Ahmad Zulfiqor.Ket.PC NU Bogor

Ahlussunnah wal jamaah atau biasa disingkat aswaja mempunyai beberapa bentuk definisi. Dari beberapa pendapat tentang definisi tersebut, penulis akan membedakan definisi atau takrif aswaja ke dalam dua bagian. Bagian yang pertama, takrif aswaja menurut ulama-ulama salafus salih dan bagian yang ke dua takrif aswaja hasil rumusan KH. Hasyim As’ari. Definisi yang terakhir inilah yang akhirnya menjadi orientasi doktrin aswaja Nahdhatul Ulama

Takrif dan Kelahiran Aswaja
Menurut linguistik ahlussunah dapat ditelusuri sebagai berikut :
a.       ahl, menurut Fauruzzabadi dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab jika dikaitkan dengan pengikut madzhab. Sedangkan menurut pendapat Ahmad Amin kata ahl merupakan badal nisbah sehingga jika dikaitkan dengan assunnah mempunyai arti orang yang berfaham sunni.
b.       Assunnah dalam kitab KH. Hasyim As’ari dijelaskan sebagai berikut:
السنة باالضم و التشديد كما قال ابو البقاء في كليته: لغة الطريقة و لو غير مرضية، و شرعا اسم لاطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول ص.ل. او غيره ممن هو علم في الدين كا الصحابة ر.ض.
Kata assunnah dengan dhommah dan tasdid menurut Abu Baqo’ dalam kitabnya : secara etimologis berarti thoriqoh atau jalan, meskipun jalan itu tidak legal. Secara terminologis, adalah jalan atau cara yang dibenarkan atau diridhoi dalam menempuh agama yang telah digariskan oleh Rasul Saw, atau oleh para sahabat nabi RA.[1]

c.        al-Jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan madzhab mempunyai arti sekumpulan orang yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan tujuan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.[2]
Terminologi ahlussunnah wal jamaah secara baku tidak ditemui dalam referensi lama (marajiy awwaliyah), bahkan pada masa al-Asy’ari -yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagi pendiri madzhab aswaja belum ditemukan istilah tersebut. Dengan demikaian, Abu Hasan al-Asyari hanyalah meneruskan madzhab-madzhab sebelumnya yang sanadnya berujung pada Nabi Saw.
Pengenalan istilah ahlussunnah wal jamaah sebagai suatu aliran dalam Islam baru nampak pada para pengikut al-Asy’ari, seperti Al-Baqillani (w. 403H) Al-Baghdadi (w. 249) Al-Juwaini, Al-Ghazali As-Syahrastani dan Ar-Razi. Akan tetapi pendapat mereka tentang aswaja bukan dalam kerangka madzhab. Baru pada pendapat az-Zabidi (w.1205 H) beliau secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud aswaja adalah mereka yang mengikuti Asy’ari dan al-Maturidi. (Siradj, 2007:7).
Meskipun demikian pendapat az-Zabidi diatas bukanlah definisi, melainkan baru pada taraf klaim. Sampai sekarang ini belum didapati definisi aswaja secara baku. Definisi aswaja seringkali diungkapkan denagan istilah “ ما انا عليه و اصحابي” (jalan yang kami- Rasul dan Sahabat- tempuh). Tentu ini bukan definisi aswaja, karena masih memungkinkan aliran atau faham lain berada di dalamnya.[3]
Berdasarkan pendapat ulama-ulama salaf dan khalaf diatas tentang aswaja yang erat kaitanya dengan aqidah asyariyah, KH. Said Aqil Siradj berusaha mendefinisikan aswaja sebagi berikut: “Ahlussunah wal jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasr moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran”. Definisi yang coba dirumuskan oleh Said Aqil merupakan refleksi dari karakter aqidah asyariyah yang mengedepankan sifat tawazun, tawassuth dan tasamuh.

Kerancuan Takrif Aswaja
Terminologi aswaja yang dirumuskan oleh KH. Hasyim As’ari dalam Qanun Asasi selama beberapa dekade tidak pernah dipermasalahkan secara serius oleh kalangan NU. Meskipun ada beberapa orang yang sempat mempermasalahkanya, toh, tidak mampu merubah definisi yang telah ada. Kritik tajam terhadap definisi ini baru muncul setelah KH. Sa’id Aqil Siradj pulang dari Makkah. Dia mengkritik definisi aswaja yang menurutnya sudah mengkristal membentuk sebuah institusi keagamaan. Dalam perspektifnya, Posisi yang demikian akan berpotensi memberikan sekat-sekat aqidah, sehingga terkesan ekslusif.
Selama ini terminologi aswaja selalu dikaitkan dengan hadits sataftariqu… padahal kesahihan hadits tersebut masih dipertanyakan. Hadits tersebut tidaklah kita jumpai dalam Sahih Bukhori atau Muslim. Selain itu, Imam Hasan al Bashri - peletak dasar-dasar aswaja- juga tidak pernah menyebut-nyebut hadits tersebut.
Pemahaman lain yang juga harus diluruskan adalah anggapan warga NU terhadap aswaja sebagai sebuah madzhab. Pada aspek fiqih Mereka mengikuti empat madzhab, dalam aqidah mereka meyakini rumusan al’Asyari dan al-Maturidi sedangkan dalam perkara tasawuf mereka mengamalkan tasawuf imam Ghozali dan Syeikh Junaid al-Baghdadi. Hasil rumusan KH. Hasyim As’ari tersebut mau tidak mau diikuti oleh pengikut Jamiyyah NU.[4]
Definisi seperti itulah yang dikritisi oleh Said Aqil Siradj, ia berpendapat bahwa jika aswaja difahami sebagi madzhab, tidak mungkin didalamnya terdapat beberapa madzhab. Selain itu definisi tersebut juga bertentangan dengan fakta historis. Aswaja pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah diposisikan sebagai lawan dari Syiah dan Mu’tazilah.
dengan demikian aswaja tidak terbatas pada empat madzhab saja, melainkan lebih dari itu.
Kritik Said Aqil tentang aswaja secara tegas dapat dilihat dari kutipan berikut:
Keterbukaan cakupan aswaja itu akan mengakomodasi berbagai kelompok bahkan seluruhnya. Tidak terbatas pada pembala haadits dan para tokoh di masa Imam bin Hambal, tetapi juga mencakup kelompok diluar mereka. Tidak hanya terbatas pada Imam al Asyari, tetapi juga pendapat lainya. Orang yang menetang ijmak pun masih termasuk aswaja. Kita perlu mengakumulasikan dan menyarikan semua pemikiran yang muncul semenjak nabi Saw. Hingga sekarang ini. Intinya kita sekarang bisa menerima semua kelompok dalam islam sehingga tidak ada sekat-sekat yang memisahkan sesama umat Islam dengan dalih aswaja. Dalam haarapa ini terkandung usaha untuk persatuan umat Islam sehingga teras longgar sekali sampai meliputi orang yang menentang ijmak sekalipun, kendati ijmak dipandang sebagi salah satu sumber hukum Islam setelah alquran dan assunnah.[5]
Said Aqil menyimpulkan aswaja sebagai sebuah manhajul fikr ( metode berfikir) yang di dalamnya mencakup berbagai aliran. Faham tersebut bersifat lentur, fleksibel, tawastuth, I’tidal, tawazun dan tasamuh.hal ini tercermin dari sikap sunni yang selalu mengambil jalan tengah. Ia tidak mendahulukan akal daripada Nash, disisi lain akal tidak dikebiri. Faham ini meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam bidang aqidah, syariah, muamalah, akhlak, iqtisodiyah, siyasah dan sebagainya.[6]

Upaya-upaya Reinterpretasi Aswaja NU
Upaya untuk redefinisi yang dilakukan oleh Said Aqil Siradj memang merupakan angin segar bagi denyut nadi kehidupan NU untuk masa yang akan datang. Tetapi, ia bukan satu-satunya orang yang mempermasalahkan terma aswaja NU. Ada beberapa ulama NU yang menafsirkan kembali terma aswaja. Mereka adalah KH. Tolchah Hasan, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Sahal Mahfudz.
KH. Tolchah Hasan menghendaki pemahaman aswaja secara utuh untuk menghindari sikap sektarian yang sangat sempit. Dia mengingatkan bahwa masalah-masalah yang ringan dapat mengeluarkan seseorang dari aswaja, jika difahami sepotong-sepotong. Sebaliknya jika difahami secara keseluruhan, akan ada upaya saling memaklumi. Selain itu , sampai sekarang belum ada pengertian yang diterima semua orang tentang aswaja. Pendalaman kembali terhadap pengertiam dan wawasan aswaja merupakan salah satu upaya agar aswaja mampu diterima khalayak ramai (as-sawaad al-a’dzom).
Upaya Reinterpretasi aswaja juga dilakukan oleh KH. Mucith Muzadi. Pandangannya tidak jauh bebeda dengan Said Aqil yang menghendaki aswaja difahami sebagai manhajul fikr, namun ia menambahkan bahwa aswaja juga mengandung aqwal (pendapat-pendapat yang mapan) sebagai hasil pemikiran dengan menggunakan manhajul fikr. Pandanganya yang lain yang berbeda dengan Said Aqil yaitu, Kyai Muchith menginginkan Reinterpretasi rumusan aswaja yang “khas” NU, hal ini dikarenakan aswaja ditafsirkan berbeda-beda oleh banyak golongan. Ada yang berpendapat cukup aqidah saja tanpa fiqih, sebaliknya ada yang memperluas aqidah hingga sikap sosial.
Ulama lain sebelum Said Aqil yang menggugat terma aswaja adalah KH. Sahal Mahfudz. Dia mengkrtik sikap warga aswaja yang hanya mencukupkan apa yang telah diketahui dan dipelajari tanpa mau berdialog dengan ilmuan dan teknokrat yang lain, jelas akan merugikan pengembangan wawasanya. Wawasan mereka terbatas pada materi dan metode yang mereka ketahui. Menurut dia aswaja tidak hanya difahami sebagai pemikiran yang berkaitan dengan fiqih, dan tasawuf, tetapi perlu dikembangkan secara universal sehingga bisa meliputi bidang politik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Konsekuensinya konsep aswaja yang dikehendaki adalah konsep aswaja yang mencakup berbagi aspek kehidupan secara universal. Dalam konteks memahami aswaja secara universal Sahal Mahfudz menakankan adanya bantuan sosial dalam meninjau aswaja agar bisa dijelaskan secara rasional, sistematis dan kontekstual.[7]

Pengaruh Reinterpretasi Aswaja bagi Warga NU
Upaya Reinterpretasi takrif aswaja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU secara empiris belum begitu banyak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan warga NU. padahal, sasaran utama dari Reinterpretasi tersebut adalah masyarakat bawah. Akan tetapi, dengan digulirkanya upaya reinterprtasi ini mampu memberikan warna baru terhadap pergerakan NU pada masa yng akan datang.
Wacana Reinterpretasi aswaja yang mengarah kepada aspek politik, ekonomi, sosial, pariwisata, kebudayaan dan aspek kehidupan manusia yang lain merupakan usaha dari universalisasi pemikiran aswaja itu sendiri. Jika kemudian wacana pemikiran tersebut mampu diterjemahkan ke dalam perbuatan-perbuatan yang riil, tentu akan berdampak positif bagi masyarakat kelas bawah. Hal inilah yang sebenarnya diperjuangkan oleh para penafsir aswaja.
Khatimah
Definisi aswaja yang dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan mempersempit makna ke arah institusional. Selain itu, jika aswaja hanya dibatasi pada empat madzhab fiqih dan menafikan aliran lain yang juga mengklaim diri mereka aswaja, akan timbul fanatisme sempit yang berpotensi menumbuhkan klaim paling benar terhadap ajaranya dan menganggap aliran diluar mereka keluar dari Islam.
Aswaja sendiri lebih pas jika difahami sebagai manhajul fikr (metode berfikir) bukan sebagai madzhab. Jika difahami sebagai manhajul fikr maka aswaja bukan mutlak dimiliki golongan tertentu karena dalam manhajul fikr sangat mungkin bergabung beberapa aliran yang juga mengklaim diri mereka sebagai aswaja. Jika keadaanya demikian maka aswaja bukan merupakan madzhab.
Kesemua Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke arah kemajuan. Para kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas, sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat memihak kepada masyarakt kecil.
Usaha Reinterpretasi ini bukan untuk mengacak-acak definisi yang sudah ada dan disepakati oleh para pendiri NU terdahulu. Usaha ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi terhadap konsep aswaja yang didapati kerancuan di dalamnya. Lebih dari itu, usaha ini bertujuan untuk kemaslahatan umat.


[1] Asy’ari, Risalaat Ahlissunnah walJamah, hlm. 5.
[2] Siradj, Ahlussunah wa Jamaah, Sebuah KritikHistoris, hlm. 5.
[3] Ibid, hlm. 7.
[4] Mujamil Qomar, NU ‘Liberal”, hlm. 190
[5] Ibid, hlm. 190.
[6] A. Helmy Faisal Zein dan Nurhakim, ed, Dinamika Kaum Muda, IPNU da Tantangan Masa Depan, hlm.46.
[7] Mujamil Qomar, NU “ Liberal” hlm 216-240

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc