A. Latar belakang berdirinya NU di Indonesia
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia yang pembentukannya merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren dalam melawan kolonialisme di Indonesia. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama tradisional yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Organisasi ini berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota (www.wikipedia.org).
Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke- 20 ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul Wahab dengan ajarannya yang terkenal “Aliran Wahabi”, yakni berubahnya sistem pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud ini berkuasa, ia melakukan gerakan-gerakan modernisme Islam secara radikal terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap kuburan empat imam (Sayafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang terletak di sekitar Ka’bah. Selain itu reaksi para ulama penganut Ahlussunah wal Jama’ah terhadap pemerintahan kaum Wahabi saat itu, adalah karena dikahawatirkan kaum Wahabi tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan ibadah sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 2).
Gerakan itu diwariskan oleh seseorang yang bernama Abd Al-Wahab (1073-1787), yang berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam, karena ia menganggapnya bahwa ajaran Sufisme telah menciptakan kemerosotan di kalangan umat Islam, telah menyelewengkan ajaran Islam, termasuk serangannya terhadap ajaran-ajaran dari empat imam mazhab. Menurut kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist, seperti masalahtaqlid danijtihad, ziarah kuburan, bacaanbarzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang telah meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap tingkat masalah keimanan dan masalah-masalah keduniaan. Sebagai akibatnya umat Islam menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme.
Gerakan Wahabi dapat bertahan, berkembang dan merasuki ideologi kenegaraan, bahkan kemudian memenangkan percaturan politik di Timur Tengah, dengan tokoh penyebar misi gerakan itu yang terkenal pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah Muhammad Abduh. Ajaran Wahabiyah melalui tokoh tersebut cukup berpengaruh di kalangan orang- orang Indonesia yang berkesempatan belajar Islam di Timur Tengah, ditambah dengan pengaruh kemenangan golongan Wahabiyah di bawah kepemimpinan Raja Sa’ud di Arab Saudi (Laode, 1996 : 3). Deliar Noer, misalnya mencatat paling tidak ada tujuh orang penyebar Islam ternama dari Sumatera Barat yang terpengaruh kuat dengan ajaran-ajaran modernisme Islam ala Wahabiyah dan
Muhammad Abduh yang hidup di penghujung abad ke-19 dan pada awa abad ke-20, yaitu Syaikh Muhammad Khatib, Syaikh Taher Djalaludin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Abdul Karim Amirullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai Al-Junusi, dimana mereka melakukan syiar Islam baik secara langsung maupun melalui pertemuan tatap muka, lembaga-lembaga pendidikan, maupun secara tidak langsung melalui tulisan mereka di dalam majalah. Sehingga di daerah itu terjadi ketegangan antara kalangan penganut penganut Islam tradisional atau kalangan pesantren dan kalangan tokoh-tokoh adat dengan kalangan pembaharu.
Sementara itu di Pulau Jawa, pada awal abad ke-20 mulai pula terjadi ketegangan karena munculnya gerakan Islam pembaharu yang bisa disebut sebagai perpanjangan gerakan Wahabiyah dari Timur Tengah. Adalah organisasi Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, dimana ia didorong oleh kalangan murid-muridnya untuk mendirikan organisasi lembaga pendidikan permanen dalam rangka menyebarkan misi pembaruannya itu, yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial dalam rangka pembaruan Islam.
Pada dekade yang sama di awal abad ke-20, muncul pula organisasi- organisasi yang berorientasi politis, yaitu Budi Utomo (BU) dan Syarekat Islam (SI). Dua organisasi ini sama-sama menentang pemerintahan kolonial, hanya saja berbeda orientasi. Kalau Budi Utomo bersifat nasionalis dan menentang Belanda karena pemerintahan orang asing (penolakan terhadap
orang-orang asing), maka Syarekat Islam menentang Belanda karena dianggap sebagai pemerintahan orang-orang kafir (penolakan terhadap agama yang dianut oleh para aktor pemerintahannya). Tetapi walaupun para fungsionaris kedua organisasi itu sama-sama Islam, namun mereka terdiri dari kalangan modernis atau pembaru (khususnya Budi Utomo).
Pandangan kaum modernisme Islam nampaknya lebih akomodatif terhadap modernisasi yang berkembang pesat di Barat, apalagi kalangan penggeraknya, selain yang terpengaruh langsung dengan ajaran Wahabi, juga adalah kalangan intelektual beragama Islam yang ditempah dalam system pendidikan ala Barat. Sehingga kecuali menentang tradisi kalangan tradisionalis, juga merubah atau memperbarui metodologi pendidikan bagi orang-orang Islam. Walupun begitu nilai-nilai moral Islam tetap dipegang teguh, sementara misi terhadap revitalisasi Islam yang bisa menjadi dinamis dan mampu bersaing dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan modern tanpa menghilangkan moral dan sandaran-sandaran agama masa lalunya. Gelombang reformisme pada awal abad ke-20 ini dicatat sebagai mewakili perkembangan intelektual Islam Islam Indonesia tahap pertama. Perkembangan berbagai organisasi Islam yang berideologi pembaruan itu, tampaknya dianggap oleh NU secara khusus sebagai suatu ancaman akan eksistensi model pendidikan yang dilakukan melalui pondok-pondok dan pesantren-pesantren, dan atau secara umum mengancam eksistensi gerakan penganut salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 6).
Meskipun terdapat kerjasama antara tokoh-tokoh Islam dalam suatu organisasi yang bernama Kongres Al Islam tetapi tampaknya wadah para ulama tokoh Islam baik dari kalangan tradisi maupun pembaru ini tak mampu mengakomodasi kepentingan semua kalangan, karena didominasi oleh kalangan pembaru. Misalnya pada saat memenuhi undangan Raja Ibnu Sa’ud menghadiri Kongres Al Islam di Mekkah, dengan melalui Kongres Al Islam keempat di Yogyakarta pada tanggal 21-27 Agustus 1925 telah diputuskan delegasi yang hadir yaitu H. O. S Tjokroaminoto (dari Syarekat Islam) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah). Ini menimbulkan kekecewaan dari kalangan tradisi yang berdampak pada beberapa tindakan yang dilakukan oleh kalangan tradisi dalam rangka mempertahankan dan mempertahankan yang mereka anut (penganut salah satu dari empat mazhab). Salah satunya kalangan tradisi mengambil inisiatif untuk membangun kelompok yang bertugas khusus untuk berkunjung di Arab Saudi menemui Raja Sa’ud, penguasa Arab (Mekkah dan Madina, penganut aliran Wahabi) dalam rangka menyampaikan paling tidak dua masalah penting. Pertama, himbauan umat Islam Indonesia (khususnya penganut Ahlusunnah wal Jama’ah atau penganut dari salah satu empat mazhab) agar memberi kebebasan beribadah kepada masyarakat Arab penganut faham yang sama. Kedua, tidak melarang orang-orang Islam yang berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabatnya, terutama yang mengandung sejarah Islam (Laode, 1996 : 8). Perjuangan itu memang berhasil yang ditandai dengan adanya kebijakan baru Raja Sa’ud tentang kedua himbauan tersebut ditambah dengan upaya memberikan pelayanan kepada jamaah haji dari Indonesia. Kelompok ini semula merupakan Komite Hijaz, yang sesuai dengan kesepakatan awal memang akan berakhir namun bisa juga dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya NU di Indonesia (Laode, 1996 : 9). Komite Hijaz ini dibentuk di rumah Kiai Wahab Chasbullah di Surabaya pada 31 Januari 1926, ia merupakan juru bicara kalangan tradisi yang paling vokal pada Kongres Al Islam. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan megubah diri menjadi sebuah organisasi dan menggunakan namaNahdlatoel ‘Oelama. Pada tahun-tahun awal berdirinya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya (Bruinessen, 1994 : 34).
Pembentukan NU merupakan reaksi satu sisi terhadap berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Syarekat Islam (SI), sisi lain terhadap perkembangan politik dan paham keagamaan internasional (Shobron, 2003 : 38). Muhammadiyah yang dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1912 dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah di Indonesia. Muhammadiyah sangat menekankan kegiatannya pada kepada pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan, namun ia juga merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan akidah. Muhammadiyah bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta berbagai prakteknya dan menentang otoritas ulama tradisional. Syarekat Islam didirikan pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan- kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina. Pada awal 1920-an, sayap paling radikal dari Syarekat Islam memisahkan diri dan bergabung dengan partai Komunis. Sebagai organisasi modern yang dipimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, Syarekat Islam merupakan ancaman serius terhadap posisi para pemimpin tradisional umat, Kyai (Bruinessen, 1994 : 18).

B. NU sebagai Organisasi Sosial Keagamaan
1. Paham Keagamaan NU
Sejak awal berdirinya, NU telah menentukan pilihan paham keagamaan yang akan dianut, dikembangkan, dan dijadikan sebagai rujukan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Paham keagamaannya adalah Ahlussunah wal Jama’ah, dapat diartikan “para pengikut tradisi Nabi Muhammad danijma’ ulama”. Kata Ahlussunah wal Jama’ah berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari kata ahlu berarti keluarga, sunnah artinya jalan, tabiat, perilaku, dan jama’ah berarti sekumpulan. Kemudian dipandang dari istilah adalah kaum yang menganut jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat- sahabatnya. Jalan, tabiat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dan sahabat- sahabatnya masih terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, kemudian dikumpulkan dan dirumuskan oleh Syeih Abu Hasan Al- Asy’ari. Hasil rumusan tersebut berupa ketauhidan, yang dijadikan pedoman bagi kaum Ahlussunah wal Jama’ah.sehingga wajar kaum Ahlussunah wal Jama’ah disebut juga kaum Asy’ariyah. Dalam bidang fiqih kaum Ahlussunah wal Jama’ah menganut salah satu mazhab empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali (Darojat, 2006 : 15). Bertolak dari berbagai pengertian diatas, maka pengertian Ahlussunah wal Jama’ah adalah golongan umat Islam yang dalam bidang tauhid mengikuti ajaran Imam Al-Asy’ari, sedangkan dalam bidang fiqih mengikuti salah satu mazhab empat.
Dalam kata pengantar Anggaran Dasar NU tahun 1947. KH. Hasyim Asy’ari menegaskan paham keagamaan NU, yaitu:
Wahai para ulama dan para sahabat sekalian yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, yah! Dari golongan yang menganut mazhab imam yang empat. Engkau sekalian orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya dengan tidak gegabah dengan memilih seorang guru dan dengan penuh ketelitian pula kalian memandang seorang guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka oleh karena menuntut ilmu pengetahuan dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang memegang kunci bahkan juga menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karenanya, apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya, maka barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan pencuri” (Shobron, 2003 : 53).
Pengantar dari KH. Hasyim Asy’ari itu dijadikan landasan bagi NU untuk menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, pada suatu sisi, sisi lain pengantar diatas juga menjelaskan alur transformasi keilmuan di lingkungan NU. Sosok guru atau Kyai diibaratkan sebuah pintu sekaligus kunci dari pintu itu sehingga kalau seorang akan mencari ilmu harus melalui pintu, yaitu Kyai.
Paham yang dianut NU inilah yang menjadi dasar bagi setiap langkah kalangan ulama tradisional. Namun paham Ahlussunah wal Jama’ah yang dianut NU ini berbeda dengan paham kelompok modernis yang juga mengaku penganut Ahl al sunnah wa al-jama’ah. Perbedaannya terletak pada beberapa hal, antara lain kalangan tradisional dalam bidang hukum-hukum Islam menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat sedangkan kalangan modernis tidak mengikuti ajaran-ajaran imam mazhab. Dalam memahami Islam kalangan modernis langsung langsung bersumber pada Al Qur’an dan hadis yang sahih,ijma danqiyas tidak dijadikan sebagai sumber ajaran. Sedangkan bagi kalangan tradisionalis penganut Imam mazhab,ijma’ danqiyas dijadikan sebagai sumber ajaran Islam (Shobron, 2003 : 54).
2. Anggaran Dasar NU
Anggaran dasar formal NU yang pertama dibuat pada Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928. Anggaran dasar ini dibuat dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda yang pembuatannya sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum pada Februari 1930 (Bruinessen, 1994 : 42).
Anggaran dasar ini tidak menyebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Sebagai contoh dalam pasal 2 anggaran dasar
33
NU disebutkan bahwa “Adapun maksud perkumpulan ini yaitu: Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya imam ampat, yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyj-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjdakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan Agama Islam” (Bruinessen : 1994 : 44).
Dalam pasal 2 tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa sikap berpegang teguh kepada salah satu dari emat mazhab merupakan ciri yang secara tegas membedakan kaum tradisionalis dengan kaum pembaharu. Dapat dikatakan bahwa anggaran dasar NU menekankan pada upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaharu. Namun dalam prakteknya anggaran dasar NU ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap semua pendirian kaum pembaharu dan modernis. Sebagai contoh di dalam angaran dasar NU disebutkan bahwa masyarakat NU didorong malakukan pembaruan di bidang pendidikan yang coraknya tidak jauh berbeda dari kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh kaum pembaharu dan modernis. Madrasah, yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada waktu itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan merupakan pembaruan penting dari pesantren tradisional.
3. Orientasi Gerakan NU
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memeperjuangkan berlakunya
ajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah
34
kehidupan didalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila. Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi, kiprahnya dibidang pendidikan melalui pondok-pondok, pesantren- pesantren, madrasah-madrasah tetap digalakkan. Misi utamanya adalah mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah satu dari empat mazhab. NU yang semula berkedudukan di Surabaya, pada awalnya hanya memiliki pendukung atau jama’ah dari Jawa dan Madura. Tapi tampaknya NU berupaya memperoleh simpati dari masyarakat Islam, yang memang sempat diraihnya setelah perjuangannya melalui Komite Hijaz berhasil ditanggapi secara positif oleh Raja Sa’ud.
Orientasi gerakan NU pada tahap perkembangannya tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan kemasyarakatan dan politik saja, melainkan sudah mulai berusaha mengembangkan kegiatan di bidang ekonomi. Secara formal organisatoris program di bidang ekonomi pertama kali diputuskan pada tahun 1930 dengan mendirikan Lajnah Waqfiyah (panitia wakaf) pada setiap cabang NU untuk bertugas mengurus masalah wakaf, dimana kegiatan berorientasi profit, tetapi keuntungannya adalah dalam rangka mendukung kegiatan sosial keagamaan (Laode, 1996 : 12). Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya. Di bidang keagamaan organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah
35
(persaudaraan Islam). Di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, NU mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil, berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Di bidang sosial NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum di segala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di dunia dan keselamatan di akhirat. Di bidang ekonomi NU mengusahakan terciptanya pembangunan ekonomi yang meliputi berbagai sektor dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.
C. Latar Belakang Berdirinya NU di Pemalang
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU di Pemalang tidak bisa terlepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU secara nasional. Pendirian NU di Pemalang tidak bersamaan dengan berdirinya NU di tingkat nasional, yaitu tanggal 31 Januari 1926. Ini terjadi karena meskipun sudah banyak tokoh dan para ulama menyatakan masuk kedalam NU akan tetapi pada tahun 1926 mereka belum mengetahui anggaran dasar NU sebagai pedoman untuk melangkah kedepan, sehingga aktifitas NU pada waktu itu belum sesuai yang diharapkan. NU di Pemalang berdiri pada tahun 1934 setelah beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1930 dilaksanakannya Muktamar NU di Pekalongan. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian NU
36
di Pemalang diantaranya Kyai Suyad, H Ma’ful, H Maksudi, KH Mursidi, KH Kholil, dan H Husni (Wawancara dengan Bapak KH Noor Effendy, 20 April 2007).
Kepengurusan NU di Pemalang pada awal berdirinya sebagian besar terdiri dari para tokoh pendirinya dan masih bersifat sederhana. Sebagai ketua dipilih H Ma’ful dan Suriahnya Kyai Suyad dengan sekretariat pengurus NU Pemalang bertempat di Pelutan (Pemalang kota). Semua gerak dan langkah NU pada waktu itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, yaitu masih dalam cengkraman penjajah. Namun garis pokok perjuangan tetap bersifat non koperatif.
Latar belakang berdirinya NU di Pemalang adalah untuk mendukung berdirinya NU secara nasional. Hal ini diawali dengan adanya surat dari KH Hayim Asy’ari yang disampaikan oleh para tokoh ulama di Pemalang diantaranya Kyai Abdul Hamid mengenai gagasan mendirikan NU yang isinya tentang permintaan agar Kyai Abdul Hamid membantunya untuk mendirikan serta mengembangkan organisasi NU di wilayah Kabupaten Pemalang. Dengan harapan agar NU mampu mengakomodasi semua aspirasi masyarakat yang paham Ahlusunnah wal Jama’ah Dengan adanya hubungan batin yang erat antara Kyai dan pondok pesantren dapat mempercepat pendirian NU di Pemalang, tokoh-tokoh ulama di Pemalang merasa terpanggil untuk turut mendirikan dan mengembangkan NU (Wawancara dengan Bapak KH Zaenal Abidin Noory, 20 April 2007).
Kehadiran NU di Pemalang ternyata mendapat sambutan positif oleh masyarakat Pemalang. Organisasi NU dapat dengan mudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya dan dijadikan sebagai alat perjuangan bagi warga NU khusunya. Ini terjadi karena faktor besarnya karisma para ulama yang mendirikan dan didorong oleh kondisi sebagian besar masyarakat Pemalang yang telah menerima dan menganut ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. Terbentuknya NU di Pemalang dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan ajaran Islam pengaruh mazhab Ahlussunah wal Jam’ah yang bertujuan untuk menjawab tuduhan atas perilaku Bid’ah dari kalangan modern (Wawancara dengan Bapak KH Slamet Zaeny, 20 April 2007).
Setelah NU terbentuk sebagai sebagai organisasi, langkah utama yang dilakukan adalah berusaha untuk mengembangkan pendidikan agama Islam terutama melalui pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah. Misi utamanya adalah mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam yang menganut salah satu dari empat mazhab. Kehadiran NU di Pemalang dijadikan sebagai media untuk menegakkan ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah dalam kehidupan masyarakat Pemalang pada umumnya. Dengan bantuan para ulama NU Pemalang NU mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952. dengan kharisma yang dimilik oleh ulama NU, masyarakat Pemalang mengikuti apa yang diajarkan oleh para ulama, termasuk ajakan untuk menegakkan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc