Bersabar dalam Musibah

Kalau boleh kita memastikan, maka nyaris tidak ada kehidupan yang sepi dan lepas dari musibah atau cobaan. Pasti dan pasti setiap kita akan mengalaminya, mau tidak mau kita akan menghadapinya, rela ataupun tidak rela kita akan merasakannya, suka atau benci kita pasti akan menerimanya. Dengan itulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji di antara hamba-hambaNya, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya? Siapakah di antara hambaNya yang mau menyikapi musibah tersebut dengan rasa sabar dan rela atas takdir yang telah ditentukanNya, dan siapakah diantara mereka yang tetap istiqamah sekalipun musibah demi musibah selalu menerpa silih berganti seakan-akan tidak pernah ada kesudahannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya, “(Allah Subhanahu Wa Ta’ala) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Ketahuilah! Bahwa tidak ada musibah yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala timpakan kepada hambaNya, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menakar kadar musibah tersebut sesuai dengan kadar kemampuan hambaNya.
Musibah dan ujian yang ditimakan pada seorang hamba adalah suatu barometer untuk mengukur seberapa besar kepatuhan dan ketaatan seorang hamba pada Tuhannya yang secara mutlak mencintainya, apakah hamba tersebut akan hadir dan kembali pada Tuhannya sebagai hamba yang ta’at ataukah hamba yang berpaling mengingkari Tuhannya.


Dan musibah merupakan salah satu sebab seorang dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan semakin besar musibah yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan, maka semakin besar pula pahala dan kecintaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba tersebut. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan (musibah), dan sesungguhnya apabila Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan cobaan kepada mereka, maka barangsiapa ridha, maka baginya keridhaan dari (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) dan barangsiapa yang benci, maka baginya kebencian dari (Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Oleh karena itu seorang muslim hendaklah ia mengetahui kiat-kiat agar dia mampu bersabar dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Di bawah ini di antara kiat-kiat yang dapat membuat dan menumbuhkan rasa sabar ketika menghadapi musibah, yakni:
1. Mengetahui balasan dan pahalanya. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba tertimpa musibah lalu mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ya Allah berilah aku pahala dari musibahku ini dan berilah untukku ganti yang lebih baik darinya, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikannya pahala pada musibahnya tersebut dan memberikan ganti untuknya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim).
2. Mengetahui bahwa musibah dapat meleburkan dan menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tertimpa penyakit, cobaan, kesusahan, kecemasan, dan kesedihan, bahkan sampai duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghapuskan dosa-dosanya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Begitu pula Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Cobaan senantiasa akan menerpa orang yang beriman baik lelaki maupun perempuan, baik pada dirinya, anaknya, dan begitu pula pada hartanya, sampai ia bertemu dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada satu pun dosa yang ia miliki.” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim dan Ahmad).
3. Beriman dengan takdir yang telah terjadi seperti musibah yang menimpanya. Sesungguhnya musibah tersebut telah ditentukan/ ditakdirkan di dalam ‘Ummu al-Kitab’ sebelum ia diciptakan, maka ini adalah sesuatu yang pasti terjadi. Dan ketidaksabaran seseorang tidaklah menambah sesuatu apa pun kepadanya kecuali musibah itu tetap terjadi.
4. Mengetahui hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas dirinya dalam musibah tersebut. Adapun kewajiban seseorang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam menghadapi musibah, tidak disangsikan lagi adalah bersabar. Atau sabar dan ridha, menurut salah satu di antara dua pendapat yang ada. Maka dia diperintahkan untuk menunaikan hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tetap beribadah hanya kepadaNya dalam menghadapi musibah tersebut. Dan ini adalah wajib baginya, jika tidak, maka akan semakin bertambahlah musibah tersebut atas dirinya.
5. Mengetahui bahwa musibah merupakan akibat/ konsekuensi dari dosa yang dilakukannya. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. asy-Syura: 30).
Maka hal ini bersifat umum pada semua musibah baik yang kecil maupun yang besar. Maka hendaklah seseorang ketika mendapatkan sebab ini menyibukkan diri dengan selalu memohon ampunan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (istighfar), karena istighfar merupakan faktor yang paling besar dalam mencegah terjadinya musibah. ‘Ali bin Abu Thalib Rodhiyallohu ‘Anhu berkata, “Musibah tidak akan menimpa kecuali karena dosa (yang diperbuat), dan musibah tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.”
6. Mengetahui bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi musibah itu baginya dan telah memilih serta menentukannya, sedangkan ibadah menuntut keridhoan seseorang kepada apa yang diridhoi Tuhannya.
7. Mengetahui bahwa musibah ini adalah obat yang bermanfaat yang diberikan oleh Sang Maha dokter kepadanya Yang Maha Mengetahui akan kemashalatannya, serta lagi Maha Penyayang kepadanya. Maka hendaklah dia bersabar atas (musibah) yang dialaminya. Dan hendaklah dia tidak mengekpresikannya dengan rasa tidak suka (atas musibah tersebut, pen.) dan mengeluhkannya, maka hilanglah manfaatnya.
8. Mengetahui bahwa kesudahan/ efek dari obat ini adalah kesembuhan, keselamatan, kesehatan, hilangnya rasa sakit yang tidak diperoleh dengan selainnya. Jika dirinya tidak suka dengan obat tersebut karena rasanya yang pahit, maka hendaklah dia melihat kepada efek dan pengaruhnya yang baik/ positif. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216.
9. Mengetahui bahwa musibah tidak datang untuk membinasakan atau membunuhnya, sesungguhnya ia datang hanyalah untuk menguji kesabarannya. Maka saat itu menjadi jelaslah apakah dia layak untuk menjadi penolongNya dan layak dijadikan sebagai salah satu di antara wali-waliNya (kekasihNya) dan golonganNya atau tidak? Dan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanyalah Dia berikan kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang mempunyai karunia yang besar.
10. Mengetahui bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendidik hambaNya baik dengan kesenangan dan kesulitan, nikmat dan musibah, maka hendaklah dia tetap beribadah kepadaNya dalam setiap keadaan. Karena hakikat seorang hamba adalah orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di setiap situasi dan kondisi apapun. Dan hendaklah dia berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur (atas nikmat) Mu, dan membaguskan ibadah kepadaMu.”
Maka sebab ini dan yang semisalnya lah yang akan membuahkan kesabaran dalam menghadapi musibah. Jika semakin kuat, maka niscaya akan membuahkan keridhaan dan rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Sebab Turunnya Musibah

Abul Sa’adaat Al Mubarok bin Muhammad Al Jazariy rahimahullah mengatakan, “Musibah adalah suatu perkara yang menghinggapi manusia dan mereka membencinya.” [1]
Sudah menjadi sunnatullah di muka bumi Allah ini adanya hukum sebab akibat. Sudah barang tentu musibah yang banyak kita alami pada tahun-tahun terakhir ini pasti ada sebabnya. Salah satu sebab datangnya musibah adalah karena maksiat yang diperbuat oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, taubat)”. (QS. Ar Ruum: 41)
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi sebab Allah menampakkan sebagian kerusakan di muka bumi adalah karena berbagai dosa yang dilakukan manusia”. Sedangkan lanjutan ayat (yang artinya) “supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yang dimaksud di sini adalah sebahagian akibat dari dosa-dosa yang mereka kerjakan. Dengan demikian sebab kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi berupa berbagai kekurangan, bahaya, kesedihan, penyakit dan lainnya yang Allah tampakkan adalah karena kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-hambaNya. Akibat setiap hambaNya melakukan kemaksiatan, Allah ‘Azza wa Jalla akan timpakan kepada mereka bencana sebagai hukuman atas perbuatan mereka. [2]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sebab bencana dan musibah yang kita alami adalah karena perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian musibah yang kita rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari akibat dosa-dosa yang telah kita perbuat. Sekiranya ditimpakan seluruh akibat dari dosa-dosa yang telah kita perbuat, niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini. [3]
Kesyirikan, Sebab Utama Turunnya Musibah
Sesungguhnya karena perbuatan syirik yang dilakukan manusia, Allah menimpakan musibah kepada mereka. Karena kesyirikan adalah kezholiman yang terbesar yang berakibat datangnya bencana. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah benar-benar kedholiman (kemaksiatan) yang besar” (QS. Luqman: 13)
Bahkan syirik adalah dosa yang tidak Allah ampuni jika seseorang tidak bertaubat darinya sebelum ia mati. Kesyirikan juga adalah bentuk pelanggaran terbesar terhadap hak Allah Ta’ala [4]. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat (dari kebanaran[5]) dengan kesesatan yang amat jauh”. (QS. An Nisaa’: 116)
Itulah mengapa musibah sering menimpa suatu negeri. Kalau kita tilik, ternyata akibat kesyirikan yang merajalela di tengah-tengah mereka. Maka sudah sepatutnya setiap muslim merenungkan hal ini. Sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk mentauhidkan Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan selain-Nya.
Kejahilan, Sebab Lain Datangnya Musibah
Kemudian sebab yang lain adalah jahilnya/bodohnya sebagian besar ummat Islam terhadap agama mereka, yang ini merupakan suatu hal yang kita lihat bersama. Berapa banyak kaum muslimin yang ketika ditanya di mana Allah, maka ada yang menjawab “Allah itu ada dimana-mana”, Allah itu ada di hati saya dan berbagai jawaban keliru lainnya. Bahkan keyakinan seperti ini disuarakan di hadapan orang banyak. Yang menyuarakan pun adalah da’i yang diikuti. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas mengatakan (yang artinya), “Ar Rahman (Allah) beristiwa’ di atas ArsyNya.” (QS. Thaha: 5)
Maka telah benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-hamba Nya. Tetapi, Allah akan mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga Allah tidak menyisakan ulama’. Maka, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu, mereka ditanya, dan mereka memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah sesat dan menyesatkan (orang lain).” [6]
Demikian juga sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat dan akan ada Ruwaibidhah”. Para sahabat bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Orang yang hina lagi jahil (berbicara tentang) urusan orang banyak.” [7]
Mereka mengambil urusan agama mereka dari orang-orang kecil yang jahil dan meninggalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan penjelasan para ‘ulama padahal Allah Robbul ‘Alamin telah berfirman, “Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Demikian juga firman Allah (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (para ‘ulama) jika kalian tidak tahu.” (QS. Al Anbiya’ : 7)
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap individu untuk menuntut ilmu agama. Karena mempelajari ilmu adalah adalah suatu yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menuntut ilmu (agama) hukumnya wajib bagi setiap muslim.” [8]
Inilah dua dari sekian banyak sebab turunnya berbagai macam adzab Allah beserta obatnya.
[1] An Nihayah fi Ghoribil Atsar Ibnul Atsir oleh Abul Sa’adaat Al Mubarok bin Muhammad Al Jazariy hal. 119/III, dengan tahqiq oleh Thohir Ahmad Az Zaawiy, terbitan Maktabah Ilmiyah Beirut, Lebanon
[2] Lihat Ad Daa’u wad Dawa’u oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby –hafizhahullah-, hal 100, Terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan kedua
[3] Idem
[4] Lihat Al Quolul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, hal. 113 terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan kedua
[5] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrahman Al Mubarokfuri hal. 106, terbitan Darus Salam, Riyadh, cetakan kedua
[6] HR. Bukhori no. 100
[7] HR. Ibnu Majah no. 4172 dan dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1887 [Asy Syamilah]
[8] HR. Ibnu Majah no. 229 dan dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Takhrij Ahaadits Musykilatul Fiqr no. 226. [Asy Syamilah]

 

Hikmah Terjadinya Musibah

Musibah yang menimpa seseorang itu memiliki beberapa kemungkinan.
Pertama, musibah tersebut bertujuan untuk meninggikan derajat orang tersebut, memperbesar tabungan pahalanya. Itulah musibah yang menimpa para nabi dan sebagian orang-orang yang shalih.
Kedua, musibah itu boleh jadi adalah sebab dihapusnya berbagai dosa, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barang siapa yang melakukan keburukan (baca:maksiat) maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”(QS an Nisa:123).
وقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها ) ،
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya”.
وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من يرد الله به خيراً يُصِب منه ) ،
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya”.
وقد يكون ذلك عقوبة معجلة بسبب المعاصي وعدم المبادرة للتوبة
Ketiga, musibah itu bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau adzab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat.
كما في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إذا أراد الله بعبده الخير عجَّل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافيه به يوم القيامة ) خرجه الترمذي وحسنه
Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya di dunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang tersebut dengan dosa-dosanya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa tersebut pada hari Kiamat nanti” (HR Tirmidzi dan beliau menilainya sebagai hadits dengan kualitas hasan).
Sumber: Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawi’ah juz 4 hal 370 terbitan Dar Ashda’ al Qosim Buraidah, cetakan keempat tahun 1428 H.

Hikmah musibah juga berarti
Agar Hamba Segera Bertaubat
Di antara sekian banyak hikmah musibah yang Allah berikan kepada hambanya adalah sebagai peringatan agar mereka kembali/bertaubat kepadaNya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali/bertaubat.” (QS. Ar Ruum: 41)
Musibah yang kita hadapi ini tidaklah ada apa-apanya jika kita bandingkan dengan musibah yang menimpa orang tua kita Adam ‘alaihis salam yaitu dikeluarkan dari Surga tempat yang penuh kenikmatan setelah dulu pernah merasakannya. Disebabkan tobatnya yang sempurna, Allah anugrahkan kepadanya kenabian, Allah terima taubatnya, Allah berikan ia petunjuk berupa hidayah dan Allah angkat derajatnya. Kalaulah bukan sebab cobaan yang Allah berikan kepadanya berupa dikeluarkan dari surga maka tidaklah beliau mendapatkan kenikmatan di atas. Lihatlah keadaan beliau setelah berbuat keasalahan dan Allah timpakan kepadanya musibah kemudian ia bertaubat dengan sebenar-benar taubat lebih mulia daripada keadaan sebelumnya. [9]
Musibah Sebagai Penghapus Dosa
Hikmah dari musibah yang tak kalah agungnya dibanding hal di atas adalah sabar. Jika Allah timpakan kepada seorang hamba musibah apabila ia bersabar maka musibah tersebut merupakan penghapus dosa baginya [10], sebagaimana sabda Nabi yang mulia ‘alaihish sholatu was salam, “Akan senantiasa seorang laki-laki dan perempuan yang beriman ditimpa musibah pada jiwanya, anaknya dan hartanya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa/salah.” [11]
1. Musibah akan mendidik jiwa dan menyucikannya dari dosa dan kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ ( الشورى: 30)
artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)
Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Diriwayatkan  dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:“Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”
2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.
Itu merupakan balasan dari musibah yang diderita oleh seorang hamba sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan).
3. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.
Sebagaimana dituturkan, bahwa seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.
Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”
Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itupun baik baginya (juga).”
4- Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.
Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.”
Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman,
وَإِذَآ أَنْعَمْنَا عَلَى اْلإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَآءٍ عَرِيضٍ (فصلت:51 )
artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”
Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub ‘Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)
5. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.
Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan.
6. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.
Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?
7. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.
Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi orang yang terkena musibah besar,  maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk keluar dari bencana ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.
8. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.
9. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.
Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hamba-Ku siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)
12. Dengan adanya musibah seseorang akan mengetahui betapa besarnya nikmat keselamatan dan ‘afiyah
Jika seseorang selalu dalam keadaan senang dan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba terkena musibah, diharapkan agar ia bisa betapa mahalnya nikmat yang selama ini ia terima dari Allah I.
Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang terkena musibah sesungguhnya masih ada orang yang lebih susah darinya, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat musibah yang sedang diterimanya  dengan keridhaan dan kesabaran serta berserah diri kepada Allah Dzat  yang telah mentakdirkan musibah itu untuknya sebagai ujian atas keimanan dan kesabarannya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali dengan sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan bertobat.” (Al-Jawabul Kafi hal. 118)
Oleh karena itulah marilah kita kembali kepada Allah dengan bertaubat dari segala dosa dan khilaf serta menginstropeksi diri kita masing-masing, apakah kita termasuk orang yang terkena musibah sebagai cobaan dan ujian keimanan kita  ataukah termasuk mereka- wal’iyadzubillah- yang sedang disiksa dan dimurkai oleh Allah karena kita tidak mau beribadah dan banyak melanggar larangan-larangan-Nya.
Musibah Merupakan Nikmat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Musibah merupakan nikmat karena ia merupakan penghapus dosa, juga merupakan suatu hal yang mendorong diri untuk sabar sehingga mendapatkan pahala sabar, merupakan suatu hal yang mendorong diri untuk kembali kepada Allah dengan keta’atan/inabah, merendahkan diri dihadapanNya dan menghindar dari pandangan manusia (sehingga jauh dari riya’)”. Akan tetapi beliau rohimahullah mengaitkan hal ini dengan sabar dan tidak berlaku apabila seorang hamba ditimpa musibah kemudian ia meninggalkan hal-hal yang wajib atau melakukan sebagian maksiat. [12] Kemudian perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang balasan bagi orang yang sabar (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Dan sabar adalah dimulai pada saat awal musibah menimpa kita, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, “(Sesungguhnya yang dikatakan) Sabar adalah sabar pada awal sesuatu yang dibenci.” [13]
Musibah Merupakan Tanda Cinta Allah pada HambaNya yang Ridho
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah jika Ia mencintai suatu kaum maka Allah akan coba/timpakan pada mereka musibah, barangsiapa yang ridho maka baginya ridho Allah dan barangsiapa yang marah terhadap cobaan/musibah dari Allah mak baginya murka Allah.” [14]
Ibnu ‘Aun rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba tidaklah mencapai hakikat dari ridho sampai dia menjadikan ridhonya ketika tertimpa kefakiran dan musibah sebagaimana ridhonya ketika diberikan kecukupan dan kesenangan/kelapangan.” [15]
Dengan demikian kami mengajak diri kami sendiri dan para pembaca sekalian, marilah kita mewaspadai dua penyakit di atas dengan giat menuntut ilmu agama dan diiringi dengan mengamalkannya serta melaksanakan apa yang menjadi kewajiban orang yang ditimpa musibah yaitu bertaubat, bersabar, lebih jauh lagi dianjurkan untuk ridho terhadap musibah. Allahu A’lam bish Showab. [Aditya Budiman]
[9] Lihat Miftah Daaris Sa’adah oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah hal. 302/II, dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah, terbitan Dar Ibnu ‘Affan, Kairo, Mesir
[10] Lihat Syarh Riyadush Sholihin oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 140/I cetakan Darul Aqidah, Kairo, Mesir
[11] HR. At Tirmidzi no. 2399, hadits ini dinyatakan Hasan Shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliu untuk Sunan At Tirmidzi hal. 431 terbitan Maktabah Ma’arif, Riyadh, KSA
[12] Lihat Taisil ‘Azizil Hamiid fi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sulaiman bin Abdullah, hal. 446-447, dengan tahqiq oleh Syaikh Zuhair Asy Syawis, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon
[13] HR. Bukhori no. 1252, Muslim no. 2136
[14] HR. Tirmidzi no. 2396, , hadits ini dinyatakan Hasan Shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi hal. 540
[15] Lihat Taisil ‘Azizil Hamiid fi Syarhi Kitabit Tauhid hal. 451


http://syangar.bodo.blogspot.co.cc