WALI SONGO DAN FAHAM AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

oleh: Sutrisno
A. WALI SONGO DAN ISLAM DI INDONESIA
Walisongo atau Walisango dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad 15 - 16. Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan (Jatim), Demak, Kudus, Muria (Jateng) dan CirebonJawa Barat.

Era Walisongo adalah era berahirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan bentuk akulturasi-asimilasi kebudayaan Islam-Nusantara. Mereka adalah simbol penyebaran Islam Indonesia khususnya Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan, namun mereka yang sangat berperan besar dalam mendirikan kerajaan dan peradaban di Jawa dan Nusantara pada umumnya. Pengaruhnya terhadap kebudayaan dan peradaban masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung yang seiring dengan kebutuhan pada pencerahan masyarakat pada masa itu, membuat para Walisongo lebih banyak disebut dan dikenal dibanding yang lainnya.

Walisongo Sebagai Pembawa Rahmat Nusantara
Para walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Nusantara terutama Jawa mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga kepemerintahan.

Apa yang telah diukir Walisongo di Nusantara merupakan hasil sejarah. Sejarah bukanlah penggalan waktu yang diam. Sejarah merupakan rangkaian waktu yang saling mempengaruhi. Masa kini dipengaruhi masa lalu, sedangkan masa depan dipengaruhi masa kini dan masa lalu. Islam bisa besar saat ini, tentu karena perjuangan panjang di masa lalu. Islam juga akan tetap besar di masa mendatang, jika mulai sekarang kita torehkan tinta emas. Ingat..! Sejarah yang bernilai adalah sejarah yang menjadi mata air generasi, tak akan lapuk oleh waktu dan tak akan usang oleh zaman. Nah, sebagai proses menumbuhkan kesadaran bersejarah, mari kita menengok sebentar sejarah dan pola penyebaran Islam di Nusantara oleh Para Walisongo.

    1. Masuknya Islam ke Indonesia
Dalam litelatur sejarah, proses penyebaran Islam di Nusantara berbeda dengan kawasan-kawasan lainnya, seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa, dsb. Yang banyak diwarnai oleh kekerasan dan bahkan peperangan yang silih berganti dan berkepanjangan. Proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung dengan damai dan sukarela.

Para Mubalighin (Walisongo) yang mula-mula sebagian besar mrangkap sebagai pedagang, menyampaikan Islam dengan penuh keramahan, kedamaian dan kebijaksanaan, kemudian diterima oleh penduduk kawasan ini dengan sukarela, tanpa perlawanan – apalagi kekerasan. Mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai kepentingan untuk menolak agama baru ini, bahkan cenderung berkepentingan menerimanya untuk meningkatkan kualitas diri mereka sebagai manusia.
Kedamaian dan kesukarelaan ini yang menyebabkan Islam yang berkembang di Indonesia menemukan wajahnya kembali secara utuh sebagai agama Rahmatan Lil ’Alamin, sebagaimana firman Allah SWT :

Sungguh, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) , kecuali sebagai rahmat (cinta kasih) bagi seluruh alam”. (Q. Al-Anbiya’. 107).

Rosulullah pernah bersabda :

المسلم من سلم الناس من يده ولسانه

Seorang muslim (yang baik) adalah orang yang orang lain selamat dari (kerugian yang timbul karena) tangannya (perbuatan) dan lisannya (kata-katanya)”.

Dalam sejarah Indonesia, tidak pernah terjadi peperangan yang benar-benar karena agama. Kalau toh terjadi tindak kekerasan antar pemeluk agama yang berbeda, biasanya karena sebab-sebab di luar agama (yang kemudian diagamakan).

Islam yang Rahmatan Lil ’Alamin inilah yang merata dianut oleh kaum muslimin Indonesia sejak awal, berabad-abad yang lalu. Sampai sekarang, pada dasarnya kaum muslimin Indonesia berwatak seperti itu. Kalau ada penyimpangan, maka hal itu hanyalah bersifat sementara karena adanya semacam gangguan sporadis.

  1. Pola Penyebaran Islam di Indonesia.
Penerimaan Islam di Indonesia yang bernuansa damai ini disebabkan pola dan pendekatan para penyebarnya (Walisongo). Berbicara pola penyebaran Islam oleh Walisongo, ada beberapa bentuk yang dapat diketahui, sebagaimana berikut :


  1. Pola Ekonomi
Dilihat dari awalnya, para pedagang muslim hanya memiliki misi ekonomi. Namun, setelah melihat Indonesia yang belum tersentuh ajaran Islam, para pedagang muslim ini terpanggil untuk berdakwah. Satu persatu masyarakat pribumi tertarik Islam. Sehingga, dalam waktu yang relatif singkat kawasan pesisir menjadi pusat perdagangan yang berbasis muslim. Hal ini, dapat diterima dan berkembang dikarenakan :


    • Ajaran Islam sangat luwes, sehingga dapat diterapkan pada semua kebutuhan dan kondisi.

    • Ajaran Islam sejalan dengan semangat perdagangan.

    • Islam menjadi wadah baru yang mempersatukan perniagaan mereka (komunitas perdagangan).

  1. Pola Sosiologis.

Pola pendekatan sosiologis ini bisa dilihat dari proses sosialisasi para mubalig yang notabene adalah pedagang. Para mubalig ini, memilih pendekatan secara emosional dengan penduduk pribumi dengan lewat pernikahan, anjangsana dan penabiban serta membangun komunitas (perkampungan) . Lewat jalur inilah yang dinilai sangat berhasil karena merupakan pola pendekatan yang sangat kompromistik, humanis dan jauh dari konflik dan pertikaian.


  1. Pola Budaya

Pada masa-masa awal penyebaran Islam, seni merupakan salah satu media yang cukup efektif dalam berdakwah. Alasan penggunaan seni sebagai media dakwah diantaranya :


    • Kesenian sudah mengakar di masyarakat tanpa mengenal status sosial, sehingga Islam menjadi lebih akrab dalam keseharian masyarakat.

    • Bahasa seni merupakan bahasa yang simpel dan fleksibel (luas-luwes), sehingga dakwah mudah dicerna oleh masyarakat.
    • Masyarakat tidak tercerabut dari akar budayanya, sehingga Islam diterima dengan terbuka karena ajaran Islam dirasakan akomodatif, toleran dan cocok terhadap adat istiadat yang sudah mengakar di masyarakat.


  1. Kontribusi Walisongo

Para Walisongo melakukan dakwahnya dengan sangat tekun dan berwawasan Rohmatan Lil ’Alamin, sehingga mereka mampu memahami kondisi sosial dan kultur masyarakat Nusantara. Dibawah ini adalah beberapa bentuk budaya lama yang diakomodasi oleh para wali sebagai khazanah budaya yang agung dan luhur untuk dilestarikan dan sebagai bahan perenungan kita bersama, misalnya :

    1. Pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga. Namun, fungsinya hanya sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdo’a dengan harapan do’a dapat dilaksanakan dengan lebih khusu’.

    2. Dalam bidang aqidah, Sunan Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan ini sebagai bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat setempat yang sebelumnya menganut agama hindu. Dalam keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikramatkan.

    3. Dalam bidang seni bangunan, para wali mengadopsi bentuk atap masjid yang tersusun tiga, yang merupakan peninggalan tradisi hindu. Namun, para wali memberi pemaknaan baru terhadap bentuk atap tersebut sebagai simbolisasi iman, islam dan ihsan.

    4. Para Walisongo menghargai, menghormati dan bahkan melestarikan seni-budaya dengan tetap memasukkan unsur-unsur ajaran Islam sebagai nilai dan nafasnya., Semisal wayang oleh Sunan Kalijaga dan para wali lainnya menciptakan gamelan dan gending-gending jawa.

    5. Dalam bidang pendampingan dan pemberdayaan masyarakat bawah, semisal kursus-kursus bagi para pedagang, nelayan dan masyarakat kecil lainnya dilakukan oleh Sunan Muria. Dll. Wallahu A’lam Bisshowab.



      1. FAHAM ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DAN HALUAN BERMADHAB
Islam adalah agama Allah SWT, yang diwahyukan (disampaikan sebagai wahyu) kepada Nabi Muhammad Rasulallah SAW kemudian diteruskan kepada para Sahabat, dengan dua perwujudan: Al-Quran dan Al-Hadist. Sahabat adalah generasi pertama penganut Islam yang menerima ajaran, bimbingan, dan pengawasan melaksanakan ajaran-ajaran tersebut – langsung dari Rasulallah SAW bersama para Sahabat, sebagaimana disebut dalam sebuah hadist:
مَا اَنَا عَلَيْهِ وَ اَصْحَابِ
Apa yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”
(atau dengan kata lain : ajaran dan pengamalan Sahabatnya) adalah yang paling sempurna. Maa Ana ’Alaihi Wa Ash-habii itulah ajaran Assunah Wal Jama’ah, yang para penganutnya disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Jelas, bahwa para Sahabat adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian, bagaimana kaum muslimin sesudah zaman Sahabat yang tidak berada pada zaman maa ana ’alaihi wa ash-habii?. Menganai hal ini, kita kembali kepada dasar keyakinan (keimanan) kita bahwa Islam adalah agama yang sempurna, benar dan lengkap. Segala hal diatur oleh Islam, meskipun tidak selalu rinci dan kaku. Bahkan kesempurnaan Islam terletak pada keluwesannya, kelenturannya mengatur segala sesuatu :

  1. ada yang diatur dengan ketat dan rinci

  2. ada yang diatur dengan longgar dan lentur, dengan kadar kelenturan dan kelonggaran yang berbeda.
Umumnya, hal –hal yang bersifat ibadah mahdlah (ritual) diatur secara ketat dan rinci, sedang hal-hal yang bersifat mu’amalah (sosial) diatur secara lentur – sekali lagi dengan kadar ketaatan dan kelenturan yang berbeda.
Islam pada era Rasulallah SAW dan para Sahabat, ana ’alaihi wa ash-habii itu adalah Islam yang standar, yang baku. Tetapi karena Islam itu untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang zaman, maka yang standart, yang baku itu, sebagian harus dapat dikembangkan secara terkendali supaya tidak kehilangan standar, tidak kehilangan kebakuan.
Tentu pengembangan secara terkendali itu sangat tidak mudah, memerlukan persayaratan yang berat, baik mengenai pelaku pengembangannya maupun proses, prosedur dan metode yang dipergunakan. Pengembangan terkendali itulah yang lazim disebut dengan istilah ijtihad, pegerahan daya-fikir untuk menemukan pendapat agama tentang hal-hal baru yang tidak disebut secara jelas dan tegas (sharih) di dalam Al-Quran dan Al-Hadist, tetapi tetap selalu pada garis ajaran Al-Quran dan Al-Hadist.
Rasulallah SAW pernah menguji Sahabat Mu’adz bin Jabal RA, ketika akan diutus ke Yaman untuk mengajar umat Islam di sana.
Berdasarkan apa, ajaran yang akan anda sampaikan?”
berdasarkan kitabullah” jawab Sahabat Mu’adz.
kalau anda tidak menemukan dasarnya dikitabullah?”
dengan dasar Sunnatu Rasulillah”
kalau anda tidak menemukan dasarnya di Sunnah Rasulillah?”
saya akan berijtihad dengan pikiranku”.
Rosulullah SAW membenarkan jawaban-jawaban Sahabat Mu’ad tersebut. Ingat, yang dibenarkan ijtihad adalah tokoh yang setingkat sahabat Mu’ad, tidak sembanrangan orang. Memang, ijtihad adalah satu-satunya pintu pengembangan ajaran Islam, tetapi tidak semua orang mampu melewatinya.
Sejak zaman Sahabat sampe pada Tabi’in dan Tabi’uttabi’ian banyak muncul tokoh-tokoh yang mampu berijtihad, meskipun tingkat ijtihad mereka berbeda-beda. Ada yang mampu berijtihad mengenahi satu dua masalah saja, ada yang mampu berijtihad untuk merinci hasil ijtihad tokoh lain, ada yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan oleh mujtahid lain,dsb.
Yang tertinggi tingkatnya diantaranya para mujtahid itu adalah tokoh mujtahid yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan (dirumuskan) sendiri. Mujtahid setingkat ini, lazim disebut dengan istilah Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Mujtahid setingkat ini tidak banyak jumlahnya. Yang paling terkenal karena metode ijtihadnya dan hasil-hasilnya dicatat dengan baik oleh para murid dan pengikutnya adalah Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hambali – meskipun mujtahid mutlaq tidak hanya empat Imam tersebut. Banyak tokoh-tokoh lain yng setingkat, tetapi tidak seterkenall mereka karena methode dan hasil-hasil iktihadnya tidak setertib yang empat itu dicatat oleh para murid dan pengikutnya.
Para Mujtahid Mutlaq Mustaqil itulah yang disebut Pendiri Madhab, yang artinya juga yang merumuskan ”metode” memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mengambil kesimpulan (istinbath) dari keduanya. Sebagai perwujudan sikap hati-hati (ihtiath) Pesantren mayoritas yang ada di Nusantara (Pesantren Nahdlatul Ulama’) sebagai representasi generasi Walisongo memilih salah satu dari empat madzhab yang dibangun oleh Imam Madzhab tersebut.
Bermadzhab dalam arti mengikuti metode pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk mendapat kesimpulan pendapat (istinbath) adalah satu-satunya kendali di dalam pengembangan ajaran Islam yang baku dan standart tersebut supaya hasil ijtihadnya dapat menjadikan Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman, tanpa menyimpang dari garis standart itu.
Bermadzhab yang semula berarti mengkuti metode ijtihad itu berkembang berarti juga mengikuti hasil-hasil ijtihad tokoh Mujtahid tertentu. Dalam konteks ini, maka muncul istilah yang dikenal dengan ”Bermadzhab Manhaji” dengan arti mengikuti metode ijtihad dalam istinbath hukum, dan istilah ”Madzhab Qouli” dalam arti mengikuti qoul (pendapat) atau hasil ijtihad untuk refrentif istinbath selanjutnya.
Sesungguhnya setiap orang itu bermadzhab, baik manhaji maupun qouli, menurut kemampuannya masing-masing. Kalau tidak bermadzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi atau Hambali, mungkin bermadzhab Wahabi, Moh Abduh, Fadlur Rohman atau lain-lain.
Barangkali, betapa mustahilnya kalau seseorang akan melakukan sholat, harus membuka dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang bagaimana niat, adab, tata cara sholat dsb. Yang praktis (mungkin dilaksanakan) adalah bersholat dengan mengikuti rumusan tata cara sholat yang termaktub dalam kitab/ buku. Kebanyakan penyusun buku petunjuk sholat inipun belum sampai ke tingkat mujtahid – dia hanya m mengikuti pendapat guru-gurunya atau kiai-kiainya.
Bermadzhab dengan baik adalah sesuatu yang alami, yang thabi’i, yang wajar dilakukan oleh semua orang. Bermadzhab bukan martabat yang rendah. Bermadzhab tidak selalu harus dipertentangkan dengan berijtihad. Dua-duanya berangkai dengan proporsional.
Faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Islam yang standar yang harus dikembangkan untuk menjadi panutan manusia di mana saja dan kapan saja. Pintu mengembangkan itu adalah Ijtihad yang terkendali dan kendali itu adalah Haluan Bermadzhab.
Mayoritas Ulama, Indonesia berpendirian bahwa Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter sebagaimana berikut ini :

  1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini Pesantren dan Ulama’nya akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

  1. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

  1. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmat, menyerasikan kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidup. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

  1. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Sikap- sikap dasar (tawasuth, i’tidal, tawazun dan tasamuh) serta dorongan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai bentuk kepekaan sosial ini dirasa sangat penting bagi Pesantren dan Ulama’nya sebagai pewaris Walisongo. Sikap ini bersumber dari ajaran Islam dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia pada umumnya. Wallahu A’lam Bissowab.

    1. BID’AH DALAM PANDANGAN ULAMA’
Diskursus bid’ah seakan-akan menjadi momok dalam sepanjang sejarah Islam yang dimulai dari adanya firqoh-firqoh dalam Islam sampai sekarang ini. Sehingga perkembangan keberagamaan belakangan ini masih menunjukkan begitu tingginya tensi tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu dengan dalih bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya adalah agen pelaku bid’ah, sehingga mereka tersesat dan berhak masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding justru kelompok lainlah yang mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya bid’ah itu? Dan apakah benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif, sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?.
Menurut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam, bid’ah adalah :
البدعة فعل مالم يعهد فى عصر رسول الله صلى الله عليه و سلم (قواعد الاحكام فى مصالح الانام .ج ص )
Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW”. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II hal. 172).
Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bid’ah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayi’ah (jelek). Lebih lanjut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam secara terperinci menjelaskan bahwa sebagian besar Ulam’ membagi bid’ah menjadi lima macam, yaitu :

  1. Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’, seperti mempelajari ilmu Nahwu, Shorof dan Balagoh. Sebab, hanya dengan mempelajari ilmu-imlu inilah seseorang dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara sempurna.

  2. Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tidak pernah dilakukan pada masa Rosulullah SAW. Misalnya sholat tarawih secara berjama’ah, mendirikan pesantren dan madrasah.

  3. Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah sholat dan makan-makanan yang lezat.

  4. Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’.

  5. Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II. Hal. 173).
Sedangkan secara garis besar , Ulama’ membagi bid’ah menjadi dua bagian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i :
المحدثات ضربان ما احدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهده بدعة الضلال و ما أحدث من الخير لايخالف شيأ من ذلك فهى محدثة غير مدمومة (فتح البارى,ج. ص )
Susuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, atsar Sahabat atau ijma’ Ulama’. Semacam ini dinamakan Bid’ah Dlalallah (sesat). Kedua, Jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’ para Ulama’ maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak sest (Bid’ah Hasanah). (Fathul Al-Bari’, Juz XVII, h. 10).
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua bagian. Yaitu : pertama , Bid’ah Hasanah, yakni bid’ah yang tidak terlarang dalam agama, karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah dan bid’ah mubahah. Dalam konteks inilah fatwa Sayyidina Umar bin Khotob ra. Tentang jama’ah sholat tarawih yang beliau laksanakan :
نعمة البدعة هذه. (تاموطأ, رقم 231)
Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muwaththa’, h. 231)
Selain fatwa Syyidina Umar tentang sholat tarawih berjama’ah yang termasuk sebagai kategori bid’ah khasanah adalah khutbah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia , membuka sesuatu acara dimulai dengan membaca basmalah dibawah seorang komando, menambah bacaan Subhanallahu Wata’ala yang disingkat dengan SWT setiap ada kalimat Allah, dan Sholallahu ’Alaihi Wassallam yang disingkat SAW setiap ada kata Muhammad serta bentuk perbuatan lain yang belum pernah ada pada masa Rosulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Kedua, Bid’ah Sayyiah (Bid’ah Dlolalah), yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharromah dan Makruhah dapat digolongkan pada bagian kedua ini. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
عن عائسة رضي الله عنها قالت ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه امرنا فهورد. (صحيح مسلم, رقم 243)
Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rosulullah Saw bersabda : ”Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tida perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shohih Muslim, h. 243).
Dengan pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan relevan disetiap waktu dan tempat. Meminjam istilah Gus Dur ”Islam dapat membumi” tidak melangit, sehingga Islam tidak ditinggalkan oleh umatnya. Wallahu A’lam Bisshowab.



    1. PENERAPAN HUKUM FIQIH DALAM KONTEKS KE-INDONESIAAN
Muslim Indonesia dilihat dari latar sejarah dan latar budayanya berbeda jauh dengan Mslam ala Timur Tengah dan lainnya. Muslim-Indonesia hidup bersama dalam bingkai pluralitas atau kemajemukan yang penuh menjunjung tinggi toleransi dan kebhenekaan dalam payung Pancasila. Tatanan hukumnya juga berdasarkan pada hukum yang berdasarkan asas Pancasila dan UUD 45. Dalam konteks ini, Muslim Indonesia menerapkan dan mengikuti sistem hukum ganda. Dalam tatanan hukum pemerintahan mengikuti tatanan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai wujud keta’atan warga negara yang nasionalis dan patriotis yang ta’at pada hukum sebagai manifestasi jihah wathoniyah (ta’at li ulil ’amri), sedangkan dalam tatanan hukum agama, Muslim Indonesia mengikuti tatanan hukum syari’ah sebagaimana haluan madzhab yang diikutinya.
Dengan demikian, setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) dituntut untuk melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun, kita sadari bahwa setiap masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan baik fisik maupun keimanannya, bagaimanakah penerapan hukum agama melihat kenyataan seperti itu?
وكما لايجوز لنا الطعن فيما جاءت به الأنبياء مع اختلاف شرائعهم فكذلك لايجوز الطعن فيما إستنبطه الائمة المجتهدون بطريق الاجتهاد والاستحسان ويوضح لك ذلك أن تعلم ياأخى أن شريعة جاءت من حيث الأمر والنهى على مرتبتى تحفيف وتشديد لاعلى مرتبة واحدة كما سيأتى إيضاحه فى الميزان فإن جميع المكلفين لايخرجون عن القسمين: قوى وضعيف من حيث ايمانه اوجسمه فى كل عصر وزمان. فمن قوى منهم خوطب بالتشديد والاخذ بالعزائم ومن ضعف منهم خوطب بالتخفبف والاخذ بالرخص (الميزان الكبر ص 3)
Sebagaimana tidak diperbolehkan mencela perbedaan diantara syari’at-ayari’at yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperbolehkan mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para Imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun ihtihsan, Saudaraku !! lebih jelasnya engkau perlu mengerti, bahwa syari’at itu dilihat dari perintah dan larangannya dikembalikan pada dua kategori yaitu ringan dan berat. Lebih jelasnya hal itu dicantumkan dalam Al-Mizan. Dengan demikian orang-orang mukallaf itu dipandang dari segi keimanan dan fisiknya, dalam setiap zamannya, tidak terlepas dari dua kategori, yaitu orang yang lemah dan kuat. Dan barangsiapa tergolong kuat, maka ia mendapatkan khitob berupa qaul yang galak (berat), sedangkan bagi yang tergolong lemah, maka ia mendapatkan khitoh berupa qaul yang gampil (ringan). (Al-Mizanul Al-Kubro, h. 3).
Penerapan hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi semacam ini, akan mencerminkan penerapan hukum yang memberikan solusi problem umat dan berwawasan rahmatan lil alamin sebagai bentuk manifestasi “perbedaan Ulama’ adalah rahmat”. Wallahu A’lam Bisshowab.
 

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc