1. Status Ulama’ / Para Ilmuwan
Ulama’ (ilmuwan) adalah kepercayaan Para rasul
( قَالَ اَلْفَقِيْهُ ) أَبُوْ اَلْلَّيْثْ اَلسَّمَرْقَنْدِىُّ رَضِىَ الله ُ تَعَالىَ عَنْهُ وَاَرْضَاهُ حَدَّثَنَا اَلْحَاكِيْمُ أَبُوْ الْحَسَنِ عَلِىُّ بْنُ الْحُسَيْن حَدَّثَنَا اَلْحَسَنُ بْنُ اِسْمَعِيْلَ اَلْقَاضِىُّ حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ مُوْسَى حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ رُسْتَمْ حَدَّثَنَا حَفْصُ اْلاَثَرِ عَنْ اِسْمَعِيْلَ بْنِ سَمِيْعْ عَنْ أَنَسْ بِنْ مَالِكْ رَضِىَ الله ُ تَعَالىَ عَنْهُ قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْعُلَمَاءُ أُمَناَءُ الرُّسُلِ عَلىَ عِباَدِ اللهِ مَالَمْ يُخَالِطُوْ اَلسُّلْطَانَ وَيَدْخُلُوْا فِى الدُّنْيَا , فَاِذَا دَخَلُوْا فِى الدُّنْياَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فاَعْـتَـزِلُوْهُمْ وَاحْذَرُوْهُمْ .
( تَنْبِيْهُ اْلغَافِلِيْنْ ص 156 )
Telah berkata Al-Faqih Abu Al-laits As-Samarqondi RA. telah bercerita kepadaku al-Hakim Abul Hasan yaitu Ali bin Husain, telah bercerita kepadaku Al-Hasan bin Ismail al-Qodhi, telah bercerita kepadaku Yusuf bin Musa, telah bercerita kepadaku Ibrahim bin Rustam, telah bercerita kepadaku Hafs al-Atsari beliau menerima hadits dari Ismail bin Sami’, dari Anas bin Malik RA. dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda “ Ulama’ adalah seseorang yang dipercaya para Rasul untuk hamba-hamba Allah, selagi dia tidak berkumpul atau bercampur dengan pemerintahan dan selagi dia tidak mementingkan materi atau kepentingan duniawiyah, apabila seorang ulama’ itu lebih mementingkan materi atau kepentingan duniawiyah maka sesungguhnya dia telah menghianati para Rasul, maka dari itu segera pergilah kamu semua dan segera menjauhlah darinya.
Dari keterangan tersebut di atas dikatakan “ulama’ itu berhianat kepada Rasul kalau bercampur dengan pemerintah”, bukan berarti pemerintah itu jelek dan harus dijauhi, tetapi hal itu mengandung pengertian bahwa memang job-nya ulama’ dan job-nya pemerintah itu berbeda (sendiri-sendiri), jadi harus berjalan sesuai dengan rel-nya masing-masing, ulama’ dan pemerintah juga harus mengerti wilayahnya masing-masing, jangan sampai dicampur adukkan. Beda job, beda wilayah, beda penampilan tetapi tujuannya tetap sama, membangun dan mencerdaskan Bangsa.
Selain itu seorang ulama’ (kaum cendekiawan atau ilmuwan) dipercaya para Rasul adalah kepada semua hamba Allah, dalam arti harus melindungi dan mengayomi semua hamba Allah tanpa membeda-bedakan baik itu muslim maupun non muslim, dari partai ini maupun partai itu, dari golongan dan suku manapun semua harus diayomi, karena dalam hadits tersebut Nabi mengatakan عَلىَ عِباَدِ اللهِ bukan عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ dan juga tidak mengatakan عَلىَ اْلمُؤْمِنِيْنَ .
Jadi dari keterangan hadits tersebut semua manusia, baik yang beragama Hindu, Budha, Katholik, Kristen, Islam, Konghucu maupun yang beragama lain dan bahkan manusia yang baik maupun yang buruk semuanya adalah sama, yaitu sama-sama hamba Allah SWT. Maka dari itu Ulama’ harus mengayomi semuanya tanpa pilah-pilih karena seharusnya seorang ulama’ atau ilmuwan itu haruslah berkepribadian seperti halnya seorang sufi.

  1. Sikap dan Kepribadian Seorang Sufi
    Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama  Menurut Imam Junaidi al-Baghdadi
وَقَالَ جُنَيْدِيْ: اَلصُّوْفِيْ كَالاَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ وَلاَ يَخْرُجُ مِنْهَا إِِلاَّ كُلُّ مَلِيْحٍ وَقَالَ اَيْضًا: اَلصُّوْفِى كَالاَرْضِ يَطَئُوْهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَكَالسَّمَاء وَكَالسَّحَابِ ِ تُظِلُّ كُلَّ شَيْءٍ وَكَالْمَطَارِ يُسْقِى كُلَّ شَيْءٍِ . في الكتاب نشأة التصوف وتصريف الصوف ص 22 وكتاب جامع الأصول في الأولياء ص 329 .
Seorang sufi itu bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan maka ia akan selalu membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di atasnya berjalan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau mendung yang menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan yang menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih, [yang baik maupun yang buruk semuanya diayominya]”. Kitab Nasyatu at-Tashawuf wa tashrifu as-Shufi hal 22 dan Jaami’ al-ushul fii al-auliya’ hal 329.

          1. Aba Bakar al-Syibli dalam kitab Hilyatul Auliya' Hal 11 berpendapat:
قَالَ اَبَا بَكَرْ الشِّبْلِيْ: اَلصُّوْفِيْ, مَنْ صَفاَ قَلْبَه فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ اْلمُصْطَفَى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ اْلقَفَا، وَأَذَاقَ اْلهَوَى طَعْمَ اْلجَفَا. (كتاب حلية الاولياء ص:11)
Orang sufi itu adalah seseorang yang membersihkan hatinya maka bersihlah hatinya, dan mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa SAW. Serta tidak terlalu memikirkan perkara duniawi (lebih mementingkan masalah ukhrowi), dan menghilangkan keinginan hawa nafsunya.

          1. Dan menurut Aba Hammam Abd. Rohman bin Mujib as-Shufi:
سَمِعْتُ أَبَا هَمَّامْ عَبْدَ الرَّحْمنْ بِنْ مُجِيْب اَلصُّوْفِي وَسُئِلَ عَنِ اَلصُّوْفِيْ فَقَالَ: لِنَفْسِهِ ذَابِحٌ، وَلِهَوَاه فَاضِحٌ، وَلِعَدُوِّه جَارِحٌ، وَلِلْخَلْقِ نَاصِحٌ. دَائِمِ اْلوَجَلِ، يَحْكُمُ اْلعَمَلَ، وَيَبْعَدُ اْلأَمَلَ وَيَسُّدُّ اْلخِلَلَ، ويَغْضَى عَلىَ الزَّلَلِ، عُذْرُهُ بِضَاعَةٍ، وَحَزْنُهُ صَنَاعَةٌ وَعَيْشُهُ قَنَاعَةٌ بِالْحَقِّ عَارِفٌ وَعَلىَ الْبَابِ عَاكِفٌ وَعَنِ الْكُلِّ عَازِفٌ. (كتاب حلية الاولياء ص:11)
Ciri-ciri orang sufi itu adalah sebagai berikut ;

  1. Seseorang yang merasa dirinya hina

  2. Menahan dan memerangi hawa nafsunya

  3. Memberi nasehat kepada mahluk

  4. Selalu mendekatkan diri kepada Allah

  5. Berperilaku bijaksana

  6. Menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi dalam hal duniawi)

  7. Tidak mau mencela

  8. Mencegah perbuatan dosa

  9. Waktu luangnya digunakan untuk beribadah

  10. Susahnya sengaja di buat-buat (karena memang seorang sufi itu terhindar dari berbagai macam kesedihan dan kesusahan duniawiyah),

  11. Hidupnya sederhana

  12. Arif terhadap sesuatu yang benar

  13. Mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia.

      • Pembagian ciri-ciri kepribadian dan perilaku seorang sufi
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ. (كتاب رسالة القشيرية ص 126-127 )
Menurut Imam Qusyairi dalam kitabnya Risalah Qusyairiyah hal. 126-127 ciri-ciri kepribadian dan perilaku seorang sufi dibagi menjadi dua yaitu:

  • Seorang sufi as-Shodiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.

  • Seorang sufi al-Kadzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.
وَعَنِ النَّبِـىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سُئِلَ أَىُّ النَّاسُ شَرٌّ قَالَ اَلْعَالِمُ اِذَا فَسَدَ وَيُقاَلُ اِذَا فَسَدَ اْلعَالِمُ فَسَدَ لِفَسَدِهِ اْلعاَلَمُ .
( تَنْبِيْهُ اْلغَافِلِيْنْ ص 157 )
Dari Nabi SAW sesungguhnya beliau telah ditanya, “siapakah manusia yang jelek dan hina itu Ya Rasul? Rasul menjawab, Manusia yang hina itu adalah ulama’ yang rusak (ilmuwan yang tidak mengamalkan ilmunya) dan di katakan apabila seorang alim itu rusak maka alam semesta ini juga akan rusak karena disebabkan kerusakan para alim.

  1. Hukum Bai’at Masuk Thoriqoh
Membicarakan bai’at masuk thoriqoh, di kalangan masyarakat secara umum, masih banyak perdebatan. Satu kelompok beranggapan masuk thoriqoh itu pekerjaan ibadah orang-orang yang sudah tua umurnya dan sudah faham dan menguasai ilmu-ilmu syari’ah, dan kelompok lain berpandangan masuk thoriqoh itu tidak bergantung pada usia dan penguasaan ilmu-ilmu syari’ah, bodoh pun berhak untuk bai’ah masuk thoriqoh, dengan alasan kapan lagi seseorang dapat menyempurnakan iman dan keislamannya senyampang menunggu menguasahi ilmu-ilmu syari’ah secara mendalam. Kemudian bagaimanakah pandangan Ulama’ tentang hukum bai’ah masuk thoriqoh, apakah terkategori wajib, sunah, makruh atau mubah?
Tanpa memperpanjang perdebatan pro-kontra masyarakat secara umum tentang bai’ah masuk thoriqoh, Dalam konteks ini, Ulama’ memberikan pandangannya sebagai solusi dari persoalan tersebut. Pandangan solusif Ulama’ ini, bisa disimak dari keterangan kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah, hal. 81 dan keterangan kitab Al-Qowaid Al-Muhimmat ’Ala Masail At-Thoriqoh, hal. 2. sebagaimana di bawah ini :
فإن كان المراد بالدخول فى الطريقة هو النعلم بتزكية النفس عن الرذائل وتحلينها بالمماحد ففرض عين كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة الحديث. وكما فى الأذكياء, وتعلمن علما يصحح طاعة, البيت. وإن كان المراد به, هو الدخول فى الطريقة المعنبرة المخصوصة بالذكر والاوراد فمن سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. اما العمل بها بعد المبايعة فواجب لوفاء العهد. واما نلثينها للمريدين فمستحب لأن اسانيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم صحيحة كما فى المعارف المحمدية, ص 81
Untuk mengetahui dan memutuskan hukum bai’at masuk thoriqoh, perlu ditinjau ulang lebih dahulu faktor utama tujuan atau niat awalnya. Jika tujuan awalnya masuk thoriqoh itu belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah/hina dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia/terpuji, maka hukumnya bai’at masuk thoriqoh adalah fardlu ’ain. Sebagaimana hadits Nabi yang isinya diwajibkannya bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu. Dan begitu juga keterangan yang terdapat di kitab Adzkiya’ : ’ belajarlah dengan sungguh-sungguh suatu ilmu yang dapat menshohihkan keta’atan”. Sedangkan tujuan awal bai’ah masuk thoriqoh itu bertujuan untuk masuk thoriqoh yang mu’tabaroh yakni khusus dzikir dan membaca wirid-wirid, maka termasuk sunnah Rosulullah. Adapun melaksanakan dzikir setelah bai’at hukumnya wajib sebagai pemenuhan janji. Adapun mengajarkan dzikir pada para murid hukumnya mustahab, karena kesanadan thoriqoh itu sampai pada Rasulullah SAW”. (Al-Qowaid Al-Muhimmah ’Ala Masail Al-thoriqoh, hal. 2)
ونصه: صحت اسانيد الاولياء الى رسول الله صلى الله عليه وسلمفقد صح عان عليا رضى الله سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله دلنى على اقرب الطرق الى الله واسهلها على عباده وافضلها على الله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاتقوم الساعة وعلى وجه الارض من يقول الله اهـ . ولقوله تعالى: اوفوا بالعهد ان العهد كان مسئولا. اهـ
Sanad-sanad Auliya’ benar-benar sampai pada Rasulullah SAW. Begitu juga dipandang sah/benar pertanyaan Sayidina Ali ra. Tentang thoriqoh. ”sesungguhnya Sayidina Ali ra. bertanya kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah.. tolong tunjukkan pada saya suatu jalan yang lebih dapat mendekatkan diri pada Allah, memudahkan untuk beribadah padaNya dan termasuk lebih utama-utamanya ibadah disisiNya. Kemudian Rasulullah bersabda : ”Hari ahir takkan pernah terjadi di muka bumi, sepanjang masih ada orang yang berdzikir ”Allah”. (Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah, hal. 81).

  1. Hukum Melarang Orang Bai’at Masuk Thoriqoh
Sebagaimana pro-kontra pemaparan singkat tentang persoalan bai’at masuk thoriqoh diatas, ditambah lagi beredarnya pandangan bahwa thoriqoh adalah salah satu sebab kemunduran Islam, maka disebagian kalangan masyarakat, terjadi pelarangan untuk bai’at masuk thoriqoh. Kemudian, bagaimanakah hukum pelarangan bai’at masuk thoriqoh tersebut?
Dalam persoalan ini, Ulama’ berpandangan, pelarangan tersebut dihukumi haram dan jika orang yang melarang itu benar-benar ingkar pada kebenaran thoriqoh, maka orang itu dinyatakan kufur. Sebagaimana keterangan kitab Jami’ Usulil Auliya’, hal. 126. dan kitab Taqribul Ushul Lis Syaikh Zaini Dahlan, hal. 81.
ونصه: واياك ان نقول طريقة الصوفية لو تاءت بها كتاب ولا سنة فإنه كفر. فإنها كلها اخلاق محمدية وسيرة احمدية وسنن الهية اهـ (اصول الاولياء)
مانصه: وقال الشيخ ابو عثمان رضى الله عنه على رؤس الرشهاد. لعن الله من انكر على هذا الطريق ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل لعنة الله عليه. وكان يقول من اعترض هذا الطريق لايفلح ابدا. اهـ (تقريب الاصول للشيخ زينى دخلان)

  1. Hukum Membaca dan Mendengarkan Manaqib Syekh Abdul Qodir

  2. Hukum Jama’ah Khataman Al- Qur’an

  3. Hukum Menundukkan dan Menggerak-gerakkan Kepala Ketika dzikir

  4. Jabat Tangan Dicucup atau Dicium
Sering kita melihat seseorang ketika bertemu atau berjumpa dengan temanya, mereka saling berjabat tangan, trutama dilingkungan pondok pesantren. Etika ini juga dilakukan oleh santri terhadap orang tua, Kyai atau Guru mereka. Namun tidak hanya berjabat tangan, melainkan dengan mencium atau mencucup tangan mereka yang dipandang mulia.
Kadang hal ini dipandang sebelah mata oleh sebagian orang sebagai upaya pengkultusan. Bagaimanakah pandangan Agama terhadap perilaku jabat tanagan dengan cara mencium atau mencucup tangan?
عن ابي براء رضي الله عنه قال قال النبى صلى الله عليه وسلم ما من ملمين يلتقيان فيتصفحا الا غفر لهما قبل ان يتفرقا (رواهلترمذ ىوالحكيم)
apabila ada dua orang islam yang bertemu kemudian bersalaman, maka mereka mereka akan diampuni dosanya sebelum berpisah” (HR. Tirmidzi dan Imam Hakim)
ان كعباقبل يديه وركبيته عليه صلاة وسلام (روه ابن حبان)
Sesungguhnaya Ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi (HR. Ibnu Hibban)
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, dijelaskan bahwa; “disunnahkan mencium tangan Ulama’ kyai , ahli zuhud dan orang yang sudah tua. Budaya seperti itu sudahh ada sejak zaman Rasulullah, sebagai contoh: pernah sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat Umar, dan sahabat Ali mencium tangna sahabat Abbas”
Mencim tangan orang-orang yang mulia dan orang yang sudah tua merupakan perbuatan sunnah sebagaimana perilaku para sahabat pada zaman Rasulullah

  1. Jabat Tangan Dengan Selain Muhrim

    1. Tidak Boleh
Menurut jumhur ulama hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita lain (ghoiru muhrim) adalah tidak diperbolehkan, dengan alasan keterangan dari Siti Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. tidak pernah sama sekali berjabat tangan dengan perempuan kecuali dengan istri dan putri beliau. Hal ini diterangkan dalam kitab Hasiyah as-Showi ‘ala Syarhi as-Shaghir juz 11 hal.279.
قَوْلُهُ: [ وَلاَ تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ ]: أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ،
Dan keterangan di dalam kitab as-Sunan al-Kubra li an-nasa’i juz 5 hal 393.
أَخْبَرَناَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَ ناَ عَبْدُ الرَّزَّاقْ عَنْ مُعَمَّرْ عَنِ الزُّهْرِيْ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قالت مَا مَسَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا

    1. Makruh
Hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dengan perempuan lain menurut riwayat Ibnu Mansur secara mutlak adalah dihukumi makruh.
(وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ ) لِأَنَّهَا شَرٌّ مِنْ النَّظَرِ ، أَمَّا الْعَجُوزُ فَلِلرَّجُلِ مُصَافَحَتهَا عَلَى مَا ذَكَرَهُ فِي الْفُصُولِ وَالرِّعَايَةِ وَأَطْلَقَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَنْصُورٍ: تُكْرَهُ مُصَافَحَةُ النِّسَاءِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مِهْرَانَ: سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الرَّجُلِ يُصَافِحُ الْمَرْأَةَ قَالَ: لَا ، وَشَدَّدَ فِيهِ جِدًّا قُلْت: فَيُصَافِحهَا بِثَوْبِهِ قَالَ: لَا قَالَ رَجُلٌ: فَإِنْ كَانَ ذَا رَحِمٍ قَالَ: لَا قُلْت: ابْنَتُهُ قَالَ: إذَا كَانَتْ ابْنَتُهُ فَلَا بَأْسَ وَالتَّحْرِيمُ مُطْلَقًا اخْتِيَارُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ وَيَتَوَجَّهُ التَّفْصِيلُ بَيْنَ الْمُحَرَّمِ وَغَيْرِهِ ، فَأَمَّا الْوَالِدُ فَيَجُوزُ قَالَهُ فِي الْآدَابِ .

Keterangan kitab Kasyfu al-Qona’ ‘an matan al-Iqna’ juz 4 hal. 467 dan juga dijelaskan dalam kitab al-Adab as-Syar’iyah juz 2 hal. 360.

    1. Mubah
Menurut Imam al-Adzro’i “orang laki-laki boleh memijit paha teman laki-lakinya dengan syarat menggunakan tirai atau perantara, dan dipastikan aman dari fitnah”. Dan dari pendapat Imam al-adzro’i itulah diambil hukum bahwa berjabat tangan antara kaum laki-laki dengan perempuan lain adalah boleh dengan syarat dengan adanya hajat (untuk penghormatan), dan harus menggunakan perantara satir (kaos tangan) walaupun sudah aman dari fitnah dan sudah tidak adanya syahwat. Diterangkan dalam Tukhfah al-Mukhtaj fi Syarkhi al-Minhaj juz 29 hal.239. versi Maktabah Syamilah:
( وَيَحِلُّ نَظَرُ رَجُلٍ إلَى رَجُلٍ ) مَعَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ بِلَا شَهْوَةٍ اتِّفَاقًا ( إلَّا مَا بَيْنَ سُرَّةٍ وَرُكْبَةٍ ) وَنَفْسِهِمَا كَمَا مَرَّ فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ مُطْلَقًا وَلَوْ مِنْ مَحْرَمٍ ؛ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَاهِقَ كَالْبَالِغِ نَاظِرًا أَوْ مَنْظُورًا، وَيَجُوزُ لِلرَّجُلِ دَلْكُ فَخِذِ الرَّجُلِ بِشَرْطِ حَائِلٍ وَأَمْنِ فِتْنَةٍ وَأُخِذَ مِنْهُ حِلُّ مُصَافَحَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مَعَ ذَيْنِك وَأَفْهَمَ تَخْصِيصُهُ الْحِلَّ مَعَهُمَا بِالْمُصَافَحَةِ حُرْمَةَ مَسِّ غَيْرِ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ وَلَوْ مَعَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ وَعَدَمِ الشَّهْوَةِ وَعَلَيْهِ فَيُوَجَّهُ بِأَنَّهُ مَظِنَّةٌ لِأَحَدِهِمَا كَالنَّظَرِ وَحِينَئِذٍ فَيَلْحَقُ بِهَا الْأَمْرَدُ فِي ذَلِكَ وَيُؤَيِّدُهُ إطْلَاقُهُمْ حُرْمَةَ مُعَانَقَتِهِ الشَّامِلَةِ لِكَوْنِهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ

Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul ‘alil juz 9 hal 436 dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa berjabat tangan dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat tangan denganku (Rasulullah)”. Dari sinilah diperbolehkan berjabat tangan kepada para alim bagi yang meyakini sabda Rasulullah tersebut walaupun seorang perempuan, bocah atau budak wanita.

فَصْلٌ " لاَ تَفْتَرِقُ كَفَّا مُتَصَافِحَيْنِ فِي اللَّهِ حَتَّى تَتَنَاثَرَ ذُنُوبُهُمَا كَالْوَرَقِ " رُوِيَ ذَلِكَ ، وَأَنَّهُ " مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي " ، وَجَازَتْ مُصَافَحَةُ مُوَحِّدٍ وَإِنْ أُنْثَى أَوْ صَغِيرًا ، أَوْ رَقِيقًا إنْ لَمْ يَكُنْ كَبَاغٍ .

  1. Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim
Yang dimaksud ummat yahudi adalah ummatnya Nabi Musa. Yang dimaksud ummat Nasrani adalah umatnya Nabi Isa.
Dalam hal memberi salam pada ummat yahudi dan Naranipara Ulama’ berbeda pandangan mengenai hal ini;

  1. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa memberi salam pada oarang yahudi dan Nasrani itu tidak boleh.
روى عن سهل بن ابى صالح عن ابيه عب ابى هريرةرضى الله عنه النبى صلى الله عليه وسلم قالل لاتبدوااليهودى وانصارالسلامواذالقوكم قلى الطريف فاضروهمالى ضيقها
diceritakan dari Sahl bin Abi Sholeh, dari ayahnya, dari Abu hurairah rabahwa Nabi bersabda: ‘jangan mendahului memberi salam pada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan ketika kamu nertemu dijalan, maka bersegeralah kejalan yang lebih sempait”.
Diceritakan dari Abdilah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar ra Nabi bersabda; ‘Ketika orang Yahudi dan orang Nasrani mendahului memberi salam kepada kamu, maka jawablah ‘alaikum dan jangan ditambah’”

  1. Sebagian Ulama’ bahwa memberi salam kepada orang Yahudi dan orang Nasrani hukumnya boleh, tidak apa-apa.
Diceritakan dari Abi Umamah al-Bahali, sesungguhnya dia tidak pernah bertemu dengan orang Yahudi kecuali dengan memberi salam pada mereka. Abu Umamah berkata: rasulullagh memerintah kepada kita supaya memberi salam kepada kita supaya menebar salam kepada setiap orang Islam dan orang kafir mu’ahad (orang kafir yang berjanji kepada pemerintah akan tunduk dan patuh pada undang-undang negara)

  1. Mengucapkan Salam Dengan Selain Bahasa Arab
Ucapan salam sering kita dengar di suatu acara atau setiap kali bertemu teman atau saudara, namun salam yang diucapkan itu selain bahasa arab seperti dengan bahasa jawa, indonesia atau inggris.
Bagaimanakah pandangan fiqh mengenai ucapan salam selain bahasa arab?

  1. Tidak sah dan tidak wajib dijawab

  2. Sah dan wajib dijawab salamnya
Keterangan kitab Al-Majmu’, Juz 4 hal 599 ;
حَكَى الرَّافِعِى فِي السَّلاَمِ بِالْعَجَمِيَةِ ثَلاَثَةَ أَوْجُهٍ اَحَدُهَا لاَ يُجْزِئُ وَالثَّالِثُ إِنْ قُدِرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يُجْزِئُهُ وَإِلاَّ فَيُجْزِئُهُ وَالصَّحِيْحُ بَلْ الصَّوَابُ صِحَّةُ سَلاَمِهِ بِالْعَجَمِيَةِ وَوُجُوْبُ الرَّدِّ عَلَيْهِ إِذَا فَهَّمَهُ الْمُخَاطَبُ سَوَاءٌ عُرِفَ الْعَرَبِيَّةُ اَمْ لاَ ِلأَنَّهُ يُسَمَّى تَحِيَّةً وَسَلاَمًا وَاَمَّا مَنْ لاَ يَسْتَقِيْمُ نُطْقَةً بِالسَّلاَمِ فَيُسْلِمُ كَيْفَ اَمْكَنَهُ بِاْلإِتِّفَاقِ ِلأَنَّهُ ضَرُوْرَةٌ إهـــ مجموع جزء 4 ص 599

Artinya: Imam Rofi’i menceritakan tiga pendapat tentang salam menggunakan bahasa selain arab, 1. Tidak cukup, 2. Cukup, 3. Jika mampu menggunakan bahasa arab maka tidak cukup, tetapi kalau tidak bisa maka cukup, sedangkan pendapat yang shahih bahkan benar salam sah menggunakan bahasa apa saja selain bahasa arab dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa dipahami maksudnya baik yang mengucapkan salam bisa bahasa arab atau tidak bisa, karena salam selain bahasa arab bisa disebut sebagai penghormatan dan ucapan selamat, sedangkan bagi orang yang tidak mampu mengucapkan salam maka para Ulama sepakat baginya tetap disunahkan salam sebisanya karena Darurat.
Penjelasan:
Ucapan “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” sebagai tanda penghormatan dan ucapan selamat, demikian pula ucapan salam dengan menggunakan berbagai bahasa yang bisa dimengerti, bahkan orang yang tidak mampu mengucapkan salam disunahkan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

  1. Berdiri Untuk Menghormati Seseorang

  1. Panggilan Sayyidina, Tuan, Baginda, Gus, Raden dll
Banya cara dalam upaya memuliakan dan memberi penghormatan pada orang lain, misalnya panggilan agus aytau bagus bagi putr kyai, Raden ageng,pengeran bagi keluarga raja. Begitu pula panggilan Sayyid artinya tuan besar. Bagi kalangan NU sering lafadz sayidina diucapkan tatkala menyebut nama Nabi dan para sahabatnya.
Penyebtan ”Sayidina” pada Nabi Muhamad bertujuan meberikan penghormatan, dan lebih bersopan santun kepada Nabi Muhammad SAW., maka hukumnya boleh bahkan dianjurkan sebagaimana keterangan berikut.
عن ابى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انا سيد شفع وولدادم يوم واول من ينثق عنه القبرواول اول مشفع (صحيح مسلم,
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrob (katanya): ’Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat ( yang datang)dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi dari keturunan orang- orang sholeh”. (QS. Ali Imron:39)
الاولى ذكرالسيادةلافشل سلوك الادب
Aku adalah sayyid bagi manusia dihari kiamat dan orang yang pertama kali bangkit dari alam kubur, pertama kali pemberi syafa’at”. (Shahih Muslim: [4223])
Yang pertama kali menyebut Sayyid karena lebih utama dengan jalan sopan santun”. (al Bajuri, Juz 1. hal 156)

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc