Apa atau rangkaian kalimat seperti apa yang cocok dan identik dengan pengertian “alam semesta” atau “universe” didalam Al Qur’an?
Menurut Sirajuddin Zar, Al Qur’an menggunakan istilah “as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa” untuk alam semesta. Istilah ini ditemui didalam beberapa surat Al Qur’an seperti dalam surat Al-Maidah dan Shaad tiga kali; al-Dukhan dua kali; surat al-Hijr, Maryam, Thaahaa, al-Furqan, al-Syu’ara, al-Rum, al-Sajdah, al-Shaffat, al-Zukhruf, al-Ahqaf, Qaf dan al-Naba masing-masing satu kali. Menurut buku “Kamus Islam Menurut Quran & Hadis” karya Hussein Bahreisy yang dikutip Sirajuddin Zar, istilah ini secara harfiah berarti “alam semesta adalah langit dan bumi dan segala isinya”.
Surat al-Maidah ayat 17 (QS 5:17), yang berbunyi “…Dan kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya…” merupakan penegasan Allah bahwa Al-Masih (Nabi Isa a.s.) merupakan makhluk dan bagian dari alam semesta (as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa) dan seluruhnya adalah milik Allah. Ia berkuasa mutlak atas seluruh jagat raya, dan apa yang ada didalamnya tunduk kepada segala ketentuan-Nya. Kalau menyimak konteks ayat tersebut maka “as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa” identik dengan alam semesta, jagat raya, atau dalam Bahasa Inggris disebut universe.
Demikian juga kalimat “as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa” di dalam surat Maryam ayat 65 (QS 19:65) yang berbunyi :
Tuhan langit dan bumi serta apa-apa diantara keduanya (alam semesta), sebab itu sembahlah Dia dan teguhlah untuk menyembah-Nya…
Untuk memahami pengertian ayat tersebut, perlu dilihat secara utuh berdasarkan konteks ayat sebelumnya yaitu QS 19:64 yang berbunyi:
Kepunyaan Allah apa-apa yang dihadapan kita, apa-apa yang ada dibelakang kita dan apa-apa yang ada diantara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.
Kalimat “as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa” dalam surat Maryam ayat 65 memperkuat ayat sebelumnya yang bersifat parsial, yaitu apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Namun, kalau kita teropong dari pandangan sains modern, ayat diatas mendefinisikan konsep ruang-waktu yang terdiri dari masa lalu, masa kini, dan masa depan, suatu konsep kosmologis yang oleh Stephen Hawking, seorang fisikawan teoritis dari Inggris, diuraikan untuk menjelaskan terjadinya alam semesta atau secara umum dewasa ini digunakan untuk menggambarkan berbagai fenomena alam [20,21].
Dari uraian ayat-ayat diatas, maka Al Qur’an menegaskan bahwa “as-samaawaat wa al-ardh wa maa baynahumaa” identik dengan pengertian alam semesta sebagai kontinuum ruang-waktu. Kata ini mengacu kepada alam fisik dan non fisik atau alam gaib seperti alam malaikat, alam jin, alam ruh, alam barzakh, alam akhirat dan alam-alam lainnya yang tidak dapat diindera oleh manusia umumnya. Demikian kesimpulan akhir Sirajuddin Zar dalam mengartikan “alam semesta”.
Dengan pendekatan yang dipaparkan Sirajudin Zar dan pengertian sains modern, maka sebenarnya alam semesta yang dimaksudkan dalam Al Qur’an adalah suatu kontinuum ruang-waktu yang terpahami oleh makhluk berakal pikiran yakni manusia. Sehingga pengertian alam semesta adalah suatu kontinum pikiran-ruang-waktu atau seperti disebutkan sebelumnya sebagai suatu kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu (KDRW). Inilah alam semesta menurut Al Qur’an dalam pengertian yang lebih fisikal maupun metafisikal, dan inilah konsep alam semesta yang saya gunakan selanjutnya dalam risalah ini, jadi bukan sekedar kontinuum ruang-waktu seperti dipahami selama ini oleh para ilmuwan tradisional.
Pentingnya kesadaran atas waktu sebagai bagian dari pemahaman kita tentang alam semesta sebenarnya tersirat dalam surat Al Ashr (Masa, QS 103:1-3) .
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS 103:1-3)
Mengaitkan masa atau waktu sebagai suatu “kerugian” dan “amal saleh..” untuk “menetapi kesabaran” sebenarnya merujuk pada aspek “kesadaran diri manusia” yang tentunya tidak bisa dipisahkan dengan waktu. Secara logis, setiap bilah waktu kita yang lewat adalah peluang kita untuk “hidup dan mati” dan menunaikan suatu amanat dari Tuhan. Jadi ketika kita melepaskan kesadaran diri kita dari pentingnya waktu, maka kerugianlah yang akan kita temui karena waktu tidak bisa dapat balik kembali.
Dalam ayat yang lain yaitu QS 15:71 Allah juga berfirman dengan menyinggung masalah waktu yang dikaitkan dengan kesadaran seseorang,
(Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". (QS 15:71)
Demikian juga, dengan gaya bahasa yang lebih psikologis, kaitan alam semesta dan kesadaran manusia juga ditegaskan dalam firman QS (17:60),
Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan “mimpi” yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.(QS 17:60)
Frase “tidak menjadikan ‘mimpi’ yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia” menegaskan aspek psikologis penglihatan, cerapan inderawi, akal pikiran dan qolbu kita kita ketika memahami alam semesta atau dunia yang sebenarnya seperti sebuah mimpi. Dengan demikian, dalam memahami alam semesta, dunia atau kehidupan faktor kesadaran sangat penting untuk meemhami semua itu dengan utuh. Bukan sepenggal-sepenggal.
Berbeda dengan konsepsi alam semesta sebagai kontinuum ruang-waktu, maka konsep alam semesta sebagai kontinuum kesadaran-ruang-waktu menempatkan manusia dalam posisi yang lebih dominan di alam semesta yang akhirnya akan menyingkap bahwa alam semesta sebenarnya diciptakan dengan mengikuti aturan atau ketentuan yang sudah ditetapkan kepada manusia sebagai suatu kadar dari Penciptanya. Kita adalah burung, dan alam semesta adalah kandangnya. Maka yang menciptakan, memelihara dan mendidik kita sebagai Rabb Al-Aalamin mestinya menentukan ukuran dan ketentuan manusia dahulu sebelum kandangnya dibuat. Sehingga, alam semesta yang kita diami dan dianggap oleh kita sangat luas sebenarnya diciptakan berdasarkan spesifikasi kita sebagai manusia yang menjadi citra kesempurnaan Allah sebagai Rabb Al-Aalamin. Allah tidak menciptakan alam semesta untuk emnunjukkan citra kesempurnaan-Nya, namun kepada manusialah Dia mengamanatkan citra kesempurnaan-Nya itu. Artinya, kita lah yang menentukan bentuk alam semesta ini sehingga seprrti apa yang kita lihat dan kita rasakan saat ini. Ketika manusia tidak menyadari hal ini, dan mengira bahwa kebetulan manusia ada di alam semesta, maka kitapun akan tertipu suatu tipu daya fundamental dan sangat psikologis yaitu tipuan Sang Iblis ketika menginginkan keabadian dirinya.
Pengertian alam semesta menurut Al Qur’an sebagai al-Aalamin pada akhirnya mengungkap adanya kejamakan alam semesta dalam pengertian inderawi dan non inderawi. Kendati demikian, semua alam tersebut secara teoritis adalah alam yang berada dalam suatu kontinuum yaitu di dalam kontinuum kesadaran-ruang-waktu. Hanya saja, ada kesadaran-ruang-waktu yang terpahami secara utuh oleh manusia dalam orde batasan-batasan waktu teoritis yaitu diatas waktu Planck yang nilainya lebih dari 10-34 detik1, dan ada alam yang tidak terinderawi oleh manusia yang bersifat gaib namun dapat disadari ada (dalam arti kesadaran diri sudah lepas dari keterikatannya dengan ruang-waktu). Menurut telaah almarhum Prof. Achmad Baiquni [29], seorang fisikawan Indonesia yang menekuni Al Qur’an dari sudut pandang sains modern, para saintis dalam menyikapi keberadaan alam-alam lain tersebut telah berusaha membuktikannya, baik secara teoritis maupun matematis. Seringkali mereka menyebutnya sebagai “shadow worlds”, “parallel worlds” atau alam gaib menurut istilah Islam, dan diperkirakan memiliki hukum-hukumnya sendiri.
Saat ini kita mungkin sering melihat bagaimana industri hiburan Hollywood menafsirkan alam-alam lain tersebut dengan membuat film fiksi ilmiah yang menarik, menggelitik, dan kadang-kadang menggelikan seperti dalam film serial TV “Twilight Zone”, “Back To The Future”, atau film “Contact” yang dibintangi oleh Jodie Foster. Meskipun demikian, tafsiran kalangan industri perfilman itu janganlah dianggap remeh, karena secara tidak langsung kita dapat belajar bagaimana konteks sains modern tanpa pemahaman spiritual dan keagamaan dalam menyikapi adanya alam yang gaib tersebut. Biasanya, ujung dari penyingkapan alam gaib tersebut dijawab pula dengan cara mekanistis yang juga kering dari unsur-unsur spiritual yaitu dengan membuat mesin antar dimensi seperti yang diperlihatkan dalam film “Contact” untuk berjalan keluar menjelajahi alam semesta fisik atau dengan model sihir-sihiran seperti dalam film-film Harry Potter.

1 Dalam pengertian sehari-hari manusia menyadari perbedaan waktu dalam order satu detik, jadi kajian teoritis ini bersifat murni teoritis yang dapat dihitung secara matematis saja.
http://syangar.bodo.blogspot.co.cc