Sebuah catatan dari mempelajari kuliah umum J. Robert Oppenheimer di bidang Fisika yang dibacakan oleh Prof. DR. S.W. Hawking dan disampaikan pada 13 Maret 2007, professor Lucasian matematika pada Cambridge University di Zellerbach Hall kampus University of California, Berkeley – USA.
Memperhatikan Tazkiyyatun Nafs Dzikrullah dan analisis anggota milis dzikrullah mengenai berbagai permasalahan pemahaman dan praxis berIslam, tampak dengan jelas kekuatan dan kemampuan pelestarian pemikiran dogmatis tradisi budaya yang digagas pada zaman manusia baru mengenal teknik membangkitkan api dari kayu kering dan memeliharanya dalam wadah perapian. Pemikiran dogmatis yang saya ketengahkan adalah suatu sikap berfikir yang menjadikan dogma dan doktrin atas sesuatu hal sebagai pemahaman yang pasti dan tak dapat berubah maupun tak boleh diubah. Dogma dan doktrin adalah definisi bagi suatu kepercayaan atau sikap mempercayai hal-ihwal. Apabila kita mempercayai suatu hal-ihwal di atas dasar penerimaan kita terhadap sesuatu dogma dan doktrin, maka kita tidak memerlukan lagi riset dasar dan proses  nyata keberadaan hal-ihwal saat ini dan di masa depan. Menurut banyak ahli fikir Indonesia disebut dengan istilah asing “take it for granted”. Kata “dogma” yang berasal dari Bahasa Yunani mengandung arti “pemikiran pasti, pendapat yang sudah mapan, prinsip pemahaman yang dianggap benar”.  Demikian pula kata “doktrin”  yang berasal dari kata Latin “doctrina” mengacu kepada pengertian “pengajaran, sesuatu yang diajarkan: suatu prinsip”. Kedua jenis kata Yunani dan Latin tersebut memberikan gambaran atas suatu model berfikir yang mendasarkan diri kepada suatu prinsip hal-ihwal yang sudah selesai dan jadi. Dalam arti demikian ini model pemikiran dogmatis dan doktrinair tidak dapat berubah dan tidak boleh diubah. Akibat dari definisi demikian ini adalah penutupan pintu untuk mencari kebenaran yang ada dalam ruang dan waktu kejadian sehari-hari, penutupan pintu ijtihad.
Mari kita buka Al-Quranu al-Kariim halaman 8-9 terbitan Departemen Agama Republik Indonesia 1978-1979. Kita baca Surah Al-Baqarah(2) ayat-ayat 1-5. Apabila kita baca ayat-ayat di atas dengan memperhatikan tanda-tanda baca serta tekanan lagu kalimat dan bentuk-bentuk saling hubungan kalimat-kalimat dan interaksi di antara model-model suku kata yang dipergunakan, kita akan menemukan suatu kemanunggalan saling hubungan dan interaksi dialektis arti kata dan struktur pemikiran yang dibangun di atas dasar model pemikiran rasional yang logis dan dialektis alami. Dalam membacanya dan memahaminya kita tidak dapat berhenti seenak kita sendiri di mana kita menginginkan suatu pemahaman hendak kita fahami sebagaimana yang kita kehendaki. Kita harus membacanya dari ayat 1 hingga selesai ayat 5. Dalam memahami dan menginterpretasi atau membumikan ayat-ayat tersebut oleh ayat-ayat tersebut dituntut suatu pemahaman faktual, pemahaman yang mendasarkan diri atas fakta, agar dapat mendekati maksud dan arti kata-kata yang diungkapkan firman ilahi dalam model ayat mutasyabihat, yaitu “percaya kepada yang ghoib”, “percaya kepada hari ahir”, “mendirikan sholat” dll. Kelima ayat tersebut saya fahami sebagai ayat mutasyabihat, sebab pemahamannya memerlukan suatu studi yang komprehensif terhadap fakta-fakta sejarah terbentuknya noktah hitam (black hole), materi gelap (black matter), gaya hitam (black energy), mula buka adanya waktu, mulabuka adanya kehidupan di Bumi, mulabuka munculnya budaya kultus dalam masyarakat manusia dll.

