Tariqat Naqshbandi mempunyai sejarah yang panjang iaitu silsilah pemimpin ataupun imam-imam besar bagi tariqat ini dapat dikesan sehingga ke Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah Ar-Rasyidun yang pertama.Abu Bakar as-Siddiq menjadi pengganti pertama kepada Rasulullah (s.a.w) untuk memimpin Ummat Islam pada masa itu dan mengukuhkan rohani dan iman mereka. Firman Allah didalam Al-quran yang mulia "...sedang dia salah seorang dari 2 orang ketika keduanya berada dalam gua,di waktu dia berkata kepada temannya,Janganlah kamu berdukacita sesungguhnya Allah beserta kita." (Al-Quran, 9:40)
Rasulullah (s.a.w) pernah memuji Abu Bakar as-Siddiq dengan sabdanya,"Dikala terbit atau terbenamnya matahari, sinarnya yang memancar itu, tidak pernah menyinar pada seorang yang lebih baik selain Abu Bakar melainkan para Nabi dan Rasul." (Tarikh al-Khulafa) Baginda (s.a.w) juga pernah bersabda,"Abu Bakar lebih utama daripada kamu bukan kerana banyaknya solat atau puasa beliau melainkan kerana sesuatu rahsia yang berakar umbi di dalam hatinya."(Manaqib as-Sahaba Imam Ahmad). Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda," Jika aku di kehendaki memilih teman yang kucintai,aku memilih Abu Bakr sebagai teman yang kucintai;tetapi dia adalah saudara dan sahabatku."(Sahih Muslim)
Tariqat Naqshbandi terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband - Imam yang utama didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshband berasal daripada dua cetusan idea : naqsh yang bermaksud "ukiran" dan ini diertikan sebagai mengukir nama Tuhan pada hati dan band pula bermaksud "ikatan" yang menunjukkan ikatan antara insan dan Penciptanya. Oleh itu ini bermakna Tariqat Naqshbandi mengajak murid-muridnya lelaki ataupun perempuan, agar melakukan solat dan menunaikan perkara yang wajib mengikut Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah (s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta dengan sifat Ihsan. Agar terus bermujahadah dan dapat merasakan kehadiran Allah dan perasaan cinta kepada Allah didalam hati murid-murid tadi dan seterusnya terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah. Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan" tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
  1. Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh 'Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khawajigan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).

  1. Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:
  1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
  3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
  4. Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
  5. Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
  6. Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
  7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."
  8. Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

  1. Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
  1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
  2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
  3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
  1. Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat keesaan". Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya -- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha'if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.

  1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
  2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
  3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
  4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
  5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
  6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
  7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
  1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
    Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
  2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
  3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
  4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
  5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
  6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
  7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Predikat-predikat itu dapat saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain :
  1. Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
  2. Syaikh al-Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti.
  3. Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
  4. Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
  5. Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap individu anggota tarikat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
  6. Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dalam suatu lembaga tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam dalam menjalankan tugasnya(Ensiklopedi Islam 3, 1994 : 303). B. Dalil-Dalil Banyak dalil naqli Al Qur’an maupun Al Hadis, yang menjelaskan tentang fungsi dan kedudukan Mursyid. Menjelaskan dalil naqli tersebut kita temui pula Qaulul Arifin yaitu kata-kata mutiara sufi yang telah arif billah menjelaskan fungsi dan kedudukan mursyid tersebut dalam suatu tarikatullah. Firman Allah SWT, Artinya : Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkan-Nya sesat, maka tidak ada seorang pemimpin (Wailyyam Mursyida) pun yang memberinya petunjuk (Q.S. Al Kahfi 18 : 17). Firman Allah SWT, Artinya : Barang siapa mentaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama-sama dalam deretan orang- orang yang diberikan Allah kurnia pada mereka yaitu para Nabi, para shidiqin, orang-orang syahid dan orang-orang yang saleh. Adalah sebaik-baiknya bersahabat dengan mereka (Q.S. An Nisa’ 4 : 69). Firman Allah SWT, Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang- orang yang benar (Q.S. At Taubah 9 : 119). Dari Q.S Al Kahfi 18 : 17 tersebut dapat disimpulkan bahwa Mursyid itu adalah seorang wali yang berfungsi sebagai pembimbing rohani dari seorang yang mendapat hidayah dari Allah SWT. Dari Q.S. An Nisa’ 4 : 69 juga Q.S. At Taubah 9 : 119 Mursyid itu termasuk kelompok orang- orang yang benar dan orang-orang yang saleh. Tafsir Al Maraghi V : 128, menjelaskan tentang tafsir Q.S. Al Kahfi 18 : 17bahwa Ashabul Kahfi adalah contoh orang yang mendapat petunjuk, memperoleh jalan yang benar dan mendapat kemenangan dunia akhirat. Mereka itu adalah orang yang mendapat irsyad/petunjuk dari Allah SWT, sedangkan orang yang sesat adalah orang yang tidak mendapatkan hidayah irsyad/petunjuk itu dan tidak pula mendapatkan seseorang yang menunjukinya (mursyid) maka larutlah dia dalam keadaan sesat itu.






MUROQOBAH
Sasaran dan maksud dari muraqabah/meditasi/rabithah syarif adalah untuk memperagakan kehadiran terus-menerus ke dalam realitas syekh. Semakin seseorang memelihara pelatihan ini, semakin terungkapkan manfaatnya dalam kehidupan sehari-harinya sampai pada titik dia mencapai tataran fana dalam hadirat Syekh. Orang harus tahu betul bahwa syekh adalah jembatan antara ilusi dan realitas dan dia berada di dunia ini hanya untuk tujuan itu. Jadi syekh adalah seutas tali yang khas yang diulurkan kepada setiap orang yang mencari kebebasan (dari ilusi), karena hanya syekh yang dapat memberikan layanan sebagai penghubung antara seseorang yang masih terikat kepada dunia dengan Hadirat Ilahi. Agar menjadi fana di hadapan dan keberadaan syekh adalah menjadi fana dalam kenyataan, dalam Hadirat Ilahi, karena memang sesungguhnya di situlah dia berada.
Langkah 1
Bayangkan dirimu berada di hadapan syekh. Sampaikan salammu. Tutup matamu. Pandanglah melalui mata hatimu. Jangan mencari raut muka, melainkan hanya auranya saja, ruhaniah.
Sebagai awal murid dapat memulai praktik muraqabah ini untuk jangka waktu pendek, antara 5 sampai 15 menit, dan secara bertahap menjalaninya menuju jangka waktu yang lebih panjang, bahkan merentang hingga berjam-jam sekali sesi. Yang terpenting adalah bahwa seseorang mempertahankan sebuah praktik yang konsisten untuk mendapatkan manfaat dari praktik tersebut. Jauh lebih baik dan bijaksana untuk bertahap pada sesi yang pendek secara harian daripada disiplin dan praktik yang acak. Sebuah upaya kecil yang dilakukan secara konsisten akan menghasilkan kemajuan luar biasa dalam waktu yang singkat.
  • Istighfar Ambillah wudhu dan shalat 2 rakaat (tahiyatul wudhu).
  • Ucapkan Kalimat Syahadat (3 kali): Asy-hadu an laa ilaaha illa-llah wa asy-hadu anna Muhammadan `abduhu wa rasuuluh
  • (100-200 kali): Astaghfirullah al `Azhiim wa atuubu ilayh
  • Surat al-Ikhlash (3 kali): Qul huwa-llaahu ahad/ Allaahu Shamad/ Lam yalid wal lam yuulad/ wa lam yakul- lahuu kufuwan ahad
  • Surat al-Fatiha
  • Mencari dukungan dan kehadiran Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani k dengan mengucapkan: Madad ya Sayyidi, Madadul-Haqq
  • Minimal 200 kali mengulang kalimat dzikir, Madadul-Haqq, Madadul-Haqq
  • Mata tertutup, mohon izin untuk menyambung cahaya beliau kepada hatimu dan cahayamu kepada hati beliau. Bayangkan sebuah kontak dua arah dan kemudian, baca awrad pada langkah 1.
  • Ketika seseorang duduk bermeditasi dan menutup matanya, dia memfokuskan pikirannya pada satu titik tunggal. Dalam hal ini titik itu biasanya adalah konsep dari mentor spiritualnya; dus dia memfokuskan seluruh kemampuan kesaksiannya memikirkan dengan konsentrasi penuh tentang guru spiritualnya agar mendapatkan gambaran atau citra mentornya pada layar mental, selama dia masih berada dalam status meditasi itu. Sifat, karakteristik dan potensi yang terkait dengan sebuah citra juga dipindahkan pada layar pikiran ketika citra itu terbentuk pada layar mental dan pikiran menerimanya sesuai dengan itu.
  • Sebagai contoh, seseorang sedang memperhatikan api. Ketika gambaran tantang api itu dipindahlan ke layar pikiran, suhu dan panas api itu terekam oleh pikiran. Seseorang yang hadir dalam sebuah taman menikmati kesegaran dan kesejukan pepohonan dan tanaman dalam taman itu untuk menciptakan gambaran itu semua pada layar pikirannya. Begitu juga ketika gambaran mentor spiritual dipindahkan pada layar pikiran, Ilmu yang Dihadirkan yang beroperasi dalam diri guru spiritual, juga ikut dipindahkan dengan gambaran itu dan pikiran murid secara bertahap menyerap hal yang sama.
Langkah 2
Duduk bersimpuh, yang rapi, tetap bersimpuh, mata tertutup, tangan di tempat, mulut tertutup, lidah ditekuk ke atas, napas terkendali, telinga mendengar al-Quran, Shalawat atau suara sendu. Ruang gelap.
Meditasi, memikirkan tentang mentor spiritual, sebuah upaya untuk memfokuskan dengan konsentrasi pikiran kita kepada seseorang, sehingga citranya dapat dipantulkan secara berulang pada layar pikiran kita, (maka) kita terbebaskan dari keterbatasan indera. Makin sering sebutir pikiran di tayangkan pada layar mental, makin jelas pula formasi (pembentukan) sebuah pola dalam pikiran itu. Dan, pola pikiran demikian ini, dalam istilah spiritualitas disebut 'pendekatan pikiran.
Ketika kita membayangkan mentor spiritual atau Syaikh, sebagai sebuah hal dari hukum eternal, ilmu Elohistic Attributes yang beroperasi dalam Syaikh dipantulkan pada pikiran kita dengan ulangan yang berkali-kali menghasilkan pencerahan pikiran dari murid dengan cahaya yang berfungsi dalam diri Syaikh dan dilimpahkan kepadanya. Pencerahan hati murid berusaha mencapai tataran atau tahap Syaikhnya. Dalam Sufisme, keadaan ini disebut 'kedekatan, afinitas' (nisbat). Cara terbaik dan telah teruji untuk menikmati kedekatan, menurut spiritualitas, adalah hasrat kerinduan dari cinta.
Pikiran Syaikh terus-menerus mentransfer kepada murid spiritualnya sesuai dengan kobaran cinta dan rindu akan Syaikh, yang mengalir di dalam diri murid dan datang suatu saat ketika cahaya beroperasi dalam diri Syaikh yang sesungguhnya adalah pantulan Tampilan Ilahiah yang Indah yang dipindahkan kepada murid spiritual itu. Hal ini memungkinkan murid spiritual untuk membiasakan diri dengan Cahaya Gemilang dan Tampilan Indah. Keadaan ini, dalam istilah sufisme disebut 'Menyatu dengan Syaikh (Fana fi Shaykh).
Cahaya Syaikh dan Tampilan Indah gemilang yang beroperasi dalam diri Syaikh bukanlah ciri pribadi Syaikh. Sebagaimana halnya murid spiritual, yang dengan perhatian dan konsentrasi penuh dedikasi, menyerap (asimilasi) ilmu dan ciri khas Syaikhnya, maka Syaikh juga menyerap ilmu dan busana Nabi e dengan dedikasi pikiran dan konsentrasi penuh.
Langkah 3a
Posisi duduk: Posisi Teratai (yoga Lotus), Wudhu adalah kunci sukses. Kapal Nabi Nuh as. melawan banjir kelalaian. Kebersihan adalah dekat dengan iman (ilahiah). Ingat bahwa bukanlah saya yang menghitung bahwa saya adalah bukan apa-apa, saya dan aku harus melebur kedalam dia. Syaikhku, Rasulku, menggiring kepada Rabbku.
Dzikir dengan penolakan (laa ilaaha) dan pembenaran (illa Allah), dalam tradisi Masyaikh Naqsybandi ?, mensyratkan bahwa murid (sang pejalan) menutup matanya, menutup mulutnya, menekan giginya, melekatkan lidahnya ke langit-langit mulutnya, dan menahan (mengatur) napasnya. Dia harus membaca dzikir itu melalui hatinya, dengan penolakan dan pembenaran, memulainya dengan kata LAA ("Tidak"). Dia mengangkat "Tidak" ini dari titik (dua jari) di bawah pusar kepada otaknya. Ketika mencapai otaknya kata "Tidak" mengeluarkan kata ILAAHA ("sesembahan"), bergerak dari otaknya ke bahu Kanan, dan kemudian ke bahu Kiri di mana dia menabrak hatinya dengan ILLALLAH ("kecuali Allah"). Ketika kata itu mengenai hatinya energi dan panasnya menjalar/memancar ke sekujur tubuhnya. Sang pejalan yang telah menyangkal semua yang berada di dunia ini dengan kata-kata LAA ILAAHA, membenarkan dengan kata-kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah dilenyapkan di Hadirat Ilahi.
Langkah 3b
Posisi Mulut dan Lidah
Menutup matanya,
Menutup mulutnya,
Menekan giginya,
Melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napas.
(Secara perlahan-lahan memperlambat napas dan getaran jantungnya).
Tangan membawa rahasia yang dahsyat, mereka itu seperti antena parabolamu, pastikan bahwa mereka itu bersih dan berada dalam posisi yang semestinya. Jadi ketika kamu memulai dengan tangnmu itu, menggosok-gosoknya, ketika mencucinya dan menggosok gosoknya untuk mengaktifkan mereka, itu adalah tanda dari (angka) 1 dan 0, dan kamu sedang mengaktifkan proses kode yang diberikan Allah I melalui tangan itu. Kamu mengaktifkan mereka.
  1. Mereka memiliki titik sembilan peluru yang terdiri dari keseluruhan sistem, seluruh tubuh. Ketika kamu menggosok jari-jari itu, sesungguhnya kamu mengaktifkan 99 Asma-ul-husna Allah I.
  2. Dengan mengaktifkan mereka, kamu mengaktifkan 9 titik dalam tubuhmu.
  3. Dan ketika mengaktifkan mereka, itu adalah seperti menghidupkan receiver (pada radio/tv), energi mengalir masuk, itu mulai berfungsi untuk dapat menerima, memecahnya dalam bentuk kode digital yang dipancarkan keluar seperti gambar atau suara sebagaimana kita kenal di zaman ini (radio dan tv).
  4. Demikian juga halnya dengan tangan yang saling mengelilingi, itulah mengapa ketika kita menggosok-gosokkan dan membuka mereka, mereka mulai bertindak seperti lingkaran satu terhadap lainnya, menampung apapun energi yang datang, dan mereka ini mengelolanya. Lihatlah pada bagian Rahasia Tangan.

Langkah 4
Posisi Tangan:
Jempol dan telunjuk memperagakan posisi "Allah Hu" untuk kuasa/kekuatan terbesar. Tangan diberi kode dengan kode angka, tangan kanan "18", tangan kiri "81" masing-masing dijumlahkan keduanya menjadi 9 dan dua 9 menjadi 99. Tangan diberi karakter dengan Asma-ulhusna Allah. Dan nama ke-99 dari Rasul adalah Mustafa..(lebih banyak lagi di depan)...
Bernapas dengan Sadar ("Hosh dar dam")
  1. Hosh artinya "pikiran" Dar artinya "dalam" Dam artinya "Napas" Itu artinya, menurut Mawlana Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), bahwa "Misi paling penting bagi pejalan dalam thariqat ini adalah menjaga napasnya, dan dia yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan tentang orang itu, 'dia telah tersesat/kehilangan dirinya.'"
  2. Syah Naqsyband k berkata, "Thariqat ini dibangun di atas (dengan pondasi) napas. Jadi adalah sebuah keharusan untuk semua orang menjaga napasnya di kala menghirup dan membuang napas, dan selanjutnya untuk menjaga napasnya dalam jangka waktu antara menghirup dan membuang napasnya."
  3. "Dzikir mengalir dalam tubuh setiap makhluk hidup oleh keharusan (kebutuhan) napas mereka bahkan tanpa kehendak sebagai sebuah tanda/peragaan ketaatan, yang adalah bagian dari penciptaan mereka. Melalui napas mereka, bunyi huruf "Ha" dari Nama Ilahiah Allah dibuat setiap kali membuang dan menghirup napas dan itu adalah sebuah tanda dari Jati Diri (Dzat) Gaib yang berfungsi untuk menekankan Kekhasan Allahu Shamad. Maka adalah penting untuk hadir dengan napas seperti itu, agar supaya menyadari (merasakan) Jati Diri (Dzat) Maha Pencipta."
  4. Nama 'Allah' yang meliputi sembilan puluh sembilan Asma-ulhusna terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama �dengan suara napas - (ALLAH I). Kaum Sufisme mengatakan bahwa Dzat Allah I yang paling gaib mutlak dinyatakan oleh huruf terakhir itu yang dibunyikan dengan vokal Alif, "Ha". Ini mewakili Gaib Absolut Dzat-Nya Allah I.
  5. Memelihara napasmu dari kelalaian akan membawa mu kepada Hadirat sempurna, dan Hadirat sempurna akan membawamu kepada Penampakan (Visi) sempurna, dan Penampakan sempurna akan membawamu kepada Hadirat (Manifestasi) Asma-ul-husna Allah I yang sempurna. Allah I membimbingmu kepada Hadirat Asma-ul-husna-Nya, karena dikatakan bahwa, "Asma Allah I adalah sebanyak napas makhluk".
  6. Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa melindungi napas terhadap kelalaian sungguh sukar bagi para pejalan. Maka mereka harus menjaganya dengan memohon ampunan (istighfar) karena memohon ampunan akan membersihkannya dan mensucikannya dan mempersiapkan sang pejalan untuk (menjumpai) Hadirat Benar (Haqq) Allah I di setiap tempat.

Langkah 5
Bernapas,
Menghirup melalui hidung - Dzikir = "Hu Allah", bayangkan cahaya putih memasuki tubuh melalui perut.
Menghembus melalui hidung - Dzikir= "Hu", bayangkan hitamnya karbon monoksida, semua perbuatan dosamu dikuras / didorong keluar dari dirimu.
  1. "Pejalan yang bijak harus menjaga napasnya dari kelalaian, seiring dengan masuk dan keluarnya napas, dengan demikian menjaga hatinya selalu dalam Hadirat Ilahi; dan dia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian dan mempersembahkankan pengabdiannya itu kepada Rabbnya dengan segenap hidupnya, karena setiap napas yang dihisap dan dihembuskan dengan Hadirat adalah hidup dan tersambung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang dihirup dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati dan terputus dari Hadirat Ilahi."
  2. Untuk mendaki gunung, sang pejalan harus melintas dari dunia Bawah menuju Hadirat Ilahi. Dia harus melintas dari dunia ego keberadaan sensual (sensasi) menuju kesadaran jiwa terhadap Al Haqq.
  3. Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, sang pejalan harus membawa gambaran Syaikhnya (tasawwur) ke dalam hatinya karena itu adalah cara paling kuat untuk melepaskan diri dari cengkeraman sensualnya. Dalam hatinya Syaikh menjadi cermin dari Dzat Absolut. Jika dia berhasil, kondisi penisbian diri (ghayba) atau "absensi" dari dunia sensasi muncul dalam dirinya. Sampai kepada tahap bahwa keadaan ini menguat dalam dirinya dan keterikatannya kepada dunia sensasi melemah dan menghilang, dan fajar dari Level Hilang Mutlak- Tidak Merasa- Selain Allah I mulai menyinari dirinya.
  4. Derajat tertinggi dari maqam ini disebut fana'. Demikianlah Syah Naqsyband k berkata, "Jalan terpendek kepada sasaran kita, yaitu Allah I mengangkat tabir dari Dzat Wajah-Nya Yang Ahad yang berada dalam semua makhluk ciptaan-Nya. Dia melakukan itu dengan (melalui) maqam ghayba dan fana', sampai Dzat Agung (Majestic Essence) menyelimutinya dan melenyapkan kesadarannya akan segala sesuatu selain Dia. Inilah akhir perjalanan untuk mencari Allah I dan awal dari perjalanan lainnya."
  5. "Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Level Ketertarikan datanglah Level Perendahan Diri dan Penihilan. Sasaran ini adalah untuk segenap ummat manusia sebagaimana disebut Allah I dalam al-Qur'an, 'Aku tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.' Beribadah di sini berarti Ilmu Sempurna (Ma`rifat)."

Langka 6
Mengenakan busana Syaikh:
3 tahap perjuangan yang berkesinambungan:
Memelihara Cintanya (Muhabbat),
Memelihara Kehadirannya (Hudur),
Melaksanakan Kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau Fana).
  1. Kita memiliki cinta kepadanya, jadi kini kenakanlah Cahayanya dan selanjutnya bayangkan segala sesuatunya dari titik (sudut) ini, dengan busana yang kita kenakan itu. Ini adalah penopang hidup kita. Kamu tidak boleh makan, minum, shalat, dzikir atau melakukan apapun tanpa membayangkan bayangan Syaikh pada kita. Cinta ini akan menyatu dengan Hadirat Ilahi, dan ini akan membuka pintu Penihilan ke dalam-Nya.
  2. Semakin seseorang menjaga ingatan untuk mengenakan busana dengan dia (Syaikh) semakin meningkatlah proses penihilan itu berlangsung. Kemudian penuntun itu akan meninggalkan dirimu di hadirat Rasul Allah Sayyidina Muhammad ?. Di mana sekali lagi kamu akan menjaga cinta kepada Rasul ??(Muhabbat), menjaga Hadiratnya (Hudur). Laksanakan kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau Fana).
  3. Fana fi Syaikh ?, Rasulullah ?, Allah ?.

Penihilan Fana

  1. Dalam keadaan spirit murid menyatu dengan spirit Syaikhnya, kemampuan Syaikh akan diaktifkan dalam diri muridnya, karena itu Syaikh menikmati kedekatan Nabi ?. Dalam situasi ini, dalam istilah sufisme disebut Penyatuan dengan Rasul ? (Fana fi Rasul). Ini adalah pernyataan Nabi ?, "Aku seorang manusia seperti kamu, namun aku menerima wahyu'. Jika pernyataan ini dicermati, kita melihat bahwa kemuliaan Nabi ??terakhir ini adalah bahwa beliau menerima wahyu dari Allah ?, yang mencerminkan Ilmu-ladduni, ilmu yang diilhamkan langsung oleh Allah ?, Pandangan yang Indah dari Allah ??dan Cahaya Gemilang ke dalam hati Nabi ?.
  2. Dalam keadaan 'Penyatuan dengan Nabi ?' seorang murid karena emosinya, kerinduannya dan cintanya secara sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, berasimilasi dan mengenali ilmu Nabi Suci ?. Kemudian datanglah saat paling berharga, saat yang ditunggu-tunggu, ketika ilmu dan pelajaran ditransfer dari Nabi Suci ??kepadanya sesuai dengan kapasitasnya.
  3. Murid itu menyerap karakter Nabi Suci ? sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya dan karena kedekatannya dengan Nabi Suci ??dan dukungannya dia dapat mencapai keadaan ketika dia mengenali Rabbil Alamin, ketika Dia menguraikan dalam al-Qur’an, Ya, sesungguhnya Engkau adalah Rabbi! Kedekatan ini, dalam sufisme disebut Penyatuan dengan Allah ?' (Fana fi-llah) atau singkatnya wahdat. Setelah itu, jika seseorang dikaruniai dengan kemampuan, dia akan membuat eksplorasi di daerah yang tentangnya cerita (narasi) tidak lagi memiliki kata-kata untuk menjelaskannya, karena kepekaan dan kehalusan situasinya.
  4. Menjadi sesuatu yang tidak ada, kendaraan sebening kristal untuk siapa pun yang ingin mengisi keberadaanmu dari Allah swt. Malikul Mulk.
  5. Dalam keadaan 'Penyatuan dengan Nabi Suci saw. seorang murid karena emosinya, kerinduannya dan cintanya secara bertahap, langkah demi langkah, berasimilasi dan mengenali ilmu dari Nabi Suci saw.

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc