ini Prabu Rahwana marah karena merasa tertipu oleh Dewa, maka Prabu Rahwana menyerang Kaindran, untuk  menuntut balas. Setelah tentara dari Alengka Pura kembali ke kerajaannya, Dewi Sukasalya sebagai pewaris tahta kerajaan Ayodya diperisteri oleh Dasarata adik sepupu mendiang Prabu Banaputra. Selanjutnya Dasarata dinobatkan sebagai raja di Ayodya dengan sebutan Prabu Dasarata.
Pada saat penobatan Dasarata menjadi raja di Ayodya banyak Dewa yang turun ke bumi untuk menyaksikan penobatan itu karena sudah ada pertanda bahwa seorang kesatria besar titisan Sang Hyang Bhatara Wisnu akan menitis ke bumi melalui Dewi Sukasalya.

13.2.  Kerajaan Ayodya di Masa Prabu Dasarata
Prabu Dasarata adalah seorang raja yang luhur budi, sehat, suka bekerja, bijaksana dan  sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil, maka negara menjadi aman, tenteram dan damai, serta pembangunan berjalan terus untuk memperbaiki kerusakan setelah diserang oleh tentera Alengka Pura. Semua rakyat merasa dilindungi dan mematuhi perintah Sang Prabu.
Untuk menghormati kebijaksanaannya dilukis dalam tembang Dandanggula sebagai berikut :
Dasarata prabu kang linuwih
Awit saking budi luhur-ira,
Tumus ing tindak tanduke,
Kadya pandita luhur,
Wicaksana saha mumpuni,
Kabeh sembarang karya,
Datan ana luput,
Kawula samya ambapa,
Sedaya samya tut wuri handayani,
Pantes dipun tulada

Dasarata raja yang terkenal
Karena berbudi luhur
Tercermin dari tingkah lakunya
Seperti pandita luhur
Bijaksana dan mampu
Semua pekerjaan apapun
Tidak ada kesalahan
Rakyat mengaku terlindungi,
Semua mengikuti dan mematuhi
Pantas sebagai teladan

1). Sang Prabu Dasarata Merindukan Putra.
Telah lama sang Prabu Dasarata menginginkan putra dari Dewi Sukasalya, namun belum dikaruniai oleh Sang Hyang Widhi, maka Sang Prabu mempersunting putri lain yaitu Dewi Kekayi dan Dewi Sumitra. Namun demikian apa yang diharapkan dari ketiga isterinya tidak kunjung datang pula. Untuk mengatasi kerinduan akan putra inilah Sang Prabu memanggil Bhagawan Wasista untuk mengadakan upacara memohon putra kepada Sang Hyang Widhi
Pada hari yang baik Bhagawan Wasista mengadakan persembahyangan untuk memohon anugerah dikaruniainya putra-putra untuk ketiga isteri Sang Prabu. Dalam upacara tersebut ketiga isteri dan Sang Prabu mengelilingi api pemujaan. Setelah selesai pemujaan Bagawan Wasista membisikkan kepada Sang Prabu “Sang Prabu kelihatannya permohonan Anda ini akan segera terkabul dan dari permohonan tadi hamba  dapatkan wahyu bahwa nanti salah satu putra Sang Prabu adalah titisan Sang Hyang Bhatara Wisnu”.  Kejadian ini digubah dalam tembang Kinanthi sebagai berikut :
Sang Prabu pepunden ulun,
Ulun wau antuk wangsit,
Manawi istri tetiga,
Sedaya kagungan siwi,
Salah satunggaling putra,
Titisan pun Wisnu Murti

Sang Prabu pujaan saya
Saya tadi mendapat wahyu
Bahwa ketiga isteri
Semua mempunyai putra
Salah satu anak
Titisan Sang Hyang Bhatara Wisnu
Prabu Dasarata
Setelah mendengar bisikan dari Bhagawan Wasista, Sang Prabu menjawab “Semoga menjadi kenyataan” Sambil memeluk ketiga istrinya dan meneteskan air mata Sang Prabu menangis dengan ucapan , dalam pupuh Megatruh sebagai berikut :
Duh garwengsun banget trenyuh manah ingsun
Saking murahing Hyang Widhi;
Mugia kita rahayu,
Momong sedayaning siwi,
Dadya putra kang utama.

Duh isteriku, tersentuh hatiku,
Karena kemurahan Hyang Widhi,
Semoga kita rahayu,
Merawat semua anak,
Menjadi putra yang utama

Setelah beberapa bulan ditunggu ternyata bahwa Dewi Sukasalya mengandung, pada saat mengandung Sang Dewi dalam keadaan sehat dan selalu memohon kepada Sang Hyang Widhi, semoga diberikan putra yang luhur budi, berwibawa dan sehat jiwa raganya. Setelah sampai waktunya lahirlah putra laki-laki yang elok parasnya diberi nama Raden Ramabadra, yaitu Rama yang bersinar seperti bulan purnama. Beberapa bulan berikutnya Dewi Kekayi mengandung dan setelah sampai saatnya lahirlah putra laki-laki yang elok parasnya diberi nama Raden Bharata. Selanjutnya Dewi Sumitra dikaruniai dua orang putra yang semuanya elok parasnya, yang pertama diberi nama Raden Lesmana (Laksmana) dan yang kedua diberi nama Raden Taruna dan biasa juga disebut Satrugna.
Keempat putra Prabu Darasata ini tumbuh dengan baik, semua berbudi luhur, sehat jiwa raga dan berparas elok, sehingga dapat sebagai teladan anak-anak lain.

2). Pendidikan.
Setelah beberapa tahun kemudian semua putra raja  ini sudah kelihatan mandiri, maka walaupun masih anak-anak sang Prabu mengirimkan putranya ke pawiyatan padepokan Bhagawan Wasista. Bhagawan Wasista menggembleng keempat putra raja dalam ilmu budi pekerti, kejiwaan, penguasaan alat perang, ketrampilan, kesaktian dan pendidikan lain yang berguna bagi kehidupan, seperti pertanian, pertukangan dan perdagangan.
Pendidikan untuk keempat putra raja dilaksanakan bercampur dengan anak-anak desa disekelilingnya, bermain, tidur, pakian dan makanan   yang dihidangkan untuk putra raja sama dengan hidangan untuk anak-anak lainnya. dengan tujuan sang putra raja dapat bergaul dan memahami kehidupan rakyat disekelingnya Dari pendidikan ini diharapkan putra-putra raja tidak menjadi orang yang congkak dan sombong, tetapi menjadi manusia yang berbudi ,luhur.
Dari hasil penelitian ternyata Raden Ramabadra (Sri Rama) menjadi juara di segala bidang mata pelajaran dan berbudi luhur, hal ini tercatat secara cemerlang dari hasil akhir ujian yang dilaksanakan oleh Bhagawan Wasista. Ujian terkhir yang dilaksanakan oleh Bhagawan Wasista adalah dengan cara memanggil keempat putra raja dan memberi soaal ujian sebagai berikut :
Raden Ramabadra
Raden Bharata

 “Kamu semua telah lulus ujian baik pelajaran matematika, pengetahuan umum, pengetahuan pertanian, pengetahuan pertukangan, pengetahuan perdagangan, kesaktian dan lain-lain; untuk mengetahui kemampuanmu bahwa kamu semua orang sakti, kamu harus bisa mencuri buah semangka dengan tidak diketahui orang, laksanakan sekarang juga, dibagi menuju ke empat penjuru, utara, timur, selatan dan barat, terserah kamu membaginya dan awas hati-hati jangan sampai ketahuan orang”.
Keempat putra raja ini lalu pergi ke empat arah, dengan tujuan ladang semangka milik petani disekitar padepokan, dengan ilmu kesaktiannja masing-masing maka merasa berhasillah mereka, dengan hasil sebagai berikut :
a.    Raden Satrugna datang dengan membawa semangka warna kuning, hasil curian dari desa Bajulmati, dengan bangga ia haturkan hasil curiannya kepada sang Bhagawan “Bapa saya sudah dapat mencuri semangka dengan tidak ketahuan orang, karena saya memakai ilmu loncat kijang yang sangat cepat, dalam waktu singkat saya sudah sampai di tempat tujuan kebun semangka, ini hasilnya.” Sang Bhagawan mengangguk sambil pundak Raden Satrukna, seraya berkata : “bagus-bagus !”
b.    Raden Lesmana (Laksmana) datang dengan membawa semangka warna merah hasil curian dari desa Sragen, dengan bangga ia haturkan hasil curiannya kepada sang Bhagawan “Bapa saya sudah dapat mencuri semangka dengan tidak ketahuan orang, karena saya memakai ilmu ular menyamar yang orang tidak mengira kalau saya sebagai pencuri, memang agak lambat tetapi saya bisa mencuri, ini hasilnya”. Sang Begawan mengangguk sambil menepuk pundak Raden Lesmana, seraya berrkata : “bagus-bagus !”
c.    Raden Bharata datang dengan membawa semangka warna kuning agak kemerah-merahan, hasil curian dari desa Tegalreja, dengan bangga ia haturkan hasil curiannya kepada sang Bhagawan “Bapa saya sudah dapat mencuri semangka dengan tidak diketahui orang, karena saya memakai ilmu panglimunan, walaupun ada orang didekat saya ia tidak mengetahui saya, ini hasilnya”. Sang Bhagawan mengangguk sambil menepuk pundak Raden Bharata, seraya berkata : “bagus-bagus !”
d.   Raden Ramabadra datang terakhir tidak membawa semangka, dia telah pergi kemana-mana, kesemua kebun semangka tetapi tidak berhasil, maka dengan rendah hati melapor kepada sang Bhagawan “Duh sang Bhagawan, saya minta maaf yang sebesar besarnya karena saya tidak dapat mencuri tanpa ketahuan orang, jadi saya tidak mendapat hasil dan tidak dapat menghaturkan hasil curian yang diharapkan”.Sang Begawan mengangguk sambil menepuk pundak Raden Ramabadra, seraya berkata : “bagus-bagus !”
Selanjutnya sang Begawan memuji dan bertanya kepada keempat miridnya “Kamu semua memang anak-anak yang cerdas dan baik, tetapi dari hasil ujian ini saya masih ingin bertanya, kepada Raden Ramabadra”. Serentak anak-anak menjawab  “Marilah pak !”
Sang Begawan bertanya kepada Raden Ramabadra “Mengapa raden tidak dapat mencuri semangka, siapakah orang yang mengetahui raden yang akan mencuri ?”

Raden Lesmana
Raden Ramabadra dengan rendah hati menjawab pertanyaan sang Bhagawan “Duh bapa, yang selalu melihat dan tahu kalau saya mau mencuri adalah orang yang bernama Ramabadra”. “Kurang keras, ulangi jawabanmu yang agak keras, supaya adik-adikmu mendengar jawabanmu”, perintah sang Bhagawan.
Raden Ramabadra mengulangi jawabannya dengan suara lebih keras “Duh bapa, yang selalu melihat dan tahu kalau saya mau mencuri adalah orang yang bernama Ramabadra”. “Ramabadra, --- siapa itu ?” saut sang Bergawan. Raden Ramabadra menjawab dengan suara keras “Ramabadra itu saya sendiri, yaitu orang yang tahu bahwa saya mau mencuri, karena Ramabadra itu orang.”
Yang lain diam sambil mengangguk.
Sang Bhagawan memberi komentar “Dari keempat orang ini yang mengaku atau merasa dirinya sebagai orang hanyalah engkau Raden Ramabadra, sedangkan saudaramu merasa sebagai apa kalau mau mencuri”. Sang Bhagawan meneruskan wejangannya “Mulai detik ini engkau Raden Ramabadra bapak nobatkan sebagai siswa terbaik dan yang lain harus mengikuti cara berpikir Raden Ramabadra”.
Raden Satrugna, Raden Lesmana dan Raden Bharata mengucapkan “Terima kasih bapa, kami akan mengikuti jejak kakak Ramabadra “ sambil melangkah menuju Ramabadra ketiga adiknya menyembah dan mengagumi keluhuran budi kakaknya, dan berpikir bahwa kakaknya tidak mungkin menjadi pencuri.
Dengan demikian Sang Begawan Wasista tidak ragu-ragu lagi bahwa Raden Ramabadra adalah titisan Sang Hyang Bhatara Wisnu yang akan mengatur ketentraman dunia dan menghancurkan angkaramurka.
Untuk mengakhiri pendidikan ini diadakan malam perpisahan, yang antara lain Sang Bhagawan memberi pituah yang telah lama dikarang dan sampai sekarang masih dinyanyikan oleh siswa-siswa di Jawa yaitu dengan pupuh Kinanthi sebagai berikut :

Kinanthi mengku pitutur,
Tumutur karya papeling,
Papali mring para siswa,
Kang samnya angulah budi,
Budayanya kang utama,
Dadya janma kang utami
Kinanthi mengandung pelajaran,
Pelajaran untuk diingat,
Diberikan kepada para siswa,
Yang sedang belajar budi,
Berbudaya yang utama,
Jadilah orang yang berbudi luhur

Tembang ini diteruskan oleh semua siswa menirukan tembang yang telah ada sebelumya :

Ayo -ayo da sinahu,
Isih enom kudu ngudi
Sing sapisan budi tama,
Pindo landepe pamikir,
Kaping telu kasarasan
Katelune da diudi
Ayo - ayo bersama belajar,
Masih muda harus mencari,
Pertama budi yang baik,
Kedua kepandaian,
Yang ketiga kesehatan,
Ketiganya harus dicari
Selanjutma para siswa meneruskan dengan tembang pupuh Mijil yang merupakan petuah lama juga yang terkenal sampai sekarang, yaitu :
Kanca-kanca ayo pada gemi,
Mumpung isih enom,
Saben dina wuwuh celengane,
Dadi besuk ing dinane buri,
Kabeh anyukupi
Aja nganti nyambut
Teman-teman mari kita berhemat,
Mumpung masih muda,
Setiap hari tambah tabungannya,
Jadi di hari esuk nanti,
Semua kecukupan,
Jangan sampai hutang

Setelah upacara perpisahan selesai, keempat putra Prabu Dasarata pamit dari pertapaan dan kembali ke istana.
Di tengah jalan keempat kesatria ini dielu-elukan oleh rakyat kerajaan Ayodya dengan cara menaburkan bunga dan menyediakan minuman dan makanan sekedarnya.

3). Kembali ke Istana.
Prabu Dasarata menerima kedatangan keempat anaknya dengan rasa gembira karena anaknya telah menjadi ksatria yang sakti dan berbudi luhur. Pada hari kedatangan putra-putra sang Prabu di istana diadakan perayaan yang meriah dengan sasana andrawina (pesta menghiasi tempat), bujana andrawina (pesta makan-makan yang lezat) dan budaya andrawina (pesta hiburan kebuayaan rakyat), semua rakyat negeri diundang untuk ikut merayakannya. Pesta diadakan selana empat hari empat malam, sehingga rakyat merasa senang. Pesta ini dilakukan pada saat terang bulan, sehingga keadaan jalan-jalan menjadi terang, pemimpin pesta melakukan pembukaan dengan nembang pupuh Langengita sebagai berikut :

Siswa pra samnya langen ing njaba,
Padang bulan,
Ri sedengireng purnama,
Iku yogya manenggar enggar ing driya

Siswa semua senang-senang di luar,
Padang bulan,
Hari ini sedang bulan purnama,
Sebaiknya bersenang-senang hat
Selanjutnya pesta dilanjutkan dengan tembang-tembang yang lain, seperti pupuh Sinom, Maskumambang, Pangkur, Durma dan tembang mainan anak-anak. Perasaan Sang Prabu Dasarata sangat senang, karena anak-anaknya tumbuh sebagai kestria yang sakti, berwibawa, berbudi luhur dan sayang kepada semua penduduk di negara Ayodya, sehingga mereka menjadi teladan bagi semua anak muda.
Beberapa bulan setelah kedatangan anaknya dari padepokan, sang Prabu kedatangan tamu dari pertapan yaitu Bhagawan Mitra dan Bhagawan Yogiswara. Kedatangan sang Yogi diterima dengan rasa hormat oleh Sang Prabu, karena sang Rabu masa mudanya juga senang hidup di Padepokan, sambil menikmati hidangan pembicaraan dilanjutkan.
“Apakah maksud dan tujuan sang Resi datang ke istana ?” kata sang Prabu sambil hormat kepada sang Rsi.
“Kami berdua memberanikan diri ke istana dengan tujuan, pertana ingin bertemu dengan paduka untuk melepaskan rasa rindu, karena pada masa kanak-kanak kita pernah berkumpul, dengan pertemuan ini hati hamba merasa senang melihat paduka dalam keadaan sehat, kedua kami berdua ikut bersuka cita bahwa putra-putra paduka telah selesai pendidikan di padepokan Maha Rsi Wasista, dan selanjutnya kami berdua mohon pertolongan”.
“Pertolongan apa yang Rsi hendak mohon ?” sahut sang Prabu. Jawab sang Rsi “Sudah beberapa bulan ini padepokan kami diganggu oleh raksasa yag sangat sakti, tidak ada rakyat yang dapat menandingi kesaktiannya, tetapi kami yakin hanya putra paduka Raden Ramabadra sebagai titisan Wisnu yang dapat menghalaunya, maka dari itu kami mohon diperkenankan putra paduka Raden Ramabadra untuk membantu kami mengusir sang raksasa tersebut”.
Prabu Dasarata masih merasa rindu untuk bercanda dengan putra-putranya, menjawab : “Sang Rsi, anak-anakku masih kecil, bagaimana bisa melawan raksasa yang sakti ?”
Belum selesai dijawab Sang Resi Yogiswara memotong “Sudah selayaknya seorang ksatriya menolong rakyatnya yang sedang mendapat kesusahan, jadi sekali lagi kami mohon pertolongan dan belas kasih paduka untuk merelakan Raden Ramabadra membasmi raksasa sakti itu.” Mendengar penjelasan sang Rsi ini akhirnya sang Prabu dengan rasa berat hati merelakan putranya Raden Ramabadra dan Raden Lesmana, untuk menunaikan tugas suci ini, sambil mengangguk sang Prabu berkata “Sebagai ksatria maka walaupun dengan berat hati kurelakan anakku Ramabadra dan Lesmana untuk menunaikan tugas suci ini, semoga berhasil”.
Raden Ramabadra dan Raden Lesmana yang sejak tadi duduk di dekat Sang Prabu kelihatan merasa gembira mendengar keputusan yang diambil oleh bapaknya, lalu langsung minta pamit dan pergi ke pertapaan dengan kedua wiku tersebut.

4). Memasuki  hutan.
Dalam perjalanan kedua ksatria muda itu dielu-elukan oleh penduduk desa yang dilewati. Penduduk desa menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya serta memperingatkan supaya kedua satria jangan sampai melawan raksasa yang merusak pertapaan, karena raksasa itu sangat sakti; ada beberapa orang yang membujuk supaya kedua ksatria ini kembali ke istana, tetapi pikiran kedua ksatria itu telah bulat untuk menunaikan tugas membantu rakyat yang tak berdaya. Dalam perjalanan beberapa kali singgah di pertapaan, kedua kesatria ini senang karena memang sudah biasa di pertapaan; dan di setiap pertapaan mereka mendapat tambahan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan kesaktian, akhirnya menambah rasa percaya diri bahwa mereka mampu mengalahkan sang raksasa.
Setelah berjalan di tengah hutan yang lebat kedua ksatria melihat ada sosok raksasa yang sedang bergelantung di atas pohon yang besar. Raksasa ini ternyata sisa tentara kerajaan Alengka Pura yang tersesat pada saat menduduki Ayodya, dan selalu mengganggu rakyat didekat hutan. Tanpa lama berpikir kedua ksatria Ayodya ini langsung menarik anak panah dan dilepaskannya. Anak panah berbunyi menggelegar terdengar di seluruh kawasan hutan yang di dalammnya terdapat pertapaan para wiku. Anak panah tepat mengenahi leher raksasa, leher putus dan badannya jatuh ke bumi menyebabkan getaran laksana gempa. Dengan meninggalnya raksasa yang menakutkan ini, penduduk disekitar hutan merasa aman tenteram, dapat bekerja di sawah dan ladangnya.
Baru keluar dari hutan Ramabadra dan Lesmana dikejutkan oleh suara gemuruh yang ada di angkasa. Setelah mereka menengok ke atas diketahui bahwa suara itu datang dari angkatan perang Alengka Pura yang dipimpin oleh Sarpakenaka. Dengan sigap kedua ksatria Ayodya bertubi-tubi nenarik panah, sehingga banyak raksasa yang berjatuhan yang menimbulkan suara yang mengerikan. Dalam keadaan terdesak ini Sarpakenaka merubah diri sehingga wajahnya menjadi cantik laksana dewi Supraba dari kahyangan dan mendekati Raden Lesmana, dengan nada merayu dalam pupuh Kinanthi Gandamastuti, sebagai berikut :
Duh satria punden ulun.
Kawula pan maksih suci,
Kawula nate supena,
Panggih lan paduka nenggih,
Kawula bade nyuwita,
Dadosa permaisuri

Duh satria yang ku puja,
Saya ini masih gadis,
Saya pernah bermimpi,
Bertemu denganmu,
Saya akan mengabdi,
Jadilah permaisuri

Raden Lesmana menolak kehendak Sarpakenaka putri dari Alengka Pura, namun penolakannya secara halus supaya tidak melukai hati wanita, maka penolakannya juga disampaikan dengan rayuan gombal tetapi akan mengena, karena Sarpakenaka akan merasa puas walaupun hanya mendengar alunan suara saja.
Dengan memegang pundak Sarpakenaka yang cantik, Lesmana menjawab rayuan, Lesmana mengaku sebagai petani dalam pupuh Kinanthi Gandamastuti dengan suara yang mengharukan dan meresap di hati :
Duh kusuma ingkang arum,
Kawula pun tiang tani,
Boten pates yen paduka,
Ngawula mring awak mami,
Kawula nggadahi ndara,
Tasih muda saha pekik.

Duh  bunga yang harum,
Saya ini orang tani,
Tak pantes  kalau engkau,
Mengabdi padaku,
Saya punya induk semang,
Masih muda dan nggateng.

Punika ingkang abagus,
Rawuh king Ayodya puri,
Pantes yen ndika ngawula,
Panjenengan putri pekik,
Saha putri maha raja,
Mugi-mugi dipun tampi

Itulah orangnya yang bagus,
Datang dari istana Ayodya,
Pantas kalau engkau mengabdi,
Dikau putri cantik,
Dan putri maharaja,
Semoga diterima

Dengan cepat tanggannya meraih pipi Raden Lesmana dan dengan langkah yang genit Sarpakenaka pergi menuju tempat Raden Ramabadra, dan sesampainya tempat yang dituju, ia melantunkan lagu untuk menarik perhatian Ramabadra,  dengan pupuh Dandanggula sebagai berikut :
Sarkaraning memanising bumi,
Nadyan sira aneng tebih netra,
Tan ilang saking batine,
Jer rinten tuwin dalu,
Ingsun tansah trus angenteni,
Pantes sun lara branta,
Tansah eling tuhu,
Sumangga kersa paduka,
Tan lyan kawula namung tuhu ngentosi,
Mangga sun namung pasrah

Laksana gula pemanis bumi,
Walaupun dikau jauh dari penglihatan,
Tidak hilang dari batin,
Pada waktu siang dan malam,
Saya selalu menunggu,
Pantas saya sakit asmara,
Selalu ingat betul,
Semoga kehendakmu,
Tak lain saya hanya sabar menunggu,
Terserah saya hanya pasrah

Sebetulnya Ramabadra kasihan kepada tingkah polah Sarpakenaka yang pada hari itu kelihatan cantik, molek dan harum, namun demikian karena seorang ksatria yang tangguh, Ramabadra tidak terpikat oleh rayuan gombal dari Sarpakenaka, rayuan dibalas dengan penolakan secara halus dengan pupuh Durma, sebagai berikut :

Duh kusuma sira kang asung wiwaha,
Rupi ayu saha pekik,
Kula boten duga,
Napsu kang ambra-ambra,
Lerema ing tyas putri,
Sampun ameksa,
Ingsun datan ngladeni

Duh bunga yang menyerahkan diri,
Rupa ayu dan elok,
Saya  tidak senang,
Napsu yang berkobar-kobar,
Kekanglah batinmu, putri,
Jangan memaksa,
Saya tidak menghiraukan

Dengan adanya balasan yang menyakitkan ini Sarpakenaka terus lari, dan tak lupa mencolek dagu Raden Ramabadra, sambil menangis tersedu-sedu ia kabur pulang ke negerinya dengan pupuh Megatruh yang memilukan dan wajah yang jelek, ia mengutarakan kekecewaannya dan memohon kepada Hyang Widhi :
Aduh-aduh, ambok uwis sisahingsun,
Kawula boten kuwawi,
Nandang sisah kang kadlarung,
Mugi-mugi-a Hyang Widhi,
Paring nugraha wak ingong

Aduh-aduh, selesailah susahku,
Saya tidak kuat lagi,
Menahan susah terus-menerus,
Semoga Hyang Widhi,
Memberi anugerah kepadaku.
Setelah Sarpakenaka pulang dengan meningggalkan banyak korban, tenteramlah rakyat sekitar daerah itu.

5). Sayembara.
Perjalanan Raden Rama dan Raden Lesmana mendapat sambutan hangat dari rakyat daerah yang dilaluinya dan sampailah keduanya di pertapaan Bhagawan Yogiswara. Setelah diterima dengan baik, dipersilakan mandi di padepokan dan diteruskan makan sore, malamnya sang ksatria beramah-tamah dengan penduduk pedesan yang sangat terkesan dengan kedatangannya. Dalam pertemuan itu diberitakanlah oleh Bhagawan Yogiswara bahwa Prabu Janaka di negari Mantili mengadakan sayembara untuk memenangkan hadiah berupa Dewi yang cantik yaitu Dewi Sita atau juga disebut Dewi Sinta.
Sang dewi hanya mau diperisteri oleh ksatria yang mampu menarik gandewa yang besar dan kokoh hadiah dari Sang Hyang Girinata, Sudah banyak kesatria dan raja yang mencoba mengikuti sayembara menarik tali gandewa tersebut, namun belum ada yang mampu melaksanakan. Bhagawan Yogiswara mengharapkan bahwa Raden Rama mau mengikuti sayembara tersebut, karena Dewi Sinta adalah putri yang cantik, molek dan wajahnya bersinar mengalahkan seluruh Bidadari di Kahyangan. Mendengar penuturan Sang Bhagawan, Raden Rama dengan agak tersipu-sipu menolak permintaan mengikuti sayambara karena masih kecil dan belum diketahui oleh orang tuanya, karena biasanya masalah pawiwahan harus diketahui oleh orang tua. Dengan nada yang rendah akhirnya Bhagawan Yogiswara bisa meluluhkan hati Raden Rama untuk mengikiuti sayembara. Pada pagi harinya Raden Rama dan Lesmana pamit menuju ke negeri Mantili dan selama perjalanan dielu-elukan oleh rakyat yang dijumpainya. Perjalanan kedua ksatria menuju ke istana Mantili dengan rasa penuh keyakinan dan percaya diri digambarkan dalam pupuh Maskumambang (Mas kentar) sebagai berikut :
Lwir tindaknya Sang Hyang Hari Murti,
Satria lelana,
Dateng negeri Mantili,
Bade tumut sayembara

Seperti jalannya Sang Hyang Wisnu.
Satria berkelana,
Ke negeri Mantili,
Akan ikut sayembara

Pun Lesmana tindaknya tut wuri,
Rama aneng ngarsa,
Amrih ungguling ajurit,
Mboyong Dyah Mantili Pura

Lesmana jalan dibelakang,
Rama dimuka,
Mengharapkan unggulnya perang,
Mendapatkan putri istana Mantili

Sesampainya di pintu gerbang istana Mantili, keadaan hiruk pikuk karena yang baru datang dikiranya Sang Hyang Batara Aswin dewa kembar dari Kahyangan yang mendatangi pelaksanaan sayembara. Setelah sayembara dimulai, pemukulan gong tiga kali dilaksanakan sendiri oleh Sang Prabu Janaka, sebagai raja di negara Mantili. Pengikut sayembara dipanggil satu per satu sesuai dengan urutan daftar hadir.
 Sudah berpuluh-puluh pengikut sayembara mencoba mengangkat dan menarik tali gandewa, namun tidak ada satupun yang berhasil. Ada satu pererta yang menjadi bahan tertawaan karena baru melihat besarnya gandewa saja sudah pinsan, akhirnya dibawa lari ke luar gelanggang. Sampailah saatnya giliran Raden Ramabadra, para hadirin bersorak sorai laksana kedatangan Sang Hyang Bhatara Indra yang tak terkalahkan, dengan tenang tetapi meyakinkan Raden Rama melangkah menuju ke tempat gandewa. Sambil kumat-kamit mengucapkan mantra Rajah Kalacakra sang Raden dengan mudah mengangkat gandewa, sorak sorai hadirin memekakkan telinga, selanjutnya dengan mudah pula menarik tali gandewa, seolah-olah tiada beban sedikitpun. Sorak sorai berlangsung terus tanpa henti-hentinya, sang Putri Dewi Sinta tertegun melihat kejadian ini, sambil meneteskan air mata berkata dalam hati “Inilah bakal suamiku.”
Setelah sayembara dimenangkan oleh Raden Rama, sang Prabu Janaka menghampiri sang pemenang dan menanyakan, nama dan asal usul pemenang “Siapakah nama anakku, dari manakah asal-usul dan putra siapakah anakku”. Langsung dijawab oleh pemenang “Nama hamba Ramabadra, asal hamba dari negeri Ayodya putra pertama dari Prabu Dasarata”. Mendapat jawaban bahwa pemenang sayembara adalah putra Prabu Dasarata dari negeri Ayodya, seperti di sambar petir rasa gembiranya, maka Raden Rama langsung dipeluk erat – erat dan berjanji untuk segera mengadakan upacara pawiwahan terhadap Dewi Sinta denga Raden Ramabadra.
Prabu Janaka

Sore itu juga Prabu Janaka membuat nawala (surat) kepada Prabu Dasarata untuk menghadiri upacara pawiwahan putrinya dengan putra Prabu Dasarata.
Pada saat pawiwahan datanglah keluarga dari kerajaan Ayodya. Upacara dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, dengan acara sasana andrawina, bujana andrawina dan budaya andrawina, yang dihariri oleh seluruh rakyat negeri. Sesudah upacara di Mantili selesai, penganten diboyong ke kerajaan Ayodya untuk diadakan perayaan juga.
Dalam perjalanan dari Mantili ke Ayodya iring-iringan penganten dihadang oleh seorang Rsi yang gagah perkasa bernama Ramabargawa yang selalu membawa senjata,  konon kabarnya telah membunuh Prabu Arjuna Sasrabahu di Mahespati. Ramabargawa mrenghadang Sri Rama untuk bertanding, karena sudah bosan hidup, tidak ada orang yang sebanding dengannya. Tantangan ini dilayani oleh Sri rama, maka pertandingan dilaksanakan dan dalam waktu yang singkat Ramabargawa terlakahkan dan gandewanya dapat dipatahkan.
Sebelum meninggal Ramabargawa tunduk dan menyerah untuk dibunuh supaya bisa naik ke Swarga Loka.  Setelah dibunuh oleh Sri Rama jasatnya dibakar dan atman-nya masuk ke Swarga Loka, dan menjadi seorang Bhatara yang disebut Ramaparasu.
Ramabargawa

Sesudah sampai di istana Ayodya, diadakan upacara yang meriah, penganten dirias sedemikian rupa sehingga laksana Bhatara Kamajaya dengan Dewi Ratih, upacara dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, selain mengundang segenap rakyat Ayodya juga mengundang raja dari negeri sahabat dan tak ketinggalan keluarga penganten putri dari Mantili.
Uraian ini memberi pelajaran kepada kita bahwa apabila seseorang lelaki akan meminang seorang gadis harus menunjukkan kepandaiannya atau kekuatannya. Dan banyak contoh dalam perjalanan pasangan pengantin atau calon pengantin mendapat halangan, untuk menghindari ini biasanya  pengantin membawa beras kuning (panglukatan dasa mala).
6). Penobatan Raja Ayodya.
Mengingat usia Prabu Dasarata sudah tua, maka dipandang perlu untuk segera mengangkat putra mahkota menjadi raja di Ayodya. Sebagai pewaris tahta adalah Raden Ramabadra, maka sang Prabu Dasarata memanggil semua menteri kerajaan dan semua isteri untuk merundingkan upacara wisuda Raden Rama sebagai raja di Ayodya, karena Rama adalah pantas dan cukup cakap untuk mendudukai tahta kerajaan. Dalam persidangan yang agak alot ini Dewi Kekayi usul bahwa anaknya Raden Bharata yang harus menjadi raja, karena dahulu Dewi Kekayi mau diperisteri oleh Prabu Dasarata kalau anaknya nanti diangkat sebagai pewaris tahta kerajaan dan pada waktu itu Sang Prabu Dasarata menyetujuinya, maka dari itu pada waktu yang tepat inilah Dewi Kekayi menagih janji yang telah diucapkan oleh Prabui Dasarata, karena janji raja adalah “sabda pandita ratu yang tidak dapat dirubah”. Sebetulnya semua rakyat dan para menteri setuju kalau yang diangkat menjadi raja Raden Rama, karena Raden Rama anak pertama dan lebih pandai dari pada yang lain.
Atas pengangkatan Raden Bharata ini Raden Rama tidak susah sedikitpun, karena Raden Rama adalah satria linuwih yang berbudi luhur titisan Sang Hyang Hari Murti. Raden Rama memilih pergi ke hutan meninggalkan istana, namun sebelum meninggalkan istana terlebih dulu memberikan wejangan kepada Raden Bharata tentang ilmu pemerintahan yang terkenal yaitu ajaran ”Asta Brata”. Setelah selesai pemberikan wejangan  Raden Bharata dinobatkan sebagai raja dan Raden Rama pamit meninggalkan istana. Dewi Sinta usul supaya dapat mengikuti suami pergi ke hutan untuk bersama-sama mengabdikan diri kepada keluhuran budi, sebagai seorang isteri harus mengikuti sang suami kemanapun pergi.

7). Sri Rama masuk ke hutan.
Kepergian Raden Rama menuju ke hutan  diikuti oleh Sang Isteri dan Raden Lesmana. Dalam perjalanan dilelu-elukan oleh semua rakyat, semoga Raden Rama mau kembali ke istana untuk memimpin kerajaan ayodya, ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya melantunkan lagu “megatruh” sebagai berikut:

Duh Gustiku, kula sedaya anyuwun,
Paringana welas asih,
Supados kita rahayu,
Paduka mimpin Negari,
Sampun tindak dateng wana

Duh Gustiku, kita semua meminta,
Berilah belas kasihan,
Supaya kita sejahtera,
Paduka yang mempimpin Negeri,
Jangan pergi ke hutan

Harapan rakyat kecil tersebut tidak dihiraukan oleh Sri Rama. Sampai di perbatasan hutan pengikut dari kerajaan kembali dan tinggal tiga orang saja yang masuk ke hutan. Setelah masuk hutan belanrata sampailah di padepokan kaum brahmana, Sri Rama, Dewi Sinta dan Lesmana diterima dengan suka cita, dikerumuni oleh banyak orang di padepokan dengan tembang Kinanthi :

Sugeng rawuh ing tyas sayuk,
Sumangga pra tamu sami,
Pinarak ingkang sekeca,
Wonten padepokan mami,
Kawula nyuwun pawartos,
Kados pundi ing jro puri

Selamat datang dengan hati yang tulus.
Mari para tamu,
Duduk dengan se enak-enaknya,
Di padepokan kami,
Kami mita berita,
Bagaimana keadaan di Istana.

Kados napa tindakipun,
Ngantos dumugi ing mriki,
Sedaya sami raraharja,
Mboten wonten nguciwani,
Saha nir ing sambikala,
Selami wonten ing margi

Bagaimana  perjalanannya,
Bisa sampai di sini,
Semua sehat-sehat,
Tidak ada kekurangan,
Dan tidak ada halangan
Selama dalam perjalanan.

Semalam Sri Rama berbincang-bincang dengan penduduk setempat mengenai keadaan keluarga istana dan selama masa perjalanannya. Malam berikutnya diadakan pesta makan, dan perta kesenian; dalam pesta kesenian itu  kekaguman penduduk tentang kecantikan Dewi Sinta serta ketampanan Sri Rama dan Raden Lesmana, disajikan dalam pupuh Asmarandana :
Wonten candraning  sang Dewi.
Sumeh ing polatanira,
Jenar ing pakulitane,
Tur alencir dedegira,
Mripate nanggal sapisan,
Jangga resik jenar mulus,
Rekma panjang ngandan-andan

Beginilah keadaan sang Dewi,
Serba memuaskan penglihatannya,
Kuning kulitnya,
Tinggi semampai,
Matanya seperti tanggal satu,
Leher bersih kuning mulus,
Ranbut panjang sempurna,

Lati manis anggemesi,
Grana ngrungih merak nala,
Pipi mulus kulitane,
Waja putih alit rata,
Alit pembayunira,
Suku merit sarira lus,
Pinuji sakehing janma
Bibir manis menawan,
Hidung lancip menarik hati,
Pipi mulus kulitnya,
Gigi putih kecil-kecil dan rata,
Kecil  panyudaranya,
Betis kecil badan halus,
Dipuja semua orang.

Candranya kakung kekalih,
Lir Batara Kamajaya,
Gagah tur kuwat awake,
Tan keguh sembarang karya,
Wani sakehing bebaya,
Wicaksana budi luhur,
Nggemeske para wanita

Keadaan lelaki berdua,
Laksana Batara Kamajaya,
Gagah dan kuwat badannya,
Tak menolak semua pekerjaan,
Berani menghadapi semua rintangan,
Bijaksana berbudi luhur,
Menawan semua wanita.

Setelah beberapa malam menginap di padepokan, Sri Rama, Dewi Sinta dan Lesmana meneruskan perjalanan ke tengah hutan, di sana mereka tidur dibawah pohon  atau mendirikan pondok, makan buah-buahan yang dapat dipetik di sekitarnya, minum air dari mata air yang ada di sebelah pohon tempat berteduh, hidupnya kelihatan sengsara, tetapi bagi mereka bertiga merasa tidak berbeda dengan hidup di istana.

8). Dewi Sinta Diculik Oleh Prabu Rahwana.
Setelah beberapa hari di tenagah hutan, Dewi Sinta dikujutkan oleh  pemandangan yang indah, yaitu seekor kijang mas (kidang kencana) yang menggoda berlari larian dekat ia berada. Maka tak sabar lagi Dewi Sinta lapor kepada sang suami untuk menangkapkan si kijang. Kijang ini konon suruhan dari Prabu Rahwana penjelmaan Marica. Sri Rama akan memburu sendiri si kijang tersebut, tetapi, Lesmana menghalangi dan mohon kepada Sri Rama bahwa ia sendiri yang akan memburu si kijang. Lesmana memburu si kidang sampai jauh ke tengah hutan,   kijang kencana dapat dibunuh tetapi raganya berubah jadi raksasa dan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Dari kejauhan Sri Rama dan Dewi Sinta mendengan seolah-olah yang menjerit tadi Raden Lesmana. Dengan tak sabar lagi Sri Rama mencari adiknya ke tengah hutan dan meninggalkan Dewi Sinta sendirian, tetapi sembelum meninggalkan Dewi Sinta , Sri Rama membuat pembatas tempat tinggal Dewi Sinta , dengan cara melingkari tempat tersebut dengan senjata sakti.
Raden Lesmana memburu kijang kencana
Setelah Dewi Sinta ditinggalkan Sri Rama, Prabu Rahwana melihat dari kejauhan dan timbul niat jahat untuk menculik Dewi Sinta. Prabu Rahwana merubah dirinya sebagai seorang kakek pertapa yang bermaksud minta pemberian (dharma) dari Sang Putri.
Alangkah terkejutnya Sang Prabu Rahwana karena setiap melangkah mendekati (masuk ) lingkaran , sang Prabu Rahwana terpental jatuh terjerebbab di tanah. Dengan demikian Rahwana mempunyai akal jahat yaitu megulurkan tangannya dari kejahuhan. Pada saat diberi makanan oleh Dewi Sinta, tangan Dewi Sinta ditarik dan akhirnya Dewi Sinta dibawa terbang ke angkasa.
Dewi Sinta menangis minta tolong dengan lagu Maskumambang sebagai berikut :

Duh Rama lan Lesmana neng pundi
Tulung awak ingwang
Awakku lagi diculik
Dening si Rahwana Raja

Duh Rama dan Lesmana dimana dikau
Tolonglah diriku
Badanku sedang diculik
Oleh si Raja Rahwana

Dari kejauhan Si Jantayu (Jatayu) burung kesayangan kerajaan Ayodya sayup-sayup mendengar rintihan Dewi Sinta. Setelah yakin bahwa rintian itu adalah suara Dewi Sinta,  Jantayu langsung melesat ke angkasa mengejar Prabu Rahwana. Setelah bertemu langsung mencakar Pabu Rahwana, dar menarik Dewi sinta dari rangkulan Rahwana, akhirnya terjadilah perang yang dahsyat. Namun sayang Sang Jantayu tidak dapat mengimbangi kekuatan Rahwana. Jantayu jatuh ke tanah.
Di tempat lain Sri Rama telah menemukan Lesmana dalam keadaan segar-bugar, maka keduanya langsung ke tempat Dewi Sinta ditinggalkan. Alangkah terkejutnya Sri Rama dan Lesmana karena Dewi Sinta tak ada di tempat, langsung mencari kesekitar hutan, dengan rasa sedih dan cemas Sri Rama mengeluh dalam lagu Megatruh :
Duh garwengsun,
Ingsun iki banget trenyuh
Jeneng sira aneng endi   
Ingsun iki saya bingung
Menyang endi sun nggoleki
Duh wong ayu kang prihatos

Duh isteriku
Saya ini sangat sedih
Dikau sedang di mana
Saya ini tambah bingung
Ke mana ku mencari
Duh si cantik yang sedang susah

Ketika mendengar senandung yang dilantunkan oleh Raden Rama, Raden Lesmana ikut susah dan meneteskan air mata. Tetesan air mata tersebut diketahui oleh Sri Rama, maka Sri Rama menegur adiknya “Saya sebagai suami tidak menangis, kamu sebagai adik ipar kok menangis, ada apa ini?” Dengan rasa kasih saying memberi pituah kepada adiknya dengan pupuh Mijil :
Ajo ngono adikku wong manis
Pancen dadi lakon
Kudu wani anglakoni kabeh
Ora kena duwe pikir cilik
Kudu tahan banting
Supaya rahayu

Jangan begitu adikku yang manis
Memang jadi  perjalanan hidup
Harus berani melaksanakan semua
Tidak boleh punya hati kecil
Harus tahan banting
Supaya rahayu
Sambil bersenandung dalam kesedihan kedua ksatria meneruskan perjalanan, dan mereka sangat terkejut ketika melihat sang Jantayu kesayangannya jatuh dari langit. Kesatria berdua segera mendekati sang Jantayu. Setelah tahu yang mendekat adalah Sri Rama, sambil mengaduh kesakitan sang Jantayu berbicara singkat “Aleng…”.lalu mati. Dengan sigap kedua ksatria itu merawat sang Jantayu dan terus melakukan perjalan ke arah selatan menuju negeri Alengkapura. Dalam perjalan ke Alengkapura menemuhi beberapa kesulitan yang harus diselesaikan.

 9). Pertemuan Sri Rama, Lesmana dengan Subali, Sugriwa.
Dalam perjalanan yang melelahkan , tanpa makan dan minum dua orang ksatria berjalan terus menuju arah selatan, akhirnya ketemu dengan dua manusia berbadan kera, seorang berpakaian layaknya seorang Rsi sedangkan seorang lagi berpakaian layaknya seorang raja. Setelah berkenalan seorang bernama Rsi Subali dan seorang lagi bernama Prabu Sugriwa dari kerajaan Guwa Kiskenda, bekas kerajaannya Maesasura dan Lembusura.
Setelah berbincang-bincang kedua kera tersebut mengadu karena mereka berdua bersaudara tetapi mengalami pertengkaran yang tidak ada putusnya yang disebabkan oleh kekuasaan duniawi (kerajaan Guwa Kiskenda) dan masalah wanita (Dewi Tara). Setelah bertemu dengan Sri Rama puaslah hati keduanya karena ada orang titisan Wisnu Murti yang akan dapat menyelamatkan hidup mereka dan dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Kedua ksatria dari Guwa Kiskenda tersebut minta bantuan kepada Sri Rama, dengan suara yang menyayat hati, keduanya mengadu : “Duh Raden Rama kami sudah lama bertengkar dengan saudara, tetapi tidak dapat menyelesaikan masalah, karena kami perang sama saktinya, maka dengan bantuan Raden mudah-mudahan masalah kami terselesaikan”. Permohonan itu digambarkan dalam pupuh Dandanggula yang sangat mengharukan siapa saja yang mendengarkan, sebagai berikut :

Duh Sri Rama memanising bumi
Hamba nyuwun gunging pangaksama
Hamba memusuhan dewe
Kaliyan kadang ulun
Si Sugriwa lan Si Subali
Rebutan ing panguasa
Saha putri ayu
Asmanya pun Dewi Tara
Sampun lami hamba perang jurit
Datan ana puliha

Duh Sri Rama madunya bumi
Hamba minta maaf sebesar-besarnya
Hamba bermusuhan sendiri
Dengan saudara sendiri
Si Sugriwa dan Si Subali
Berebut kekuasaan
Dan putrid cantik
Bernama Dewi Tara
Sudah lama kami berperang
Tidak ada selesainya

Setelah mendengar rintihan tersebut Sri Rama menyuruih mereka berdua berperang lagi, dari jauh mengawasi mereka berperang. Sampai saat yang baik Sri Rama melepaskan panah saktinya dan mengenai tubuh Subali, dan Subali jatuh terjerembab. Sebelum mati Si Subali menyembah kepada Sri Rama dan menangis dihadapan adiknya dengan tembang yang menyayat hati dengan pupuh Mijil  sebagai berikut :

Duh wong ayu, ngrekasa wak mami
Pancen dadi lakon
Warna-warna wus nglakoni kabeh
Amung loro kang durung nglakoni
Mukti karo mati                   
Paran marganipun

Duh si cantik (Dewi Tara) berat ku alami
Memang menjadi nasibku
Bermacan-macam telah kujalani
Hanya dua yang belum terlaksana
Bahagia dan mati
Bagaimana jalan mencapainya

Setelah Si Subali meninggal dikumpulkan bala tentera kera untuk segera menyerbu ke Alengka Pura, pertama-tama diutus Anoman untuk mencari jejak Dewi Sinta. Di Alengka Pura Anoman tertangkap dan dibakar hidup-hidop, tetapi Anoman tidak mati malah sebagian istana terbakar. Setelah Anoman kembali dari Alengka Pura dan bergabung pula Raden Wibisana, pasukan Sri Rama berangkat menyeberangi lautan menuju ke Alengkapura. Gemuruh tentera kera membawa batu untuk membendung lautan menuju daratan Alengka Pura. Perang di Alengka pura ramai sekali, akhirnya Sri Rama menang. Setelah perang selesai Raden Rama, Dewi Sinta dan Raden Lesmana kembali ke Ayodya.

10). Dewi Sinta membakar diri.
Setelah Dewi Sinta dapat dibawa dari Alengka Pura bergabung dengan rombongan menuju ke Ayodya, maka terjadilah ujian berat lagi bagi Dewi Sinta, karena ada sebagian masyarakat yang meragukan kesucian Dewi Sinta kerena sudah diculik sekian lama oleh Prabu Rahwana, aneh rasanya kalau sang putri masih suci.
Untuk membuktikan kesuciannya Dewi Sinta mau melaksanakan sumpah bakar diri yang disaksikan oleh seluruh masyarakat. Panitia pelaksanaan sumpah bakar segera mengambil kayu untuk melaksanakan pembakaran, diatas api yang menyala-nyala Dewi Sinta terjun ke dalamnya dengan menari lemah gemulai yang diiringi sorak sorai dari penonton, ternyata sang Dewi tetap segar bugar, tidak ada sedikitpun pakaiannya yang terjilat oleh api.
Disinilah rakyat Ayodya percaya bahwa Dewi Sinta pantas menjadi permaisuri dan mendampingi junjungannya Raden Ramabadra untuk menjadi raja di Negeri Ayodya yang kaya raya dan damai.

11).  Raden Ramabadra Dinobatkan Sebagai Raja Ayodya.
Setelah kembali dari Alengka Pura Raden Ramabadra dinobatkan sebagai raja Ayodya. Penobatan dilaksanakan dengan sangat meriah yang dihadiri oleh beberapa raja dari negara tetangga dan semua rakyat Ayodya,  dilaksanakan keramaian kesenian ( budaya andrawina ), keramaian makan bersama ( bujana andrawina ), pertandingan olah raga, pertandingan kesaktian dan lain-lain selama tujuh hari tujuh malam. Ramabadra dinobatkan sebagai raja di Ayodya nenggantikan Raden Barata dengan sebutan ( ajejuluk ) Prabu Ramawijaya yang sangat terkenal sempai sekarang, karena Prabu Ramawijaya adalah raja yang sakti, bijaksana dan melaksanakan astabrata.
Semasa pemerintahan Prabu Ramawijaya negara Ayodya dalam keadaan aman damai tentram dan kerta raharja, wong cilik sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Prabu Ramawijaya

Ceritera kerajaan Ayodya dapat diambil teladannya, yaitu :
1.        Anak yang dididik mulai dalam kandungan akan tumbuh menjadi orang yang baik.
2.        Orang disebut baik bukanlah karena drajat, pangkat, kekayaan dan rupa (kekuasaan, kedudukan, kekayaan dan ngganteng/cantik) nya, tetapi orang baik adalah orang yang berpikir baik, perbuat baik dan berucap baik.
3.        Mengajak rayat kecil ikut berpista, jangan sampai rakyat kurang makan, penguasa makan enak-enak yang berlebihan.
4.        Mengajak rakyat kecil ikut menikmati dan menjunjung kebudayaannya sendiri peninggalan nenek moyang.
5.        Ajakan ini diukir dalam pupuh Kinanti di buku Weda Tama :
6.         
Pantes tinulat tinurut
Tuladane mrih utami
Utama kembange mulya
Kamulyane jiwa diri
Lamun ta angeplekana
Lir leluhur nguni uni.

Pantas dicontoh diturut
Contoh supaya baik
Kebaikan itu bunganya kebahagiaan
Kebahagian jiwa seseorang
Apabila bisa menyesuaikan
Seperti leluhur kita dahulu

--o--












BAB   XIV
LEMBU  HANDINI  (NANDINI)

Dalam cerita Ramayana terdapat suatu kisah pertemuan antara seorang Rsi yang hidup di padepokan (asrama) bernama Wasista dengan rajanya bernama Prabu Wiswamitra. Resi Wasista selain mengajarkan agama di asram-nya, beliau juga mempunyai peliharaan sapi yang diberi nama Lembu Handini (Nandini) (seperti lembu titian Sang Hyang Betara Guru). Sapi ini dipelihara dengan baik, menghasilkan banyak air susu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga asrama; selain itu kebutuhan pupuk di sekeliling asrama juga cukup dari kotoran sapi tersebut. Suatu ketika datanglah Sang Raja yang menguasai daerah tertapaan tersebut bernana Prabu Wiswamitra meninjau keadaan sapi milik Sang Rsi, konon sapi tersebut oleh masyarakat sekelilingnya disebut sebagai sapi emas (Lembu Kencana), karena hasil susunya banyak, cukup untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya.
Semula dengan kata-kata yang ramah Prabu Wiswamitra minta kepada sang Resi Wasista “ Hei Sang Rsi, bolehkah sapi piaraan Sang Rsi ku minta untuk ku boyong ke istana ?” Sang Rsi Wasista menjawab : “Maafkan hamba Sang Prabu, hamba tidak dapat menyerahkan sapi piaraan hamba, sebab sapi tersebut sudah sebagai saudara di pertapaan ini, dia yang menghidupi seluruh keluarga pertapaan ini, maka hamba sangat keberatan kalau berpisah dengan sapi ini”. Setelah berkali-kali diminta tetap tidak diperbolehkan, akhirnya Sang Prabu Wiswamitra marah dan kerasukan bhuta Kingkara, beberapa anak Rsi Wasista dimakannya, tinggal satu orang yang tidak dimakan yaitu yang bernama Sakri dan selanjutnya Wiswamitra menyerang Lembu Nandini yang ada di kandang. Peperangan antara Wiswamitra dengan lembu Nandini berlangsung sangat seru, karena lembu Nandini sangat kuat dan selanjutnya lembu Nandini dibantu oleh penggembalanya (Dadung Awuk), sang raja dapat dikalahkan. Akhirnya Dadung Awuk menyerahkan Sang Raja kepada Sang Rsi Wasista Setelah diperciki air suci (tirta) oleh Sang Rsi, sadarlah Sang Prabu Wiswamitra dan minta ampun kepada sang Rsi.
Setelah sadar betul, sang Raja bertanya kepada sang Resi :
“Benarkah apabila sapi di puja-puja laksana Dewa akan mendatangkan kesejahteraan ?”
Sebelum dijawab sang Raja menambah pertanyaan :
“Mengapa lembu tidak boleh disembelih untuk dimakan dagingnya seperti hewan piaraan lainnya ?”
Sang Resi menjawab : “Ketahuilah Sang Prabu, bahwa kami semua yang ada di pertapaan tidak pernah memuja (menyembah) Lembu Nandini ini laksana Dewa, tetapi kami memelihara dengan baik dan rasa kasih sayang, karena :
(1). Sapi dapat dimanfaatkan tenaganya.
(2). Kotoran sapi dapat digunakan untuk pupuk tanaman.
(3). Air kencing sapi juga dapat digunakan untuk pupuk dan obat tanaman.
(4). Susu sapi dapat dipergunakan untuk minuman kita.
(5). Apabila Sang Prabu pernah minum susu sapi, apakah Sang Prabu tega (sampai hati) membunuh sapi tersebut ?
(6). Apabila Sang Prabu pernah minum susu sapi, berarti Sang Prabu satu susuan dengan anah sapi (pedet), maka Sang Prabu tidak boleh mengawini pedet tersebut, karena masih merupakan saudara sesusuan.
(7). Pernahkah Sang Prabu mendengar seseorang mengumpat yang menjelekkan nama sapi, atau mengumpat dengan memakai kata sapi, yang sering terdengar adalah umpatan dengan menyebut nama binatang lain, selain sapi.

Akhirnya Sang Raja menyerah kalah dengan arti akan memperbaiki diri. Sang Raja kembali ke istana , bukan untuk meneruskan sebagai raja, tetapi beliau pamit kepada seluruh warga negara, beliau menyerahkan kerajaan kepada putranya dan pergi ke gunung untuk menjadi pertapa. Akhirnya Wiswamitra menjadi pertapa, hasilnya sering diuji di hadapan Resi Wasista, lalu bertapa lagi dan bertapa lagi, sehingga beliau  menjadi seorang Maharesi dengan sebutan Dewa Rsi Wiswamitra.

Dari uraian diatas dapat diambil makna dari penghormatan kepada Lembu Nandini, yaitu bukan menyembah sapi laksana menyembah Dewa, tetapi peliharalah sapi sebaik-baiknya karena sapi bermanfaat dan meningkatkan kesejahreaan bagi kehidupan manusia.

Di dalam ajaran Tri Hita Karana, kita berusaha mengharmoniskan hubungan (1) antara manusia dengan Tuhan, (2) antara manusia dengan manusia dan (3) bantara manusia dengan lingkungan. Kita saling tolong menolong (Tat Twam Asi) karena dengan membiarkan sapi tumbuh gemuk-gemuk dan berkembang biak dengan baik, maka akan sangat menambah kesejahteraan manusia.

Rsi Wasista mempunyai anak bernama Sakri, yang kemudian menjadi Bhagawan, kemudian Bhagawan  Sakri mempunyai anak bernama Sekutrem, yang kemudian juga menjadi Bhagawan, Bagawan Sekutrem mempunyai anak mernama Bhagawan Parasara, Bagawan Parasara kawin dengan Dewi Amiswati (Dewi Durgandini) dari Kerajaan Wirata mempunyai anak bernama Krisna Dwipayana (Bhagawan Abiyasa / Bhagawan Wiyasa). Bagawan Abiyasa kawin dengan janda di Kerajaan Astinapura ( dengan Janda Raden Citrawirya bernama Dewi Ambika) dikaruniai anak bernama Raden Dritarastra), (dengan Janda Raden Citrawangsa bernama Ambalika dikaruniai anak bernama Raden Pandu Dewanata) dan dengan seorang endang (pelayan) dikaruniai anak bernama Raden Yamawidura.



ooOOoo





BIODATA
           

Nama                           : Sarnadi Tjiptosutomo
Tempat, tanggal lahir  : Bojonegoro, 12 April  1944
Pendidikan                  :
                        SD lulus tahun 1956 di Bojonegoro
                        SMEP lulus tahun 1960 di Bojonegoro
                        SMA-C lulus tahun 1963 di Bojonegoro
                        A3N lulus tahun 1969 di Surabaya
                        I I K  lulus tahun 1975 di Jakarta
 http://syangar.bodo.blogspot.co.cc