Kelima ayat Surah Al-Baqarah (2: 1-5) memberi informasi kepada kita akan keberadaan suatu Kitab yang tak dragukan lagi isinya, karena Kitab tersebut dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang takwa kepada realitas mandiri yang obyektif (selfsustained obyectief reality), yang dalam fraseologi firman Qurani ditunjukkan dengan kalimat “Wa lamyakun-llahu kufuwan Ahad” (QS.112:4). Mereka yang takwa itu memiliki ciri-ciri:
- percaya kepada hal-ihwal yang ghoib, yang tak menyampaikan informasi kepada kita sehingga kita mengetahui keberadaan hal-ihwal tersebut, agnostics
- yang mendirikan sholat
- yang suka menafkahkan sebahagian rizki yang dimilikinya
- yang percaya kepada apa-apa yang diturunkan/diwahyukan kepada rasulullah Muhammad saw dan kepada para nabi dan rasul Allah swt sebelum beliau
- yang percaya kepada hari ahir
Dari informasi di atas kita dituntun untuk mecari jawaban-jawaban atas pertanyaan “Kitab apa atau yang mana?”, “Apa fungsi Kitab tersebut” . Selanjutnya kita harus melakukan riset mengenai maksud kata “ghoib”. Dalam ulasan dan penjelasan yang lalu telah saya kemukakan tentang pengertian pribadi atas “hal ghoib” yang secara prinsip-prinsip sains modern mengarah kepada suatu kondisi, syarat, realitas, yang tak menyampaikan informasi atau tidak memancarkan informasi ke luar. Di samping itu kita dituntun untuk dapat memahami dan menjawab pertanyaan logis formal yang rasional atas pertanyaan “Mengapa kita bersedia menafkahkan sebahagian rizki yang kita peroleh dengan kerja keras?”.”Mengapa kita percaya kepada wahyu yang diturunkan kepada rasulullah Muhammad saw dan kepada para nabi dan rasulullah sebelum beliau?”. Dan “Mengapa kita percaya kepada hari ahir?” dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus dapat kita jawab dan fahami yang dikedepankan oleh kelima ayat-ayat QS.2: 1-5.
Dalam menjawab pertanyaan dan menemukan jawaban yang sesuai dengan realitas obyektif yang menjadi medan kerja dari petunjuk yang dikandung oleh kelima ayat-ayat Qurani di atas akan dapat kita jumpai persyaratan dasar guna dapat memahaminya. Persyaratan itu adalah dasar pemikiran rasional dan logis lagi dialektis. Tanpa dasar pemikiran yang demikian kita akan tidak dapat secara dekat sedekat-dekatnya memahami petunjuk kelima ayat di atas. Sebab permasalahan yang diketengahkan oleh kelima ayat di atas adalah demikian manunggal dan masifnya sehingga sangat sulit untuk dipisah-pisahkan ataupun dipotong-
potong. Di dalam hal ini maka dapat kita kemukakan bahwa ayat-ayat 1-5 Surah Al-Baqarah (2) merupakan dasar pemikiran Islami yang  mendasari seluruh konstruksi pemikiran Dinul Islam sebagai Jalan Hidup Lurus bagi manusia di Bumi. Dasar pemikiran rasional, logis dan dialektis demikian itulah yang kini dijadikan metodologi dalam memahami gejala keberadaan hal-ihwal secara posteriori di bawah pengamatan ketat peraturan-peraturan yang melakukan pengkajian ulang dan uji-coba lapangan dan laboratorium, yang dikenal dengan istilah metodologi ilmiah. Pada abad ke 6 hingga ke abad 18 hitungan tahun Gregorian sambungan synap-synap dalam otak manusia masih belum sepadat dewasa ini dan ruang lingkup pengetahuan manusia terhadap lingkungannya juga masih sangat terbatas, sehingga manusia masih secara gampang mempercayai hal-ihwal di atas dasar metodologi pemikiran irrasional, illogis dan mekanis. Metodologi demikian itu diperkuat oleh system filsafat idealisme yang menjadi lawan tangguh dari system filsafat materialisme. Di sini saya tidak akan membicarakan system filsafat, sebab Al-Quranu al-Kariim menganjurkan agar kita bertolak dari realitas obyektif yang mandiri berada di luar diri kita dan yang ada di dalam diri kita (meliputi ruang-waktu).
Bertauhid kepada Allah swt hanya mungkin dapat kita terapkan secara benar dan baik apabila kita mendasari system pemikiran kita dengan system pemikiran Islami yang bertolak dari Allah swt dan kembali kepada Allah swt. System pemikiran Islami ini didasarkan kepada pemikiran rasional, logis dan dialektis Islami sebagaimana difirmankan dalam kelima ayat Surah Al-Baqarah 2: 1-5. Dengan kata lain ia adalah pemikiran yang ilmiah dalam arti yang sebenarnya. Cobalah bersama-sama kita renungkan Surah Al-Ihlas (112) yang menjelaskan tentang Allah swt sebagai jawaban terhadap serangan-serangan teologis kaum ahlul Kitab, kaum Nasrani, kaum Majusi dan kaum musyrikin Arabia terhadap klaim kerasulan Muhammad saw dalam perjuangan perbaikan sosial kemasyarakatan bagi para budak, anak yatim-piatu, kaum wanita yang ditindas sistim patriarkal kesukuan. Apa dan bagaimana kita memahami firman  “Wa lamyakun-llahu, kufuwan Ahad” (4){QS.112: 4}?
Dalam ceramahnya di kampus Universitas California Berkeley – USA, Stephen W. Hawking, yang telah bersama-sama kita baca di milis dzikrullah ini,  menjelaskan pendapatnya mengenai sejarah keberadaan alam semesta berdasarkan kepada model pemikiran dan hasil pengamatan manusia. Dia telah menyinggung masalah logika dialektis Islami yang menjadi perdebatan di kalangan para sarjana kosmologi, yaitu mengenai bagaimana alam semesta akan dimulai kelahirannya. Manusia hanya mampu mendekat hingga titik kemanunggalan masif (singularity) secara teori (Hawking, Penrose). Pemikiran selanjutnya dikembangkannya sendiri bersama dengan muridnya James Hartle yang melahirkan usul “No Boundary Proposals” (1983) yang berhasil menggabungkan teori Relativitas Umum Einstein dengan teori Quantum Fisika Diraq et al. Namun demikian problema “ bagaimana alam semesta akan dimula” belum dapat diselesaikan. Di sini rasionalitas bersama-sama logika dialektis manusia nabrak tembok granit ruang-waktu yang mewadahi (meliputi) manusia. Dia bertanya “Apakah diperlukan suatu pencipta untuk mendekritkan bagaimana alam semesta dimulai. Ataukah keadaan mulabukanya alam semesta ditetapkan oleh suatu hukum ilmu pengetahuan, hukum sains, "law of science" ?”.
Mengapa S.W. Hawking mempertanyakan hal demikian apabila dia mengetahui bahwa mulabuka alam semesta muncul dari ketiadaan menjadi ada yang dijelaskannya dalam no boundary proposal yang digagasnya melalui summa kesejarahan alam semesta menurut ide R. Fyneman?. Sebab definisi konsep tuhan yang tak dapat dimengertinya adalah definisi konsep tuhan dari pandangan Paus (Pope) John Paul II yang menyatakan kepada para ahli kosmologi yang menghadiri konferensi Kosmologi di Vatican bahwa “adalah OK mempelajari alam semesta sesudah ia dimulai, tetapi jangan mencari tahu ke dalam mulabuka itu sendiri, sebab itu adalah saat penciptaan dan kerjaan Tuhan”. Apabila kita konfrontasikan dengan definisi konsep Tuhan kaum Muslimin sebagaimana difirmankan dalam QS.112 ayat 4 sebagai “Wa lamyakun-llahu, kufuwan Ahad”, maka kita menjadi tahu dan blong bahwa definisi konsep Tuhan yang difirmankan itu adalah definisi konsep Tuhan yang tidak dapat dicapai oleh rasionalitas, logisitas dan dialektisitas pemikiran manusia sama persisnya dengan kemampuan intelegensi manusia menalar alam semesta sampai mula buka yang tidak dapat dinalar bagaimana dimulainya. Ini berarti bahwa ALLAH swt adalah tak terdefinisikan oleh kecanggihan pemikiran manusia, betapapun geniusnya.
Sehingga sesungguhnya lebih baik memikirkan dan membicarakan permasalahan yang bisa dicapai oleh rasionalitas, logisitas dan dialektisitas pemikiran manusia saja, yaitu seperti yang telah dicontohkan rasulullah Muhammad saw yang selalu berbuat kebaikan, menolong sesama yang lebih parah kondisinya daripada diri beliau sendiri, berbuat kebaikan sepanjang hidupnya dan berani melawan ketidak-adilan sosial-ekonomi-politik serta berusaha keras menegakkan keadilan masyarakat dan tidak mengkultuskan apapun dan siapapun kecuali ALLAH AJA WA JALLA. Dengan demikian sesungguhnya “serendepituosely” atau secara tak sengaja kita telah menemukan ALLAH swt, menyaksikan (syahadah) ALLAH swt melalui kuliah Prof S.W. Hawking.
Realitas ini jangan didorong ke filosofi materialis atau filosofi Marxis yang menolak keberadaan “super natural” (kata super natural adalah pengertian yang terdefinisikan). Prof S.W. Hawking hanya menunjukkan bahwa alam semesta itu bermula buka, punya kesejarahan dan tidak demikian saja muncul. Apabila kita lihat ke penjabaran matematisnya akan dapat kita temukan apa yang secara teknis dinamakan geometri Eucledian-Einstein, suatu model geometri Platonik (lihat Roger Penrose "The ROAD TO REALITY" , 2004) yang dapat menjadi argumentasi rasional, logis dan dialektis dalam menjelaskan kemunculan satuan ruang-waktu (space-time continum) dari kondisi nul (0) informasi, kondisi ghoib, ke kondisi ada (n) informasi, kondisi berada. Di mana waktu yang kita alami digantikan (to be rotated) oleh waktu imaginair atau waktu semu (bagi kita yang diliputi satuan ruang-waktu) sebagai modifikasi ide Gian Carlo Wick dalam membangun suatu teori medan quantum-relativistis melalui penggantian ruang Minkovski dengan ruang Euclidean 4-ruang E pangkat 4 (E^4). Secara teknis matematis ini adalah lompatan keluar dari jerat ketidak berhinggaan (infinity) yang menjengkelkan pada metriks Lorentzian dan dengan demikian paradox kosmogoni dapat diatasi dengan mulus (ingat QS.36:82).
Sesudah kita konfrontasikan pemikiran S.W. Hawking et al mengenai mula-buka alam semesta dan pertanyaan jujur "bagaimana dimulai?" sebagai wilayah terlarang menurut Pope John Paul II dengan firman Qurani QS.112:4, kita menjadi faham bahwa Prof. S.W. Hawking et al telah membuktikan pandangan musyrik yang mendefinisikan Tuhan sebagai suatu figur kharismatis dengan imago manusiawi sebagai model pandangan fikir irrasional, illogis dan mekanis yang tak dapat dimengerti oleh kebanyakan ilmuwan kealaman. Hal ini dapat kita temukan pada ungkapan fikiran S.W. Hawking: "Seseorang dapat memilih Tuhan itu untuk memprakarsai mulabuka alam semesta atas dasar alasan-alasan yang kami (saintis kealaman – A. Marconi) tidak dapat memahaminya. Ini adalah pandangan Paus (Pope) John Paul II. Pada suatu konferensi mengenai kosmologi di Vatican, Paus mengatakan kepada para delegasi, bahwa adalah OK mempelajari alam semesta sesudah ia dimulai, tetapi jangan mencari tahu ke dalam mulabuka itu sendiri, sebab itu adalah saat penciptaan dan kerjaan Tuhan." (Origins of the Universe – J. Robert Oppenheimer speach in the catagory of physics red by Prof. Stephen W. Hawking, March 13,  2007, Zellerbach Hall University of California, Berkeley – USA.)
    Apabila kita pelajari kembali sejarah pandangan teologis (pandangan ke-agama-an) maka akan dapat kita lacak kembali kelahiran ide-ide yang bertumpu kepada dugaan (al-dzon) manusia atas sesuatu yang tak dapat diinderanya melalui perangkat panca indera yang dimilikinya. Untuk memecahkan kebuntuan ini manusia bijak di zaman langka pengetahuan mulai mengembangkan apa yang dikenal dengan "indera ke-enam" (sixth sense) di atas dasar pengalaman hidup keseharian dalam memenuhi kebutuhan baku untuk hidup. Indera ke-enam sebagai model indera internal manusia biologis (al-basyar) adalah suatu aktivitas kultus medan gaya biologis manusia yang dibentuk oleh 4-gaya alami alam semesta. Medan gaya biologis ini memperoleh peresmian medis sebagai model psikologi yang akrab dengan sebutan "spirituality" dalam bentuk religiusitas manusia. Hingga saat ini secara realistik di atas dasar pemikiran rasional, logis dan dialektis masih sulit untuk diakses melalui uji-coba dan kaji ulang lapangan maupun laboratorium (bersandar kepada sains dan teknology dewasa ini). Indera ke-enam inilah yang menjadi sumber "religius" manusia dalam mengatasi nafsu biologis (dorongan kebinatangan) yang berfungsi untuk mempertahan hidupnya (secara qodrati tak sesuatu yang hidup ingin mati, namun dalam taqdirnya setiap yang hidup pasti mati). Menurut para pemerhati indera ke-enam ini, manusia adalah "mahluk pencari makna dan, berbeda dengan hewan-hewan, sangat mudah jatuh putus asa jika kita tidak bisa menemukan nilai dan arti penting kidup kita." (Karen Amstrong: "The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan" 2007, PT. Mizan Pustaka, Bandung-Indonesia).
    Teologi telah melahirkan berbagai macam konsep Tuhan yang dilengkapi dengan sistim dogma dan doktrin sebagai sumber "value and moral conduct" (tata-nilai dan polah-laku moral) bagi para pemeluknya di dalam membawa diri di tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya. Sehingga dalam catatan sejarah peradaban manusia berlangsung peristiwa genoside, diskriminasi rasial, perang penaklukan, penindasan minoritas dan deportasi politik serta sistim kolonialisme sebagai tindakan manusia religius melaksanakan kehendak Tuhan masing-masing pemikiran teologis. Realitas budaya manusia yang obyektif demikianlah yang dilawan oleh para ahli kebijakan yang dilahirkan di dalam praxis perjuangan menegakkan keadilan masyarakat dan kebenaran universal kemanusiaan sebagai "holifatan fii al-ardzh". Hampir kesemua kaum bijaksana tersebut adalah manusia biasa yang sudah dikenal oleh penduduk setempat dan biasa bergaul di tengah-tengah masyarakatnya. Umumnya mereka berasal dari keluarga-keluarga miskin-papa yang secara sosial-politik dan ekonomi tidak terpandang di dalam masyarakatnya dan bahkan ada yang berasal dari kaum yang diperbudak di mana hidup-matinya diputuskan pemiliknya. Keumuman kaum bijaksana ini adalah kwalitas ahlaq karimah yang telah diaksesnya dari praxis kehidupan keseharian dalam masyarakatnya. Kwalitas ahlaq karimah inilah yang menjadi ciri utama sebagai manusia kwalifikasi "holifatan fii al-ardzh" dan yang menguasai ilmu pengetahuan kealaman dan kemasyarakatan melalui kreativitas spiritual di mana ide-ide revolusioner yang didakwahkan kepada manusia dinyatakan berasal dari Yang Maha Pencipta alam semesta. Dan mereka hanyalah penerima wahyu yang mengklaim diri sebagai para nabi dan rasul Tuhan sesungguhnya dengan membawa bukti-bukti sistim pemikiran dan konsep ketuhanan yang rasional, logis dan dialektis. Sistim pemikiran dan konsep ketuhanan demikianlah yang dinamakan sebagai Jalan Hidup Lurus bagi manusia yang dinamakan oleh firman Qurani sebagai Al-Dinu al-Islam.
    Pencarian arti dan tujuan hidup selama kurun waktu sejarah peradaban masyarakat manusia yang tertulis maupun yang tidak tertulis telah membangkitkan aktivitas para pendahulu bijak (al-hakim) mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang dikandung oleh medan gaya biologis. Pada suatu periode peradaban yang oleh filosof Karl Jasper dinamakan sebagai "zaman aksial", 900 SM – 200 SM, di empat wilayah Bumi yang berbeda letak geografinya telah lahir tradisi-tradisi budaya besar masyarakat manusia. Tradisi besar budaya masyarakat manusia ini secara spiritual merupakan upaya pemeliharaan kelangsungan hidup manusia di bawah bimbingan religiusitas dan spiritualitas manusia yang dikenal sebagai Konfusianisme dan Tao-isme di Tiongkok, Hinduisme dan Budhisme di India, monoteisme di daerah yang kini dinamakan sebagai Israel, dan rasionalisme filsafat Yunani yang meliputi daerah pantai Eropa Selatan dan Asia Kecil. Kreativitas kaum bijaksana zaman aksial adalah fluktuasi interaktif medan gaya biologis manusia dalam melawan kekerasan ideologi teologis, politik dan ekonomi dari para penguasa budak, pedagang kaya dan tuan tanah feodal yang mengatasnamakan diri sebagai wakil-wakil Tuhan dan Tuhan. Dalam periode tersebut terjadi perubahan pemikiran yang maju mengajak manusia keluar dari angan-angan imajinasi teologisnya dan berinteraksi dengan realitas lingkungan.    
    Apabila kita gali secara arkheologis dan paleo-anthropologis (bukan secara kultus dan basa-basi religius) khazanah praxis perjuangan rasulullah Muhammad saw semenjak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah swt, maka kita akan dapat menemukan peninggalan-peninggalan (sunnah) sosial-ekonomis dengan "jurisprudence" Islami yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan yang berimplikasi revolusioner kepada ideologi ummah Muslimin dalam penemuan kembali nilai dan tujuan hidup di Bumi ini. Realitas demikian ini siapapun tidak sanggup menghapus dan menyembunyikan dibalik propanganda anti-Islam dan anti-rasulullah Muhammad saw. Di waktu yang lalu saya pernah mengemukakan dalam forum ini bab wahyu pertama yang diterima rasulullah Muhammad saw di gua Hira. Wahyu yang hingga kini masih tidak diakui adanya oleh para teolog dengan teologinya yang mencurigai Muhammad saw sebagai sosok semu dalam sejarah teologi Islam guna melegitimasi teologi Islam yang melawan pandangan-pandangan teologi paganisme dan polytheisme yang berkuasa. Oleh para teolog dan teologi yang menentang Dinul Islam, Al-Dinu Al-Islam yang didakwahkan rasulullah Muhammad saw dinyatakan sebagai suatu sekte Nasraniyah yang sejak mula kelahiran teologi negara Byzantium Timur dengan gigih menentang teologi negara yang diprakarsai oleh Kaisar Constatntine dari Byzantium. Menurut para teolog ini dan para ahli sejarah pendukungnya, eksistensi Islam adalah "konspirasi" para ahli teologi Nasrani yang menentang Konsili Nicea I, AD 325. Ada lagi peneliti sejarah dan teologi Islam yang menganggap Islam sebagai usaha legimitasi teologis Bangsa Arab sebagai suatu bangsa mandiri di jazirah Arabia setelah terjadi pertengkaran antara Bangsa Arab dengan Bangsa Yahudi paska kembalinya Bangsa Yahudi ke Palestina dari Mesir di bawah pimpinan nabi Musa as dan nabi Harun as. Dugaaan ini mereka perkuat dengan membuktikan banyaknya persamaan ide-ide teologis yang terdapat di dalam Al-Quranu al-Karim dengan yang dikandung dalam Testamn Tua dan Perjanjian Baru. (Eildert Mulder en Thomas Milo: "De Omstreden Bronnen van De Islam – Indonesia: Sumber-sumber Kontroversial Islam" Minema, Zoetemeer – Holland, 2009).
    Akan tetapi kenyataan sejarah budaya masyarakat manusia secara definitif menunjukkan, bahwa sesudah berdirinya dinasti-dinasti Arab yang menguasai Timur-Tengah hingga lembah Indus, perkembangan budaya masyarakat manusia di Eropa Barat berlangsung dengan cepat. Dinasti-dinasti Arab Timur-Tengah memperkenalkan suatu pembimbing fikiran manusia yang disebut sebagai Al-Dinu al-Islam yang dimuat di dalam Kitabullah Al-Quranu al-Karim kepada para ahli fikir Eropa. Prinsip-prinsip dasar pemikiran Islami pada gilirannya menjadi dasar bangunan pemikiran positif rasional para pemikir Eropa yang dipergunakan sebagai batu dasar pengganti sistim pemikiran teologis tradisional bangsa-bangsa Eropa guna melancarkan "pencerahan pemikiran Eropa" di abad-abad kegelapan Eropa. Dan model masyarakat madani Muslim yang didirikan rasulullah Muhammad saw di Madinah lengkap dengan "konstitusi modern pertama" Madinah telah menjadi contoh bagi disusunnya masyarakat "bourgueois" modern Eropa Barat dalam bentuk ketatanegaraan yang berlandaskan hukum legal di mana semua orang sama kedudukannya di depan hukum legal. 
    Proses pewahyuan kepada rasulullah Muhammad saw dapat kita temukan penjelasannya dalam QS.23:1-18. Pewahyuan adalah suatu proses interaksi yang berlangsung di antara Sang Holik dengan al-’abd yang oleh pemikiran teologi ditransformasikan sebagai suatu proses interaksi yang mistis dan magis secara kontemplatis. Secara doktrinair dan dogamatis digambarkan sunatullah sebagai suatu keajaiban mistis dan magis yang berada di luar hukum umum alam semesta. Dengan demikian ayat-ayat QS.23:1-18 selama ini kita fahami secara dogmatis dan doktrinair. Pemahaman teologis demikian akan memaksa diri kita melepaskan dasar intrinsik keunikan manusia yang berfikir rasional, logis dan dialektis dan harus menerima penjelasan yang biasa disebut sebagai penjelasan metafisika. Namun program rasional, logis dan dialektis lipatan ganda DNA (DNA double helix) pada otak manusia hingga saat ini masih terus-menerus berlawan terhadap model-model penjelasan metafisika demikian itu, sekalipun para penganjurnya sudah menerbitkan ribuan jilid buku-buku untuk menguatkan argumentasi teologis manusia. Hal ini yang menyebabkan manusia selalu gelisah dan bingung ketika hidupnya yang dipandu oleh tata-nilai dan polah-laku moral teologis bertabrakan dengan realitas obyektif praxis hidup manusia dalam masyarakat yang dibimbing oleh tata-nilai dan polah-laku moral sistim sosial-ekonomi masyarakat. Usaha manusia mengatasi kebingungan dan kegelisahan dengan memaksakan teologi sebagai pembimbing masyarakat telah menghasilkan berbagai macam perlawanan sosial-politik dan ideologi di dalam masyarakat di masa lampau dan dewasa ini (Cermati keruntuhan masyarakat manusia yang menjadikan teologi sebagai ideologi pembimbing masyarakat, termasuk masyarakat Muslimin).
    Dalam tulisan "Malaikat, Iblis, Syaithon dan Nafsu. Malaikat I" secara cekak-aos saya jelaskan pemahaman saya terhadap kata "malak" dan proses pewahyuan firman-firman Qurani kepada rasulullah Muhammad saw. Di mana yang pokok adalah peranan photon sebagai partikel pembawa dan pengantar informasi dari Yang Maha Memiliki informasi kepada rasul-NYA, yang disebut dalam firman Qurani sebagai malaikat Jibril (Ibrani: Gabri-El). Hal ini dapat kita dekati melalui model tabrakan partikel "deep inelastic scatering process" yang terjadi di lapisan teratas atmosfeer Bumi maupun yang terjadi di lingkungan hidup manusia, yang menyebabkan berlangsung interaksi partikel hingga menghasilkan photon berenrgi rendah yang mampu berinteraksi dengan atom-atom sel tubuh manusia. Dan informasi yang dibawa photon disampaikan oleh photonic atom menerobos dinding-dinding sel hingga ke rongga dada. Cairan dalam sel-sel di dalam rongga dada menterjemahkan code digit photonic atom menjadi firman-firman yang difahami oleh para nabi dan rasulullah sebagaiaman monitor LCD atau TFT sebuah laptop dipenuhi oleh huruf-huruf dan gambar-gambar grafis.
    Al-Dinu al-Islam menawarkan, jika diperkenankan menyebutnya, suatu disposisi canggih Islami bagi manusia dengan mengedepankan tingkatan kwalitas spiritual sebagai "holifatan fii al-ardzh". "Holifatan fii al-ardzh" itu adalah suatu tingkat kwalitas spiritual manusia sebagai produk ciptaan yang dipertanyakan oleh para malaikat. "Inni jaa’ilun" dalam firman QS.2:30 telah menetapkan qodar atas diri manusia secara individual, baik biologis maupun spiritual yang mngacu kepada kwalitas "holifatullah". Dengan menggempitanya perkembangan sains dan teknologi mutahir dan tercanggih dewasa ini, manusia semakin mampu mendekati makna dan tujuan hidupnya sebagai "holifatullah" dalam kerangka kerja rasional, logis dan dialektis pemikiran alaminya. Dengan mengembangkan kreativitas keilmuan dan teknologi manusia akan semakin mampu membedakan antara tuhan-tuhan rekaan imajinasi spiritualnya sendiri dengan Tuhan yang berada mandiri obyektif dan tak terdefinisikan. Dengan disposisi Islami bagi manusia ini terbuka jalan lurus yang disinari cahaya ilahi sebagaimana difirmankan dalam QS.24:35.
    Hanya dengan dasar pemikiran rasional, logis dan dialektis Islami manusia biologis mampu meningkatkan kwalitas spiritualnya yang didasari oleh dorongan survival alami ke tingkat kwalitas spiritual manusia yang didorong dengan kesadaran intrinsik haqi memahami sifat-sifat keilahian yang harus dididikkan ke dalam dirinya agar dapat mewakili Yang Maha Pencipta. Apabila kita sanggup mempergunakan probability theory dalam menetapkan kesempatan yang terbuka, maka hanya dengan penguasaan ilmu pengetahuan kealaman dan kemasyarakatan yang luaslah kita berkesempatan untuk mendidikkan ke dalam diri kita masing-masing materi-materi yang dapat meningkatkan ahlaq biologis kita ke tingkat ahlaq spiritualitas karimah yang mendekati model manusia "holifatab fii al-ardzh" atau yang menurut seorang  "al-Ustadz al-Imam" Mesir: Muhammad Abduh dinamakan sebagai "al-insanu al-kamil". Untuk itu marilah kita bersama-sama belajar ilmu pengetahuan kealaman dan kemasyarakatan sesendok demi sendok, sekeranjang demi sekeranjang secara sabar, ulet, tawadu, selama kita masih asyik bernafas.     Dalam hal belajar ilmu pengetahuan tidak ada batasan usia dan yang diperlukan hanyalah ketaqwaan kepada Sang Holik Yang Maha Esa. Dengan meningkatnya kemampuan berfikir kita secara rasional, logis dan dialektis Islami demikian, maka insya’Allah kita akan semakin mampu melaksanakan sholat dengan husuk sebagaiaman yang difirmankan dalam Al-Quranu al-Karim.
Kodrat pemikiran manusia adalah model pemikiran rasional, logis dan dialektis, hal ini terprogram dalam RNA dan DNA dan karenanya sulit untk menghapusnya. Bahkan semua indoktrinasi sistim pemikiran imajinatif mistis dan dogma religius yang sudah diberlakukan sejak manusia dapat menikmati empuknya singgasana kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan yang berada dalam kereta sejarah masyarakat manusia bakal dihapus dan dicampakkan oleh dasar pemikiran Islami yang rasional, logis dan dialektis Islami.*)
*) – kata Islami saya gunakan untuk membedakan semantika kata rasional, logis dan dialektis yang dimuat dalam Kamus Bahasa dengan kata rasional, logis dan dialektis yang diungkapkan dalan seluruh isi dan makna wahyu Qurani, di mana Al-Dinu al-Islam adalah hukum alam semesta yang ditetapkan menjelang Big-Bang.
Saya tahu bahwa banyak yang akan memprotes saya yang awam dan bodoh ini berani mengemukakan catatan [*)] sedemikian itu. Catatan di atas merupakan pendekatan yang saya dasarkan kepada hasil-hasil studi teoretis di bidang sains positif, pengamatan lapangan, uji-coba laboratorium, data statistik paleo-anthropologi serta rekaman sejarah tertulis maupun tak tertulis kebudayaan manusia, hasil pemikiran para ahli fikir Muslimin klasik dan kontemporer, dan pemahaman pribadi saya atas firman Allah swt yang diwahyukan kepada rasulullah Muhammad saw yang dibukukan sebagai Mushaf Al-Quranu al-Karim.
Dalam firman Quraniyah dapat kita temukan ayat-ayat yang menjelaskan tentang ke-Esa-an dan seluruh jalan setapak (path integral) menuju ke ke-Esa-an tersebut yang difirmankan oleh Allah swt. Dan ke-Esa-an tersebut adalah utuh, bulat (no boundary), masif, tunggal (no concurents) dan tak terdefinisikan obyektif berada (self sustained obyective reality) serta meliputi segala sesuatu. Ke-Esa-an yang saya gambarkan dengan pemahamaan pribadi tersebut adalah suatu pendekatan asimptotis yang tidak akan dapat mencapai, apalagi menyatu dengan yang didekati. Karena kita berbenturan dengan sifat ghoib (ketiadaan informasi) Allah swt yang antara lain telah diungkapkan dengan firman QS.112:4. Keadaan ini sama persis dengan proses yang dihadapi dalam uji-coba laboratorium fisika energi tingg ketika melacak quark, di mana ditemukan bahwa quark tidak ada yang bebas mandiri dalam alam, demikian pula partikel semu yang lahir pada saat partikel berada di horizon pengamatan sebuah noktah-hitam. Pada interpolasi waktu mulabuka alam semesta melalui Relativitas Umum kita akan berhadapan dengan titik kemanunggalan masif (singularity) sedangkan apabila dilacak melalui Fisika Quantum, noktah hitam bakal menelan semua partikel yang dikirimkan dan dari dalam noktah hitam tak satu digit informasipun yang dapat keluar.
Ke-Esa-an Allah swt dapat didekati melalui firman yang menyatakan Allah swt sebagai Yang Awal dan Yang Ahir serta Yang Dzohir dan Yang Bathin. Firman ini merupakan klaim paradoksal bagi logika formal manusia yang terbentuk di dalam proses pengembangan satuan ruang-waktu (space-time continum). Logika manusia akan memahami bahwa setiap awal ada ahir dan setiap ahir ada awalnya, tetapi mengerti awal dan ahir itu sebagai suatu kemanunggalan utuh yang tak terpisahkan adalah di luar nalar. Karenanya manusia di dalam usaha mengenal Kemahakuasaan yang menentukan nasibnya di Bumi pada zaman kelangkaan pengenalan terhadap alam lingkungan hidup secara komprehensif, manusia mengembangkan hasil olah "indera ke-enam" pengertian mistik mengenai awal dan ahir sebagai suatu proses kejadian yang mandiri dan terpisah dalam jarak yang jauh. Dan untuk mencapai ahir yang baik perlu menempuh suatu "laku", "thoriq" yang mempergunakan perantara-perantara "suci" sebagai pembimbing dalam perjalanan dari awal ke ahir. Eksperimen manusia ini oleh Allah swt dikritik dengan firman yang menyatakan bahwa dalam hal "hablu min Allah" tidak ada perantara-perantara yang biasa diadakan oleh institusi keagamaan. Kaum Muslimin dapat LANGSUNG menghadap dan memohon serta mengadukan nasibnya kepada Allah swt tanpa harus dibantu oleh siapapun. Permohonan kepada Allah swt yang biasa disampaikan oleh kaum Muslimin terdahulu berbunyi "Robbanaaaa aatinaa fii dun-yaa hasanatan wa fii al-ahiroti hasanatan wa qinaa ‘adzaaba al-naar".(QS.2:201)
Dalam doa tersebut di atas (QS.2:201) semantika kata "dun-ya" tidak lagi bertumpu kepada materi, suatu semantika yang ditransformasikan berkat eksistensi Allah swt, tetapi kepada waktu atau proses yang bersumber dari kata "awal". Dengan demikian maka tafsir untuk gabungan kata "fii dun-ya" menjadi "pada saat sekarang" dan "fii al-ahiroh" menjadi "pada saat mendatang, masa depan". Dengan demikian maka kemanunggalan utuh Yang Awal dan Yang Ahir menjadi suatu eksistensi yang tidak terbantahkan rasional, logis dan dialektis Islami. Do’a yang sering disebut sebagai do’a "sapu jagad" itu tidak hanya meliputi permohonan kebaikan material semata-mata tetapi suatu permohonan kebaikan kwalitas hidup kaum Muslimin dari awal kelahiran hingga ahir hayat dikandung badan.
Dengan dzohir (yang tertanggap penginderaan) dan bathin (yang tak tertanggap penginderaan) sebagai suatu kesatuan tunggal dari tanda-tanda eksistensi Allah swt dapat diamati melalui uji-coba laboratorium fisika partikel dan pengamatan astrofisika. Jika kita membaca laporan-laporan (papers) studi tabrakan partikel di pusat-pusat pengkajian partikel, maka pada data spektrograf ditemukan keberadaan sinar-sinar yang panjang gelombangnya berada di sebelah luar panjang gelombang spektrum sinar yang dapat ditanggap dengan mata manusia. Di alam semesta yang gelap-buta (jika dapat melakukan "space-walk" di luar pesawat ulang-alik angkasa luar dapat disaksikan alam semesta yang gelap-buta) ditemukan banyak sekali bintang-bintang dan galaksi-galaksi yang sudah meledak dan hancur-lebur pada masa lampau berkat adanya panjang gelombang sinar yang berada di luar spektrum sinar yang tidak dapat ditanggap oleh mata. Sinar-sinar dengan panjang gelombang ultra tersebut hanya dapat ditanggap dengan mempergunakan peralatan penginderaan elektromagnetis yang canggih, sebagaimana yang kini sudah mampu diproduksi oleh manusia. Peralatan penginderaan canggih yang dewasa ini sudah dapat diproduksi adalah berkat kegiatan kreatif manusia dalam usaha mengetahui makna hidup dan tujuan hidup manusia.
Usaha kita bersama dalam memahami Tauhidullah ini merupakan upaya awam secara bodoh dengan mengandalkan perangkat tercanggih yang dimiliki mahluk Allah swt sebagai peralatan pendekatan diri kepada Allah swt. Dalam bulan Romadzon 1430 ini marilah kita usahakan mendidik diri pribadi untuk membersihkan ruh kita dari perkiraan-perkiraan, angan-angan dan definisi-definisi manusia terhadap Allah swt yang mengotori Al-Ruh. Dengan tazkiyyatun nafs yang kita lakukan selama bulan Romadzon kali ini insya’Allah sholat kita bakal semakin husuk dan kita rasakan getaran-getaran ruhaniyah pada diri pribadi semakin kuat, pasti.
Allahumma soli wa salim wa baarik’ala Muhammad wa ‘alaa ahlihi wa al-shabihi wa al-anbiyaa-i wa al-mursaliin wa al-mukminiina wa al-mukminati
Wa biillahi taufiqu wa al-hidayah wassalamu’alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh,

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc