Buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal
Dewasa ini, tafsir sains memang sedang menjadi tren di dunia penafsiran Al-Quran dan mendapat banyak perhatian dari para pakar di bidang ini. Fenomena ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat modern yang mengarah pada hal-hal yang bersifat ilmiah.
Namun, bila disadari upaya mengungkapkan mukjizat-mukjizat Al-Quran merupakan hasil pemahaman seseorang yang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya. Karena pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.

Oleh karenanya peranan akal sangatlah penting dalam memahami Al-Quran. Namun, ia tidak boleh digunakan secara liar, tanpa rujukan, tanpa metodologi yang absah. Sebab, akal bukanlah sumber rujukan, akan tetapi merupakan media utama untuk menemukan pemahaman yang benar, yang searah dengan tuntunan wahyu. Sebab wahyu adalah petunjuk yang pasti benar.

Buku yang berjudul Menelaah Pemikiran Agus Mustofa (Koreksi Terhadap Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern) ini mengajak kita untuk melakukan pembenahan terhadap akidah-akidah Islam yang dikaburkan dengan pembacaan-pembacaan yang tampak ilmiah. Tidak banyak buku yang memberikan pembanding untuk beberapa tema krusial yang ditulis oleh Agus Mustofa (dalam serial buku diskusi tasawuf modernnya) seperti buku buah karya A. Qusyari Ismail dan Moh. Achyat Ahmad. Kerangka filosofis dalam berfikirnya dapat menggugah cakrawala pengetahuan kita yang sulit ditemukan pada buku-buku lain. landasan metodologis yang kokoh yang disajikan dengan lugas dan popular serta diperkuat dengan sumber rujukan yang otoritatif.

Ada dua poin penting yang menjadi isi kandungan buku ini. Pertama buku ini membantu merumuskan teori-teori pemikiran yang dibangun oleh Agus Mustofa dalam seluruh serial diskusi tasawuf modern. Sebab dalam melakukan kajian, Agus Mustofa tidak merumuskan suatu teori pemikiran apapun yang dianutnya selain metode puzzle yang masih teramat global dan tidak cukup memadai untuk dapat memahami jalan pemikiran beliau secara utuh. Hal ini penting dilakukan, sebab teori berpikir merupakan reprentasi dari suatu keyakinan yang terpendam dalam diri setiap penulis, termasuk Agus Mustofa. Karenanya setiap pemikiran yang dilontarkan Agus Mustofa pada dasarnya merupakan pantulan dari keyakinan-keyakinan tertentu yang diyakini akan kebenarannya secara absolut.

Kedua, buku ini melakukan pembedahan ulang terhadap tema-tema fundamental dalam Islam yang dibedah oleh Agus Mustofa dalam setiap serial buku diskusi tasawuf modern.
Buku ini kembali mengkaji tema-tema itu secara ilmiah, dengan mendasarkannya pada rujukan-rujukan yang otoritatif, lalu menunjukkan titik-titik kelemahan pemikiran Agus Mustofa dan ketidak-absahan kesimpulan-kesimpulan beliau yang tertuang dalam serial buku diskusi tasawuf modern.

Sebab bagaimanapun, tema-tema yang diangkat dalam serial tasawuf modern adalah tema-tema fundamental dalam Islam yang termasuk dalam kategori metafisik. Seperti alam akhirat, surga, neraka, penciptaan, takdir, pahala, siksa, perjalanan spiritual Nabi, dan semacamnya, sehingga kesimpulan pemahaman terhadapnya janggal jika pendekatan kajian yang digunakan tidak memadai, apalagi cacat secara ilmiah.

Kemudian jika dilakukan kajian secara holistik terhadap buku-buku Agus Mustofa, maka akan didapati bahwa kejanggalan-kejanggalan yang tertuang dalam serial buku diskusi tasawuf modern adalah bermula dari cara pandang yang tidak utuh tentang Islam berikut aspek-aspek yang menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Contoh sederhana dalam hal ini adalah tentang asumsi bahwa “akhirat tidak kekal”. Ia didasarkan pada logika bahwa yang akan hidup selama-lamanya itu hanya Allah Swt, sesuai dengan pernyataan lugas Al-Quran. Namun, barangkali Agus Mustofa lupa bahwa Allah Swt juga secara lugas menyatakan dalam Al-Quran, jika dia adalah dzat yang maha kuasa dan mampu berbuat apa yang dikehendaknya (fa’alun lima yurid), termasuk menjadikan alam akhirat, surga, neraka, dan seluruh penghuninya kekal abadi.
Lalu benarkah QS Hud (11):80 bisa dijadikan dalil ketidakkekalan akhirat, sebagaimana asumsi Agus Mustofa?

Untuk bisa sampai pada kesimpulan yang tepat dalam memahami informasi-informasi yang bersumber dari Al-Quran, tentu saja diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab, tafsir Al-Quran dan mempertimbangkan pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir. Al-Quran bukan koran, yang siapa saja bisa menafsirkan sesuai dengan pikiran dibenaknya. Karena itu jelas riskan jika kemudian Al-Quran dipahami dengan “metode puzzle”.

Kemudian hal yang tidak boleh ditinggalkan dari rangkaian pemikiran penafsiran Agus Mustofa adalah penafsirannya terhadap QS. Al-Isra (17): 52 dan yang senada QS. Ar-Rum (30) : 55 dan Yasin (36): 52. Ayat-ayat tersebut diasumsikan sebagai ayat yang memberikan legitimasi bagi tidak adanya azab kubur. Benarkah demikian? Bila begitu, berarti ayat-ayat tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang menjadi dalil lugas bagi kebenaran adanya azab kubur. Bukankah Al-Quran dengan lugas menyatakan jika ayat-ayatnya tidak mungkin kontraproduktif. Kalau begitu berarti di sini ada ketidakberesan yang perlu di-clear-kan.

Begitu juga asumsi Agus Mustofa bahwa Adam bukan manusia pertama, dengan merujuk QS. Al-A’raf (7):11 sebagai dalil, sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan. Karenanya, asumsi itu sesungguhnnya sama sekali tidak menemukan dalil dari Al-Quran.
Sebaliknya, Al-Quran memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama, namun hal itu secara tegas dinyatakan oleh hadis Nabi Muhammad Saw. Bukan dari cerita-cerita nenek moyang atau lagenda purba, sebagaimana tuduhan Agus Mustofa berikut hadis yang dimaksud: dari Abdullah bin Amr dalam hadis marfu’ beliau berkata: Allah Swt mengutus Jibril kepada Nabi Adam lalu memerintahkannya untuk membangun Baitullah lalu Adam membangunnya. (Setelah bait itu jadi ) lalu Jibril memerintahkan Nabi Adam bertawaf mengelilingi Baitullah, lalu dikatakan kepada Nabi Adam: Engkaulah manusia pertama dan ini (Ka’bah) merupakan rumah pertama yang dibangun manusia. (HR. Al Baihaqi). (halaman 384)
Akhirnya, buku ini sangatlah representatif untuk dikaji dan didiskusikan. Paling tidak buku ini menjadi pemikiran pembanding untuk beberapa tema krusial yang ditulis Agus Mustofa berikut pencerahan baru bagi para pecinta serial buku diskusi tasawuf modern. *

Tanggapan terhadap buku Ternyata akhirat tidak kekal karya agus mustofa
segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang menjanjikan kebahagiaan di surga bagi orang-orang yang bertakwa dan kesengsaraan di neraka bagi orang-orang yang kufur lagi durhaka. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, sebagai penutup para Nabi dan panutan dalam meniti jalan yang lurus, begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ (106) خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (107) وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud: 106-108)
Jika kita melihat ayat di atas, seakan-akan ada yang ganjil. Allah mengisyaratkan surga dan neraka itu ada selama bumi dan langit itu ada. Dari sini bisa diyakini bahwa surga dan neraka itu tidak kekal. Ayat inilah yang menjadi dasar keyakinan Ir. Agus Mustofa (Penulis Buku Tasawuf Modern) dalam bukunya “Ternyata Akhirat Tidak Kekal[1]. Berikut kami cuplik sedikit perkataan beliau dalam buku tersebut setelah beliau membawakan surat Huud ayat 106-108:
Ayat di atas bercerita tentang keadaan penduduk neraka dan penduduk surga. Dikatakan oleh Allah, bahwa mereka itu akan kekal di dalam surga atau neraka selama ada langit dan bumi.
Informasi ini, sungguh sangat menggelitik logika kita. Kenapa demikian? Sebab ternyata kekekalan surga dan neraka itu –menurut ayat ini- tergantung pada kondisi lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam semesta.
Dengan kata lain, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran.
Tentu, hal ini membuat kita agak shock. Sebab ini telah menggoyang apa yang sudah kita pahami selama ini. Bahwa yang namanya akhirat itu adalah alam baka. Alam yang kekal abadi, dan tidak akan pernah mengalami kiamat lagi. Dan itu telah dikatakan berulang-ulang dalam Al Qur’an.
Akan tetapi, apakah kita tidak percaya kepada firman Allah di atas, bahwa Surga dan Neraka itu kekalnya adalah sekekal langit dan bumi? Tentu saja, kita juga nggak berani untuk tidak percaya, sebab kalimat-kalimat di atas demikian gamblangnya: Khaalidiina fiiha maadaamatis samaawaati wal ardhi ... (kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi ...)(hal. 234)
Demikian sedikit nukilan dari perkataan beliau, yang kesimpulannya sesuai judul bukunya yaitu akhirat itu tidaklah kekal. Kami sangat tergelitik sekali ingin menyanggah pernyataan beliau di atas dengan merujuk pada pakar tafsir terkemuka. Yang tentunya ilmu ulama tafsir sudah pasti lebih terpercaya. Semoga Allah memudahkan untuk menyelesaikan tulisan ini karena ingin mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
3 Hal yang Mesti Diyakini Mengenai Surga dan Neraka
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Al Hakami rahimahullah, keyakinan terhadap surga dan neraka yang mesti diyakini adalah 3 hal. Beliau sebut dalam bait syairnya,
والنَّارُ وَالجَنَّةُ حَقٌّ وَهُمَا ... مَوْجُوْدَتَانِ لاَ فَنَاءَ لَهُمَا
Neraka dan surga adalah benar adanya. Keduanya telah ada saat ini. Dan keduanya tidaklah fana.
Berikut sedikit uraiannya.[2]
Pertama: Surga dan neraka itu benar adanya, tidak ada keraguan sedikit pun tentangnya.
Di antara dalilnya,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (131) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (132) وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133)
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 131-133)
Kedua: Surga dan neraka sudah ada saat ini.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Yang telah disediakan untuk orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 131). Jika dikatakan “telah disediakan”, berarti keduanya telah ada.
Dari Imron bin Hushain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اطَّلَعْتُ فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ ، وَاطَّلَعْتُ فِى النَّارِ ، فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
Aku pernah melihat surga, lalu aku melihat bahwa kebanyakan penghuninya adalah orang-orang miskin. Aku pun pernah melihat neraka, lalu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rofi’ bin Khudaij, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ ، فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ
Sakit demam berasal dari panasnya jahannam. Oleh karenanya, dinginkanlah demam tersebut dengan air.[4]
Ketiga: Surga dan neraka itu kekal karena Allah yang menghendaki keduanya untuk kekal. Keduanya tidaklah fana. Banyak sekali dalil yang membicarakan hal ini, berikut kami sebutkan sebagiannya.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا ,إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. An Nisa’: 168-169)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَ أَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ يَقُومُ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ يَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ ، وَيَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ ، خُلُودٌ
Jika penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka, kemudian seseorang akan meneriaki di antara mereka, “Wahai penduduk neraka, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Wahai penduduk surga, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Kalian akan kekal di dalamnya.[5]
Awal Sanggahan dari Mustofa Bisri
Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” sebenarnya sudah dikritisi lebih terlebih dulu oleh A. Mustofa Bisri. Berikut pemaparan beliau ketika memberikan pengantar untuk buku tersebut.
Yang paling menarik tentu kesimpulan Agus Mustofa tentang ketidak-kekalan Akhirat, yang karenanya kemudian menjuduli bukunya dengan “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini. Kesimpulannya itu antara lain didasarkan pada Q.S. 11 Hud: 107 dan 108, di mana -menurut pemahaman Agus- kekekalan mereka yang berbahagia di sorga maupun celaka di neraka digantungkan “kepada kondisi lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam semesta”.
Dengan kata lain, paparnya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” (hal. 234). Pendapat ini diperkuat dengan kutipan Q.S. 28: Al Qashash: 88,
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa kecuali ‘Wajah-Nya’”
Kesimpulan dan pendapat itu terjadi karena Agus Mustofa tidak mempertimbangkan atau mengabaikan tafsir-tafsir yang ada, khususnya mengenai kalimat:
مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
Misalnya, tafsiran Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa yang dimaksud “langit dan bumi” adalah langit dan bumi yang lain, berdasarkan QS. 14: 48
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” ... [6]
Demikian sebagian komentar dari Bapak Mustofa Bisri yang mengkritik pendapat kontroversial dari Agus Mustofa. Intinya, pendapat yang diutarakan oleh Agus Mustofa berseberangan dengan pendapat ahli tafsir dan para ulama yang tentu lebih memahami ayat tersebut. Mari kita simak penjelasan selanjutnya.
Merujuk Tafsiran Ulama
Pertama: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib Al Amili (Abu Ja’far Ath Thobari)
Mengenai ayat,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”, Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Orang Arab biasanya jika ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka mereka akan mengungkapkan dengan,
هذا دائم دوام السموات والأرض
Ini kekal selama langit dan  bumi ada.” Namun maksud ungkapan ini adalah kekal selamanya.[7]
Kedua: Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi
Selain membawakan perkataan Ibnu Jarir Ath Thobari, Ibnu Katsir membawakan penafsiran lain. Beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi dipahami bahwa maksud ayat “selama langit dan bumi itu ada” adalah jenis langit dan bumi (maksudnya: langit dan bumi yang beda dengan saat ini, pen). Karena sudah pasti alam akhirat juga ada langit dan bumi (namun berbeda dengan saat ini, pen). Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (QS. Ibrahim: 48)
Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menjelaskan mengenai firman Allah,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”, maksudnya adalah Allah mengganti langit berbeda dengan langit yang ada saat ini. Begitu pula Allah mengganti bumi berbeda dengan bumi yang ada saat ini. Langit dan bumi (yang berbeda dengan saat ini tadi, pen) pun akan terus ada.”
Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Husain menyebutkan dari Al Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan mengenai firman Allah (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,” yaitu setiap surga itu memiliki langit dan bumi.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan, “Yaitu selama bumi itu menjadi bumi (yang berbeda dengan saat ini, pen) dan langit menjadi langit (yang berbeda dengan saat ini, pen).” –Demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah mengenai surat Huud ayat 107.[8]
Ketiga: Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi
Al Baghowi menyatakan yang hampir sama dengan Ibnu Jarir Ath Thobari dan Ibnu Katsir. Al Baghowi mengatakan, “Mengenai ayat (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya” yaitu terus berada tinggal di dalamnya. Sedangkan ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”, sebagaimana dikatakan oleh Adh Dhohak, “Selama langit dan bumi dari surga dan neraka itu ada. Karena segala sesuatu yang berada di atasmu dan menaungimu itulah langit. Sedangkan segala sesuatu sebagai tempat engkau berpijak itulah bumi. Begitu pula para pakar tafsir menjelaskan bahwa ungkapan dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kekalnya sesuatu. Inilah ungkapan yang biasa disebutkan oleh orang Arab. Mereka biasa mengatakan, “Saya tidak akan mendatangimu selama langit dan bumi itu ada”. Atau mereka katakan, “... selama bergantinya malam dan siang”. Mereka maksudkan ini semua untuk mengungkapkan “selamanya”.”[9]
Keempat: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani
Tentang ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada,” Asy Syaukani menukil perkataan Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, beliau mengatakan maksud ayat tadi, “Setiap surga memiliki langit dan bumi tersendiri.”[10]
Kelima: Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az Zamakhsyari
Az Zamakhsyari menyatakan penafsiran yang sama dengan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Jadi, makna ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”, maksudnya: [1] Yang dimaksud adalah langit dan bumi di akhirat, keduanya itu abadi dan makhluk yang kekal, [2] ungkapan orang Arab yang ingin menyatakan sesuai itu kekal dan tidak ada ujung akhirnya.
Untuk maksud pertama ini, beliau membawakan dua ayat bahwa di akhirat itu ada langit dan bumi tersendiri. Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (QS. Ibrahim: 48)
Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَوْرَثَنَا الأرض نَتَبَوَّأُ مِنَ الجنة حَيْثُ نَشَاء
Dan telah (memberi) kepada kami bumi (tempat) ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.” (QS. Az Zumar: 74)[11]
Keenam: Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Sekelompok ulama menjelaskan mengenai firman Allah (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”, yaitu yang dimaksud adalah langit dari surga dan bumi dari surga. Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin meminta pada Allah, mintalah surga Firdaus. Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan merupakan surga pilihan. Sedangkan atap (langit) dari surga tersebut adalah ‘Arsy Allah. Begitu pula sebagian ulama ketika menjelaskan mengenai firman Allah,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (QS. Al Anbiya’: 105). Yang dimaksudkan di sini adalah bumi di surga. Oleh karena itu tidak bertentangan antara yang menyatakan langit akan terlipat (yaitu langit dunia, pen). Sedangkan langit yang tetap terus ada adalah langit (atap) dari surga. Oleh karena itu, yang mesti kita pahami adalah segala sesuatu yang berada di atas, maka ia disebut secara bahasa dengan langit (as samaa’). Sebagaimana pula hujan disebut dengan samaa’ (langit). Dan atap juga disebut dengan samaa’ (langit).”[12]
Ringkasnya, mengenai surat Huud ayat 107 dan 108, ada dua penafsiran:
Pertama: Yang dimaksud adalah langit dan bumi yang ada di akhirat nanti.
Kedua: Penyebutan “selama langit dan bumi itu ada” adalah ungkapan orang Arab yang ingin menyebutkan sesuatu itu kekal abadi.
Bandingkan tafsiran di atas ini dengan pemahamann penulis buku tersebut.
Kekeliruan Penulis Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”
Dari penjelasan ulama di atas, terlihat jelas bahwa surat Huud ayat 16-108 bukan memaksudkan akhirat itu tidak kekal sebagaimana yang disalahpahami oleh Agus Mustofa. Sudah jelaslah kekeliruan yang beliau utarakan dalam buku tersebut. Intinya, kekeliruan yang beliau lakukan disebabkan beberapa hal:
Pertama: Hanya bergantung pada logika yang dangkal
Setelah beranjak dari pemahaman keliru terhadap surat Huud ayat 107 dan 108, beliau pun mengemukakan argumen sains. Namun ini sudah beranjak dari pemikiran keliru terhadap ayat tadi dan dibangun di atas logika yang fasid (rusak). Yang namanya logika jika bertentangan dengan dalil, maka dalil yang mesti didahulukan karena logika tentu saja terbatas. Coba pahami baik-baik perkataan seorang alim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut ini.
Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[13]
Intinya, logika bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan tentang surga dan neraka, betapa banyak ayat yang menunjukkan kekalnya. Pantaskah di sini akal mengalahkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah? Logika barulah benar jika memang tidak berseberangan dengan wahyu.
Kedua: Tidak mau merujuk pada ulama
Inilah salah satu kekeliruannya lagi. Jarang sekali kami lihat dalam buku beliau yang menukil perkataan ulama atau mau merujuk pada mereka dalam menafsirkan ayat. Beliau kadang menafsirkannya sendiri sehingga bisa salah fatal semacam ini.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin 'Abdul 'Aziz,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.[14]
Kita punya kewajiban jika tidak tahu tentang masalah agama termasuk pula dalam memahami ayat untuk bertanya pada orang berilmu. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7).
Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.[15] Ketika membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang berilmu).”[16]
Ketiga: Mengikut ayat mutasyabih (yang masih samar)
Sebelum menyebutkan pendapatnya pada halaman 234, sebenarnya Ir. Agus Mustofa sudah memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan kekalnya surga dan neraka. Bahkan beliau sendiri katakan di hal. 232 dari bukunya, “Dan masih banyak lagi ayat tentang kekekalan Surga, Neraka, atau Akhirat itu. Tak kurang dari 110 ayat yang menggambarkan, betapa akhirat, surga dan neraka itu kekal.”
Namun ketika sampai pada hal. 234, setelah membawakan surat Huud ayat 106-108, beliau pun mengatakan, “Justru di sinilah kunci pemahamannya. Pertama, bahwa akhirat tersebut sesungguhnya memang tidak kekal. Akan tetapi, ketidakkekalan itu bukan berarti meringankan arti dari informasi-informasi sebelumnya yang mengatakan: Khaalidiina fiiha ... (kekal di dalamnya ...). Dan di ayat lainnya lagi seringkali ditambahkan kata ‘abada’ (abadi, selama-lamanya). Miliaran tahun! Karena kekal yang dimaksudkan tersebut memang bukan kekal yang tidak terbatas. Akhirat adalah makhluk. Karena itu ia pasti memiliki awal dan akhir.” Demikian perkataan beliau.
Semula ia katakan bahwa 110 ayat membicarakan kekekalan akhirat, namun ketika bertemu dengan surat Huud ayat 106-108, baru ia menjadi bingung. Lalu akhirnya ia simpulkan bahwa akhirat itu tidak kekal. Bagaimana mungkin hanya berpegang pada surat Huud lalu mengalahkan 110 ayat yang menyatakan kekekalan surga dan neraka?!
Thoriqoh (metode) orang-orang yang menyimpang memang seperti ini. Kebiasaannya adalah selalu mempertentangkan ayat yang satu dan lainnya. Atau kebiasaannya adalah berpegang pada ayat yang masih samar (baca: mutasyabih) dan meninggalkan ayat-ayat yang sudah jelas yaitu ayat muhkam. Seharusnya sikap yang tepat ketika seseorang menemukan ayat-ayat yang samar dan sulit baginya untuk memahaminya adalah ia pahami dan membawa ayat tersebut kepada ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya). Bukan malah yang jadi pegangan adalah ayat mutasyabih yang masih samar.
Itulah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ketika kita menemukan ayat masih samar, bawalah ayat tersebut kepada ayat yang sudah jelas maknanya agar kita tidak tersesat. Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron: 7). Ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya) dalam ayat ini disebut dengan ummul kitaab (induk kitab). Artinya, ayat-ayat muhkam inilah yang jadikan rujukan ketika bertemu dengan ayat-ayat yang masih samar bagi sebagian orang (mutasyabihaat).[17] Namun kecenderungan orang-orang yang sesat adalah biasa mengikuti ayat mutasyabih (yang masih samar).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, yaitu keluar dari kebenaran menuju pada kebatilan, maka mereka mengikuti ayat yang masih mutasyabih (masih samar). Mereka mengambil ayat mutasyabih tersebut yang mampu mereka selewengkan sesuai maksud mereka yang keliru dan dijadikan sebagai pembela mereka karena makna yang masih bisa diselewengkan sesuka mereka. Adapun ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya), seperti itu tidak dijadikan rujukan mereka. Mereka tidak mau berpegang pada ayat yang muhkam karena itu bisa menyangkal dan menjatuhkan pendapat mereka sendiri. ”[18]
Penutup
Inilah beberapa kekeliruan dasar penulis Agus Mustofa. Ditambah lagi pemahaman beliau yang berbau tasawuf dan filsafat, hal ini semakin menambah kelamnya buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”.
Kami hanya mengingatkan, waspadalah terhadap buku-buku dan pemahaman beliau sebagaimana Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kita agar waspada dengan orang-orang yang hanya mau berpegang pada ayat mutasyabih (yang masih samar) dan meninggalkan jauh-jauh ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ali Imron ayat 7 di atas, lalu ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Jika kalian melihat orang-orang yang sering mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih (yang masih samar), maka merekalah yang Allah sebut (dalam surat Ali Imron ayat 7). Oleh karenanya, Waspadalah terhadap mereka.[19]
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada penulis buku tersebut. Semoga kaum muslimin yang lain dapat terhindar dari kekeliruan-kekeliruannya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di pagi hari di Panggang, GK, 21 Shofar 1431 H


[1] Buku yang ditulis oleh Agus Mustofa amatlah banyak,  semuanya bertajuk tasawuf modern. Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini telah sampai pada cetakan kesepuluh dan diterbitkan oleh PADMA Press.
[2] Kami sarikan dari Ma’arijul Qobul, Syaikh Hafizh bin Ahmad Al Hakami, 2/222-229, Darul Hadits, cetakan tahun 1420 H.
[3] HR. Bukhari no. 5198 dan Muslim no. 2737.
[4] HR. Bukhari dan Muslim.
[5] HR. Bukhari no. 6544 dan Muslim no. 2850.
[6] Lihat Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Agus Mustofa, hal. xi-xii, PADMA press, cetakan kesepuluh, tahun 2006.
[7] Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an), Ibnu Jarir Ath Thobari, 12/578, Dar Hijr.
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/472, Muassasah Qurthubah.
[9] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowi, 4/200, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.
[10] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/486, Mawqi’ At Tafaasir.
[11] Al Kasysyaf, Az Zamakhsyari, 3/124, Mawqi’ At Tafaasir.
[12] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 15/109, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339.
[14] Lihat Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Mawqi' Al Islam.
[15] HR. Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad (1/330). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohih Al Jaami’ no. 4363.
[16] Ighotsatul Lahfaan min Mashoidisy Syaithon, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, 1/19, Darul Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H
[17] Faedah dari penjelasan Ibnu Katsir ketika menjelaskan surat Ali Imron ayat 7. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/7.
[18] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/9.
[19] HR. Muslim no. 2665.


PENGERTIAN TASAWUF
Definisi Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-
abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab,
sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa.
Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian.
Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang
berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi.
Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris
atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama
dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa
kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit
nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin
berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang
menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba,
yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin
kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah
sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.
Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada
pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu
jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua
abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka,
mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup
Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah
mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian
orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa
lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka
mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak
dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang
menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa
sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah
tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai
"mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh
Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara,
mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam
Tasawuf
1
www.imamsutrisno.blogspot.com
Tasawuf
dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad
Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya
semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda
tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan,
untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat
Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.
Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan
setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak
demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):
Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana
berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui
penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai
sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian
kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini,
dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan
penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan
yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah
orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan
menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah
pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh
Nabi Muhammad saw.
Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi
( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal.
Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan
mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang
diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan
menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan
jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe
ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan
menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.
Tasawuf
Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah
tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah
(ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada
ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-
perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua
amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk
mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang
menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat
rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan
ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu')
dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang
terisi dan terpelihara baik.
Pengertian Tasawuf Menurut Ahlinya
Menggambarkan tasawuf dengan gambaran akhlak, kezuhudan, peribadatan dan kekeramatan lahiriah semata-mata seperti yang telah dijelaskan, ternyata tidak tepat dan tidak menggambarkan intipati serta gambaran menyeluruh tentang tasawuf itu. Pengertian sebenar tasawuf itu ialah pencapaian darjat ihsan yang digambarkan dalam hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”. Ternyata bahawa hakikat ihsan itu tercapai dengan dua perkara iaitu ibadah yang sempurna lagi berterusan dan kehadiran hati, kesedaran jiwa, serta penyaksian batin terhadap makna-makna ketuhanan (hakikat-hakikat tauhid) dalam ibadah tersebut. Penyaksian batin ini diistilahkan oleh ulama tasawuf sebagai muraqabah dan mushahadah dan ia mempunyai tingkatan-tingkatan yang tertentu. Pencapaian mushahadah inilah yang akan membuahkan berbagai ahwal dan maqamat dan dari sini jugalah timbulnya berbagai persoalan ilmu tasawuf.
Dengan kata lain, hakikat sebenar tasawuf itu ialah tercapainya kebersihan diri, zahir dan batin. Kebersihan zahir membawa maksud keterikatan anggota lahiriah manusia dengan peraturan atau hukum-hukum agama iaitu apa yang diistilahkan sebagai `ibadah. Kebersihan batin pula bermaksud kebersihan hati dari sifat-sifat tercela (takhalli) dan terhiasnya ia dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) iaitu apa yang disebut sebagai `ubudiyyah. Manakala kemuncak kebersihan batin manusia itu ialah terbuangnya sesuatu yang lain dari Allah dari lubuk hati dan nyata kebenaran Allah di cermin hati itu (tajalli) iaitu apa yang dinamakan `ubudah. Kebersihan batin inilah yang membawa kepada tercapainya darjat ihsan seperti yang digambarkan dalam hadis.
Pengertian tasawuf seperti inilah yang dapat dilihat pada definisi yang diberikan oleh Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani. Menurut beliau, tasawuf itu ialah pembersihan hati (tasfiyah) dari sesuatu yang lain dari Allah. Menurut beliau, tasawuf itu diambil dari perkataan safa (musafat) iaitu bermaksud orang yang Allah bersihkan batinnya. Pengertian ini jugalah yang ditemui pada definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Shaykh Abu Bakr al-Kattani. Menurut beliau, tasawuf itu ialah kejernihan hati (safa’) dan penyaksian batin (mushahadah). Shaykh Ahmad Zaruq pula menjelaskan bahawa tasawuf telah dihurai, ditafsir dan didefinisikan sejumlah hampir dua ribu, semua itu terhimpun pada satu pengertian sahaja iaitu benarnya tawajjuh hati kepada Allah. Permulaan tawajjuh hati itu ialah terhasilnya intibah (kesedaran jiwa) yang membawa kepada taubah yang benar. Pertengahannya ialah merasai ahwal dan mencapai maqamat. Kesudahannya pula ialah tertumpu pandangan hati hanya kepada Allah semata-mata, tidak kepada yang lain dari-Nya. Di sinilah terhasilnya mushahadah dan inilah kemuncak ihsan.
Kedudukan Tasawuf Dalam Islam
Tasawuf adalah maqam ihsan. Ia merupakan sebahagian dari tiga bahagian utama agama iaitu islam, iman dan ihsan. Ketiga-tiga rukun agama ini dapat dilihat dengan jelas dalam hadis Jibril a.s. Ketika Jibril a.s. datang menemui Nabi s.a.w. dalam rupa seseorang yang tidak pernah dikenali oleh para sahabat, beliau telah mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Pertanyaan itu sebenarnya merupakan suatu perkhabaran iaitu bertujuan mengkhabarkan kepada umat tentang rukun-rukun agama. Perkara ini dapat dilihat di mana Nabi s.a.w. menjelaskan bahawa “ Dialah Jibril yang datang kepada kamu untuk mengajarkan kepada kamu tentang agama kamu”.
Dari penjelasan Nabi s.a.w. terhadap pertanyaan Jibril jelas menunjukkan bahawa Islam itu merujuk kepada amalan lahiriah iaitu perlaksanaan terhadap perintah-perintah agama yang berpaksi pada lima rukun utamanya iaitu shahadah, solat, puasa, zakat dan haji. Iman pula merujuk kepada keyakinan hati terhadap rukun-rukun iman yang berpaksi pada enam rukun utamanya itu kepercayaan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhirat dan qada’ serta qadar. Manakala ihsan pula merujuk kepada amalan batin manusia iaitu penyaksiaan hati terhadap hadrat ilahi. Oleh itu islam melibatkan anggota lahiriah manusia, iman pula melibatkan anggota dalaman manusia iaitu hati, manakala ihsan pula merupakan gerak jiwa manusia.
Iman itu boleh diumpamakan sebagai tapak binaan, islam itu sebagai binaan asas, dan ihsan itu pula ialah pelengkap, penyempurna dan penyeri binaan. Tanpa iman, binaan tidak akan terbina kerana ketiadaan tapak. Tanpa islam, bererti hanya memiliki tapak tanpa ada binaan. Tanpa ihsan, bererti hanya memiliki tapak dan binaan asas tanpa pelengkap dan penghiasnya. Kesempurnaan hanya tercapai dengan ketiga-tiga perkara itu. Memiliki tapak semata-mata tanpa ada bangunan menjadikan seseorang itu merasai keperitan kepanasan matahari dan kesejukan hujan. Demikian juga orang yang hanya beriman tanpa melaksanakan tuntutan islam akan diazab di akhirat sekiranya dosa-dosanya itu tidak diampunkan Allah, namun kesudahannya dia tetap ke syurga juga kerana keimanannya itu. Memiliki tapak dan binaan asas pula menjadikan seseorang itu dapat berteduh namun tempat berteduhnya itu tidak sempurna kerana tidak memiliki kelengkapan dan hiasan, malahan seringkali terdedah kepada kecurian. Demikian juga orang yang beriman dan melaksanakan tuntutan islam tetapi tidak berihsan, amalan yang dilakukan itu kurang sempurna malahan kadang-kadang amalan tersebut tidak diterima dan mengundang kemurkaan Allah. Perkara seumpama inilah yang dapat dilihat pada firman Allah yang bermaksud “celakalah bagi orang yang bersolat”.
Tasawuf sebenarnya merupakan saripati atau jiwa agama. Dengannya agama itu dapat dirasai kebenaran dan kemurniannya. Ia merupakan penyempurna kepada agama itu sendiri di mana ia memberikan nilaian tambahan terhadap keimanan dan keislaman. Dalam hal ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling utama ialah bahawa engkau mengetahui bahawa Allah itu menyaksikan engkau di mana sahaja engkau berada”. Hadis ini menunjukkan bahawa iman itu mempunyai tingkatan yang berbeza, dan tingkatan iman yang paling utama ialah iman yang didasari atas pengetahuan dan penyaksian terhadap hakikat tilikan Allah serta taklukan sifat-sifat-Nya terhadap diri manusia. Inilah yang dikatakan ihsan seperti yang disabdakan oleh Nabi s.a.w. yang bermaksud “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”.
Cara Mencapai Tasawuf
Menurut Imam al-Ghazali, setiap maqam agama itu seperti taubat, sabar, syukur, reda, tawakkal dan sebagainya, adalah terdiri dari tiga perkara iaitu ilmu, amal dan hal (nur). Dengan ketiga-tiga perkara inilah tercapainya kesempurnaan maqam agama itu. Hal atau nur inilah merupakan intipati ilmu tasawuf. Ilmu diperolehi menerusi pengkajian dan pembelajaran dan ilmu itu pula menghendaki pengamalan. Amal yang jujur, bersungguh-sungguh, istiqamah dan berdasarkan ilmu itulah yang akan membuahkan hal. Oleh itu tasawuf dicapai menerusi ilmu dan amal. Perkara ini dapat dilihat pertunjuknya dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, antaranya ialah firman Allah yang bermaksud “dan orang-orang yang bermujahadah pada jalan Kami (Allah), pasti Kami (Allah) akan tunjukkan (hidayat) kepada mereka jalan-jalan Kami (Allah)”, firman Allah yang bermaksud “wahai orang-orang yang beriman, sekiranya kamu bertaqwa kepada Allah, nescaya Dia (Allah) akan menjadikan untuk kamu pemisah (furqan iaitu nur yang memisahkan antara haq dan batil)”, dan ayat-ayat lain lagi.
Adapun amal yang menghasilkan tasawuf itu ialah amal yang berfungsi membersih dan mentawajjuhkan hati kepada Allah iaitu apa yang diistilahkan sebagai mujahadah dan riyadah. Amalan, tata-cara, adab-adab serta tunjuk-ajar dalam melaksanakan mujahadah dan riyadah inilah yang dinamakan tarekat. Mengenai amal tarekat ini, ulama tasawuf menjelaskan bahawa tarekat itu ialah engkau mengqasadkan hatimu kepada-Nya. Iaitu bermaksud, tarekat itu ialah berusaha sedaya upaya mentawajjuh dan menumpukan tumpuan hati kepada Allah menerusi amalan yang dilaksanakan. Apabila tawajjuh hati mula dicapai dan dirasai serta menjadi semakin kuat dan teguh, ia akan membawa kepada penyaksian batin (mushahadah) terhadap hakikat-hakikat tauhid iaitu apa yang disebut hakikat. Mengenai hakikat ini ulama tasawuf menjelaskan bahawa hakikat itu ialah engkau menyaksikan-Nya.
Intipati dari semua amal mujahadah dan riyadah yang membawa kepada tercapainya tasawuf itu ialah zikir. Menurut Ibn Qayyim, semua amal itu disyariatkan adalah untuk melaksanakan dhikrullah, iaitu apa yang dimaksudkan dengan amal-amal itu ialah dhikrullah. Menurut beliau lagi, tidak ada jalan untuk mendapatkan ahwal dan ma`rifah itu kecuali menerusi zikir. Zikir sebagai amal penting dalam riyadah dan mujahadah ini dapat dilihat kebenarannya dalam banyak pertunjuk Nabi s.a.w. kepada para sahabat r.a. Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menganjurkan para sahabat supaya memperbaharui iman. Mereka bertanya tentang cara bagaimana iman itu dapat diperbaharui. Nabi s.a.w. menjelaskan dengan sabda baginda yang bermaksud “perbanyakkan menyebut La ilaha illallah”. Memperbaharui iman itu bukan bermaksud menambah kepercayaan-kepercayaan baru, tetapi bermaksud memperteguh, memperdalam dan memperhalusi keyakinan sehingga hakikat-hakikat tauhid yang diimani dapat disaksikan kebenarannya oleh matahati. Caranya ialah selalu mengulangi kalimat tauhid sehingga ia tertanam teguh dalam hati sanubari.
Dalam riwayat yang lain, Nabi s.a.w. pernah mentalqinkan kalimat tauhid ini kepada sekumpulan sahabat. Shaddad ibn Aus meriwayatkan bahawa kami berada di sisi Nabi s.a.w. ketika baginda bersabda “angkatkan tangan-tangan kamu, lalu katakanlah La ilaha illallah”.
Kesan-Kesan Tasawuf
Tasawuf selalu dilihat sebagai sesuatu yang bersifat peribadi. Memang benar tasawuf itu bersifat peribadi kalau ia dilihat dari segi intipati atau hakikat tasawuf itu. Namun tasawuf itu mempunyai kaitan rapat dengan perkara-perkara lain yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai natijah serta kesan yang tertentu hasil dari pencapaiannya. Secara umumnya, pencapaian tasawuf itu akan mewujudkan, memperteguhkan dan mengharmonikan dua bentuk hubungan iaitu hubungan dengan Allah sebagai pencipta dan pentadbir alam ini dan hubungan dengan manusia sebagai penghuni dan pemakmur dunia ini.
Hakikat ini dapat diperhatikan kenyataannya dalam satu riwayat di mana Nabi s.a.w. pernah ditanya oleh para sahabat mengenai orang yang paling afdal dan tinggi darjatnya di sisi Allah pada hari kiamat. Nabi s.a.w. menjawab “iaitu orang-orang yang banyak zikirnya terhadap Allah”. Ternyata bahawa zikir yang merupakan kekunci penting dalam usaha mencapai tasawuf itu menjadi ciri utama bagi orang yang dikira sebagai paling utama dan tinggi darjatnya di sisi Allah pada hari kiamat. Dengan tercapainya tasawuf itu akan membuahkan berbagai ahwal, maqamat dan amalan yang dengannya seseorang itu mendapat kemuliaan dan mencapai ketinggian darjat di dunia dan juga di sisi Allah. Antara kesan-kesan tasawuf itu ialah:
1-Memperteguhkan keimanan dan membina jatidiri muslim.
Tasawuf berfungsi memperteguhkan keimanan dan keyakinan serta menetapkan pendirian seseorang muslim. Apabila batin manusia bersih dari kekotoran sifat-sifat yang tercela dan dari kecintaan terhadap sesuatu yang lain dari Allah, akan terpancarlah (tajalli) cahaya kebenaran ilahi di dalam hati. Kesannya manusia dapat menyaksikan hakikat kebenaran Allah dan kepalsuan sesuatu yang lain dari-Nya dengan terang dan nyata. Inilah nur yang disebut dalam firman Allah yang bermaksud “maka sesiapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka dia itulah orang yang berada di atas cahaya (nur) dari Tuhannya”. Mengenai nur ini Nabi s.a.w. menjelaskan “bahawa nur itu, apabila memasuki hati, ia akan menjadi luas dan lapang (terbuka hijab)”. Iaitu hati yang terhijab dengan pelbagai hijab rohani sehingga ia terhalang dari menyaksikan kebenaran Allah, apabila ia disinari dengan nur ilahi, akan tersingkaplah hijab-hijab tersebut lalu ia dapat menyaksikan kebenaran ilahi.
Nur tersebut membawa kepada peningkatan darjat keimanan dan keyakinan hati serta memperteguhkan pendirian. Dalam keadaan ini, hati manusia tidak lagi dipengaruhi oleh sebab musabab, tidak merasa bimbang dan takut terhadapnya serta tidak lagi meletakkan pergantungan hati terhadapnya. Dia tidak merasa gelisah terhadap sumber-sumber rezeki, persoalan hidup atau mati, susah atau senang, kaya atau miskin, untung atau rugi, dapat atau tidak, menang atau kalah dan sebagainya lagi. Ini kerana hatinya telah menyaksikan dengan terang dan nyata kebenaran kewujudan Allah dan adanya ketentuan (qada’ dan qadar) dari-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Dia berkeyakinan penuh bahawa tidak akan terjadi sesuatu itu kecuali dengan kekuasaan, kehendak, ketentuan dan keizinan dari-Nya. Inilah kewalian yang sebenar-benarnya seperti yang digambarkan dalam firman Allah yang bermaksud “ketahuilah bahawa wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan ke atas mereka dan mereka itu tidak berduka cita”.
Inilah tingkatan iman yang utama iaitu iman yang didasari penyaksian batin terhadap kebenaran ketuhanan Allah. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling afdal ialah bahawa engkau mengetahui (dengan yakin) bahawa Allah menyaksikan dirimu di mana saja engkau berada”. Di sinilah letaknya jati diri seseorang mukmin. Allah memperteguhkan orang mukmin itu dengan keyakinan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahawa “Allah memperteguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang teguh”. Menurut ahli tafsir, kata-kata yang teguh itu ialah kalimat tauhid (La ilaha illallah), iaitu kalimat iman dan taqwa.
2-Menimbulkan kesedaran jiwa
Intipati tasawuf itu ialah benarnya tawajjuh hati ke hadrat ilahi. Permulaan tawajjuh hati itu ialah timbulnya kesedaran jiwa (intibah). Seseorang yang mengalami intibah itu akan menyedari kelemahan, kekurangan dan kesilapan dirinya. Kesedaran inilah yang akan membawa kepada taubat dan usaha memperbaiki dan menyempurnakan diri. Kesedaran ini jugalah yang membangkitkan usaha gigih dalam meningkatkan dan memartabatkan diri. Isyarat ini dapat dilihat dalam al-Qur’an di mana Allah berfirman yang bermaksud “dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perkara keji atau menzalimi diri mereka sendiri lalu mereka mengingati Allah, lantas mereka beristighfar terhadap dosa-dosa mereka, dan tiadalah yang mengampunkan dosa-dosa itu melainkan Allah, dan mereka itu tidak berlarutan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan sedangkan mereka mengetahuinya”.
3-Membina keperibadian dan akhlak mulia.
Tasawuf itu dari satu sudut ialah pencapaian akhlak mulia. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari tasawuf di mana akhlak itu adalah merupakan buah atau hasil dari tasawuf. Pencapaian tasawuf membawa kepada pembentukan akhlak mulia. Mengenai akhlak ini, Abu Bakr al-Kattani menjelaskan bahawa “tasawuf itu ialah akhlak, sesiapa yang menambahkan akhlakmu, maka sesungguhnya dia telah menambahkan kesufianmu”. Hakikat ini sesuai dengan hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “orang-orang mukmin yang paling sempurna iman ialah mereka yang paling baik akhlak”
Apabila seseorang itu mula merasai hakikat tasawuf dengan sendirinya dia akan berakhlak mulia, kerana pencapaian hakikat tasawuf itu membawa kepada kelembutan hati. Kelembutan hati itulah yang melahirkan berbagai akhlak mulia. Oleh itu semakin tinggi tahap kesufian seseorang itu maka semakin mulia akhlaknya. Nabi s.a.w yang merupakan imam ahli tasawuf adalah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda baginda yang bermaksud “sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
4-Membentuk insan yang bertanggungjawab
Tasawuf itu dari satu dimensi ialah merasai hakikat iman dan mencapai martabat ihsan. Sekurang-kurang martabat ihsan itu ialah seseorang itu merasai dan menyedari bahawa dirinya sentiasa dalam tilikan dan pandangan Allah. Kesedaran inilah yang akan menjadikan seseorang itu merasa bertanggungjawab. Orang yang mengalami kesedaran ini akan merasai bahawa dirinya akan dipersoalkan di hadapan Allah mengenai tanggungjawabnya terhadap dirinya, keluarganya dan juga masyarakatnya. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam perkara kasih sayang, rahmat merahmati, dan belas kasihan sesama mereka adalah seumpama satu tubuh, apabila satu anggota mengadu kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan merasainya dengan tidak dapat tidur malam dan demam”.
Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menjelaskan bahawa “iman itu ada lebih dari enam puluh tiga cabang, yang paling tinggi ialah ucapan La ilaha illallah, yang paling rendah ialah membuang sesuatu yang menyakiti di jalanan, dan sifat malu merupakan salah satu cabang iman”. Kemantapan dan kemurnian iman hasil dari pencapaian tasawuf akan menimbulkan rasa prihatin dan tanggungjawab terhadap orang lain. Timbulnya dorongan untuk tidak menyakitkan orang lain dan membuang sesuatu yang boleh menyakitkan mereka seperti yang disebut dalam hadis adalah merupakan hasil dari kemurnian jiwa atau tercapainya tasawuf.
5-Mewujudkan persaudaraan, perpaduan, dan sifat rahmat sesama manusia
Tasawuf itu dari satu sudut merupakan peningkatan tahap keimanan dan kesempurnaannya. Apabila tasawuf itu dicapai dan dirasai hakikatnya ia akan menimbulkan suatu keadaan kejiwaan di mana seseorang itu merasa kasih dan bertanggungjawab terhadap semua manusia dan juga makhluk-makhluk lain. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “tidak beriman seseorang kamu itu sehinggalah dia mengasihi untuk saudaranya apa yang dikasihinya untuk dirinya sendiri”. Demikian juga Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain adalah seumpama binaan di mana sebahagiannya memperteguhkan sebahagian yang lain”.

Tasawuf dan Realitas Historis 5 May, 2006

Posted by netlog in Tasawuf dan Realitas Historis. add a comment
Introspeksi arti tasawuf meliputi misi, visi, pertumbuhan, faktor pendorong kemunculan, dan posisinya sebagai bagian dari epistimologi. Ada beberapa definisi tasawuf, antara lain didefinisikan sebagai bukan gerak lahir dan bukan pengetahuan, tetapi kebijakan. Al-Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf adalah penyerahan diri pada Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf adalah makan sedikit demi mencari kedamaian dalam zat Allah dan menarik diri dari khalayak.
Kalau anda terus membaca definisi-definisi tasawuf yang ada, anda bisa terjebak dalam satu pojok: tasawuf, kalau begitu, sama dengan zuhud; tasawuf berarti lapar. Ada yang mengatakan bahwa, agar anda tidak cepat dimasuki setan, anda harus mengosongkan perut sehingga mudah mengendalikan diri. Akan tetapi, ada juga yang secara berseloroh mengatakan, justru perut harus diisi agar setan tidak bisa masuk. Ada yang menyimpulkan bahwa tasawuf pada intinya adalah zuhud. Tasawuf seolah-olah hanya terkait dengan akhirat, tidak dengan dunia; reaksinya pada dunia adalah negatif dan mengharuskan hidup miskin. Adakah tasawuf memang demikian? Tampaknya, kita harus berkunjung ke sarang para sufi. Sebab, belajar tasawuf hanya mendengar saja, sama artinya dengan tidak belajar; seperti halnya ketika anda belajar mengemudi mobil hanya melalui ceramah saja tanpa praktik.
Definisi-definisi di atas, tidak menjelaskan tasawuf yang sebenarnya. Definisi tersebut hanya petunjuk saja. Tujuan tasawuf tidak akan dapat dipahami dan dijelaskan dengan persepsi apapun, filosofis maupun yang lain. Hanya kearifan hati yang mampu memahami sebagian dari banyak seginya. Diperlukan suatu pengalaman rohani yang tidak bergantung pada metode-metode indra ataupun pemikiran.
Timbulnya tasawuf dalam Islam bukan sesuatu yang aneh, bahkan menurut saya, ˜wajib™. Kurang keislamannya bila seseorang tidak mengambil tasawuf, kira-kira demikian. Nabi kita, sebelum menjadi Rasulpun, adalah seorang sufi. Beliau hidup sederhana, memikirkan kebenaran, merenungkan alam, dan bertapa (‘Uzlah).
Fazlur Rahman mengatakan bahwa permulaan gerakan sufi berhubungan dengan satu kelompok muslim yang senang melakukan pertapaan. Mereka senang membaca al-Quran dengan cara menangis. Mereka juga senang bercerita. Cerita-cerita mereka sangat mempengaruhi para pendengarnya. Akan tetapi, yang penting di sini adalah bahwa Nabi saw. – sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya – adalah seorang sufi. Demikian juga halnya para sahabat beliau. Hanya saja, waktu itu belum dikenal yang namanya tasawuf. Urutan Riyadhah-nya belum dikodifikasikan dan belum dibuat rumusan-rumusan.
Sekarang, tasawuf sudah menjadi berbagai tarekat, metode-metodenya sudah begitu teratur. Di zaman Rasul dan Sahabat, tasawuf belum seperti sekarang. Namun, pada esensinya, mereka sama dengan para sufi zaman-zaman selanjutnya.
Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu tasawuf dan apa itu tarekat. Konsekuensinya, kalau anda ingin mengambil tasawuf, pasti anda mengambil tarekat. Sebab, pengamalan tasawuf ada dalam berbagai tarekat.
Bila tasawuf hanya diartikan sebagai banyak berpuasa, tidak mau diajak korupsi, atau hanya diartikan sebagai suatu sikap keilmuan, orang tidak perlu ikut tarekat. Akan tetapi, bila tasawuf sudah mencapai pengertian riyadhah (latihan dengan menempuh berbagai tingkatan tertentu), orang harus mengambil tarekat. Harus ada bentuknya, apa pun namanya, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan sebagainya.
Hal ini penting bila anda menghadapi anggapan orang yang mengatakan bahwa tarekat atau tasawuf bukan ajaran Islam atau bid’ah. Anda dapat mengatakan bahwa, sebelum menjadi Rasul pun, Nabi Muhammad adalah seorang sufi. Para sahabat yang tinggal di shuffah pun tidak diusir oleh Nabi saw. Bahkan, Nabi saw meminta para sahabat lain untuk membantu memberi makan mereka.
Ajaran tawakal dalam al-Quran mendorong timbulnya tasawuf yang bercerita zuhud. Tawakal adalah penyerahan diri. Pentingnya pengalaman spiritual yang ditekankan dalam al-Quran juga memberikan pengaruh bagi timbulnya tasawuf. Menurut Fazlur Rahman, Nabi saw benar-benar diperintah oleh Allah menjadi Rasul tatkala beliau menyaksikan sesuatu melalui pengalaman-pengalaman spiritual. Jadi, kesadaran kerasulan justru dimulai dari pengalaman spiritual. Fazlur Rahman melihat ayat-ayat yang berisi hal-hal spiritual umumnya sebagai ayat-ayat yang diturunkan di Mekah. jarang dijumpai ayat-ayat Madaniyah yang berisi pentingnya pengalaman-pengalaman spiritual.
Menurut Rahman, kenyataan ini mengharuskan adanya dasar-dasar keyakinan dari dorongan pengalaman spiritual terlebih dulu yang kelak menjadi landasan bagi pembangunan umat Islam di Madinah.
Berkaitan dengan hal di atas, kita bisa membuat analogi, kalau anda mau jadi presiden atau ketua RW, misalnya, anda tentu harus mempunyai landasan yang kuat untuk pekerjaan itu. Kalau tidak, anda bisa oleng – kira-kira demikian. Pengalaman spiritual – termasuk sikap tawakal dan hidup sederhana – bermuara dari zuhud. Faktor paling dominan yang menyebabkan timbulnnya gerakan tasawuf adalah ajaran zuhud dalam Islam. gampangnya, zuhud berarti hidup sederhana.
Perkembangan tasawuf mempunyai makna yang khusus ketika muncul guru-guru sufi. Pada tahap pertama, berjalanlah tasawuf dalam arti zuhud dan ibadah-ibadah sunnah. Hal ini terjadi kira-kira sejak zaman Nabi saw. Tahap kedua, muncul guru-guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Mereka mengajarkan wirid dan tarekatnya.
Sebelum masa al-Ghazali pun, jenis-jenis tarekat sudah ada. Lalu ada perkembangan sangat berarti di zaman al-Ghazali yang berjalan cukup panjang. Pada masa itu, tasawuf sudah berbeda dari sebelumnya, karena sudah bercampur dengan filsafat.
Di kalangan Syi’ah, tradisi tasawuf kuat sekali, disertai dengan filsafat dan fikih ortodoks yang kokoh. Pikiran Syi’ah memang agak ganjil. Fikih Syi’ah kadang-kadang tampak rasional dan kadang-kadang tampak kaku sekali. Filsafat mereka juga kadang-kadang rasional sekali dan kadang justeru bercampur dengan irfan sehingga tidak tampak lagi ciri rasionalnya.
Kesimpulannya, bahwasanya tasawuf memang sudah ada sejak zaman Nabi saw, namun tidak dimodifikasi seperti pada saat ini. Jadi, bagi siapapun yang tidak sepaham dengan doktrin tasawuf, apalagi sampai berkata tasawuf bid’ah, berarti dia tidak membaca dan memetik intisari sejarah yang penuh hikmah dan arti.
Hamzah fansuri
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri
Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.
Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:

Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.

Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di bait 11:
Hamzah miskin orang terbebaskan,
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.

Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih
Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh Beliau:
La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”

Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.
Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”
Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:
Rahman itulah yang bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”

Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul “Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”

Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.
Oleh Ahmad Yulden Erwin
Pustaka:
A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.


 

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc