Pendekatan Metodologi Studi Islam dalam Konflik Budaya
Prologue
Indonesia, dengan puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Meraoke, setidaknya mempunyai 17.000 pulau yang ada di wilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang dihuni maupun yang tidak, menempatkan Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki kepulauan terbesar di dunia. Dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia juga adalah sebuah negara yang memiliki beragam budaya dan adat istiadat.1
Keragaman budaya itu menghasilkan tradisi sosial, kebiasaan serta karya-karya seni yang amat kaya dalam berbagai bentuk. Mulai dari alat musik, nyanyian, tari-tarian, pakaian, bahasa, permainan, bentuk bangunan, makanan dan berbagai hasil seni budaya lainnya.2
Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia Tenggara secara geopolitik, geoekonomi, dan geokultural juga merupa-kan pewaris utama peradaban-peradaban dan agama-agama besar. Agama-agama itu datang, tumbuh berkembang, meng-alami transformasi, tanpa konflik yang berarti, tidak sebagai-mana di wilayah di Asia Selatan, Asia Barat dan Timur Tengah.
Peradaban-peradaban besar yang saling bertemu dan ber-interaksi, berdialog dan membentuk peradaban baru yang unik, yakni peradaban India, Cina, Arab, Persia dan Eropa. Ber-samaan dengan itu peradaban-peradaban besar bertemu dengan kepercayaan dan agama-agama besar Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Konfusianisme. Kebudayaan tersebut ter-bentuk oleh interaksi dan perpaduan peradaban-peradaban dan agama-agama besar tersebut, dengan ramuan tradisi lokal masing-masing etnik yang ratusan jumlahnya.
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang memiliki budaya yang paling beragam dan benar-benar mewakili pertemuan semua per-adaban dan agama-agama besar dunia, baik yang bercorak Syamanis, Hindu, Buddhis, Islam, Kristen, Konfusianis dan Eropis. Berbeda dengan Filipina yang hanya mewarisi tradisi Eropa Spanyol dan Kristen, dan hanya di bagian selatan negeri itu mewarisi tradisi Islam yang bercampur dengan tradisi lokal. Atau Thailand, Vietnam dan Myanmar yang mewarisi tradisi Buddhis dengan pengaruh peradaban Cina, sedang tradisi Islam merupakan minoritas, atau Malaysia yang masyarakat pribumi-nya hanya mewarisi peradaban Islam dengan sedikit menerima pengaruh Eropa dan Hindu.3
Dalam konteks ini, keragaman budaya di Indonesia menunjukkan kekayaan yang tiada terhingga dan tak terhitung nilainya. Persoalannya adalah, mampukah beragamnya budaya di Indonesia dikelola, dilestarikan dan dimanifestasikan se-bagai bentuk jati diri bangsa Indonesia?
Definisi Kebudayaan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai keberagaman budaya, maka perlu adanya deskripsi kebudayaan secara definitif. Karena selama ini kebudayaan sering diartikan secara sederhana, atau dengan kata lain penyempitan makna budaya.
Berikut beberapa kutipan definisi kebudayaan; Pertama, Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk prilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar, yang se-muanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari generasi ke generasi berikutnya.
Kedua, Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengungkapkan kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan obyek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. 4
Dari kedua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, pada dasarnya kebudayaan merupakan sesuatu yang beraneka ragam yang tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi antara kelompok satu dengan kelompok yang lain secara dinamis. Sedangkan unsur-unsur budaya terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, sikap, nilai, dan norma. Meskipun demikian, kebudayaan bukan suatu harta untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang, karena warisan mengacu kepada suatu benda yang statis, sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Semakin sering manusia melakukan komunikasi dan interaksi maka semakin dinamis pula konstruksi budaya yang tercipta.
Proses komunikasi dan interaksi antar keberagaman budaya terjadi melalui berbagai bentuk. Diantaranya adalah dengan melalui akulturasi budaya, dalam arti, antara budaya satu dengan budaya lain cenderung inklusif dan bersifat komplementer (saling melengkapi) sehingga terkonstruksi budaya baru. Proses ini relatif harmonis, karena mampu mem-pertemukan kemajemukan budaya untuk saling melengkapi dan menghargai. Bentuk komunikasi dan interaksi budaya berikutnya adalah dengan melalui konflik budaya. Proses ini cenderung eksklusif, karena antara budaya satu dengan budaya lain saling mempengaruhi dan menguasai.
Budaya dan Agama Islam
Dalam drama kehidupan manusia, budaya merupakan bentuk ekspresi kejiwaan manusia yang diramu dari akal budi dan perasaan, sehingga menghasilkan suatu karya yang memang benar-benar dapat dinikmati pada sisi dzahiriah dan batiniah manusia.
Di dalam mengagungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Kita dapat melihat hal ini, umpamanya, ikon-ikon, simbol-simbol, lukisan-lukisan, atau bebarapa ritual keagamaan. Sering kali kita menjumpai ikon-ikon dan simbol-simbol agama di suatu tempat ibadah, seperti masjid-masjid di Indonesia terdapat bedug yang dipukul sebagai tanda masuknya masuk waktu sholat, padahal bedug merupa-kan alat musik khas Cina.
Dapat pula kita menjumpai masjid di Indonesia beratap tiga yang merupakan akulturasi budaya Islam-Hindu, bangunan arsitektur masjid di Istanbul Turki hasil perpaduan antara Islam-Kristen, atau prosesi tahlilan dalam Islam di Indonesia merupakan perpaduan antara ritual Islam dan budaya lokal. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, terdapat sebuah prosesi selamatan di Desa Surowajan, salah satu daerah di Yogyakarta yang diadakan oleh tiga agama sekaligus (Hindu, Islam, Kristen). Mereka dapat melaksanakan selamatan secara bersama-sama namun tetap dengan ritual agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semua contoh di atas, menggambarkan bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabdikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupannya. Kondisi ini tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, melainkan juga berlaku pada agama-agama lain yang mempunyai peradaban inklusif dan progresif.
Di sisi lain, agama hadir bersama ajarannya mampu memasuki ruang-ruang budaya lokal dengan berinteraksi dan ber-adaptasi tanpa mereduksi esensi ajarannya. Di situ tampak bahwa kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan di situ juga terjadi proses penyesuaian antara kebudayaan dan agama.
Walaupun begitu, pandangan terhadap budaya yang ada di Indonesia tidak semuanya bisa diterima oleh semua kalangan. Ada beberapa kalangan tertentu yang mempunyai pandangan bahwa beberapa budaya yang ada di Indonesia tidak patut untuk “diproduksi” dan “dikonsumsi” secara bebas.5
Sebagai contoh, kasus adalah munculnya majalah Play Boy versi Indonesia pada than 2006 yang notabene produk Amerika. Penerbitan perdana majalah Play Boy telah menimbulkan berbagai bentuk respon dan reaksi, baik dari kalangan pemuka agama maupun pakar media. Sementara di Amerika, majalah Play Boy dapat dijumpai di toko-toko tertentu yang dijual secara bebas bagi orang-orang dewasa. Dan bagi redaktur pelaksana majalah Play Boy versi Amerika ini merupakan bagian dari kebebasan pers, sehingga tidak ada persoalan.
Cuplikan cerita di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya komunikasi antarbudaya dalam pelbagai konteks komunikasi manusia. Kasus majalah Play Boy versi Indonesia edisi perdana yang kemudian mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan, ini terjadi karena masing-masing kurang memahami konstruksi nilai dan norma budaya di negaranya masing-masing. Ada perbedaan mendasar antara nilai dan norma budaya yang terbangun di Indonesia dengan nilai dan norma budaya yang terbangun di Amerika. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan berbagai reaksi baik yang pro maupun kontra.
Selain itu, cara pandang tentang budaya juga dapat dipengaruhi oleh tafsir agama yang dilakukan secara tekstualis, terlalu berhati-hati dan takut terhadap perubahan budaya yang telah ada, serta beberapa alasan yang lainnya.
Semangat penafsiran agama yang tekstualis dan terlalu berhati-hati sering membawa ekses negatif berupa larangan terselubung bagi umatnya. Salah satu contoh yang dapat di-amati dalam konteks ini adalah fenomena Inul Daratista, penyanyi-penari asal Pasuruan Jawa Timur yang terkenal dengan goyang ‘ngebor’nya ini tersandung fatwa haram ulama dari berbagai tempat. Bahkan dari MUI Pusat pun ikut mem-berikan “label haram” untuk “dikonsumsi” secara umum, karena dianggap menebar kemaksiatan dan penyebab lupa ber-dzikir kepada Tuhan. Salah satu langkah prefentif agar tidak terjadi perubahan “budaya negatif” bagi masyarakat umum.
Di lain sisi, banyak kalangan pula yang mencoba membaca ulang teks-teks agama Islam secara lebih realistis dan kontekstualis, sehingga perdebatan pada masalah yang sama kerap ditemui dan didengar. Dari contoh fenomena Inul tadi, ketika dirinya harus menyandang “label haram” oleh MUI Pusat, para ulama, bahkan Raja Dangdut Rhoma Irama, pada saat yang sama pula Partai Kebangkitan Ulama (PKB) Jawa Timur yang didominasi oleh ulama, justru hendak menarik Inul bergabung ke dalam-nya. Salah seorang ulama dari Kalimantan Timur, Abah Guru Ijai justru mendukung, membela, dan berkenan mengangkat Inul sebagai anak, di samping mengajak jamaah di sana agar mendoakannya masuk surga. Dan tak kalah fenomenal, budayawan sekaligus Ulama dari Rembang Jawa Tengah, KH. Mustofa Bisri, membuat lukisan Inul yang bergoyang di tengah-tengah kerumunan para Kiai yang diberi judul “berdzikir dengan Inul”. Satu bentuk ekspresi seni yang cukup membuat ‘kaget’ dan ‘bingung’ banyak kalangan, khususnya para ulama.
Contoh yang lain adalah perdebatan keras soal drum band, antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Kiai Bisri Samsuri di awal 60-an yang sangat terkenal di kalangan pesantren. Di-mana Kiai Wahab membolehkan dan mendukung drum band, sedang sebaliknya Kiai Bisri menolak dan mengharamkannya. Kiai Bisri pun akhirnya diam manakala peminat drum band menjadi makin marak di kalangan anak-anak muda NU, ter-masuk para santri di pesantren itu sendiri.6
Dari contoh di atas membuktikan bahwa fakta ter-hadap budaya dalam bentuk kesenian, ritual dan tradisi ter-tentu, dalam realitasnya menjadi tidak dapat dipastikan, selalu muncul reaksi yang berlawanan dari kelompok yang sama (ulama). Belum lagi jika dikaitkan dengan ketetapan hukum yang digulirkan oleh fatwa, meski selalu dijustifikasi dengan sederet ayat, hadis, dan aqwal (pendapat) ulama, menjadi tidak pasti, ambivalen, kontroversi dan relatif. Kenyataan itu meng-artikan, bahwa fatwa ternyata merupakan suatu keputusan yang didasarkan atas pilihan terhadap sekian kemungkinan, tergantung konteks (ruang dan waktu) di mana dan oleh siapa fatwa itu diambil (dipilih).
Metodologi Studi Islam dan Konflik Budaya
Perbedaan pandang dan perdebatan tentang budaya di atas adalah salah satu bagian fenomena agama yang sebenarnya bisa dikaji dan ditelaah untuk dicarikan solusinya secara arif. Banyak pendekatan-pendekatan yang telah dikembangkan oleh ahli agama dalam menyelesaikan bisa digunakan penyelesaian konflik budaya yang berkembang di masyarakat.
Salah satunya adalah pendekatan fenomenologi agama. Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, dikakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.7
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Dalam kontek ini, permasalahan yang muncul dalam sebuah budaya dalam agama Islam sebenarnya dapat disikapi dengan arif dengan mengedepankan Religionswissenschaft dengan jalan epoche. Karena langkah ini merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches). Selain itu, juga dilengkapi dengan berbagai bantuan lintas disiplin ilmu, sehingga pemaknaan pelarangan budaya yang muncul tidak bersifat tekstualis yang lebih memandang pada satu sudut pandang.
Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah budaya juga bisa menggunakan tawaran hermeneutika Abou el Fadl. Tawaran ini menjadi relevan, karena seringkali permasalahan perdebatan budaya yang muncul dalam agama Islam karena adanya penggunaan ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadist-hadits nabi yang notabene adalah hukum Islam untuk menjustifikasi budaya-budaya yang muncul apakah budaya tersebut sesuai dengan ajaran agama Islam atau sebaliknya.
El-fadl menawarkan tentang mempertegas kembali keseimbangan relasi antara pengarang (author), teks (text) atau nas, dan pembaca (reader) sehingga tidak terjadi tragedi otoritarianisme yang justru saling mengkoptasi makna satu sama lain.8
Dalam pendekatan ini, kita dapat mendudukkan secara proporsional fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama’ apakah memang sudah sesuai dan proporsional atau justru terjadi otoritarianisme teks-teks agama. Dan masih banyak pendekatan lain dalam metodologi studi Islam yang bisa digunakan untuk memandang permasalahan konflik budaya yang muncul sehingga kita mampu bersikap arif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.
Sehubungan dengan itu kita memiliki kepentingan untuk saling memahami nilai dan norma antarbudaya agar tercipta susana keharmonisan dalam kemajemukan budaya. Untuk bisa saling memahami antarbudaya, maka dibutuhkan komunikasi antarbudaya yang efektif. Menurut Billie J. Walstroom mengemukakan beberapa aspek yang berkaitan dengan komunikasi antar pribadi yang efektif (jika kita berasumsi bahwa komunikasi antar budaya adalah komunikasi antarkelompok yang terdiri dari individu-individu yang berasal dari latarbela-kang kebudayaan yang berbeda), yaitu (1) menghormati pribadi orang lain; (2) mendengarkan senang hati; (3) mendengarkan tanpa menilai; (4) keterbukaan terhadap perubahan dan keragaman; (5) empati; (6) bersikap tegas, dan (7) kompetensi komunikasi.9
Efektifitas komunikasi dan interaksi antar budaya, dapat mendorong perdamaian sekaligus meredam konflik yang bermuara dari kemajemukan suku, ras, dan agama (SARA). Sikap saling menghargai dan menonjolkan sisi kesamaan dari-pada sisi perbedaan akan menjadi sumber motivasi dalam menjalin kerja sama antar kelompok dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Di sinilah kita akan menemukan sebuah keindahan, keharmonisan, kerukunan melalui ke-beragaman budaya dan agama dengan tetap menjaga keyakinan dan orisinilitas budaya masing-masing.
Epilogue
Dari uraian di atas, keberagaman budaya di Indonesia adalah sebuah keniscayaan dan patut untuk dilestarikan se-bagai bentuk kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia yang tiada terhingga. Namun yang patut untuk dicermati adalah ter-jadinya konflik yang disebabkan karena budaya.
Untuk meminimalisir konflik dan menyelesaikannya, tawaran berbegai pendekatan dalam metodologi studi bisa digunakan dalam menyikapi hal tersebut agar menjadi lebih bijak dan arif dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan sehingga tidak muncul konflik di atas konflik.
Setidaknya analogi di bawah ini yang mengatakan bahwa “budaya diibaratkan adalah pohon-pohon yang ada di hutan. Dalam melihat beragamnya budaya jangan melihat pada pohon-pohon tertentu yang berbeda dari dekat, tetapi lihatlah kumpulan pohon itu dari atas. Semakin ke atas maka akan terlihat indahnya kehijauan pohon yang bersatu dalam hutan” patut menjadi pertimbangan kita. Minimal kita mendapat pelajaran bahwa beragamnya budaya tidak menjadi sebuah konflik antar budaya, namun justru menjadi perekat dan persatuan sebagai bentuk khazanah dan kekayaan budaya yang universal dengan jalan saling memahami, menghormati tetapi tetap berpegang pada keyakinan budaya masing-masing tanpa perlu pemaksaan budaya yang diyakini kepada budaya yang diyakini oleh pihak lain, sehingga kedamaian, ke-harmonisan dan yang pasti keindahan akan tercipta lebih indah. Semoga.
Nurcholis Madjid, mencari akar-akar Islam bagi pluralisme modern: Pengalaman Indonesia dalam Natsir Tamara dan Elza Peldi Taher (Ed), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 91
CD Wajah-wajah Muslim Indonesia, Nafas Islam pada Seni Budaya di Indonesia, Jakarta: Metro TV, 2004
Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, Asia Tenggara, Islam dan Kesusastraan, Edisi 1/VIII/1998, hal. 6
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya, Yogyakarta: LKiS, 2002, hal. 8
Majalah Kebudayaan Terapi, Mengadili “Hadis Haram” Budaya. edisi 2.2004. hal. 39.
Adib Masruhan, Hadis-hadis Kebudayaan, Jakarta: Desantara, hal. xi
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, University of Arizona Press, 1985, hal. 190
Lihat Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (terj) oleh R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004, hal. 13
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya,. hal. 229

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc