Pengeran

Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan,yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gusti Allah.

Tan samar pamoring Sukma
Sinuk maya winahya ing ngasepi
sinimpen ing telenging kalbu
pambukaning warana
tarlen saking liyep layaping aluyup
pindha pesating sumpena
sumusuping rasa jati

Upaya manusia untuk memahami keberadaannya diantara semua makhluk yang tergelar di jagad raya, yang notabene adalah makhluk, telah membawa manusia dalam perjalanan pengembaraan yang tak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau kemana (sangkan paraning dumadi) perjalanan semua makhluk terus menggelinding dari jaman ke jaman sejak adanya " ada ". Pertanyaan yang amat sederhana tetapi substansiil tersebut, ternyata mendapatkan jawaban yang justru merupakan pertanyaan-pertanyaan baru dan sangat beragam, bergantung dari kualitas sang penanya.
Perkembangan kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya pencarian yang tiada henti. Apalagi setelah muncul kesadaran religius yang mempertanyakan " apa atau siapa yang membuat ada " semakin menggiring manusia ke dalam petualangan meraba-raba di kegelapan rimba raya pengetahuan.
Di dalam kegelapan itulah benturan demi benturan akibat perbedaan pemahaman terjadi. Benturan paling purba berawal dari kisah Adam dan Hawa yang melemparkan mereka dari surga. Benturan terkadang teramat dahsyat sehingga " perlu " genangan darah dan air mata, yang dipelopori oleh Habil dan Qabil. Kesemuanya bermuara pada kata sakti yang bernama " kebenaran " yang sungguh sangat abstrak dan absurd. Tetapi bukankah hidup dan kehidupan ini abstrak dan absurd ? sehingga tak terjabarkan oleh akal-pikir yang paling canggih sekalipun.
Ketika akal-pikir tak lagi mampu menjawab pertanyaan diatas, manusia mulai menggali jawaban dari " rasa " sampai akhirnya manusia merasa seolah-olah telah menemukan apa yang dicari. Tetapi ketika pengembaraan rasa tersebut sampai pada titik simpang, dimana di satu sisi muncul kebutuhan untuk melembagakan hasil " temuan rasa " tersebut dan di sisi lain menolak pelembagaan, kembali terjadi benturan-benturan yang sesungguhnya sangat tidak perlu terjadi. Sesuatu yang tidak akan pernah diketahui, baik dengan akal-pikir dan rasa, bahkan intuisi sekalipun. Sebab " dia " adalah Sang Maha Gaib. Rumusan apapun tentang " dia " seperti apa yang telah dilakukan oleh manusia pasti akan menemui kegagalan. Karena " dia " tidak pernah merumuskan " dirinya " secara kongkrit, kecuali dalam bentuk simbol-simbol dan lambang-lambang yang metaforik.
Perjalanan panjang manusia yang menempuh jarak jutaan tahun untuk mendapatkan jawaban pasti tentang " dia " menjadi amat bervariasi. Tetapi kepastian itu sendiri tidak pernah dijumpai. Sehingga sebagian manusia menjadi putus asa, karena perjalanan pencariannya tak ubahnya seperti tragedi Syshipus, sebuah perjalanan kehilangan.
Sementara untuk sebagian manusia lainnya, semangat pencariannya justru semakin menggebu. Mereka tidak pernah patah, karena mereka tidak terpukau oleh hasil akhir. Telah muncul kesadaran baru pada mereka, bahwa yang terpenting adalah proses pencarian itu sendiri. Bertemu atau tidak bukan lagi menjadi pangkal kerisauan, karena mereka menyadari, bahwa keputusan tidak berada di tangan manusia.
Nah mereka inilah para pejalan spiritual, sang pencari sejati yang selalu haus pada pengalaman empiris di belantara pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak, absurd dan gaib. Dan mereka adalah kita.
Syarat utama bagi para pejalan spiritual adalah kebersediaannya dan kemampuannya menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman dogmatis yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati dan pikiran untuk merambah jagad ilmu pengetahuan ( kawruh ) non-ragawi. Ilmu yang gawat dan wingit, karena sifatnya sangat mempribadi dan tidak bisa diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada, dimana idiom-idiom itu hanya bisa dipergunakan sebagai rambu penunjuk yang kebenarannya juga sangat relative.
Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual adalah proses panning upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan ( strata, maqom ) pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka ( freedom to be free ) dari segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, seprti dijalani oleh para penuntun spiritual dimasa lampau.
Jika persyaratan diatas sudah disepakati, barulah terasa ada perlunya perjalanan wisata spiritual yang baru saja kita lakukan. Jika terjadi pengalaman mistis bagi satu atau beberapa orang, harus disikapi sebagai pengalaman yang bersifat " sangat individual " yang tidak bisa diseragamkan.

Yang lama, kita pahami, Yang kini kita mengerti, Kedepan kita sikapi
KAUTAMANING LAKU
1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.
2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.
3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama.
4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.
5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma.
6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.
7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.
8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.
9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.
10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani.
11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe.
12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

http://www.jawapalace.org

sing sapa reka arsa anglakoni
amutiha lawan amawasa
patangpuluh dina wae
lan tangi wektu subuh lan den sabar sukur ing ati
Isya ALLAH tinekan sak karsaniku,
nyawabi nakrakyatira.
saking sawab ing ilmu pangiket mami,
duk uneng Kalijaga
Mitologi

Pasaran dan Hari
Sejak dahulu orang Jawa telah mempunyai “perhitungan“( petung Jawa ) tentang pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Perhitungan itu meliputi baik buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi sebagai berikut :
1.       Batara Surya ( Dewa Matahari ) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara ( lima bilangan ) yang sekarang disebut Pasaran yakni : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya : Manis, Pethak ( an ) Abrit ( an ) Jene ( an ) Cemeng ( an ), kasih. ( Ranggowarsito R.NG.I : 228 )
2.       Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan tiap kali habis sesaji, hari itu diberinya nama sebagai berikut
a.       Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
b.       Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama : Soma, nama sekarang : Senen.
c.       Sesaji Gangsa ( bahan membuat gamelan, perunggu ) yang dipuja api, hari itu diberinya nama: Anggara, nama sekarang Selasa.
d.       Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang : Rebo.
e.       Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang : Kemis.
f.        Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama : Sukra, nama sekarang : Jumat
g.       Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula : Tumpak, nama sekarang : Sabtu.
Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata Arab ( Akhad, Isnain, Tslasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt ) nama-nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa – Asli yang disebut Saka menjadi kalender Jawa / Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico ( AJ ). Pergantian kalender itu mulai 1 sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 = Kalender masehi 8 Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa.
Angka tahun AJ itu meneruskan angka tahun saka yang waktu itu sampai tahun 1554, sejak itu tahun saka tidak dipakai lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali. Rangkaian kalender saka seperti : Nawawara ( hitungan 9 atau pedewaan ) Paringkelan ( kelemahan makhluk ) Wuku ( 30 macam a’7 hati, satu siklus 210 hari ) dll.
Dipadukan dengan kalender Sultan Agung ( AJ ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan ( perhitungan ) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Dikalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakannya ( baca : mempercayai ) primbon.

Sadulur Papat Kalima Pancer
Hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan dengan ajaran “ Sedulur papat, kalima pancer “ empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat.
Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari, tanah, air, api dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di pusat, yakni di tengah.

Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :
1.       Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar (aura) putih.
2.       Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar merah.
3.       Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.
4.       Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam
5.       Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna ( bermacam-macam )
Dari ajaran sadulur papat, kalima pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya ditengah atau pusat ( sentrum ) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya – perbawa atau pengaruh kepada “ Sadulu Papat atau Empat Saudara ( unsur ) sekelahiran.
Satu peredaran “ Keblat papat kalima pancer “ itu dimulai dari timur berjalan sesuai dengan perputaran jam dan berakhir di tengah ( pusat ) Peta dari jalannya dapat digambarkan sebagai berikut : (bersambung)
menep ing rahsa sateleng kalbu
amatek cipta ambasuh sukma
sumunaring raga ambudidaya
Nora iguhing palena piker
imaningsun anuju dhat luhur
Nembah asaling muasal
oncat hawa lereming asepi

Kronik Orang Jawa
Orang Jawa yang tradisional tidak dapat memisahkan mitos dalam kehidupan mereka ,oleh sebab itu, kita telaah dan akan coba menguraikan tentang orang jawa dan latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka dalam menafsirkan kehidupan ini.

Orang Jawa
Yang dimaksud orang Jawa oleh Magnis-Suseno adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah da timur pulau Jawa.
Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog Koentjaraningrat, orang Jawa diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu:
  1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan rendah.
  2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual
  3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi

Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok yaitu:
1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum priyayi tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam
2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam

Alam pikiran dan pandangan hidup orang Jawa
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimakusd disini dalam pengertian ini adalah yang dapat memebrikan penghidupan, kesimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba)terhadap Gustinya(SangPencipta).

Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan bukan muslim santri yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati.
Niels Mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural da penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan

Kegiatan religius orang Jawa Kejawen
Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.
Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan-keturunannya yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai kejawen.
Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Orang Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.

Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).

Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:
Jenis:
Metode:
pasa di bulan pasa (ramadhan) sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut tapa mutih (a) hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut tapa mutih (b)  berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari tapa ngrawat  hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam tapa pati geni berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni) selama sehari-semalam tapa ngebleng tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam tapa ngrame  siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja tapa ngéli menghanyutkan diri di air (éli = hanyut) tapa mendem menyembunyikan diri (mendem) tapa kungkum menenggelamkan diri dalam air tapa nggantung menggantung di pohon dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, apa brata, dll. (Diadaptasi dari wawancara dengan Dr. Purwadi)
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1.       Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
2.       Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)
3.       Puasa sebagai ibadah.
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.

KEJAWEN
Mari kita mengutip satu tembang Jawa
Tak uwisi gunem iki saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku mung aweh wikan saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan akeh lire kabatinan banyak macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat dan artinya sangat gawat
Mulo dipun prayitno maka itu berhati-hatilah
Ojo keliru pamilihmu Jangan kamu salah pilih
Lamun mardi kebatinan kalau belajar kebatinan

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti(Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti )/pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.
Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam.Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda.
Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan.
Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.
Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkebang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlhilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.

Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
1.       Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton 34
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.
2.       Sembah Cipta (Kalbu)
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut:
Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang kagungan narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong. 35
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati 36 , kalbu berarti hati 37 , maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin… 38
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
3.       Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) 39 dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong 40
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang tumrap bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama amota.41
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."
4.       Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah rasa karasa wosing dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.42
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:
Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena ginurokake/ yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan ing lautan/ tanpa tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.43

Budaya Kebatinan
Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup) dan mendekat Yang Maha Widi (Allah Yang Maha Kuasa) bisa dicapai.
Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur:
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur).

Sejarah BUDAYA KEBATINAN
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (Badan 1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962 (Pakan 1978:98)
Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya lokal saja dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. budaya seperti itu secara resmi merupakan “aliran kecil”, seperti Penunggalan, perukunan kawula manembah gusti, jiwa ayu dan pancasila handayaningratan dari Surakarta; ilmu kebatinan kasunyatan dari yogyakarta; ilmu sejati dari madiun; dan trimurti naluri majapahit dari mojokerto dll
Sebagian kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari200 orang naun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang. dan lima yang besar adalah hardapusara dari purworejo, susila budi darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di semarang, paguyuban ngesti tunggal (pangestu) dari surakarta, paguyuban sumarah dan sapta dari yogyakarta.
Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa kemanukan dekat purworejo. Ia konon menapatkan ilmu dari menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula disebut kawruh kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah bagelan. organisasi ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberpa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku ynag oleh para pngikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Susila budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di semarang, pusatnya sekarang berada di jakarta. budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan, melainkan menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan”. Anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota diseluruh indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak dari para pengikutnya adalah orang asia, eropa, australia dan amerika. Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul susila budhi dharma; kecuali itu gerakanan itu juga menerbitkan majalah berkala berjudul pewarta kejiwaan subud.
Pagguyuban ngesti tunggal, atau lebih terkenal dengan nama pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku sasangka djati.
Pangestu didirikan di surakarta pada bulan mei 1949, dan anggota-anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang berasal dari daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi di sumatera dan kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu dwijawara merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.
Paguyuban sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai sabagai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada kahir tahun 1940an gerakan itu mulai mundur, namun berkembang kembali tahun 1950 di yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.
Sapta darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Beliau berasal dari desa keplakan dekat pare. Berbeda dengan keempat organisasi yang lain, sapta darma beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah kitab pewarah sapta darma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di jawa, namun surakarta sebagai pusat kebudayaan jawa agaknya masih merupakan tempat dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima diantaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orabg, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat dikota-kota lain seperti jakarta, yogyakarta, madiun, kediri dan sebagainya (jong 1973: 10-12)
S. de jong yang mempelajari budaya kebatinan jawa di jawa tengah, melaporkan bahwa dalam propinsi jawa tengah saja tercatat sebanyak 286 organisasi kebetinan dalam tahun 1870, dengan kemungkinan bahwa masih ada organisasi-organisasi kecil lainnya yang tidak terdaftar di sana.
Pengikut-pengikut terkemuka dari budaya kebatinan, yang diantaranya ada yang berlatar belakang pendidikan psikologi, biasanya menjelaskan bahwa timbulnya berbagai budaya itu disebabkan karena sebagian besar orang jawa butuh mencari hakekat alam semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan. Ahli sosiolagi Selosoemardjan berpendirian bahwa orang jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya, yang sering dilakukannya dengan sara-sara metafisik.

Mistik Kebatinan
Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orang jawa, kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar untuk minum.
Sikap. Gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai latihan upacara yang harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya sama pada berbagai gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia kebendaan di sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasip dengan rela. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi.
Namun dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang konkret; bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh tanggung jawab.

Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua organisasi kebatinan yang besarumumnya, memang bersifat mistis; banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit, hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa, Hal yang mereka inginkan adalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan). Cara untuk kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak individualis; gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus menaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat istiadat (Said 1972-a: 153-154)
Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
Diseluruh daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.
Banyak dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu organisasi yang mengajar seni bela diri pencak. Kecuali memberi latihan fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi. Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang ditabah berbagai ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya, memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.

Monggo mugi panadyakna
Aliting kawula sami sangsara
Sanadyan alam wus mardika
Namung tasih angratos batos
Isih durung pra priyangga
Nderek saged anggatosken
Ombyaking regan sarwa sulaya

PAPAT LIMA PANCER
Ing Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa. Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku : Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah
SEDULUR PAPAT LIMA PANCER Njupuk sumber saka Kitab Kidungan Purwajati seratane , diwiwiti saka tembang Dhandanggula kang cakepane mangkene:
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen " Sedulur Papat " iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.
Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul wetune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen " SEDULUR PAPAT LIMA PANCER " Ing Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.
Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku : Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki: Amarah : Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran,kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah SWT. Supiyah / Kaendahan : Manungsa kuwi umume seneng marang kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad. Aluamah / Srakah : Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan. Mutmainah / Kautaman : Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan, nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.
Contone; menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik, nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak, iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki, ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi paugeran lan dadi pathokan.
Bener arane, nyumanggakake
Mbikak ing wasana suba
Agung ing nagri suka
Sabda ratuning nusa
Nunut anggentosi warso
Ibering si  gkara Njamasi tetangisin bangsa
Olo muksa jejeg praja

Tirakat
Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom sami.
Manusia jawa(tiyang Jawi) pada saat tertentu rela /mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis,
dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni)
Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap oleh para penganut Agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :
1.       Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2.       Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam ( nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3.       Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4.       Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5.       Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6.       Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7.       Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8.       Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9.       Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10.   Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.   Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.

Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik s rta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingan yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.
Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta
Nulada laku utama,
Tumrape wong tanah jawi
Wong Agung hing ngeksi ganda Panembahan Senopati
Kapati hamarsudi,sudane hawa lan nepsu
Pinesu tapabrata,tanapihing siang ratri
Amemangun karianak tyasing sasama
Samangsane pasamuan,
Memangun martomartani,
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana teki teki,ngayuh geyoganing kayun,
Kayungnyun heninging tyas ,sanetyasa pinrihatin
Punguh pangah cegah dahar lawan nindra
Saben nindri saking wisma
Lelana laladan sepi
Ngisep sepuhing supana,mrih prana pranaweng kapti
Titising tyas marsudi , mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman ,neng tepining jala nidhi
Sruning brata kataman wahyu jatmika
sing sapa reka arsa anglakoni
amutiha lawan amawasa
patangpuluh dina wae
lan tangi wektu subuh lan den sabar sukur ing ati
Isya ALLAH tinekan sak karsaniku,
nyawabi nakrakyatira.
saking sawab ing ilmu pangiket mami,
duk uneng Kalijaga
Dlepih (petilasaan tarekat sang Pannembahan)

Pandangan hidup Jawa
Aja turu sore kaki,ana dewa nganglang jagad, nyangking bokor kencanane,Isine donga tetulak ya iku bagianipun,wong melek sabar narima
Istilah “ Pandangan Hidup Jawa “ di sini mempergunakan pengertian yang longgar, jadi istilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lain yang mempunyai arti yang kurang lebih sama, seperti “ Filsafat Jawa “ ( Abdulah Ciptoprawiro ) “ Filsafah Kejawen “ atau istilah lain lagi. Tetapi pandangan hidup Jawa, ini tidaklah identik dengan “ Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “ atau “ Islam Abangan “ atau “ Mistik Jawa “ dan lebih-lebih dengan “ ilmu-ilmu klenik “. Sementara itu beberapa istilah lain seperti “ Agama Jawa “atau “ Agama Jawi “ ( Koentjaraningrat ) “ the religion of jawa “ ( Clifford Geertz ) dan lain-lain, itu tidak identik dengan “ Pandangan Hidup Jawa “ sekalipun terlihat adanya beberapa segi persamaan.
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta ciptaanNYA beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini meliputi pula pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Dengan meminjam istilah Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila, pandangan hidup di sini adalah sama dengan Weltanschauung, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1989 : 1010 ) diberi arti sebagai “Sikap terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, serta semangat dan pandangan hidup terdapat pada zaman tertentu”. Jadi selain jelas bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, jelas pula bahwa ia pun tidak identik dengan “regiositas Jawa”, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada itu.
Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan bahwa ciri karakteristik regiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa bukanlah sinkretisme tetapi suatu semangat yang saya beri nama tantularisme. Saya namakan demikian karena semangat ini bertumpu pada atau memancar dari ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin Sutasoma :
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bermacam-macam sebutannya, tetapi Tuhan itu satu-tidak ada kebenaran yang mendua. Kalimat Empu Tantular ini jelas tidak hanya menekankan prinsip dan keyakinan tentang Keesaan Tuhan tetapi juga keesaan kebenaran! Disitulah letak semangat tantularisme yang merupakan inti pandangan hidup Jawa. Semangat semacam ini menjiwai dan menyemangati tidak hanya religiositas Jawa saja tetapi juga semua unsur dan aspek kebudayaan Jawa. Sifat karakteristik budaya Jawa yang religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik itu terbentuk secara kokoh diatas fondasi tantularisme ini.
Budaya Jawa dan pandangan hidup Jawa memang telah dan akan selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan itu selama tidak sampai mencabut pandangan hidup Jawa dari akar dan sumber kekuatannya, yaitu tantularisme, yang adalah juga merupakan kristalisai dari proses sejarah yang amat panjang. Disinilah letak kekuatan budaya Jawa yang harus tetap dipertahankan dengan sadar. Semangat tantularisme yang merupakan sumber kekuatan Jawa itu sebenarnya bukan hanya cocok untuk orang Jawa. Ia bersifat universal. Oleh karena itu tantularisme juga merupakan sumbangan yang sebenarnya amat diperlukan oleh umat manusia sekarang ini
Permusuhan dan perang antar etnik; persaingan, kebencian dan kecemburuan antar pemeluk agama yang telah mengorbankan beribu-ribu nyawa manusia yang senantiasa terjadi sampai sekarang ini, semuanya akan dapat diredam oleh semangat tantularisme yang damai, sejuk dan bernafaskan asih ing sasami. Tantularisme memancarkan cinta kasih kepada sesama, yang juga diajarkan oleh semua agama yang dipeluk oleh orang-orang yang membenci itu! Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, semuanya mengajarkan cinta kasih kepada sesama; ironisnya sementara ini banyak pemeluknya saling membenci dan bermusuhan! Atas nama agama ?????????

SINKRETISME JAWA
Seperti telah disinggung di muka, kebanyakan pakar dan pengamat budaya Jawa berpendapat bahwa ciri karakteristik pandangan Jawa adalah sinkretisme. Namun cukup banyak pula pengamat yang tajam penglihatannya, meragukan kesimpulan semacam itu.
Pengamatan yang tajam akan dapat melihat bahwa kecenderungan yang paling menonjol dalam budaya Jawa bukanlah kecenderungan sinkretik yang berupa kecenderungan atau semangat untuk membangun suatu sistem kepercayaan ( termasuk agama ) baru dengan menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari sistem-sistem kepercayaan yang telah ada.
Para pengamat yang menyangkal sinkretisme sebagai ciri karektistik pandangan Jawa itu, mencoba mencari istilah-istilah lain yang dianggap lebih tepat, seperti istilah mosaik ( Abdulah Ciptoprawiro ), coalition ( Gonda ) atau sekedar “ Percampuran “ atau Vermenging ( Kern ) istilah-istilah lain lagi yang juga dipakai oleh sementara pakar sebagai pengganti istilah “ sinkretisme “ adalah amalgamtion, blending, fusi atau fusion ( peleburan ) dan lain-lain.
Memang dalam pengamatan sinkretisme bukanlah ciri karaktistik pandangan Jawa, gejala sinkretisme dapat kita temui dimana-mana. Juga dalam berbagai agama yang kita kenal sekarang ini, bahkan dalam A Distionary Of Comparative Religion dinyatakan bahwa hanya sedikit saja agama yang benar-benar bebas dari sinkretisme. Di kalangan masyarakata Jawa, kecenderungan sinkretisme memang ada kecenderungan itu cukup besar, tetapi adalah tidak benar kalau disimpulkan bahwa sinkretisme adalah merupakan ciri karaktistik pandangan hidup Jawa, yang betul-betul merupakan ciri karaktistik menurut penghayatan saya adalah semangat tantularisme itu.
Istilah “ tantulisme “ ini masih baru dan tentunya masih asing bagi para pakar budaya Jawa. Sekalipun istilahnya baru, tetapi sebenarnya tuntalisme adalah semangat yang sudah sejak jaman dahulu tumbuh subur dikalangan masyarakat Jawa. Berbagai istilah alternatif terhadap sinkretisme tersebut bisa dipersepsikan semangat yang terdapat di dalam dan merupakan ciri karetistik pandangan Jawa.Istilah-istilah tersebut terkesan hanya menunjuk pada bentuk dan proses yang terjadi, bukan pada semangat. Istililah-istilah tersebut juga tidak mampu menunjuk secara tegas perbedaan yang mendasar dengan sinkretisme.
Prof. J.H.C Kern telah menuangkan pendapatnya melalui karangannya “ Over de Vermenging Van Civaisme en Buddhisme op Java, Naar aanleiding van het Oudjavaasch gedicht Sutasoma “ hanya terpukau pada proses percampuran atau vermenging antar dua agama yang menjadi obyek penelitiannya, yaitu Civaisme ( Hindu ) dan Buddhisme.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi Pandangan Hidup dan Sikap Hidup orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa, memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi dengan nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi jiwa seni dan budaya Jawa.
Dalam ungkapan " Crah Agawe Bubrah - Rukun Agawe Santosa " menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya :
1.       Aja Dumeh = Marasa dirinya lebih
2.       Mulat Sarira, Hangrasa Wani = Mawas diri, instropeksi diri
3.       Mikul duwur, mendem jero = Menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia orang lain
4.       Ajining diri saka obahing lati = Harga diri tergantung ucapnya
Prinsip pengendalian diri dengan " Mulat Sarisa " suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta " Aja Dumeh " adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya yang masih mempunyai arti yang sangat luas.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat istiadat masyarakat Jawa. Yaitu : Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif serta Optimistik.
Berbagai perlambang dan ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bermakna " Piwulang " atau pendidikan moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati. Terkemas hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah mengenal serta menggabungkan segala bentuk kesenian dari India dan dan kesenian asli Jawa serta menjadi sempurna dengan menambahkan ajaran Islami di pulau Jawa.
Paham mistik yang berpokok " Manunggaling Kawula Gusti " ( persatuan manusia dengan Tuhan ) dan " Sangkan Paraning Dumadi " ( asal dan tujuan ciptaan ) bersumber pada pengalaman religius. Berawal dari sana, manusia rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber dan muaranya. Perumusan pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur, Kidung dan Suluk.

Religi Jawa
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya. Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada awalnya dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam, dengan pandangan asli mengenai alam kodrati ( dunia ini ) dan alam adikodrati ( alam gaib atau supranatural )
Niels Mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan supranatural ( adikodrati ). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki kirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna ( dunia atas – dunia manusia - dunia bawah ). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata ( mikrokosmos ) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusai sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia inii tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap perwujudan wakil Tuhan di dunia ,sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam. Jadi raja dipandang sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari wakil Tuhan dengan keraton sebagi tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena rajapun dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan wilayah.
Hal hal diatas merupakan gambaran umum tentang alam pikiran serta sikap dan pandangan hidup yang dimiliki oleh orang Jawa pada jaman kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar kuat dan menjadi landasan falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam tata kehidupan orang Jawa.

Kegiatan Religius Orang Jawa Kejawen.
Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen atau kejawaan adalah Javanism, Javaneseness ; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.
Neils Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu – Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang menimbulkan anthropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu katagori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidp yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.
Dasar pandangan manusia jawa berpendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya dengan sabar. Anggapan – anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman.
Kejawaan atau kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia-rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan – keturunannya yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas di kalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam yang dapat dianggap sebagai Kejawen.
Budaya Jawa Kejawen memahami kepercayaan pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan . Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya : Senin – Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat, orang dapat menjadi lebih tekun dan kelak akan mendapat pahala. Orang Jawa kajawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat ini dengan tinggi serta mampu menahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa Kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi, menurut Koentjaraningrat meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata ( bertapa ) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di Gunung, Makam leluhur, ruang yang mempunyai niali keramat dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
Yang lama, kita pahami, Yang kini kita mengerti, Kedepan kita cerdasi
Metani kaelokaning mangsa
aja gandrung tan wewaton
sajak arumangsa bias
Namung datan rerumangsan
isin lamun sesulayan
ndadak angupara beda
ombonen sarwa pangapura liyan
Betah melek .....melok.! - Betah luwe.......Luwih.!

CIPTA TUNGGAL
cipta bermakna: pengareping rasa, tunggal artinya satu atau difokuskan ke satu obyek. Jadi Cipta Tunggal bisa diartikan sebagai konsentrasi cipta.
1.       Cipta, karsa ( kehendak ) dan pakarti ( tindakan ) selalu aktif selama orang itu masih hidup. Pakarti bisa berupa tindakan fisik maupun non fisik, pakarti non fisik misalnya seseorang bisa membantu memecahkan atau menyelesaikan masalah orang lain dengan memberinya nasehat, nasehat itu berasal dari cipta atau rasa yang muncul dari dalam. Sangatlah diharapkan seseorang itu hanya menghasilkan cipta yang baik sehingga dia juga mempunyai karsa dan pakarti/tumindak yang baik, dan yang berguna untuk diri sendiri atau syukur -syukur pada orang lain.
2.       Untuk bisa mempraktekkan tersebut diatas, orang itu harus selalu sabar, konsestrasikan cipta untuk sabar, orang itu bisa makarti dengan baik apabila kehendak dari jiwa dan panca indera serasi lahir dan batin. Ingatlah bahwa jiwa dan raga selalu dipengaruhi oleh kekuatan api, angin, tanah dan air.
3.       Untuk memelihara kesehatan raga, antara lain bisa dilakukan :
Minumlah segelas air dingin dipagi hari, siang dan malam sebelum tidur, air segar ini bagus untuk syarat dan bagian-bagian tubuh yang lain yang telah melaksanakan makarti.
Jagalah tubuh selalu bersih dan sehat, mandilah secara teratur di negeri tropis sehari dua kali.
Jangan merokok terlalu banyak.
Konsumsilah lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dan sedikit daging, perlu diketahui daging yang berasal dari binatang yang disembilah dan memasuki raga itu bisa berpengaruh kurang baik, maka itu menjadi vegetarian ( tidak makan daging ) adalah langkah yang positif.
Kendalikanlah kehendak atau nafsu, bersikaplah sabar, narima dan eling. Janganlah terlalu banyak bersenggama, seminggu sekali atau dua kali sudah cukup.
4.       Berlatihlah supaya cipta menjadi lebih kuat, pusatkan cipta kontrol panca indera. Tenangkan badan ( heneng ) dengan cipta yang jernih dan tentram ( hening ) Bila cipta bisa dipusatkan dan difokuskan kearah satu sasaran itu bagus, artinya cipta mulai mempunyai kekuatan sehingga bisa dipakai untuk mengatur satu kehendak.
5.       Buatlah satu titik atau biru ditembok atau dinding ( . ) duduklah bersila dilantai menghadap ke tembok, pandanglah titik itu tanpa berkedip untuk beberapa saat, konsentrasikan cipta, kontrol panca indera, cipta dan pikiran jernih ditujukan kepada titik tersebut. Jangan memikirkan yang lain, jarak mata dari titik tersebut kira-kira tujuh puluh lima sentimeter, letak titik tersebut sejajar dengan mata, lakukan itu dengan santai.
6.       Lakukan latihan pernafasan dua kali sehari, pada pagi hari sebelum mandi demikian juga pada sore hari sebelum mandi tarik nafas dengan tenang dalam posisi yang enak.
7.       Lakuakan olah raga ringan ( senam ) secara teratur supaya badan tetap sehat, sehingga mampu mendukung latihan olah nafas dan konsentrasi.
8.       Hisaplah kedalam badan Sari Trimurti pada hari sebelum matahari terbit dimana udara masih bersih, lakukan sebagai berikut :
Tarik Nafas Tahan Nafas Keluarkan Nafas Jumlah
10 detik 10 detik 10 detik 30 detik minggu I : 3 kali
15 detik 10 detik 15 detik 40 detik minggu II : 3 kali
20 detik 10 detik 20 detik 50 detik minggu III : 3 kali
26 detik 08 detik 26 detik 60 detik minggu IV : 3 kali
9.       Untuk memperkuat otak tariklah nafas dengan lobang hidung sebelah kiri dengan cara menutup hidung sebelah kiri dengan cara menutup lobang hidung sebelah kanan dengan jari, lalu tahan nafas selanjutnya keluarkan nafas melalui lobang hidung sebelah kanan, dengan menutup lobang hidung sebelah kiri dengan jari.
Tarik Nafas Tahan Nafas Keluarkan Nafas Jumlah
4 detik 8 detik 4 detik 16 detik minggu I : 7 kali
10 detik 7 detik 10 detik 27 detik minggu II : 7 kali
10 detik 10 detik 10 detik 30 detik minggu III & IV : 7 kali
20 detik 20 detik 20 detik 60 detik minggu V : 7 kali
10.   Karsa akan terpenuhi apabila nasehat-nasehat diatas dituruti dengan benar, praktekkan samadi pada waktu malam hari, paling bagus tengah malam ditempat atau kamar yang bersih. Kontrol panca indera, tutuplah sembilan lobang dari raga, duduk bersila dengan rilek, fokuskan pandangan kepada pucuk hidung. Tarik nafas, tahan nafas, dan keluarkan nafas dengan tenang dan santai, konsentrasikan cipta lalu dengarkan suara nafas. Pertama-tama akan dirasakan sesuatu yang damai dan apabila telah sampai saatnya orang akan bisa berada berada dalam posisi hubungan harmonis antara kawula dan Gusti ALLAH
11.   Cobalah lakukan sebagai berikut :
Lupakan segalanya selama dua belas detik
Dengan sadar memusatkan cipta kepada dzat yang agung selama seratus empat puluh detik. Jernihkan pikiran dan rasa selama satu, dua atau tiga jam ( semampunya )
12.   Tujuh macam tapa raga, yang perlu dilakukan
Tapa mata, mengurangi tidur artinya jangan mengejar pamrih.
Tapa telinga, mengurangi nafsu artinya jangan menuruti kehendak jelek.
Tapa hidung, mengurangi minum artinya jangan menyalahkan orang lain
Tapa bibir, mengurangi makan artinya jangan membicarakan kejelekan orang lain
Tapa tangan, jangan mencuri artinya jangan mudah memukul orang
Tapa alat seksual, mengurangi bercinta dan jangan berzinah
Tapa kaki, mengurangi jalan artinya jangan membuat kesalahan
13.   Tujuh macam tapa jiwa yang perlu dilakukan
Tapa raga, rendah hati melaksanakan hanya hal yang baik
Tapa hati, bersyukur tidak mencurigai orang lain melakukan hal yang jahat
Tapa nafsu, tidak iri kepada sukses orang lain, tidak mengeluh dan sabar pada saat menderita
Tapa jiwa, setia tidak bohong, tidak mencampuri urusan orang
Tapa rasa, tenang dan kuat dalam panalongso
Tapa cahaya, bersifat luhur berpikiran jernih
Tapa hidup, waspada dan eling
berketetapan hati tidak ragu-ragu selalu yakin orang yang kehilangan keyakinan atas kepercayaan diri adalah seperti pusaka yang kehilangan yoninya atau kekuatannya
14.   Menghormati orang lain tanpa memandang jenis kelamin, kedudukan, suku, bangsa, kepercayaan dan agama, semua manusia itu sama : saya adalah kamu ( tat twan asi ). Artinya kalau kamu berbuat baik kepada orang lain, itu juga baik buat kamu, kalau kamu melukai orang lain itu juga melukai dirimu sendiri.
15.   Sedulur papat kalimo pancer
Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat ( saudara empat ) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh kekausaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu :
Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam.
16.   Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer, pancer kelima itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang menyebut mereka keblat papat lima tengah, ( empat jurusan yang kelima ada ditengah ). Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi. Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya putih dan kuning, kamu bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya sesudah kamu melaksankan tapa brata ( laku spiritul yang sungguh-sungguh )
17.   Tingkatkan sembah, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berarti juga menghormati dan memujaNYA, istilah lainnya ialah Pujabrata. Ada guru laku yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak diperkenankan melakukan pujabrata, sebelum melewati tapabrata.
a.       Sembah raga
Ini adalah tapa dari badan jasmani, seperti diketahui badan hanyalah mengikuti perintah batin dan kehendak. Badan itu maunya menyenag-nyenangkan diri, merasa gembira tanpa batas. Mulai hari ini, usahakan supaya badan menuruti kehendak cipta yaitu dengan jalan: bangun pagi hari, mandi, jangan malas lalau sebagai manusia normal bekerjalah. Makanlah makanan yang tidak berlebihan dan tidur secukupnya saja: makan pada waktu lapar, minum pada waktu haus, tidur pada waktu sudah mengantuk, pelajarilah ilmu luhur yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
b.       Sembah cipta
1.       kamu harus melatih pikiranmu kepada kenyataan sejati kawula engenal Gusti.
2.       Kamu harus selalu mengerjakan hal-hal yang baik dan benar, kontrollah nafsumu dan taklukan keserakahan. Dengan begitu rasa kamu akan menjadi tajam dan kamu akan mulai melihat kenyataan.
Berlatih cipta sebagai berikut :
1.       Lakukan dengan teratur ditengah, ditempat yang sesuai.
2.       Konsentrasikan rasa kamu
3.       Jangan memaksa ragamu, laksanakan dengan santai saja
4.       Kehendahmu jernih, fokuskan kepada itu
5.       Biasakanlah melakukan hal ini, sampai kamu merasa bahwa apa yang kamu kerjakan itu adalah sesuatu yang memang harus kamu kerjakan, dan sama sekali tidak menjadi beban
Kini kamu berada dijalan yang menuju ke kenyataan sejati, kamu merasa seolah-olah sepi tidak ingat apapun, seolah-olah badan astral dan mental tidak berfungsi, kamu lupa tetapi jiwa tetap eling ( sadar ) itulah situasi heneng dan hening dan sekaligus eling kesadaran dari rasa sejati. Ini hanya bisa dilaksanakan dengan keteguhan hati sehingga hasilnya akan terlihat.
c.       Sembah jiwa
Sembah jiwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan rasa yang mendalam menggunakan jiwa suksma yang telah kamu temui pada waktu pada heneng, hening dan eling, ini adalah sembah batin yang tidak melibatkan lahir. Apabila kamu melihat cahaya yang sangat tenang tetapi tidak menyilaukan itu pertanda kamu sudah mulai membuka dunia kenyataan. Cahaya itu adalah pramana kamu sendiri, kamu akan merasa yakin pada waktu bersamadi, kamu dan cahaya itu saling melindungi.
d.       Sembah rasa artinya sejati ( rasa sejati )
1. Kita bisa mengerti dengan sempurna untuk apa kita diciptkan dan selanjutnya apakah tujuan hidupmu.
2. Kita akan mengerti dengan sempurna atas kenyataan hidup dan keberadaan semua mahluk melalui olah samadi atau memahami Sangkan Paraning Dumadi, hubungan harmonis antara kawula dan Gusti layaknya seperti manisnya madu dan madunya, tidak terpisahkan.
Nyinau ngilmu kedah ngertos ilmunipun
Ilmu bebukanipun sarana piker
Ngilmu lelabetan kalian laku
Olehipun sampurna kedah kekalih
Menawi sampun lajeng kagunaknya
Adamel uruping sasamya
Samodraning guna agesang

MEDITASI
Dalam olah batin, meditasi menjadi salah satu topik pembicaraan yang tiada habis-habisnya. Tentu hal tersebut ada sebabnya, sebabnya tiada lain karena meditasi adalah salah satu usaha proses untuk meningkatkan pengembangan pribadi seseorang secara total. Tulisan ini didasari oleh pengalaman pribadi dan pengalaman temen-temen penulis yang melakukan laku olah batin serta berbagai literatur mengenai meditasi.

Tulisan ini merupakan usaha melengkapi tulisan J. Sujianto yang berjudul “ Pengembangan Kwalitas Pribadi di Bidang Kebatinan, suatu Proses Meningkatkan Kreatifitas dan Pengetahuan Dunia Gaib “

Apakah Meditasi ?
Mengusahakan rumus yang pasti mengenai arti meditasi tidaklah mudah, yang dapat dilakukan adalah memberi gambaran berbagi pengalaman dari mereka yang melakukan meditasi, berdasarkan pengalaman meditasi dapat berarti :
1. Melihat ke dalam diri sendiri
2. Mengamati, refleksi kesadaran diri sendiri
3. Melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang berobah-obah, membebaskan keinginan duniawi sehingga menemui jati dirinya yang murni atau asli.
Tiga hal tersebut diatas baru awal masuk ke alam meditasi, karena kelanjutan meditasi mengarah kepada sama sekali tidak lagi mempergunakan panca indera ( termasuk pikiran dan perasaan ) terutama ke arah murni mengalami kenyataan yang asli.

Perlu segera dicatat, bahwa pengalaman meditasi akan berbeda dari orang ke orang yang lain, karena pengalaman dalam bermeditasi banyak dipengaruhi oleh latar belakang temperamen, watak dan tingkat perkembangan spiritualnya serta tujuan meditasinya dengan kulit atau baju kebudayaan orang yang sedang melaksanakan meditasi.
Secara gebyah uyah ( pada umumnya ) orang yang melakukan meditasi yakin adanya alam lain selain yang dapat dijangkau oleh panca indera biasa. Oleh karena itu mungkin sekali lebih tepat jika cara-cara meditasi kita masukkan ke golongan seni dari pada ilmu. Cara dan hasil meditasi dari banyak pelaku olah batin dari berbagai agama besar maupun perorangan dari berbagai bangsa, banyak menghasilkan kemiripan-kemiripan yang hampir-hampir sama, tetapi lebih banyak mengandung perbedaan dari pribadi ke pribadi orang lain. Oleh karena itu kita dapat menghakimi hasil temuan orang yang bermeditasi, justru keabsahan meditasinya tergantung kepada hasilnya, umpamanya orang yang bersangkutan menjadi lebih bijaksana, lebih merasa dekat dengan Tuhan, merasa kesabarannya bertambah, mengetahui kesatuan alam dengan dirinya dan lain-lainnya.
Keadaan hasil yang demikian, sering tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang-orang ( masyarakat ) di sekitar diri orang tersebut karena tingkah-lakunya maupun ucapan-ucapannya serta pengabdiannya kepada manusia lain yang membutuhkan bantuannya, mencerminkan hasil meditasinya.

Cara-cara dan akibat bermeditasi.
Cara bermeditasi banyak sekali.
Adapun yang memulai dengan tubuh, arti meditasi dengan tubuh adalah mempergunakan menyerahkan tubuh ke dalam situasi hening. Lakuknya adalah dengan mempergunakan pernafasan, untuk mencapai keheningan, kita menarik nafas dan mengeluarkan nafas dengan teratur. Posisi tubuh carilah yang paling anda rasakan cocok / rileks, bisa duduk tegak, bisa berbaring dengan lurus dan rata. Bantuan untuk lebih khusuk jika anada perlukan, pergunakan wangi-wangian dan atau mantra, musik yang cocok dengan selera anda, harus ada keyakinan dalam diri anda, bahwa alam semesta ini terdiri dari energi dan cahaya yang tiada habis-habisnya. Keyakinan itu anda pergunakan ketika menarik dan mengeluarkan nafas secara teratur. Ketika menarik nafas sesungguhnya menarik energi dan cahaya alam semesta yang akan mengharmoni dalam diri anda, tarik nafas tersebut harus dengan konsentrasi yang kuat. Ketika mengelurkan nafas dengan teratur juga, tubuh anda sesungguhnya didiamkan untuk beberapa saat. Jika dilakukan dengan sabar dan tekun serta teratur, manfaatnya tidak hanya untuk kesehatan tubuh saja tetapi juga ikut menumbuhkan rasa tenang.
Bermeditasi dengan usaha melihat cahaya alam semesta, yang dilakukan terus menerus secara teratur, akan dapat menumbuhkan ketenangan jiwa, karena perasaan-perasaan negatif seperti rasa kuatir atau takut, keinginan yang keras duniawi, benci dan sejenisnya akan sangat berkurang, bahkan dapat hilang sama sekali, yang hasil akhirnya tumbuh ketenangan. Meditasi ini harus juga dilakukan dengan pernafasan yang teratur.
Kesulitan yang paling berat dalam bermeditasi adalah “ mengendalikan pikiran dengan pikiran “ artinya anda berusaha “ mengelola “ pikiran-pikiran anda, sampai mencapai keadaan “ Pikiran tidak ada “ dan anda tidak berpikir lagi, salah satu cara adalah “ mengososngkan pikiran “ dengan cara menfokuskan pikiran anda kepada suatu cita-cita, umpamanya cita-cita ingin menolong manusia manusia lain, cita-cita ingin manunggal dengan Tuhan. Cita-cita ingin berbakti kepada bangsa dan negara, cita-cita berdasarkan kasih sayang dan sejenis itu menjadi sumber fokus ketika hendak memasuki meditasi. Secara fisik ada yang berusaha “ mengosongkan pikiran “ dengan memfokuskan kepada “ bunyi nafas diri sendiri “ ketika awal meditasi, atau ada juga yang menfokuskan kepada nyala lilin atau ujung hidung sendiri.
Jika proses meditasi yang saya lukiskan tersebit diatas dapat anda lakukan dengan tepat, maka anda dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam pengertian spiritual, yang akibatnya pasti baik untuk diri anda sendiri, mungkin juga bermanfaat untuk manusia lain
Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi.
Jika dalm proses tersebut pikiran anda belum dapat anda “ kuasai atau hilangkan “ janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan meneruskannya, karena berciri sangat pribadi.
Untuk dapt berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi anda. Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua bahas bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak mengatahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian itu, dan mungkin pula memperoleh “ pengetahuan “ tentang alam semesta atau lainnya.

Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling (Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. termasuk ajaran tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur).

SAMADI
Samadi berasal dari kata : Sam artinya besar dan Adi artinya bagus atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci.

Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada aktifitasdari getaran hidup murni murni sebagai sifat-sifat hidup dari Tuhan.

Budi suci terlihat seperti cahaya atau sinar yang disebut Nur, Nur itu adalah hati dari budi. Kesatuan dari budi dan nur secara mistis disebut curigo manjing warongko atau bersatunya kawula dan Gusti atau juga biasa digambarkan Bima manunggal dengan Dewa Ruci.
Istilah lainnya ialah Pangrucatan atau Kamukswan, pangrucatan itu arinya dilepas, apa yang dilepas ? pengaruh dari nafsu . mukswa artinya dihapus, apa yang dihapus ? pengaruh dari nafsu, oleh karena itu samadi adalah satu proses dari penyucian budi, budi menjadi nur. Di dalam nur ini, kawula bisa berkomunikasi dengan Gusti untuk menerima tuntunan sesuai dengan kedudukannya sebagai kawula.

Praktek Samadi
Waktu bersamadi orang bisa mengambil posisi duduk atau tidur telentang diatas tempat tidur. Pilihlah tempat yang bersih, tenang dan aman, bernafaslah dengan santai, pada posisi tidur kaki diluruskan, kedua tangan diletakkan didada. Dengarkanlah dengan penuh perhatian suara nafas dengan tenang, menghirup dan mengeluarkan udara melalui hidung. Ini akan membuat pikiran menjadi tidak aktif. Nikmatilah suara nafas dengan jalan menutup mata, ini sama seperti kalau memusatkan pandangan kepada pucuk hidung. Dengan melakukan ini, pikiran dinetralisir demikian juga angan-angan dan pengaruh panca indera. Sesudah itu nafsu dinetralisir didalam indera ke enam. Bila berhasil orang akan berada dalam suwung dan nur mendapatkan tuntunan mistis yang simbolis.
Manusia.

Manusia dicaptakan oleh Tuhan, manusia adalah makluk yangmempunyai :
1. Badan jasmani – badan kasar.
2. Badan jiwa – badan alus.
3. Badan cahaya – nur atau suksma

Dengan susunan seperti tersebut diatas, diharapkan akan mampu mengetahui “ Sangkan Paraning Dumadi “ ( makna perjalanan kehidupan )

Memahami Jagad Raya.
Sebelum adanya jagad raya, tidak ada apa-apa kecuali kekosongan dan suwung. Didalam suwung terdapat sifat-sifat hidup dari Tuhan, jagad raya adalah suatu Causa prima. Sifat-sifat hidup Tuhan terasa seperti getaran dan getaran ini terus menerus. Ada tiga elemen yang terdiri dariL
1. Elemen merah dengan sinar merah, ini panas
2. Elemen biru dengan sinar biru, ini dingin
3. Elemen kuning dengan sinar kuning, ini menakjubkan.

Elemen-elemen ini selalu bergetar. Sebagai hasil dari perpaduan ketiga elemen tersebut, elemen ke empat lahir dengan warna putih atau putih keperak-perakan dan inilah yang disebut nur. Nur itu adalah sari dari jagad raya, ada yang menjadi calon planet, ada yang menjadi badan budi atau jiwa yaitu badan jiwa dari manusia, ketika nur menjadi sari dari badan jasmani manusia. Itu artinya didalam jagad raya dan galaksi akan selalu dilahirkan planet-planet dan bintang-bintang baru. Kondisi dari plenet-planet yang baru dilahirkan bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena tergantung kepada pengaruh dari tiga elemen tersebut, ada planet yang bisa dihuni dan yang tidak bisa dihuni.
Miyos saking renteging hawa
ambedah anggit prayitnaing piker
sesumeh bayu ayuning asih
njembari pajar latuning titah
ilang lunganing ngawang
nemoni asrep reseping wening
Ono sanepa kagem pepiling
Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.

Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok dheweke iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya anaa ing ngendi wae enggone nyugulake dirine, Amarehe diwedeni ing wong akeh panguwuhe gawe kekesing wong yen anyentak dadi panggugupake lan gawe gemeter dirine, ditrisnani ing wong akeh pitembungane digatekake lan pakartine diluhurake ing wong akeh, iya pancen nyata wong liyane mesthi tunduk marang sawijining wong kang ahli ilmu.

Wong ahli kasutapan tansah yakin enggone ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem dhirine. Ana paedahe kang migunani banget manawa wong nindakake pambudi daya kalawan misah dheweke ana ing papan kang sepi karana tinimune kekuwatan gaib iku sok-sok tinemu dhewekan ana ing sepen. Wong ahli kasutapan kudu budidaya bisane nglawan marang nepsune kekarepan umum (kekarepan wong akeh kang campur bawur ngumandang ana ing swasana), kalawan tumindak mangkono wong ahli kasutapan mau dadi nduweni pikiran-pikiran kang mardhika, iya pikiran-pikiran kang mangkono iku kang bisa nekakake kasekten gaib.

Sangsaya akeh kehing kang kena tinides, uga sangsaya gedhe tumandhoning kekuwatan gaib kang kinumpulake. Kekuwatan gaib iku tansah makarti tanpa kendhat enggone mujudake sedya lan nganakake kekarepan. Wong ahli kasutapan kudu anduweni ati kang tetep lan kekarepan kan dereng, kalawan ora maelu marang anane pakewuh pakewuhe lan kagagalan-kagagalaning. Kasekten iku kaperang ana rong warna, iya iku kasekten putih (Witte magie/white magic) utawa kasekten ireng (Zwarte magie/Black Magic). Awit saka anane perangan mau banjur dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane ala.

Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya.

Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh liya-liyane maneh.

Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa mau. Kalawan mangkono dzat "prabawa" iku dadi kumpul ing dalem badane wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane.

Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib.

Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan "rasa wedi" iku atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa.

Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib, atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos.

"Nepsu" iku andadekake tanpa dayane kekuwataning batin. "Semang-semang" iku andadekake ati kang peteng ora padhang terang. "Sengit utawa drengki" iku uga dadi mungsuhing kekuwatan gaib. Wong kang lagi nindakake katamtuwan ing dalem kasutapan kudu kalawan ati kang sabar anteng lan tetep. Patrapebadan kang kaku lan kagugupan kudu didohake .

Aja sok singsot
Aja duwe lageyan sok nethek nethek kalawan driji tangan marang meja kursi utawa papan liyane.

Aja ngentrok-entrokake sikil munggah mudhun.
Aja sok anggigit kukuning dariji tangan.
Aja mencap-mencepake lambe.
Aja molahake lidhah lan andhilati lambe.
Aja narithilake kedheping mata.

Ngedohake sakehing saradan utawa bendana kang ora becik, kayata glegak-glegek molah-molahake sirah, kukur-kukur sirah, ngangkat pundhak lan liya-liyane sabangsane saradan kabeh.

Satemene perlu banget nyirnakake kekarepan "drengki" luk wit ngrasaning karep drengki iku banget nindhih marang diri pribadi. Ana maneh "drengki" iku kaya anggawa sawijining pikulan abot kang tansah nindhes marang dhiri lan sarupa ana barang atos medhokol kang angganjel pulung ati. "Drengki lan meri" iku mung anggawa karugiyan bae tumrap kita, ora ana gunane sathithik -thithika. Salawase wong isih anduweni pangrasan karep "drengki lan meri" iku ora bakal bisa tumeka kamajuwane tumrap dunya prabawaning gaib.

Ora mung tumindak bae tumrap sawijining wong bae bisa maluyakake wong liya kalawan kekuwatan gaib nanging uga tumindak tumrap sawijining wong maluyakake dhiri pribadi kalawan kekuwatan iku. Bisane maluyakake larane wong liya, mesthine kudu ngirima kekuwatan waluya marang sajroning badane wong kang lara. Manawa wong gelem naliti yen wong iku bisa ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem badane dhewe lan ngetokake sabageyan kekuwatan gaib kawenehake marang wong liyane mestheni uwong bisa ngreti yen arep migunakake kekuwatan iku nganggo paedahe dhiri dhewe uga luwih gampang.

Supaya bisa nindhakake pamaluya marang dhirine dhewe kalawan sampurna wong ngesthi kudu mahamake cara-carane maluyakake panyakit. Iya iku cara-cara kang katindakake kanggo maluyakake wong liya lan wusanane ambudidaya supaya bisa migunakake obah-obahan iku marang awake dhewe.

Kawitane wong kudu nindakake patrape mangreh napas, kanggo negahake asabat. Dene carane ngatur napas iku kaprathelakake kalayan ringkes kaya ing ngisor iki :

Madika panggonan kang sepi.
Lungguha ing sawijining palinggihan kang endhek lan kepenak, sikil karo pisan tumapak ing lemah.

Badan kajejegake lan janggute diajokake.
Benik-beniking klambi kang kemancing padha kauculan, sabuk uga diuculi supaya sandangan dadi longgar lan kepenak kanggo tumindhak ing napas.

Pikiran katarik mlebu, supaya luwar saka sakehing geteran pikiran kaya saka ing jaba.

Sakehing urat-urat kakendokake.

Banjur narika napas kalawan alon lan nganti jero banget tahanen napas iku sawatara sekon/detik (kira-kira 6 detik) lan wusanane wetokna napas iku kalawan sareh.

Anujokna gumolonging pikiran kalawan ngetut marang napas kang mlebu metu iku kalawan giliran. Cara nindakake napas kaya ing ngisor iki :

Narik napas kalawan alon lan nganti jero ing sabisane, nganti dhadha mekar lan weteng dadi nglempet.

Nahan napas iku kira-kira nem saat utawa luwih suwe ing dalem paru-paru dhadhane cikben lestari mekare, lan wetenge cikben lestaringlempetake kalawan mangkono iku gurung dalaning napas tansah tetep menga.

Ambuangna napas kalawan alon nganti entek babar pisan nganti dhadha dadi kempes, lan weteng dadi mekar.

Banjurna marambah-rambah matrapake mangkono iku suwene kira-kira saka lima tumeka limolas menit utawa luwih suwe nganti bisa nemoni pangrasa anteng lan tentrem ing sajroning badan.


Carane matrapake kasebut ing dhuwur iku sawijining cara kanggo napakake napas, iki kena lan kudu ditindakake saben dina telung rambahan, dening sapa bae kang nglakoni tapa supaya oleh ilmu gaib. Daya kang luwih bagus iya iku miwiti makarti miturut pituduhan. Aja weya nindakake patrap kanggo napakake napas iku.

Cara matrapake tumindaking napas iku kena uga ditindakake kalayan leyeh-leyeh mlumah : ngendokake sakabehing urat-urat nyelehake tangan karo pisan sadhuwuring weteng lan nindakake lakuning napas miturut aturan. Daya ngisekake Prana Ngadeg kalawan jejeg sikil karo pisan kapepetake dadi siji lan driji -drijining tangan karo pisan dirangkep dadi siji kalawan longgar.

Banjur matrapa lakuning napas sawatara rambahan miturut aturan. Gawe segering utek lungguha kalawan jejeg lan nyelehna tangan karo pisan ing sandhuwuring pupu kiwa tengen: mripat mandheng marang arah ing ngarep kalawan tetep: sikil karo pisan tumadak ing lemah. Kalawan jempol tangan tengen anutup lenging grana sisih tengen lan anarika napas liwat lenging grana sisih kiwa, wusana nglepasake jempol iku banjur ambuwang napas lan nutupa lenging grana kiwa kalawan driji narika napas liwat lenging grana tengen, lepasna driji panutup iku lan ambuwanga napas. Mangkono sabanjure kalawan genti-genten kiwa lan tengen.


AL FAATIHAH ( BEBUKA )
Surat kaping 1 : 7 ayat
(Tumuruning wahyu ana ing Mekkah, tumurun sawuse surat Al-Muddatstsir )
Bahasa arab Bahasa jawa
1.Bismillahir rahmaanir rahim
2.Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin
3.Arrahmanir rahiim
4.Maaliki yaumid diin
5.yyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in
6.Ihdinash shiraathal mustaqiim
7.Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘ alaihim waladl dlaal-liin

1.Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih.
2.Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran, Sesembahaning ‘ alam jagad-rat ramudita.
3.Kang Maha Murah Maha Asih.
4. Kang Ngratoni ing dina Piwelas.
5. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ‘ ibadah, saha namung humateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong pitulungan.
6. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita sadaya lumampah wonten ing margi ingkang leres.
7. Inggih punika margi, Agaminipun para tetiyang ingkang sampun Paduka paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes ingkang sami sasar.


Isi maksud ingkang wigatos ing Surat Al-Faatihah :
Intisari saking isinipun Al-Quraan punika sampun kaweca pokok-pokok ingkang fundamentil wonten salebeting Surat Al Faatihah, kados kasebut ing ngandhap punika :
1.       Bab ‘aqaid utawi kaimanan ; punika kuwajiban ingkang wiwitan kaampil, ingkang dipun da’wahaken dening junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w, makaten ugi dening para andika Rasul saderengipun. Ingkang baku inggih punika ‘ aqidah-tauhid ( memundhi saha mangeran namung dhumateng Panjenanganipun Allah piyambak ) ‘ Aqidah-tauhid wau dados jejering piwucal Agami, sadaya para andika Nabi Utusaning Allah kautus ngampil tugas-pokok mbangun Tauhid ing Allah, sarta ngrebahaken sadaya kamusyrikan, ugi ngajak Ummatipun supados samia ‘ibadah ( manembah ) ing Allah piyambak, lan nilar sadaya brahalanipun.
2.       ‘Ibadah ; utawi ngumawula lan manembah ing Allah, ingkang kuwajiban sadaya titah, langkung-langkung manungsa ( sabab manungsa punika makhluk ingkang saged damel kabudayan wonten ing ‘ alam donya ). Ingkang baku wonten sekawan, inggih punika : Shalat, Zakat, Shiyam lan kesah Haji. Saking ingkang baku kasebut, lajeng tuwuh ‘ibadah memuji, ndedonga, dzikir lan tafakkur utawi I’tikaf ing masjid. Saking zakat lajeng tuwuh ‘ ibadah qurban sidqah, weweweh lan tetulung ing sasaminipun, lan saking Shiyam tuwuh watak Wira’I 9 mboten ndremis lan mboten kathah sesambat ) sumingkir saking ingkang nama lelangkungan ( gesang prasaja ). Lajeng saking Haji tuwuh semangat ambelani sarta labuh ing agami.
3.       Angger- angger Hukum lan Pernatan- pernatan : maksudipun Syari’at Islam damel angger-angger hukum lan pranatan punika kangge karaharjaning ummat manungsa ing Donya dumugi ing Akheratipun. Pramila ing salebetingQuraan ngemot pinten-pinten norma lan katamtuwan, upami hukum, politik, tatanagari, sosial, ekonomi, perang, dahme, sesambetan internasional, kabudayan sarta kesenian, agami, sesambetaning manungsa kaliyan Allah, lan lingkungan sapiturutipun.
4.       Janji sarta ancaman : artosipun supados ngadeg keadilan lan keleresan ingkang saestu, sanajan wonten Donya saged lolos saking hukuman, nanging wonten ngarsaning Allah ing dinten Qiyanat tantu nboten saged lolos malih.
5.       Sejarah : maksudipun ingkang saged dados tepa-palupi ing salebeting sesrawungan ummat manungsa, sampun ngantos damel sejarah awon, gesang sapisan wonten ing ‘ alam Donya.

AYAT KURSI
Allahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul qayyuumu laa ta’khudzuhuu sinatuw wa laa nauum, lahuu maa fis-samaawaati wa maa fil ardhi man dzal-ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi-idznihii ya’lamu maa baina aidiihim wamaa khalfahum, walaa yuhiithuuna bisyai-im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa-a wasi’a kursiyyu hus-samaawaati wal-ardha walaa ya-uuduhuu hif zhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.
Allah ora ana Pangeran kang sinembah kajaba mung Panjenengane piyambak kang Sugeng sarta kang Jumeneng Pribadi,Allah iku ora kataman ngantuk lan ora kataman sare,Kagungane ALLAH samubarang kang ana ing langit lan samubarang kang ana ing bumi.Ora ana kang bisa aweh syafa’at ana ing ngarsaning Allah, kajaba manawa oleh palilahe. Allah iku Ngawuningani samubarang kang ana ing ngarep lan saburine wong-wong mau, dheweke mau ora ana kang padha bisa nglimputi sathithik bahe saka ilmuNE ALLAH, kajaba barang kang dadi kaparenging Karsane. Jembare kursine Allah iku amot langit lan bumi, panjenengane ora rekaos anggone rumeksa ing sakarone langit lan bumi, lan Panjenengane Allah iku Maha Luhur tur Maha Agung. (QS. Al Baqarah:255)

SASTRA JENDRA SEBAGAI AJARAN SINENGKER (RAHASIA)
1)      Ajaran ini bersumber dari istilah Sastra Harjendra Yuning Rat yang bersumber dari kisah Arjoena-Sasra Baoe karya pujangga R.Ng.Sindoesastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Ungkapan serupa : Sastra Herjendra Hayuning Bumi (ibid:30) Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Barang Sakilar (ibid:31), atau Sastradi (ibid:31), sastra Hajendra (ibid:31), sastra Hajendra Yuningrat Pangruwating Diyu (ibid:31), sastra Hajendra Wadiningrat (ibid:31), Sastrayu (ibid: 32, 34), atau sastra Ugering Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patitising Kamuksan (ibid:32), Jatining Sastra (ibid:32).
2)      Arti masing-masing istilah (Pradipta 1995) adalah sbb:
a.       Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu ajaran tertinggi yang jelas tentang keselamatan alam semesta)
b.       Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa).
c.       Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta rahasia dunia)
d.       Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan)
3)      Penafsiran
a.       Seperti diketahui dalam kitab Arjoena-Sasra-Boe tak ada uraian yang memadai tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran Sastra Jendra yang sinengker itu. Namun demikian janganlah lalu ditafsirkan bahwa di kalangan masyarakat Jawa tak ada seorangpun terutama pada waktu itu yang tidak tahu tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran tersebut. Bahkan sebaliknya justru karena singkatnya uraian Sindusastra, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat sudah tahu dan memahami betul tentang ajaran yang bersifat rahasia itu. Perihal Sinengker dapat ditafsirkan bahwa situasi, kondisi, lingkungan , iklim, suasana sosial dan budaya setempat /waktu Sastra Jendra dilahirkan ,mungkin belum dapat diterima secara iklas dan trasparan,akan kehadiran ajaran Sastra Jendra tersebut
b.       Didalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe, Sastra Jendra hanya diuraikan secara singkat sbb:
Sastrarjendra hayuningrat,pangruwat barang sakalir, kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh, ditya diyu raksasa, myang sato sining wanadri, lamun weruh artine kang sastrarjendra. Rinuwat dening bathara, sampurna patinireki, atmane wor lan manusa, manusa kang wus linuwih, yen manusa udani, wor lan dewa panitipun, jawata kang minulya mangkana prabu Sumali, duk miyarsa tyasira andhandhang sastra.
Terjemahannya :

Ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta, untuk meruwat segala hal, dahulu semua orang membicarakan pada ilmu ini tiada lagi, telah terbingkai oleh sastradi. Kesimpulan dari pengetahuan ini bahwa segala jenis raksasa, dan semua hewan di hutan besar, jika mengetahui arti sastra Jendra. Akan diruwat oleh dewa,menjadi sempurna kematiannya (menjadi) dewa yang dimuliakan, demikianlah Prabu Sumali, ketika mendengar hatinya berhasrat sekali mengetahui Sastra Jendra.

c.       Secara esensial ilmu/ajaran Sastra Jendra yang berarti ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan YME,mungkin karena pertimbangan tertentu, maka yang dipaparkan baik dalam Serat Arjunasastra maupun didalam lakon-lakon wayang hanyalah sebatas kulit saja, belum mengungkap secara mendasar tentang pokok bahasan dan materi yang sebenarnya secara memadai. Namun demikian bagi orang yang memiliki ilmu semiotik Jawa (ilmu tanda atau ilmu tanggap samita), mungkin dapat menangkap maksud dan tujuan ilmu ini , serta dapat memaknai ilmu Ketuhanan YME dalam proyeksi mikro dan makro.
d.       Struktur ilmu/ ajaran sastra Jendra dapat disusun sebagai berikut.:
Sastra Jendra/Sastradi/Jatining Sastra/Satrayu
Sastra Jendra Hayuningrat
(Sastra Jendra untuk setiap tatasurya)
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup)
Sastra Jendra Pangruwating Barang Sakelir
(Untuk Meruwat segala Macam mahluk hidup)

SJP SJP SJP SJP
Kewan Dayu Manungsa Lsp
(Hewan) (Raksasa) (Manusia) (Lainnya)
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk bumi dimana manusia hidup)
Agama Kepercayaan thd Tuhan YME Agama : lainnya
Sastra Jendra Hayuning Bumi
Sastra Jendra utk Bumi dimana manusia hidup
Islam Katolik Kristen Hindu Budha

Kepercayaan terhadap Tuhan YME :
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Serat Jendta utk Bumi dimana manusia hidup)
Kanuragan Sangkan Paran Kasampurnan Kasucen
(SUAKTTPPK)

*SUAKTTPPK = Sastra Urgening Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patising Kamuksan.
(Ilmu/ajaran) pedoman hidup kesempurnaan manusia kesempurnaan mati kesempurnaan moksa).
Lainnya :
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup)
Agama Kepercayaan thd Tuhan YME lainnya di dunia
a. Sastra Jendra sebagai paguyuban Kepercayaan terhadap Tuhan YME
Di Indonesia terdapat organisasi budaya spiritual bernama paguyuban Sastra Jendra Hayuningrat Pangaruwating Diyu, anggotanya tersebar luas ke 14 propinsi. Paguyuban ini berpusat di Jakarta, disesepuhi oleh KRMH. Darudriyo Soemodiningrat. Paguyuban ini meyakini adanya Tuhan YME dan keberadaannya tak dapat diibaratkan dengan apapun. Menurut naskah pemaparan Budaya Spiritual. Ada pola dasar ajaran :
1. Ajaran tentang Tuhan YME
2. Ajaran tentang Alam semesta
3. Ajaran tentang Manusia
4. Ajaran tentang Kesempurnaan
(Uraian terperinci tidak disajikan di sini) menurut nama sumber Widyo Isworo SH (alm). Salah seorang warga senior dari paguyuban tersebut, Sastra Jendra yang amat luas berasal dari Kraton, dipergunakan oleh para raja. Jadi sudah sejak dahulu ada. Sedangkan ilmu yang dikelola oleh paguyuban ini hanyalah terbatas pada Sastra Jendra yang berurusan dengan peningkatan watak dan perilaku raksasa saja. Itulah sebabnya diambil nama Sastra Jemdra Hayuningrat Pranguanting Diyu. Seseorang sebelum menyerap ilmu ini harus mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan makro kosmos. Sesudah itu baru secara bertahap ia memahami, menghayati dan mengamalkan :
1). Kasatriyan (Kesatriaan)
2). Khadewasan (Kedewasaan)
3). Kesepuhan
4). Kawredhan
Ilmu ini sungguh bersifat rahasia dalam arti tidak mungkin disebar luaskan secara terbuka, karena penuh dengan laku bathin yang tidak sepenuhnya bisa diterima umum secara rasional

Ngilmu Kasampurnan
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja atara ( 1613 - 1645 ) rupa-rupanya Serat Kekiyasaning Pangrautan juga menjadi narasumber dala penulisan Serat Wirid Hidayat Jati oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta RONG no-GO ma-WAR ni SI ra TO = Ronggowarsito atau R.. Ng. Rongowarsito.

SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN
terjemahan Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan. Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :
1. Panembahan Purbaya
2 Panembahan Juminah
2. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
3. Panembahan Juru Kithing
4. Pangeran di Kadilangu
5. Pangeran di Kudus
6. Pangeran di Tembayat
7. Pangeran Kajuran
8. Pangeran Wangga
9. Kyai Pengulu Ahmad Katengan

1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :

1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.
Masih banyak pula kejadiaanya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa yang menjadi penyebabnya. Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut :
Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut. Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan kami utarakan berikut ini :

  1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.
  2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.
  3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.
  4. Siapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.
  5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : (Iman, Tauhid dan Ma’rifat).
2. Berbagai Jenis Kematian
Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya :
Mati Kisas
Mati kias
Mati sahid
Mati salih
Mati tewas
Mati apes
Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :
Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga ?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya

3. Wedaran Angracut Jasad
Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.

4. Wedaran Menghancurkan Jasad
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta :
Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam
Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya :
1.Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan 2.Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan 3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan 4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan 5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan 6. Pati raga selama sehari semalam.
Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.
Perlunya Pati Raga
Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan dapat Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut

Wewedharanipun Tri Bawana
[Jabaran tiga dunia]

BAHASA JAWA TERJEMAHAN
1.       Ayat ingkang sapisan, dipun wastani pambukaning tata mahligai ing dalem Baitalmakmur, kados makaten wewedharanipun :
Sajatine ingsun nata malige ing dalem Baitalmakmur iya iku enggon parameyaningsun jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek kang ana antaraning Dimak iku manik, sajroning pranawa iku sukna, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun ora ana pangeran, anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.
2.       Ayat ingkang kaping kalih dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukharam, kados makten wewedharanipun :
Sajatine ingsun anata malige ing dalem baitalmukharam, iya iku enggon laranganingsun jumeneng ana jajaning Adam, kang ana sajroning dhada iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, sajroning jinem iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi kahanan jati.
3.       Ayat ingkang kaping tiga dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukadas, mekaten wewejanganipun :
Sajatine ingsun anata Malige ing dalem Baitalmukadas, iya iku enggon pasucen ingsun jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ada antaraning iku mutfah, iya iku mani sajroning mutfah iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahso sajroning rahso iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.

Menggah ingkang sami kapareng amedharaken wedharan triloka wau para wali 8 :
Susuhunan ing Giri Kadhaton
Susuhunan ing Kudus
Susuhunan ing Panggung
Susuhunan ing Majagung
Susuhunan ing Pancuran
Susuhunan ing Cirebon
Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
Susuhunan ing Kajenar

Dene anggenipun sami karsa amedharaken Triloka punika saking anggenipun sami ambabar kaelokaning Ilmi kasampurnan, ingkang kaangge witting Ilmi bangsa Sorogan, kadosta :
Kawasa saget andhatengaken salwiring sedya.
Anggenipun kawasa saget adamel lumpuhing para cidra, inggih punika bangsaning pangetisan.
Sami kawasa saget adamel sarana wewelikaning pandulu inggih punika kalebet Aji Sesulapan.
Sami anggelaraken bangsaning gendam, urawi puter giling sapanunggalanipun, nanging sadya kal wau nalika pakumpulan kaliyan Kanjeng Susuhunan ing Kalijogo inggih sami ajrih anggelaraken.

Purunipun adamel kaelokan sareng Kanjeng Susuhunan Ing Kalijaga sampun kayun widaraini, tegesipun gesang toya kalih wonten ing donya gesang, ing kahanan akhir inggih gesang, sanyata langgeng boten ewah gingsir mila waget jumeneng Gosul Alam, tegesipun dados musthikaning Sapta Bawana, inggih punika winenang mengku Bumi langit sap pitu, tetep gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi.
1.       Ayat yang pertama dinamakan terbukanya tata mahligai Baitalmakmur wedarnya/jabarannya sebagai berikut :
Sebenarnya aku memngatur singgasana di dalam Baitalmakmur, di situlah tempat kesenangan-KU, berada di kepada Adam ,yang berada didalam kepala disebut dimak yaitu otak, yang berada diantara dimak itu manik, didalam manik itu pramana adalah pranawa, didalam pranawa itu adalah sukma itu adalah rahsa, didalam rahsa itu adalah aku, tidak ada Pangeran hanya dzat yang meliputi disemua keadaan.
2.       Ayat yang kedua dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baitalmukharam sebagai berikut :
Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baitalmukharam itulah tempat larangan-larangan-KU, yang berada didada Adam, yang berada di dalam dada itu hati, yang berada diantara hati itu jantung, di dalam jantung itu budi, di dalam budi itu jinem, di dalam jinem itu sukma, didalam sukma itu rahsa dan di dalam rahsa itu aku, tidak ada Tuhan kecuali aku, Dzat yang emliputi semua keadaan .
3.       Ayat ketiga dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baitalmukadas sebagai berikut:
Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baitalmukadas, rumah tempat yang aku sucikan berada didalam kontolnya Adam, yang berada di dalam kontol itu pelir, yang berada di dalam pelir itu mutfah yakni mani, di dalam mutfah adalah madi, di dalam madi itu manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu adalah aku tidak ada Tuhan kecuali aku, dzat yang meliputi semua keadaan.
Adapun yang ditunjuk mewedarkan wedaran Triloka ialah delapan wali, sebagai berikut :
Sesuhunan di Giri Kedaton
Sesuhunan di Kudus
Sesuhunan di Panggung
Sesuhunan di Pajagung
Sesuhunan di Pancuran
Sesuhunan di Cirebon
Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
Sesuhunan di Kajenar

Adapun mereka mau mewedarkan Triloka itu, karena mereka telah menyaksikan kehebatan ilmu kasampurnan, yang dianggap menjadi kuncinya ilmu sorogan, misalnya:
Mampu mendatangkan semua yang dikehendaki
Mampu melumpuhkan orang yang berniat jahat, yaitu tergolong pangatisan.
Mampu membuat penglihatan menjadi berubah ialah sebangsa sulapan.
Mampu menggelarkan jenisnya dendam, atau puter giling dan sebagainya, tetapi semua itu ketika masih berkumpul dengan Sunan Kalijogo, mereka tkut mempergunakan ilmu-ilmu tersebut.

Mereka membuat keanehan setelah Sunan Kalijogo sudah kayun widaraini artinya hidup di akherat pun hidup. Ternyata abadi tidak berubah oleh karenanya dapat menyandang sebagi Gosul Alam, artinya menjadi mustikanya tujuh lapis Bawana mempunyai wewenang menguasai

Bumi dan langit lapis tujuh.
Tari Bedhoyo Ketawang
Legenda tarian percintaan antara raja Mataram dengan Ratu Kencanasari
Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen alat gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.
Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan : (1) Adat Upacara(seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan atau tari Perkawinan.
Adat Upacara
Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidakdibenarkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya
upacara adat yang suci ini. Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus. Bahkan di percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir selalu hadir juga bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka indrawinya saja sang pencipta mampu dilihat.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini terlihat membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya. Ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
2. Religius Segi religius dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya.
Antara lain ada yang berbunyi : …tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar …yen mati ngendi surupe, kyai?” (……kalau mati kemana tujuannya, kyai?).
3. Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan,pemirsa yang mengerti kata-katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama 2 1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja.Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu masih ditaati benar. Walaupun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada waktu pergelarannya.Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci.Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang tersedia,diperlukan penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhannya hal ini akan menambah keagungan suasana pagelaran nantinya.

Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ?
Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng ratu Kidul Kencanasari,yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera . Pusat daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta.

Tetapi menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem niyaga Kraton Solo), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja Mataram.Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan, terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut “Lenggotbawa”. Iringan gamelannya awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas:
1. gending - kemanak 2, laras jangga kecil /manis penunggul;
2. kala - kendhang
3. sangka - gong
4. pamucuk - kethuk
5. sauran - kenong.

Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul.Bahkan menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta “lenggotbawa” adalah Bathara Wisnu, Tatkala duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah telah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita,yang kemudian menari-nari mengitari Bathara Wisnu dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya. Karena dewa dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya.
Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun.bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan.)
Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai “sangkan paran”.Selanjutnya begitu beliau mau memperistri Kangjeng Ratu Kidul, konsewensinya secara turun temurun. keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya.
Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Dan ini kemudian memang terlaksana. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangjeng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir.
Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Beghaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong Gamelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar).Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka (meng-“kanan”kan). Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
Srimpi Anglirmendhung
Ada lagi satu tarian yang juga termasuk keramat, ialah Srimpi Anglirmendhung. Tarian Srimpi ini diduga lebih muda daripada Bedhaya Ketawang. Kedua tarian ini ada kemiripannya, bila ditilik dari:
a. MENDHUNG = awan; Tempatnya di langit (=TAWANG)
b. Dipakainya kemanak sebagai alat pengiring utama
c. Pelaksanaan tariannya juga dibagi menjadi 3 babak
Menurut R.T. Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh
K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian inidirubah sedikit, menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas empat penari saja
Namun begitu mengenai kekhudusan dan kekhidmatannya tiada bedanya dengan Bedhaya Ketawang, meskipun dalam pergelarannya Srimpi Anglirmendhung boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bedhaya Ketawang hanya stu kali setahun dan hanya di dalam keraton, di tempat tertentu saja.
Bila akan ditinjau keistimewaan Bedhaya Ketawang, letaknya terdapat dalam hal:
1. Pilihan hari untuk pelaksanaannya, yaitu hanya pada haru Anggarakasih. Bukan pada pergelaran resminya saja, melainkan juga pada latihan-latihannya.
2. Jalannya penari di waktu keluar dan masuk ke Dalem Ageng. Mereka selalu mengitari Sinuhun dengan arah menganan.
3. Pakaian penari dan kata-kata dalam hafalan sindhenannya.
Pakaian: Mereka memakai dodot banguntulak). Sebagai lapisan bawahnya dipakai cindhe kembang, berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan bunta. Riasan mukanya seperti riasan temanten putri. Sanggulnya bokor mengkureb lengkap dengan perhiasan-perhiasannya, yang terdiri atas: centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul dan memakai tiba dhadha (untaian rangkaian bunga yang digantungkan di dada bagian kanan).
4. Kata-kata yang mengalun dinyanyikan oleh suarawati jelas melukiskan rayuan yang dapat merangsang rasa birahi. Dari situ dapat diperkirakan bahwa Bedhaya Ketawang dapat juga digolongkan dalam “Tarian Kesuburan” di candi, yang inti sarinya menggambarkan harapan untuk mempunyai keturunan yang banyak.
5. Gamelannya berlaras pelog, tanpa keprak. Ini suatu pertanda bahwa Bedhaya Ketawang ini termasuk klasik.
6. Rakitan taridan nama peranannya berbeda-beda. Dalam lajur permulaan sekali, kita lihat para penari duduk dan menari dalam urutan tergambar dibawah in
Dalam melakukan peranan ini para penari disebut:
  1. Batak
  2. Endhel ajeg
  3. Endhel weton
  4. Apit ngarep
  5. Apit mburi
  6. Apit meneg
  7. Gulu
  8. Dhada
  9. Boncit
Selama menari tentu saja susunannya tidak tetap, melainkan berubah-rubah, sesuai dengan adegan yang dilambangkan. Hanya pada penutup tarian mereka duduk berjajar tiga-tiga.
Dalam susunan semacam inilah pergelaran Bedhaya Ketawang diakhiri, disusul dengan iringan untuk kembali masuk ke Dalem Ageng, juga dengan cara mengitari dan menempatkan Sinuhun di sebelah kanan mereka semua.

7. Bedhaya Ketawang juga dapat dihubungkan dengan perbintangan. Kita perhatikan kata-kata yang dicantumkan dalam hafalan nyanyian pesindennya. Di antaranya yang berbunyi:
Anglawat akeh rabine Susuhunan, nde,
Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde,
SOSOTYA gelaring mega, Susuhunan kadi Lintang kusasane.
(Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:
Dalam perlawatan Susuhunan banyak menikah,
Dalam perlawatan Susuhunan banyak permaisurinya,
Permata yang bertebaran di langit yang membentang,
Susuhunan berkuasa, bak bintang.)

Dalam hal ini kekuasaan Sinuhun diumpamakan bintang.Sedikit catatan bolehlah ditambahlan, bahwa Jawa juga mengenal perbintangan, dengan nama-namanya sendiri seperti: Lintang Luku, Lintang Kukusan, Gemak Tarung, Panjer Rina, Panjer Sore (di antara anak-anak dahulu bintang ini juga sering dinamakan “ting negara Landa”).
Di dalam lagu Jawa dikenal juga hafalan yang bunyinya:Irim-irim Lanhjar Ngirim, Gubug Penceng anjog, wus manengah Prauke sang raden, Jaka Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sekti, nitih Kuda Dhawuk. (Mijil)

Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.

KANGJENG RATU KIDUL
Siapakah sesungguhnya Kangjeng Ratu Kidul itu ? Benarkah ada dalam kesungguhannya, ataukah hanyadalam dongeng saja dikenalnya? Pertanyaan ini pantas timbul, karena Kangjeng Ratu Kidul termasuk mahluk halus. Hidupnya di alam limunan, dan sukar untuk dibuktikan dengan nyata. Pada umumnya orang mengenalnya hanya dari tutur kata dan dari semua cerita atau kata orang ini, bila dikumpulkan akan menjadi seperti berikut:
1. Menurut cerita umum, Kangjeng Ratu Kidul pada masa mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk halus.

2. Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata lara berasal dari rara, yang berarti perawan (tidak kawin).

Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantik tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri di dalam suatu telaga, di pinggir samudera.

Konon pada suatu hari, tatkala akan membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang rusak, sang putri lalu terjun ke laut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi mahluk halus. Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kangjeng Ratu Angin-angin.Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kangjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjad ratu mahluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan, mulai dari daerah Yogyakarta sampai dengan Banyuwangi, hanya terpisah oleh desa Danamulya yang merupakan daerah penduduk Kristen.Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudera selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur di dalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang,Tuan Welter, seorang warga Belanda yang dahulu menjadi Wakil Ketua Raad Van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolor di Kepajen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, yang khusus diadakan untuk Nyai Lara Kidul. Ditunjukkannya gambar (potret) sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Lara Kidul. Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan di daerah Ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur Ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sampai sekarang. Apakah rumah ini yang terlukis dalam gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan.

seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tahun 1955 pernah ada serombongan orang-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan kramat) di pulau karang kecil, sebelah timur Ngliyep. Seorang di antara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakan ialah bahwa merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.

7. Di Pacitan ada keparcayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung (hijau lembayung), yang erat hubungannya dengan Nyai Lara Kidul. Bila ini dilanggar orang akan orang akan mendapat bencana. Ini dibuktikan dengan terjadinya suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta 2 orang anaknya. Mereka bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut, bahkan mengejek dan mencemoohkan. Pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba hijau. Terjadilah sesuatu yang mengejutkan, karena tiba-tiba ombak besar datang dan kembalinya ke laut sambil menyambar tiba-tiba menyambar keempat orang Belanda tersebut di atas.
8. Seorang dhalang di Blitar menceritakan bahwa di daerahnya sampai ke gunung Kelud masih ditaati pantangan Kangjeng Ratu Kidul, ialah memakai baju hijau. Tak ada seorang pun yang berani melanggarnya.

9. Sampai pada waktu akhir-akhir ini orang masih mengenal apa yang disebit “lampor”, yaitu suatu hal yang yang dipandang sebagaiperjalanan Kangjeng Ratu Kidul, yang naik kereta berkuda. Suaranya riuh sekali, gemerincing bunyi genta-genta kecil dan suara angin meniup pun membuat suasana menjadi seram. Orang lalu berteriak “Lampor! Lampor! Lampor!”, sambil memukul-mukul apa saja yang dapat dipukul, dengan maksud agar tidak ada pengiringnya yang ketinggalan singgah di rumahnya, untuk mengganggu atau merasuki.

10. Menurut “penglihatan” seorang pemimoin Teosofi, bangsa Amerika, Kangjeng Ratu Kidul bukan pria, bukan pula wanita. Dan dikatakannya, bahwa Kangjeng Ratu Kidul dapat digolongkan sebagai Dewi Alam, dalam hal ini Dewi Laut.

Di Jawa masih dikenal tiga jenis lainnya, ialah:
  1. Disebelah timur adalah Kangjeng Sunan Lawu, Dewa Gunung. Menurut ceritanya semula adalah Raden Guntur, seorang putra keturunan Majapait yang meloloskan diri pada masa jatuhnya Majapait, lari sampai ke puncak Lawu;
  2. Disebelah barat di gunung Merapi ialah Kangjeng Ratu Sekar Kedhaton. Tidak begitu dikenal ceritanya.
  3. Disebelah utara adalah hutan Krendhawahana, dikuasai oleh Bathari Durga atau Sang Hyang Pramoni, Dewi Hutan. Menurut mereka yang pernah melihatnya, wujudnya seperti reksesi. Untuknya kraton selalu membuat sesji yang paling luar biasa, ialah Maesalawung, karena Dewi ini yang dianggap sebagai penjaga negeri seisinya.
Maesalawung atau Rajaweda diberikan setiap bulan Rabingul-akhir, padahari Senin atau Kamis yang terakhir. Sesaji diberiakan di Sitinggil. Do’a yang dibaca adalah do’a Buda, sedang rapal yang diucapkan merupakan campuran Jawa dan Arab Sesaji Maesalawung ini adalah Bekakak, dibuat dari tepung, berbentuk manusia lelaki dan perempuan, tidak berbusana;Badheg, arak yang dibuat dari siwalan atau aren, semangkuk;
Hajad ini dibawa ke hutan Krendhawahana, diletakkan di pinggir sumur Gumuling.Yang diperintah membawanya adalah abdi dalem Suranata, ialah abdi dalem yang tergolong para mutihan (ulama) yang berdiri sendiri dengan kewajiban:
a. -mamberi sesaji sebelum suatu upacara diadakan demi keselamatan negeri seisinya.
b. - Mancari dan memperhitungkan hari atau waktu yang baik untuk suatu kepeluan, langsung disampaikan kepada Sinuhun, tanpa melalui penghulu. Ini suatu sisa adat kerajaan bagian keagamaan.
Kesimpulan mengenai Kangjeng Ratu Kidul ialah, bahwa adanya bukanlah hanya dalam dongeng atau tahayul saja. Ini adalah hal yang nyata ada, tetapi yang tidak termasukdalam alam manusiawi, melainkan dalam alam limunan (alam Mahluk halus). Ia bukan di dalam alam kita, manusia biasa. Yang dapat menerobos alamnya hanya manusiatama seperti Wong Agung Ngeksi Ganda saja, ialah yang dapat menguasai kedua alam, baik alam manusia maupun alam mahluk halus. Dua alam yang melambangkan suatu dwitunggal yang suci.

- Dodot banguntulak adalah kain panjang berwarna dasar biru tua, dengan warna putih di bagian tengah.
- Buntal adalah untaian daun pandan, puring dan beberapa macam lainnya diselingi bunga-bungaan.

Dalam melaksanakan tugasnya para penari Bedhoyo Ketawang yang berjumlah sembilan orang penari putri ini harus dalam keadaan bersih secara spritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu beberapa hari sbelumnya para penari diwajibkan untk berpuasa. Komposisi penari Bedboyo Ketawang terdiri dari, Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit Meneng, Dadha dan Buncit. Dari ke sembilan penari tersebut, Pembatak dan Endhel sangat memegang peranan panting Pada salah satu adegan, kedua penari ini melakukan adegan percintaan. Ditelaah dari syair yang dilantunkan oleh Sindhen dan Waranggana, tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan percintaan antara raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kencanasari/Kidul. Hanya saja semuanya diwujudkan secara abstrak dan sangat simbolis. Karena pertunjukan tari Bedhoyo Ketawang bertujuan
ereaktualisasikan hubungan cinta secara spiritual antara Raja Mataram dengan Ratu Kencanasari maka kebanyakan sesaji yang ditempatkan di atas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan.
Selain tarian yang sakral diatas Kraton Kasunanan/Pakubuwono juga menciptakan tarian lain misalnya: Tari Srimpi, yaitu tarian yang menggambarkan perang tanding dua kesatria.
Macam-macam srimpi : Srimpi padelori, Andong-andong, Arjuno Mangsah, Dhempel Sangopati, Elo-elo, Dempel, Gambir sawit, Muncar, Gandokusumo, Srimpi lobong (Jaman PB IX, 1774) dll.

Etimologi Aksara JAWA
www.jawapalace.org
Ha Na Ca Ra Ka
HURUF
BACA
MAKNA HURUF
Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka Karsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa adanya
Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas titah /kodrat Illahi
Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat kehidupan
Ma Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin - mantap dalam menyembah Ilahi
Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani
Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan
Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi –manusia

KLIK> HURUF PASANGAN>
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura adalah " Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat ". Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 - 10 ) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
anda juga dapat mepelajari falsafah kuno mengenai HANACARAKA pada kitab sbb
PUSTAKA
WEDHA SASANGKA
Kababar Dening :
KANGJENG GUSTI BENDARA
RADEN ADJENG DHENOK SURJANINGSIH
(Ngeksiganda Nagri 1643)
Rinukti Saha Rinumpaka Dening :
SESANGGAWIRJA
Sengkalaning Tjandra
SAPTA RASA MALEBENG PERTIWI
Utawi
WIWARANING TJEPURI HESTHINING DJAGAD
(Tahun Masehi 1967 utawi Tahun Saka 1988)
Wedha Ageng Surasa.
Karangan Angka 1 saking :
Wirid Wedha Tjarita lan Djangka :
Bagijan Kaping Kalih, Ngagem Tjarios :
ARGA BAWERA
Punapa ta tegesipun Arga Bawera ?
Arga sami kalijan giri, prawata, prabata, ardi, redi, gunung.
Bawera sami kalijan djembar, omber, kobet, mboten tjupet, mboten kaling-kalingan, tanpa pangenan, tanpa wates.
Dados Arga Bawera ateges : Gunung kang djembar omber, mboten kaling-kalingan, padhang trawangan.
Suraosipun: Pralampampitaning kawitjaksananipun Sang Lokaprana, ingkang tuhu limpad, bontos, djembar, omber, tanpa wangenan, sarwi padhang datan kewran nembus sagung aling-aling (warana).
Dumunung ing puntjaking Arga ingkang Bawera, panggenan ingkang inggil pijambak, limrahipun sok kawastanan : Guruloka. Tumrap blegering manungsa dumunung wonten ing sirah (mustaka).
Katjarijos Sang Prabu Brawidjaja ingkang kaping II inggih Raden Djaka Lawung, ingkang sakelangkung lingsem ing penggalih, sebab sanget kaesi-esi dening ingkang garwa Dewi Retna Sekar dalah ingkang rama marasepuh Adipati Tjiung Gupita, sesampunipun masrahaken pusaraning pradja Madjapait dhateng ingkang raji Pangeran Anom Minak Pijungan, ingkang ladjeng adjedjuluk Prabu Brawidjaja ingkang kaping III. Ladjeng djengkar saking kedhaton, tindakipun mendhem kula, nimpal keli, tanpa kendel tumoleh, ngener mangidul, kesupen dhateng ingkang katilar, nering karsa sumedija nindakake dhawuhing ingkang ibu swargi. Ing sakmargi-margi tansah ngawuningani alam gumelar ingkang sarwi elok, edi, asri, nengsemaken. Penggalihipun Sang Prabu kasengsem sanget, kadudut, kapiluja pirsa kawontenan mekaten wau punika.

Ing salebeting kalbu rumaos kagigah, binuka saja kentjeng sedijanipun. Thukuling raos ladjeng tansah kagungan tresna ing sesamining tumitah, mboten mbedak-ambedakaken; malah saja ngrembaka, ing wasana mahanani santosaning penggalih anggonipun badhe mangudi dhateng kaluhuran. Saja malih menawi emut nalika taksih wonten ing salebeting kedhaton, tansah dipun tjampahi, dipun tjamah dening ingkang garwa punapa dene dipun sepelekaken. Inggih ing salebeting kawontenan punika Sang Prabu rumaos, bilih penggalihipun kirang santosa, mijar-mijur, gampil kapikut tuwin kapikat dening pakartining pantja drija ingkang damelipun namung adjak-adjak risak thok kemawon. Pramila sadaja kala wau ladjeng anambahi santosaning penggalih, kentjeng sedijaning tijas; ingkang mekaten kala wau andjalari tindaking Sang Prabu saja mantep, madhep, terus tanpa kendel, tan ngetang tansajaning marga, mboten kepengin dhahar, ngundjuk punapa dene sare, ngantos sariranipun katingal kera aking persasat namung kantun gagra kusika.

Benter soroting Hijang Bagaskara ing wantji tengange lan asreping hawa ing wantji abijoring Sang Kartika, babar pisan mboten karaos, ing salebeting tyas namun tansah kumedah-kedah inggal saged mangertosi punapa sedjatosipun ingkang dinawuhaken rama ibunipun swargi kok wanter sanget.

Mboten kepetang pinten dangunipun anggenipun tindak nilar kedhaton, sampun dumugi ing pinggiring bengawan Brantas ingkang sisih ler. Ing papan ngriku Sang Prabu sumedija aso sawatawis, kedjawi kalijan ngentosi tuntasing riwe sarta sajahing sarira, ing salebeting ngaso kala wau, Sang Prabu emut dhateng panguwuhing garwa dalasan mara-sepuh, ingkang kalih-kalihipun sampun sami kaperdjaja, bab anggenipun tansah damel sisiping rembag, ing wusana nuwuhaken risaking kawontenan. Wekasan Sang Prabu ladjeng ngupadi palenggahan ingkang prajogi, inggih punika sendhe-sendhe ing kadjeng ageng sapinggiring bengawan Brantas kala wau. Amargi kenging siliring Hijang Samirana, sarira keraos seger, ngantos mboten kraos lijer-lijer, wekasan ngantos sare kepatos.

Ing wusana tengah-tengahing sare Sang Prabu njumpena kados-kados rinawuhan ingkang rama kanthi paring dhawuh mekaten: "Ngger Djaka Lawung putraningsun pribadi, kaja ing wektu dina samengko, sira wus karasa lan ngrumangsani sekabehaning kaluputanmu, dhek nalika sira ngasta pusaraning pradja Madjapait. Kaja nalika ingsun bakal surud wus paring uninga marang sira, jen sira kudu wasis djumeneng dadi pengembaning negara Madjapait. Ora kena mbedak-mbedakake marang sidji lan sidjining kawula, paribasane mban tjinde mban siladan, lan tansah kudu tresna lahir trusing batin tumrap marang sekabehaning para kawula. Kudu wani sengsem marang tumindak kautaman, ninggal marang sekabehaning tumindak kelahiran, ja ing alam kanisthan. Nanging djebul kosokbaline, sira lena marang sekabehing piwelingingsun apadene piweling ibunira. Wekasan sira mung tansah ngumbar hardaning kamurkan, ora kersa sumungkem dalasan manembah ing ngersaning Hijang Bagas Puruwa, malah ngungkurake. Wekasan sira gampang kapikut marang bebudjukane si Adipati Tjiung Gupita lan anake si Retna Sekar. Sira tansah kelu marang gebijaring kadonjan, datan kersa ngemuti jen ta kahanane djagad raja mangkene tansah owah lan gingsir. Mengertija ngger, jen sira ana ing sadjeroning lali, kuwi kang ana kabeh mung marang nistha, jen sira dumunung ana ing sakdjerone eling, kabeh kuwi mau sedjatine dalan kang tumudju marang kaluhuran. Mula saka kuwi jen pantjen ing wektu dina iki sira wus wiwit binuka rasanira, elinga marang djedjering djagad, ja djagad gedhe kang den arani djagad raja, utawa ja djagadira pribadi kang den arani bawana setra. Lan jen pantjen sira njata-njata temen sumedija tumindak kang tumudju marang kaluhuran djati, pirsa marang asal mulanira, weruh marang sedjatine djiwangga, mara noleha mangidul, delengen ing puntjaking gunung Ardjuna kae, sira sedjatine ja wus dumunung ing kana."

Sinareng Sang Prabu noleh mangidul, ladjeng anedija mirsani puntjaking redi Ardjuna, katingal tjahja manther saksada lanang ngantos sundhul ngawijat. Dene Sang Prabu rumaos kados-kados sampun lenggah dumunung ing puntjaking Arga Ardjuna ngriku. Sareng Sang Prabu mirsani kanan kering, tjetha sanget bilih arga punika ingkang winastanan arga bawera. Ing sisih ler katingal pradja Madjapait kanthi wela-wela, ing sisih wetan katingal pareden bebandjengan, sisih kidul katingal pesabinan idjem rojo-rojo. Saja kraos wonten ing puntjaking redi kasebat. Wosipun saged amirsani kanthi tjetha wela-wela lan mboten kaling-kalingan punapa-punapa, inggih punika kang den wastani tanpa warana.

Ing saladjengipun ingkang rama paring dhawuh malih, mekaten: "Mangertija ngger, jen sedjatine ing putjuking gunung Ardjuna kana kae, papane ramanira dhek djaman kala semana mesu brata, mangesthi ing Hijang Bagas Puruwa, mudja lan mudji akanthi nindakake talak brata, datan sare, datan dhahar, mung tansah mindeng madijaning Guwa Laja, njenjuwun supaja bisa pinaringan turun kang ing tembe saged gumanti kepraboning pradja Madjapait, jen wus tumeka titi wantji ramanira kundur ana ing Hindrabawana. Awit wus sawatara warsa anggeningsun palakrama kelawan ibunira, nanging meksa isih durung pinaringan turun. Kang mengkono mau rama rumaos ketjalan lari tumrap pamangkuning negara, jen ta tumeka kukuting angganingsun isih durung pinaringan putra. Ja sanadijan abot dikaja apa, djer kanggo kamuljaning putra wajah, mula ramanira ja ora kagungan pangresula, djer kuwi wus dadi kuwadjibane ramanira pribadi.

Apadene lelakone ibunira, dhek nalikane ingsun tinggal ana ing kedhaton, sakperlu andjaga keputren, lan isen-isening kraton kabeh, ing wusana marga saka pokale si Darmawangsa, ibunira djengkar lolos saka keputren, parane mangulon, perlu ngupaja anane si Handaja Pati, ja kuwi warangka dalem ing Madjapait, kang ing wektu semana lagi ingsun utus mbedah tanah Djawa Tengah, perlu jasa pelabuhan ing Semarang. Dene tindake ibunira kalunta-lunta, nusup-nusup angajam wana, munggah gunung medhun djurang, nganti tumeka ing lelengkehing gunung Lawu sisih wetan.

Mangertia ngger, merga saja anggone nusup-nusup mau ilang sipating prameswarining Naga Binathara, malah kaja wus ilang trap-susilaning wanodija kang andana warih, pada bae karo
ong tjilik kang datan kambah ing wulang wuruk.

Kahanan kang mangkono mau kabeh disangga dening ibunira kanthi sabar nrima, sareh pikoleh, datan asesambat utawa angresula, kang ana mung emut, lan ateges ora lali marang kaluhuran lan emut jen ing djagad gumelar mono asipat owah miwah gingsir, malah penjungkeme tumrap Hijang Bagas Puruwa ditemeni, ora nglirwakake, rumaos ibunira, kaja wus utjul saka blengguning kanisthan. Sakbandjure ibunira tansah emut marang ingsun, ija ramaneki pribadi, kang lagi mesu brata kanggo keperluane negara lan kawula. Mulane sanadijan abot dikaja ngapa ibunira datan wigih nanggulangi rubedaning salira, djer kuwi kenaa kanggo panebusing putra wajah ing mbesuke.

Nanging bareng sire dhewe ngger, banget anggenira nglirwakake piwelingingsun, apadene piwelinge ibunira kang tansah nandhang papa tjintraka. Djebul tibame marang sira kosok balen banget. Dupeh sira wus darbe panguwasa, dupeh sira wus adarbe wenang tumrap negara lan kawula, ing wekasan mung anduweni sipat adigang, adigung adiguna, lali marang laku kautaman, ngumbar hardaning kamurkan, nggugu sakarepe dhewe, gampang kelu marang gebijaring djagad gumelar, suthik marang tetulung, adoh marang pamesu brata, ninggalake marang djedjering wong tuwa, apa rumangsanira dupeh wong atuwanira wus padha sirna. Ing satemah nampa pawelehing Hijang Sasangka Djati, sira ingatasing Nalendra Gung mung ditjamah dening garwanira tedhaking sudra. Rumangsanira wus kinadjenan lan kineringan dening sakpadha-pdha, lali jen kuwi mono kabeh mung dumunung ing alam kanisthan. Mula jen tjetha-tjetha sira wus ngrumangsani kabeh kaluputanira kanthi rasa kang djudjur, mara sawangen kae ing putjuking gunung. Wis ja ngger samene bae, adja kongsi sira lali maneh sekabehing piwelingingsun iki, jen pantjen sira kepengin muljakake turun-turunira kabeh nganti tumeka pungkasaning djaman."

Sakrampungipun dhawuhipun ingkang rama, Djaka Lawung inggih Prabu Brawidjaja ingkang kaping kalih, sampun rumaos lenggah wonten ing putjuking redi Ardjuna madjeng mangaler. Nanging sanget andadosaken kedjoting penggalih, sareng mirsani sariranipun ageng inggil, asta dalasan ampejanipun sarwi ageng kebak rikma, kenakanipun pandjang-pandjang, rikma gimbal, djenggot miwah rawisipun pandjang. Persasat denawa (raseksa) ingkang anggegirisi. Rumaos ngagem agem-ageman sarwi pethak, kados pangagemaning para pandhita. Ing salebeting penggalih sanget lingsem dhateng Hijang Bagaskara, dene ingatasing putra Nalendra kok ladjeng saged mawujud denawa ingkang anggegirisi sanget.

Mekaten kala wau kawontenanipun Sang Prabu Brawidjaja, ingkang nembe tapa njingkiri papan keramenan, nanging kados-kados klentu marginipun, awit anggenipun gantos wewudjudanipun anggegirisi. Punika sedaja nelakaken, bilih satunggaling djanma ingkang nembe tumindak nilar dhateng kaluhuran, tansah ngumbar hardaning kamurkan, wusana ladjeng tebat dhateng Hijang Bagas Puruwa. Senadijan tata lahiripun sampun miwiti pamesu bratanipun, namung saking dajaning kamurkan ingkang babar pisan dereng uwal saking kuwandhanipun, ateges taksih kelet kumanthil, wusana saged mahanani wewudjudan ingkang anggegirisi kala wau.

Inggih mekaten punika tumindaking sebagian ageng para djanma manungsa, ingkang namung tansah ngumbar hardaning kanepson, pepenginan, angkara murka, gampil kapikut ing gebijaring djagad gumelar, ingkang mboten aseli, mboten sedjati, ingkang ateges sedaja kala wau palsu.

Pramila Djaka Lawung saja kentjeng anggenipun badhe nindakaken pamesu bratanipun, mboten badhe kundur jen dereng angsal wangsiting Hijang Sasangka Djati.

Katjarios sesampunipun Djaka Lawung radi dangu anggenipun mesu raga wonten ing putjuking redi Ardjuna, ing satunggaling wekdal, ing tengah dalu, nalika Djaka Lawung nembe nindakaken pakarjaning pasemeden, wusana mboten kanthi kanjana-njana lan mboten kagraita, wonten satunggaling peksi emprit mentjok ing bau kiwaning Djaka Lawung. Ing salebeting anggalih Djaka Lawung ngungun ketjampuran kaget, kok wonten kedadosan ingkang nganeh-anehi. Ingatasing peksi emprit ing wantji tengah dalu, kok mentjok ing pundhak kiwanipun. Punika genah sanes sabaenipun peksi, mesthi badhe wonten kedadosan-kedadosan ingkang elok. Ing salebeting tijas Djaka Lawung anggraita: "Iki kok ndadak ana kedadean aneh maneh, ingatase manuk emprit ing wajah bengi kathik tengah wengi sisan, wani mentjok ing bau kiwaku, iki genah ana apa-apa kaja dene pengalaman kang uwis-uwis". Wusana pepuntening batos ladjeng kepengin ndangu dhateng pun emprit kala wau. Dhawuhipun mekaten: "E, emprit iki kok elek banget, ingatase kowe mung asipat manuk, kok wani mentjok ing bauku kang kiwa, kang sedjatine aku iki lagi nengah-nengahi pakarjaning pasemeden. Apa kowe ja bisa tata djanma, mara terangna kang tjetha".

Peksi emprit: "E, kowe lali ngger karo aku, nanging ja wus sakmesthine, lha wong njatane aku saiki saling wewudjudan. Mangertia ngger, sedjatine aku iki rak ja wong ngatuwamu dhewe ta. Elinga dhek djaman kala samana, nalikane ibumu keplaju-plaju nganti tekan ing sakngisoring gunung Lawu kang kapara rada sisih lor, ing kono ibumu rak mampir ana ing sawidjining omahing mbok randha, kang aran mbok Saraagi ta. Dene djalarane ibumu nganti keplaju kuwi mung merga saka pokale si Darmawangsa. Mula ngger, kowe ngugua karo omongku, sedjatine kowe rak wus tak jasakake kedhaton kang gedhe banget ana ing tengah-tengahe Bengawan Brantas, ja kuwi nalikane kowe ngaso bijen kae. Aku mung andjaga murih kepenakmu ing tembe mburi, mula tak djaluk kanthi banget kowe inggala andjegur ing bengawan Brantas kana, mengko ndak papag. Perlune kowe bisa djumeneng Nata Binathara kang ing pungkasane bakal bisa andhepani djagad, dadi ratu kadjen keringan".

Djaka Lawung: "Mengko ta dhisik, kuwi nalare keprije, ingatase kowe ki manuk, lha kok bisa tata djanma kathik ngaku wong tuwaku pisan, mara terangna kang tjetha".

Emprit: "We lha, rupane kowe isih durung mudheng wae marang kandhaku, aku rak wis omong ta, jen aku iki sedjatine rak ja ibumu dhewe kang wus swargi, ja saiki iki aku awudjud emprit kang dadi jitmane ibumu. Mulane adja kesuwen mengko mundhak selak ora karu-karuan kedadeane. Wis ja, mung welingku bae inggal tindakna, andjegura ing tengahing bengawan Brantas, aku wus sumadija ing kana. Aku tak budhal andhisiki".

Djaka Lawung: "Ija,, mengko inggal-inggal taklakonane.".
Katjarios Prabu Brawidjaja I ingkang sampun swargi, sampun d munung wonten ing Hasta Warana, papan ingkang wijar, omber lan bawera. Mboten kewran mirsani kawontenan ingkang mekaten kala wau. Djalaran priksa sedaja kawontenan ingkang sampun lan ingkang dereng kedadosan. Nering penggalih dereng saged negakaken dhateng ingkang putra. Pramila pandjenenganipun sanalika tumurun njelaki ingkang putra, kanthi paring sabda mekaten: "Ngger Djaka Lawung, teka kebangeten temen, durung sepira suwene ingsun paring dhawuh marang sira, poma di poma sing ngati-ati, djebul lagi kena omonge si emprit bae wis kelu, kepikut, tandha jekti jen sira durung mumpuni anggonira nindakake pamesu bratanira. Isih gampang ginodha dening sapa bae, kang ateges sira durung anduweni prajitna, ja kuwi durung nganggo wewaton PANTJA WEDHA. Mangertija ngger, jen sedjatine kang awudjud emprit iki mau dudu wong atuwamu, nanging kuwi jitmane si Djaja Katiwang. Elinga dhek nalikane sira isih djedjaka, dhemen ambebedhag, sira rak wus tau tate djemparing ajam wana kang wusana bisa kena, ing kono getihe si ajam wana nganti amber ambalabar, bisane sat marga sira dhewe kang nambak. Ing sakwise bandjur ana swara, ngaku jen sedjatine kuwi jitmane si Djaja Katiwang. Nganti sira ngojak-ojak tekan sakwetane bengawan Madijun. Mula ngger adja sira gampang utawa kelu marang gebjaring kahanan, kuwi mono mung wudjud pengitjuk-itjuk, supaja sira lena, ing wekasan badhar pamesunira. Wis ja ngger, sing ngati-ati, Rama bakal kundur."

Sakontjating ramanipun saking panduluning pamesu bratanipun Djaka Lawung, ing wusana ladjeng gumregah wungu saking anggenipun mesu raga, ing salebeting tijas namung tansah angrumaosi, bilih tumindakipun taksih tansah dereng tumata, dereng titis, tandha jekti taksih gampil ginodha ing kawontenan sanes, ingkang sedajanipun namung badhe andjelemprengaken kemawon. Ingkang mekaten wau ing salebeting penggalih sanget matur nuwun dhateng ingkang rama dene kok tansah kadjangkung, kapirsanan, anggenipun tansah tumindak kirang leres wau. Ugi ngrumaosi bilih anggenipun talak brata dereng sampurna, lan kedah saja dipun prajitnani, sageda anggenipun mesu brata inggal katarimah ing Djawata, sarta sedaja kalepatanipun inggala saged kalebur sadaja. Ing wusana nering tjipta menawi sedaja sampun sami resik, wusana badhe djumeneng Nalendra Pandhita ingkang sidik ing kawruhing budhi.

Sesampunipun Djaka Lawung saja mantep, madhep anggenipun sumedija nindakaken pamesubratanipun, awit rumaos saja padhang, saja terwatja, saja gamblang lampahing kawontenan ing Djagad gumelar punika. Nering sedija mboten badhe keguh utawi kelu sarta kepintjut dhateng gebijaring kawontenan, sarta mboten balereng mirsani soroting Hijang Bagaskara, namung tansah kondjem ing bantala, sumungkem wonten ngersaning Hijang Bagas Puruwa, nindakaken sedaja dhawuhing rama ibu ingkang njata-njata tumudju dhateng kaluhuran djati. Wekasan sanget andadosaken kedjoting penggalih, dene sareng mirsani angganipun, pulih duk ing nguni, kados nalikanipun dereng wudjud denawa, inggih punika wudjud Djaka Lawung ingkang bagus ing rupi.

Ewahing rerupen kala wau mertandhani, bilih dajaning angkara murka ingkang tumumplek ing angganipun Djaka Lawung sampun sirna sedajanipun, ingkang wonten namung sutji, resik, padhang suminar, amargi sedija ingkang sampun kawetja wau. Inggih mekaten punika wohing lampah ingkang tumudju dhateng kaluhuran djati, mboten maelu dhateng kelahiran. Wudjuding satrija anggambaraken sipating kautaman, dene wudjuding denawa anggambaraken sipating Angkara Murka.

Mangkana ta wau, bawane Nalendra kang sampun gentur tapane, mahanani tjahja gumebjar ing saknginggiling redi Ardjuna, lir soroting Hijang Tjandra ingkang badhe midjil saking lengkehing bawana. Sumilak sumamburat ngebaki dirgantara. Kathah ingkang samia arerepen, kathah ingkang samia amemuhun, mratjihnani wonten ndaru ingkang lumengser saking gedhong kaendran, andhawahi redi Ardjuna. Gotheking ngakathah sami suka-suka pari suka, bilih badhe wonten Pandhita Nalendra, ingkang badhe adamel kuntjarining negari miwah kawula.

Tjahja saja dangu saja katingal sirna, wekasan sirna babar pisan.
Sinten ta ingkang nampi pulunging pandhita ?
Sak sirnaning tjahja, ingkang lagija teteki ing putjuking arga Ardjuna, inggih Prabu Brawidjaja kaping II ugi peparab Djaka Lawung, karawuhan satunggaling begawan ingkang sampun ketingal sepuh, ketingal mesem gumudjeng, sedaja polahipun tansah adamel renaning sanes. Glomah-glameh pangandikanipun, nanging mranani, mertandhani begawan ingkang pantjen sampun kawisudha bontos ing kawruh budhi menggah ngelmu dalasan lakunipun. Ing wusana begawan sepuh ladjeng ngendika : "Ngger Djaka Lawung, ingsun rawuh ngger, mara prajogakna lenggahira, adja sira kleru ing panampa lan uga sira adja kagungan raos adjrih, ingsun mene ja Ejangira dhewe djare. Kira-kira sira lali marang ingsun, awit ja mangkene kuwi kahanan ing donja, bisane mung tansah gawe lali, nanging arang-arang bisa gawe eling. Mula rawuhingsun iki kepengin gawe eling marang sira. Mangertia ngger jen ingsun iki sedjatine ja Hijang Bagas Puruwa kang bakal paring wangsit marang djeneng sira, kang lagija teteki sak perlu njuwun ngapura sekabehing kaluputanira. Miturut tata lahir kaja-kaja ora tinemu ing akal jen ta ingsun ing wektu dina samengko bisa wawan sabda kelawan djeneng sira. Mangertia ngger, kedjaba ingsun iki ja Hijang Bagas Puruwa, nanging ja emuta, nalikane sira isih ana ing sakdjeroning kandhungane ibunira, ingsun ja wus ana ing kono ngger, adjedjuluk Begawan Manik Sidhi, mula ingsun iki ja kena diarani Begawan Manik Sidhi.

Elinga nalika isih djumeneng ana ing sadjeroning kandhungan, sira wikan, waskitha, witjaksana, djalaran durung ketaman ing kahanan kelahiran, ja kahanan kang tansah gawe lalinira wau. Sira wis bisa mangerteni marang sekabehing kahanan kang sira lakoni ing mbesuke, lan sira ja wus mangerteni asal mulanira kabeh, nanging bareng sira wus mijos saka guwa garbane ibunira, bandjur salin slaga, awit anggonira mojos mau metu sawidjining marga kang ala dinulu, ja kuwi kang aran Marga Sara Ina. Bareng sira wus wiwit lelumban ing madijaning djagad gumelar, apa maneh marang asalira, marang marganira kang lagi diliwati bae wis kesupen kabeh. Mula ngger, poma dipoma tansah elinga marang mula bukanira, marganira lan sakpanunggale, kanggo gegondhelan aja sira kongsi gampang ketaman bebendune ejangira dhewe, ja kuwi ingsun iki, djalaran babar pisan sira nglalekake, dadi kang tjetha sakiki ja ngger, jen ingsun iki sedjatine ja djeneng sira pribadi nalikane sira isih lenggah ing madijaning kesutjen, ja alam purwaka. Tjethane jen ingsun iki ja sira, ateges ingsun sumimpen ana ing sira, ateges ingsun sumingid ana ing sira, ateges ingsun njamadi marang sira, ateges ingsun nguripi marang sira, ateges ingsun kang agawe kekuatan marang sira, lan ateges pribadiningsun, ja pribadinira.

Mula saka kuwi ngger, elinga sira marang ingsun, uga ingsun tansah makarti tumrap sira. Jen sira lali, ateges datan maelu marang ingsun, ingsun mesthi bae ora saged tumindak, djalaran katutup dening pakartining kuwadhaganira. Dene kuwadhaganira dipandhegani si Lokaprana, ja kuwi kang tansah ngaling-ngalingi sira, jen ta sira kepengin emut marang ingsun. Kang mangkono mau jen sira wus widjang-widjang panampanira, kaja samubarang lir wus ora bakal tumpang suh ja senadijan ngenani djagad gumelar apadene ngenani bawana setranira dhewe, kanggo saiki ja kanggo ing mbesuke, jen sira wus tumeka ing djandji bisaa bali, kaja dene Tapaking Garuda Jeksa kang sinamber gelap, sirna sakpandurat lir katijup ing maruta sakethi.. Semene dhisik ngger, poma tansah EMUT."

Djaka Lawung: "Kandjeng Ejang Begawan, sareng ingkang wajah nampi wedjangan sawatawis saking pandjenenganipun Ejang, kados siniram toja gesang raosing manah, kenging kawastanan, kalis saking sedaja rubeda. Pramila namung sagung pangaksami ingkang tansah kula suwun, kersaa Ejang paring sih kawelasan dhateng djasat kula, ingkang namung tansah katutup ing warananing gumelar, nilar dhawuhing rama ibu. Punapa dene sareng Ejang andhawuhaken, bilih inggih Ejang punika djasat kula, nalika kula taksih wonten ing guwa garbaning ibu, nindakaken tapa, kenging kawastanan mboten tumama ing bentjana, mboten ketaman gebijaring kelahiran ing wusana sareng kula midjil saking wewengkoning ibu ing wekasan kula tumindak mboten sakmesthinipun, ingkang ateges namung tansah ngumbar ubaling pantjadrija, kesupen dhateng duk asal kula, lan dhateng pundi purug kula ing bendjingipun."

Begawan Manik Sidhi: "Wis ora maido ngger, apa maneh sira kang pantjen durung titi wantji ngawruhi sedjatining kahanan, ja kahanan ing nalika semana apa dene kahanan ing mbesuke, selagine para djanma kang ngrumangsani wus bontos mungguh ing kawruh sangkan paraning dumadi bae isih akeh kang padha nglenggana, amarga pantjen durung pinareng lan antuk wangsiting Hijang Sasangka Djati. Maknane ja saka pepadange dhewe kang ateges pribadi, ja kang den arani gurunira sedjati. Ja amarga saka kahanan kang mangkono mau ingsun kepara wani rawuh andhisiki ana ngersanira, djer kabeh mau wus katata, katiti lan ora ana barang kang luput saka sedijane, sakuger kabeh ditindakake kanthi temen-temen lan djudjur. Mula saka kuwi ngger, pamundhutingsun, adja sira gampang mitajani marang rembuge sapa bae, kang nyata-nyata durung bisa minangkani, apa ta sedjatine kang diarani Guru Sedjati kuwi. Mangka ing wektu dina saiki, kaja sira wus bisa wawan sabda karo Guru Sedjati, ora lija ja ingsun pribadi iki, ateges ja pribadinira dhewe. Kanggo kagambarake dhek nalikane sira isih djumeneng ing sadjeroning guwa garbaning ibunira."

Djaka Lawung: "Saja padhang raosing manah kula Ejang sareng tampi dhawuh punika wau. Kepareng ingkang wajah ladjeng njuwun priksa kados pundi ing saknjataning gumelar punika, lan kados pundi tumrap ing wekdal sakpunika, punapa inggih namung kedah mekaten kemawon, ingatasing kula punika anggadhahi kuwadjiban mengku negari dalasan sak-isinipun, ingkang ing wekdal sapunika kula pasrahaken dhateng dimas Minak Pijungan. Awit saksirnaning rama ibu ingkang sampun swargi, paring piweling, menawi bendjingipun negari Madjapait punika badhe angalami kawontenan ingkang sakelangkung awrat sanggenipun, ingkang wosipun supados kula waspada sedaja tindak tanduk kula."

Begawan Manik Sidhi: "Ngger, bener banget pitakenira iku. Mula ngger sedjatine dhek nalikane sira isih djumeneng ana ing guwa garbaning ibunira, kabeh mau wus kawetja, tandha jektine ingsun ing wektu dina iki bisa anggelar sakabehing kahananira dhek samana, wong sedjatine sira ing kala samana ja ingsun iki, dadi kabeh iki wus katata lan katiti, marga saka kawitjaksanira ing dhek djaman kala sama, ja ateges kawitjaksananingsun ing sak-iki iki. Bab pangembataning pradja sedjatine ora kepareng sira aturake tumrap marang ingsun, djalaran tundone bandjur tumudju marang gebijaring kelahiran. Ewa semono jen pantjen temen-temen kabeh iku mau ora mung kanggo keperluanira dhewe, kaja dhek nalikane sira isih ngasta pusaraning pradja, Ejang ija mrajogakake. Mangertia ngger, anggenira nindakake tapa brata seprana-seprene kae kudu katudjokake marang kabeh para kawula, utawa ing besuk jen wus tumeka redjaning djaman. Mula saka kuwi ngger piwelingingsun, sakpungkuringsun iki mengko, sira kepareng nilar putjuking gunung Ardjuna kene, lan andjudjuga ing sadjeroning dhatulaja Madjapait, nemonana adinira si Minak Pijungan. Sira wadjib mendha-mendha kaja wong miskin kang panggaweane mung andjedjaluk. Ing wusana kanggo mangerteni lan andjadjagi sepira saktemene penggalihe adinira lan keprije pangrengkuhe. Jen pantjen adinira apik tengkepe lan pangrengkuhe marang sira lan mangerteni sedjatine sira kuwi sapa, wusana bandjur mundhuta pamit, dene bab ruwet rentenging negara tetep pasrahna marang adinira. Nanging jen pangrengkuh kuwi mau nganggo tjara kang deksura, dakwenang utawa munasika, kersaa sira bandjur gawe ontran-ontran. Mundhuta siti sak-gegem, bandjur sabdanen dadi kentjana. Ing kono sira bandjur njenjuwun marang Hijang Bagas Puruwa, supaja pengagem tjara Nelendra, kaja nalikane sira djumeneng bijen. Jen Minak Pijungan wus ngrumangsani kaluputane, negara apa dene isen-isene kabeh pasrahna, nanging mawa perdjandjen, adja kongsi negara kapasrahake marang putrane Minak Pijungan, awit putrane Minak Pijungan ora anduweni wenang mangku negara Madjapait, dene kang wenang ja putranira dhewe. Bab srah-srahaning pradja ngenteni jen putranira wus midjil saka garwanira padmi."

Djaka Lawung: "Nalaripun kados pundi Ejang, djalaran ngantos wekdal sapunika ingkang wajah dereng anggadhahi garwa utami padmi."

Begawan Manik Sidhi: "Ngene ngger, jen sira wus masrahake negara marang adinira, sira kudu djengkar saka kedhaton, lakunira ngidul terus mangulan bener. Jen sira wus tumeka ing sakwetane gunung Lawu, ing kono sira bakal mirsani ana sela gedhe nanging rata, lan ing kono ana tjarakan Djawa, tinggalane Ejangira dhewe kang aran Begawan utawa Empu Galihan. Ja marga anggonira bisa matja tjaraka mau, ateges sira wus mangerteni marang asal mulanira apa dene marang paranira. Sakwise sira bandjur djumeneng ana ing sak tjedhaking sela kono, dadi Pandhita Nalendra adjedjuluk Begawan Dwiasmara. Tetekia kongsi djangkep sapta warsa lan adja sira kundur jen durung pepanggihan karo Pandhita Wanodija kang asma Resi Trembini. Ja Resi Trembini kuwi kang bakal dadi garwanira. Dene asma kang saktemene ja kuwi Dewi Lawung Wati Sri Wardani. Ja ing kono sira bakal kagungan putra kakung gumanti keprabon Madjapait, kang aran Raden Prijangga Lawung. Dene Dewi Lawungwati Sri Wardani kuwi putri saka negara Djenggala kang kebhedhah dening Djaja Katiwang dhek djaman kala samana. Nanging mangertija jen Dewi Lawungwati Sriwardani kuwi juswane kira-kira ja wus sepuh, nanging ja ing kono si Prijangga Lawung bakal mretapa, tjalon djumeneng nata Madjapait Prabu Hajam Wuruk, ja Prabu Brawidjaja Kalamurti Tjakrabuwana kang kaping IV."

Djaka Lawung: "Sesampunipun mekaten ladjeng kados pundi Ejang, punapa ingkang wajah tetep wonten pertapan ?"

Begawan Manik Sidhi: "We lha ora ngger, sira lan garwanira kudu wani tumindak kaja dene kawula tjilik, idhep-idhep mirsani keprije sedjatine kahanan negara kuwi, sira kudu laku tetanen, ngupakara tanem tuwuh, utawa kasile bandjur diedol menjang negara. Anggone ngedol ana ing sadjerone pasar, ja garwanira sing nggendhong, lha sira dewe sing njunggi, sarta ana ing dalemira kudu tlaten ngopeni sato iwen, upamane pitik, bebek, menthog lan lija-lijane. Dadi tjekak tjukupe kudu bisa urip kaja dene wong tani kae. Ing kono babar pisan sira ora kepareng ngatonanke jen sira mono sedjatine Nalendra. Jen ing wajah bengi sing wadjib mulang-muruk bab tjarakan Djawa marang sapa bae, utawa kabeh ija uga bab kawruh sangkan paraning dumadi. Djer mengko kena kanggo pantjadan sira djumeneng nalendra kang witjaksana ambek adil paramarta, asih ing sesamaning dumadi. Bisa angrasakake keprije dadi kawula kuwi, dadi ora mung waton paring dhawuh thok bae."

Saka panuwune Ejang, sira adhedhukuh ing pedhukuhan kang diarani Madjalangu, kang ora adoh saka Talok Langu, ja kuwi ngger sedjatine kang aran Negara Madjapait, asal saka padhukuhan kang sira dunungi mau. Dene madja ateges manunggaling djagad, pait tegese paekaning tumitah kang tjidra. Dadi ing mbesuke Negaranira bakal rusak marga saka pokale turunira dhewe, nanging ing titi mangsa kala bakal mudjudake Negara kang bisa agawe manunggaling djagad, kaloka kadjana prija, kondhang ing Bawana mantja. Ja ing kono negaranira bakal dadi negara gedhe kang katelu lan anduweni tjahja kang sumorot madhanigi ngawijat.

Ing sakwise mamgkono sira kudu wani nandur empon-empon tolaking wong sak Negara, dene papan kang betjik ing tlatah wetan, ja kuwi ing sakwetane Semeru. Ing kana sira bakal kagungan garwa ampejan asma Dewi Wiraksini Prabawulan.

Wus samene bae ngger piwelingingsun, lan inggal ajatana adja kongsi katalompen, lan sakpungkuringsun terus tindaka mlebu marang dhatulaja."

Djaka Lawung: "Sanget kapundhi dhawuh pengandikanipun Ejang lan ingkang wajah namung tansah njuwun tambahing pangestu, pinaringan kijat lan emut, sarta mboten badhe tumpang suh anggen kula nindakaken".

Sakpandurat Begawan Manik Sidhi sampun mboten katingal ing pandulu, mlebet ing madijaning Guwalajanipun Djaka Lawung. Saja adamel teguh sedijaning Djaka Lawung anggenipun badhe nindhakaken pakarjan utami kalawau.

Wekasan Djaka Lawung ugi mandhap saking petapan redi Ardjuna, terus ngener dhateng kedhaton negari Madjapait, Kanthi mengagem ingkang sarwa rompang-ramping, tumindak kados dene tijang ngemis, terus mandjing ing salebeting dhatulaja. Kaleresan Sang Nalendra inggih Minak Pijungan pinudju lenggah ingadhep andher para abdi dalem seba tjaos, ngendikan bab anggenipun ngasta pusaraning pradja. Ketingal rena ing penggalih, katandha anggenipun ngendika kinanthenan gudjeng ingkang renjah, adamel renaning para ingkang sami seba tjaos.

Dereng dangu anggenipun sami imbal watjana, katungka sowanipun abdi dalem djagi, ngaturi uninga bilih ing srambining dhatulaja wonten satunggaling tijang ngemis ingkang kepengin mundjuk atur ing ngersaning nata. Sang Nalendra marengaken supados tijang ngemis wau sowan ing ngarsa nata. Sareng sampun katingal sowan, sanget andadosaken dukaning ingkang Sinuhun, teka wudjudipun tijang ngemis kemawon udjug-udjug wantun lenggah ing kursi andjadjari ingkang Sinuhun. Sang Nata ladjeng utusan abdidalem supados tijang ngemis kalarak medal pinaringan pidana sakmurwatipun. Nanging sareng tijang ngemis badhe kalarak ladjeng njirnani, ing wusana adamel ontran-ontan, mundhut siti sakgegem, pinudja dados kentjana. Wusana Sang Prabu kepareng nimbali tijang ngemis wau, sanget kedjotipun malih, bilih sirna wudjuding tijang ngemis, nanging gantos wudjud ingkang raka, inggih Sang Prabu Brawidjaja kaping II, ngagem busana kanalendran.

Dhawuhipun Sang Prabu (Brawidjaja II): "Jaji Prabu, durung sapira lawase sira ngasta pusaraning pradja djumeneng nata wus tumindak sija marang sakpadha-padhaning tumitah. Ja kebeneran iku kang mandjilma djenengingsun pribadi, upamane wong ngemis temenan, kira-kira ja sira patrapi paukuman, senadijan wong ngemis iku tanpa dosa lan perkara, mung marga saka wani lungguh kursi djadjar sira. Kang mengkono mau jaji, andadekna ing pangeling-elingira ing salawas-lawase".

Minak Pijungan: "Dhuh kakangmas, pantjen ingkang raji kirang waspada, mertandhani bilih ingkang raji dereng saged djumeneng nata gung binathara, ingkang mekaten kala wau prajoginipun sedaja panguwaosing ratu kula kunduraken ing ngersa paduka kakangmas. Dene sedaja kalepatanipun ingkang raji,kersaa paring gunging pangaksami".

Sang Prabu: "Wus ora dadi ngapa jaji, jen tumindakingsun iku sedjatine kanggo andjadjagi penggalihira, wus kuwat apa durung djumeneng Nalendra, nanging sepisan iki ora dadi baja pengapaa, muga-muga ing sateruse adja kongsi sira ambaleni maneh tumindak kang keleru mau. Dene bab pradja tetap ingsun pasrahake marang sira. Nanging poma dipoma, adja kongsi dipasrahake sapa bae jen ingsun durung kundur, djalaran mangertia jaji, jen kang andarbeni wenang nglengser keprabon ing mbesuke dudu saka turasira, nanging midjil saka turasingsun".

Minak Pijungan: "Nuwun dhawuh sendika kakangmas. Sedaja badhe kula estokaken, ladjeng kakangmas badhe ngersakaken djengkar negari malih punika nalaripun kados pundi, sarta tindakipun dhateng pundi utawi pinten warsa dangunipun ?".

Sang Prabu: "Bab djengkaringsun sira ora perlu mangerteni, kabeh mau dadi reregemaningsun. Wus jaji, karia slamet basuki tumeka ing besuke".

Sang Prabu Brawidjaja kaping II inggih Djaka Lawung kanthi mengagem tjara limrah terus ontjat saking dhatulaja, tindakipun ngener redi Lawu ingkang sisih wetan.

mboten Katjarios tindakipun ing samadijaning marga

Djaka Lawung andhedherek dhawuhipun Begawan Manik Sidhi, terus andjedjak ing papan ingkang sampun kapratelakaken dening Begawan Manik Sidhi kasebat, inggih punika njata wonten ing lelengkehing redi Lawu ingkang sisih wetan, katingal sela ageng wradin. Inggal-inggal Djaka Lawung minggah dhateng sela kala wau, sareng sampun dumugi ing nginggil, pranjata wonten seratanipun Djawa Kina, inggih punika ingkang sinebat Tjarakan Djawa.

Djaka Lawung sakelangkung ngunguning penggalih mirsani tjarakan Djawa kala wau kalijan ngumandika, iki bandjur keprije tjarane aku bisa matja. mboten dangu Begawan Manik Sidhi sampun katingal rawuh ing ngersaning sinatrija, ladjeng paring pitedah bab pemaosing tjarakan Djawa wau, dhawuhira: "Ngger Djaka Lawung, tumungkula ngger, lan rungokna dhawuhingsun tumrap pematjaning tjarakan iki:

"Hingsun Nitahake Tjahja Rasa Karsa"
"Dumadi Titising Sarira Wandija Laksana"
"Pantya Dhawuhing Djagad Jekti Ngawidji"
"Marmane Gantya Binuka Thukul ing Ngakasa"

Kuwi ngono anggambarake kahanan ingsun apadene sira dhek djaman kala samana, sakdurunge mawudjud kaja ngene ini. Mungguh keterangane mangkene:
Hingsun kuwi katjekak Ha, tegese ana, wudjud, wiwitan, ja kuwi kang den sebut Hijang Bagas Puruwa, lenggahe ana ing alam Puruwa, ya alam Wasana, kena diarani Sirna nanging Neka, utawa datan kena kinaja ngapa.
Nitahake, jen katjekak Na tegese, ndhawuhake, njabda, nganakake, andjumenengake, mudjudake. Dadi Hijang Bagas Puruwa wus andhawuhake.
Tjahja, jen katjekak Tja tegese, Sorot, pepadhang, sunar kang tanpa wewajangan. Ja kuwi tjahjaning Hijang Bagas Puruwa pribadi.
Rasa, jen katjekak Ra tegese, ja rasane Hijang Bagas Puruwa pribadi kang wus kadhawuhake utawa katitahake.
Karsa, jen katjekak Ka tegese karep, ja karepe (karsane) Hijang Bagas Puruwa dhewe (pribadi).

Dadi: HA, NA, TJA, RA, KA, tegese, Hijang Bagas Puruwa wus aparing dhawuh marang tjahja, rasa lan karsane pribadi, kang supaja tumitis utawa tumurun, tegese turun saka pribadine Hijang Bagas Puruwa dhewe. Dene Hijang Bagas Puruwa kuwi kena diarani Sang Hijang Huna, tegese Swara, Pangandika kang tanpa lesan. Dene lesan ing kene ateges piranti. Bandjur sakteruse :
Dumadi, jen katjekak Da,tegese wis dadi, mawudjud, gatra wis ana, nanging wudjud utawa gatra kang isih samar. Tegese ora bisa dipirsani nganggo pirantining pantjadrija.
Titising, jen ditjekak Ta, tegese tetesing sabda, dhawuh, pangadika mau.
Sarira, jen ditjekak Sa, tegese Sarining Rasa, ja rasane Hijang Bagas Puruwa kasebut.
Wandija, jen katjekak Wa, tegesa wahana kang winadi, utawa wola-wali (ora mung sepisan), dadi wahana kang winadi kuwi sedjatine ja kang diarani ora mung sepisan kuwi.

Laksana, jen katjekak La, tegese tumindak utawa ditindakake, lumaris, lumaku, makarti. Ja marga pakarti, tumindak lan laku mau, bandjur bisa mawudjud wela-wela.
Dadi: DA, TA, SA, WA, LA, tegese Ana Tetesing Rasa Kang Wola-Wali Pakartine, tjetha jen kabeh kuwi ora mung sepisan gawe, kang ateges marambah-rambah nganti kena diarani datan ana pedhote, utawa langgeng, tetep, adjeg, kaja dene getere djedjantungira.
Pantya, jen katjekak Pa, tegese papan, wadhah, panggonan, bolongan, guwa, utawi sipat.
Dhawuhing, jen katjekak Dha, tegese perintahe, pakone, kongkonane, utusane.
Djagad, jen katjekak Dja, tegese djagad, bumi, bawana, kelaswara, tijambita, wewengkon, ringkese diarani panguwasa.

Jekti, jen katjekak Ja, tegese sajekti, sedjati, temenan, ora goroh, sampurna, pepak, djangkep ora kurang.
Ngawidji, jen katjekak Nga, tegese manunggal, kumpul, ora pisah, samad sinamadan, limput linimputan.
Dadi: PA, DHA, DJA, JA, NJA, anduweni teges: Wadhah Kanggo Papane Dhawuh Kang Wus Manunggal Kalawan Bumi, tegese wadhah lan isine ora bisa pisah, utawa sing andhawuhi lan sing diparingi dhawuh wus njawidji (manunggal).

Marmane, jen katjekak Ma, tegese mulane, sanjatane, akibate, kedadeane.
Gantya, jen katjekak Ga, tegese ganti, berobah, ewah sipate, owah wewudjudane, owah
kahanane.
Binuka, jen katjekak Ba, tegese kabukak, menga, diweruhi, kaweruhan, katon, mangerti, karasa, kasat ing mata.
Thukul ing, jen katjekak Tha, tegese wutuh, semi, modot, berobah saka asale, pindhah saka papane.
Ngakasa, jen katjekak Nga, tegese ngawijat, dirgantara, awang-awang, ndhuwur, ngantariksa.
Dadi: MA, GA, BA, THA, NGA anduweni teges: Mulane Bandjur Owah Wewudjudane lan Bandjur Thukul Ing Awang-awang, tegese ana nanging durung kasat mata, ja pirantine si pantjadrija.
Semene ngger, luhuring tilarane ejangira dhewe ja Empu Galihan, anggone paring tetilaran marang putra wajahe, kedjaba bakal kena kanggo sesambungane pangandikan tumrap sidji lan sidjine, djebul ngemu surasa nalika sira isih ana ing djaman ketentreman, ja djaman kang wiwitan. Kawruh iku mau sedjatine durung tutug, djalaran kedjaba ana aksara Djawa, uga ana sandhangan, tegese sakwise sira bleger awudjud kaja saiki iki bisa njandhang, ngrasakake. Dadi sandhangan dudu panggango, nanging Rasane. Tjatjahe sandhangan iku mau ana 12 idji, dene aksarane ana 20, mulane aksara Djawa iku kabeh ana 32. Telu ateges asalira, rasaning bapa, rasaning bijung lan titising Hijang Djagad Pratingkah, dene loro kuwi tegese wadhah lan isine.
Kawruh kang kaja mangkene iki sebarna marang kabeh para kawula, kareben padha mangerti marang asale dhewe-dhewe,

kang ateges ora gampang ngumbar hardaning kamurkan. Kaja wus tjukup samene ngger piwelingingsun bab tilarane ejangira Empu Galihan, wus ngger karia basuki".
Saknalika Begawan Manik Sidhi enja saking pandulu, dene Djaka Lawung saja mantep, madhep lan rumaos rena sanget panggalihipun, dene wonten kedadosan ingkang saged maringi pepadhang ngantos dumugi sakputra wajahipun sedaja bendjing ugi badhe sanget mangertosi, ingkang ateges mboten itjal larinipun.
Pamesubratanipun kaladjengaken terus ngantos pinten-pinten warsa. Ing ngriku Djaka Lawung djumeneng Pandhita Nalendra, adjedjuluk Pandhita Dwiasmara, ugi Pandhita Katong.
mboten karontje kawontenanipun Sang Pandhita, anudju ing satunggaling dinten, Sang Pandhita lenggah ing srambining Sanggar Palanggatan, ingadhep sedaja para tjantrik, ingkang karembag inggih namun tambahing kawruh budhi, ingkang tumudju dhateng kaluhuran djati. Dereng dangu anggenipun sami asung pangandika, katungka aturipun tjantrik, bilih ing ndjawi wonten satunggaling wanodija ingkang kepengin sowan ing ngarsa resi. Sang Pandhita ugi ladjeng marengaken.
Sesampuning wanodija sowan, Sang Pandhita mundhut priksa: "Sampejan saking pundi mbakju, dene nami sampejan sinten, kok keraja-raja tekan padhepokan ngriki, napa baja wonten perlu."
Wanodija: "Inggih Sang Pandhita, kula punika asal saking negari Djenggala, ladjeng kepladjeng nalika negari Djenggala binedhah dening Ratu Angkara, ingkang nama Prabu Djaja Katiwang. Sampun dangu anggen kula ngumbara kalunta-lunta, perlu ngangsu kawruh Kejaten, inggih kawruh kasunjatan. Ing wusana salebeting kula ngumbara tanpa prana, mireng rawat-rawat bakul sinambi wara, bilih ing ngriki wonten pandhita kang sidik, asma Pandhita Dwiasmara, punapa inggih pandjenengan Sang Pandhita ? Dene peparab Kula Resi Lawung Wati, nami kula pijambak Lawung Wati Sri Wardani, putra ratu ing Djenggala duk samanten."
Sareng Sang Pandhita mireng aturipun wanodija kala wau, saknalika emut dhateng dhawuhing Begawan Manik Sidhi, menawi wanodija punika njata-njata tjalon garwanipun, pramila mboten saranta Sang Pandhita ladjeng aparing dhawuh kanthi trang terwatja: "Diadjeng, kaja wus tumeka ing titi wantji, jen sira bakal dadi tetimbanganingsun. Awit Hijang Bagas Puruwa wus paring uninga marang djeneng ingsun, jen sedjatine ja sira kuwi kang pantes ingsun garwa kinarja sarana margane ingsun adarbe turun tjalon gumanti keprabon ing negara Madjapait. Mula dhiadjeng, adja kongsi sira andarbeni pangira-ira kang ora bener, awit kabeh mau kaja wus kinarsakake mring Djawata, dadi jen pantjen sira kepengin njuwita ing padhepokan kene, kaja ja wus prajoga banget, malah sakwise iki sira bakal ingsun bojong tindak anjedhaki pradja, sakperlu mirsani kahananing negara, awit negara ing wektu dina samengko ingsun pasrahake marang adhiningsun si Minak Pijungan. Ing kana ingsun bakal andjudjug ing padhepokan Madjalangu lan ingsun wadjib agawe karang kitri, laku tetanen, sira mengkono uga dhiadjeng."
Wanodija: "Dhuh sang Pandhita, sanget andadosaken ngradatosing manah kula sareng nampi dhawuh pandjenengan ingkang kados mekaten punika. mboten kanjana-njana menawi kula badhe kedhawahan pulung ingkang tanpa upami agengipun, bebasan lumpuh kang saged lumaris. Sang pandhita, menawi pantjen Sang Pandhita sudi dhateng djasat kula, badhe anggarwa dhateng kula, punapa mboten getun ing pawingkingipun, awit Sang Pandhita katingal taksih mudha, ing mangka kula sampun sepuh kados mekaten wudjudipun, Sang Pandhita. Punapa malih sareng kula mireng, bilih Sang Pandhita punika Nalendra ing Madjapait, punapa inggih pantes menawi kula angrenggani keputren, kinarja garwa prameswari."
Sang Pandhita: "Wis ta dhiadjeng adja sira kakehan ing pangudasmara, djer kabeh kuwi wus kinarsakake ing Djawata, dadi ingsun apadene sira mung kari nindakake."
mboten katjarios Sang Pandhita kalijan Dewi Lawung Wati Sriwardani sampun sami sih-sinisihan, lir saklimrahing djanma, ing wusana sang Dewi sampun katingal anggarbini timur.
Ing salebeting anggarbini kala wau, Sang Dewi sanget anggenipun kagungan pepinginan dhahar ulam ajam sawung, ingkang ulesipun wiring kuning tjampur wido djengger lan sukunipun pethak memplak. Panuwunipun dhateng ingkang garwa mboten kenging kaampah, kumetjer ngiler. Sang Pandhita mboten kirang weweka, sedaja panjuwunipun ingkang garwa inggal kaupadi, wekasan pikantuk satunggiling sawung tjeples ingkang dados panjuwunipun ingkang garwa.

Sawung ladjeng kapragat, ulamipun kadhahar sedaja kanthi nikmating raos.
Inggih sawung punika sedjatosipun ingkang badhe djumeneng wonten ing guwa garbaning Sang Dewi, ingkang ing tembe badhe mijos kakung tjalon gumantos Kepraboning negari Madjapait, adjedjuluk Raden Prijangga Lawung.
Sang Pandhita ingkang tansah emut dhateng dhawuhing Begawan Manik Sidhi, sesampuning ingkang garwa anggarbini sawatawis tjandra, ladjeng kabojong dhateng padhepokan ing Madja Langu ing satjelakipun Negari Talek Langu, ing sisih ler kilenipun. Wonten ing padhepokan ngriku, Sang Pandhita inggal mbangun teki, jasa dalem sakmurwatipun, nindakaken tetanen, nginguh sato iwen, ingkang wosipun sedaja wau sami tumut amiturut dhawuhing Begawan Manik Sidhi. mboten katjarios Sang Dewi sampun ambabaraken putra kakung, bagus ing warni, kimplah-kimplah pindha tojaning tlaga Arga Sonja. Djabang baji senadijan saweg juswa 2 warsa, namung sampun katingal pamering ngaluhur, pantjen inggih trahing kesuma dhasar tedhaking mara tapa.

Sang Bagus pinaringan asma Raden Prijangga Lawung. Kotjapa sareng Raden Prijangga Lawung sampun djangkep juswa 17 warsa, saja tjetha pamoripun, gumebijar mentjorong, mertandhani tjalon Nalendra Binathara. Remenipun namung tansah ulah kridaning dedamel, tetes, merak ati, ngabekti dhateng rama ibu, lembah manah, nanging kendel, datan adjrih dhateng punapa kemawon. Landheping panggraitanipun ngedab-edabi, persasat pirsa dhateng sedaja kawontenan, senadijan dereng winarah nanging dipun tresnani dhateng kantja-kantjanipun ing kiwa tengening padhepokan ngriku. Remen weweh dhateng sesami, asih lan andhap asor, ngertos dhateng susila, mboten ngluhur-ngluhuraken, tindakipun sami kemawon kalijan lare padhusunan, persasat mboten mantra-mantra menawi punika sedjatosipun putraning Nalendra.

Ing wantji senggang ingkang rama kepareng nimbali ingkang putra, dhawuhipun: "Ngger Prijangga Lawung, sira ingsun paringi pirsa ngger, nanging adja kaget atinira, lan bandjur adja kegedhen ing rumangsa. Mengkene ngger, sedjatine wong atuwanira iku ja ingsun iki dudu kawula tani kang mengkene iki. Ingsun sedjatine Nalendra Madjapait. Kala samana nalika rama isih djumeneng, akeh banget penggodhane. Mula rama bandjur kepengin gesang kaja dene kawula ing nganti seprene. Dene negara ingsun pasrahake marang pamanira dhewe, ja kuwi si Pangeran Anom Minak Pijungan lan sakiki djumeneng Nalendra adjedjuluk Prabu Brawidjaja Kalamurti Tjakra Buwana kang kaping III. Dene ingsun wus paring dhawuh marang pamanira, adja kongsi negara dipasrahake marang sapa bae, jen ingsun durung kundur ngedhaton. Ing wusana wektu dina samengko kaja wus tumeka titi wantji ingsun andjabel panguwasane Minak Pijungan, djalaran ingsun wus rumangsa kagungan putra kang wenang nglenggahi dhamparing keprabon, ja kuwi sira ngger. Jen ingsun waspadakake, kaja sira wus andungkap diwasa, kaja wus pantes jen ta ngrenggani negara Madjapait. Mangertia ngger, sedjatine ibunira iku putri saka Djenggala, dadi wus pantes jen djumeneng prameswarining Nata. Mula sira ja wus wenang banget nglintir keprabon. Mula saka kuwi ngger, poma dipoma tansah sumungkema ing ejangira kang wus swargi, kang bakal andjangkung pangastanira djumeneng Nata ing pradja Madjapait."

Raden Prijangga Lawung: "Kandjeng Rama sesembahan kula, sanget ing pamundhi dhawuhipun rama, ingkang putra namung andhedherek sedaja dhawuh, mboten badhe ambadal kersa. Sedaja namung tansah sumarah ing ngarsa rama dalasan ibu, ingkang kula bekteni lahir trusing batos, inggih wakiling Hijang Bagas Puruwa."

Sang Pandhita lega sanget ing penggalihipun, dene ingkang putra tansah andherek dhawuning rama.

Sang Pandhita paring dhawuh malih: "Nanging mangertia ngger, jen djumenengira dadi nalendra kuwi kudu ngenteni jen sira wus juswa 25 warsa, dadi kurang 8 warsa. Ing sadjeroning 8 warsa mau, kang 7 warsa anggonen ngulandara, lelana kang sakperlu ngudi kawruh budhi kang sedjati, anggladhi marang katijasaning sariranira, kudu wani pait getir, makarja kang abot, nindakake talak brata, pirsa marang kasengsaraning kawula, pirsa marang kawula kang dhemen nindakake djubrija, tjidra, durdjana lan kudu wani nanggulangi. Adja sira kundur jen sira durung ngleksanani pamundhute rama. Awit sira wadjib sudjana marang kedadean ing tembe mburi, emut marang anak turunira, andjaga katentremane djagad sak isine kabeh. Jen kurang sakwarsa djandji sira wus bisa ngleksanani pamundhute rama, sira kepareng kundur. Ing kono sira ingsun sengkakake ngaluhur djumeneng Adipati Anom. Dene bab jasa kraton ora perlu bojong menjang Talok Langu, tjukup padhukuhan kene bae kanggo kraton. Katimbang ngusir si Minak Pijungan mesakake, aluwung ingsun kang ngalah. Wis ngger djengkara saka kene, ingsun tunggu ing padhepokan kongsi sakrawuhira ngger. Ora liwat rama mung bisa paring pudja-pudji pangestu, rahaju, widada ing saklawas-lawase."

Raden Prijangga Lawung: "mboten langkung rama, ingkang putra namung njuwun tambahaing pangestu, tinebihna ing rubeda, tjinelakna ing karahajon. Sampun rama, sembah sungkem kundjuk ing ngersa rama miwah ibu."

Raden Prijangga Lawung nilar padhepokan sumedia nindakaken dhawuhing rama, dene Sang Pandhita miwah garwa sami nengga ingkang putra kanthi raos prihatos, sarta tansah njenjuwun ing Djawata, sageda ingkang putra tansah pinajungan karahajon.

Aksara consonants
Pasangan consonants
Aksara murda consonants
Subscript aksara murda consonants
Vowels, vowel diacritics and final consonant diacritics
Punctuation


Numerals
Sample
Gumebyaring tapak ilating guntur
.nemahake pratanda nuswantara
iguh pratikel kula warga bangsa
nandur pocapan wacana warta
olehing eman bhinekaning atunggal

KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA
Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1. Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- handhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin
Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah
Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya
Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu
Nulya Prabu Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit
Anggit pinurwa warna Anggit dibuat macam
Sastra kalih puluh Sastra dua puluh
Kinarya warga lelima Dibuat warga lelima
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya
Pindho Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala
Yeku sawarga ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya
Iku sawarganipun itulah sewarganya
Anglelima sawarganeki Lima-lima satu warganya
Ran sastra sarimbangan Nama sastra sarimbangan
Iku milanipun Itulah sebabnya
Awit ana sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu
Weneh-weneh ungelnya Macam-macam lafalnya

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar bad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 - 6 )

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 - 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Pustaka Kraton
Kraton Ksunanan Solo juga memiliki koleksi hasil seni karya sastra yang tersimpan di Sasana Pustaka. Sasana pustaka merupakan perpustakaan Kraton Kasunanan yang menyimpan sebagian besar hasil seni sastra Karaton pada jamannya. Perpustakaan interen ini didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Januari 1920. Letak perpustakaan ini ada disebelah selatan Sasanasewaka(di dalam Kraton), berdekatan dengan sasana Handrawina . Didalamnya tersimpan buku hasil seni sastra, buku, majalah lama, dan bahan terbitan antara lain :

a. Naskah manuskrip (tulisan tangan atau carik) sebanyak 726 naskah yang sekarang sudah tersimpan dalam bentuk mikro film
b. Buku cetak huruf Jawa sebanyak 2000 buku.
c. Buku yang berbahasa Belanda sebanyak 1000 buku
d. Buku-buku terbitan Balai Pustaka sebanyak 1100 buku
e. Buku-buku dari berbagai instansi sebanyak 600 buku
f. Kurang lebih 200 majalah dan koran lama (sebelum kemerdekaan Republik Indonesia)
Khusus mengenai naskah manuskrip sebanyak 726 buah seluruhnya sudah disusun dalam bentuk katalog oleh dua orang. Kedua orang itu yaitu (1) Nikolous Girandet dari Universitas Heidelberg Jerman dan (2) Nancy K. Florida dari Ford Foundation Amerika Serikat. Dari kedua katalog itu dapat diperoleh gambaran ringkas mengenai isi naskah. Berdasarkan isinya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a Babad atau sejarah.
b.Tatacara dan upacara
c.Keris
d.Pedalangan dan wayang
e Ilmu bahasa/paramasastra
f.Mistik Jawa
g. Perbintangan atau astronomi
h.Mistik dan tari
i. Islam dalam sejarah perkembangannya

Berdasarkan jumlah dan koleksi buku perpustakaan sasana pustaka termasuk perpustakaan lama yang besar. Perpustakaan sebagai sumber inspirasi cukup menyimpan bahan yang melimpah. Bahan yang melimpah ini untuk pemakaiannya ada kendala yaitu kendala mengenai bahasa dan tulisan. Sebagian bahasanya tertulis dalam huruf Jawa dan tentunya juga termasuk dalam bahasanya.

Untuk mengatasi kendala itu akan ditempuh adanya usaha transkripsi dan terjemahan. Dengan usaha ini fungsi Sasana Pustaka sebagai sumber informasi dan sumber inspirasi dapat diwujudkan.

SASTRA JAWA DULU DAN KINI
Perkembangan satra Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 sering disebut sebagai “renaisans sastra klasik” (maksudnya: sastra Jawa Kuno). Sebutan “renaisans” dalam penelitian-penelitian mutahir ditolak, jika yang dimaksudkan dengan “renaisans” itu adalah munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno. Yang terjadi adalah penggubahan karya-karya sastra Jawa Kuno yang bermantra kakawin menjadi karya-karya sastra Jawa yang bermantra macapat (tembang macapat)

Hal ini menjadi jelas dalam kasus Serat Wiwaha Jarwa (Serat Mintaraga), gubahan Paku Buwana III (1749-1788). Paku Buwana III tidak langsung bekerja degan teks Kawi (Jawa Kuno), tetapi mengubah teks prosa yang sudah menjadi Serat Wiwaha Jarwa yang bertema macapat.

Sumber-sumber sastra yang dimanfaatkan di keraton Surakarta itu tampaknya berasal dari kegiatan sastra pada zaman Kartasura, khususnya kegiatan sastra yang justru dilakukan di luar Karaton, yaang konon ada di padepokan-padepokan di wilayah Merapi-Merbabu.

Khasanah sastra zaman Kartasura ini kemudian diwarisi oleh para pujangga Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saat terjadinya pembagian kerajaan itu.

Abad Baru
Serat Wiwaha Jarwa gubahan Paku Buwono III mulai di tulis pada tahun 1704 Jawa (1778 Masehi) atau pada awal “abad baru” menurut kalender Jawa.
Jika demikian dapatlah ditafsirkan bahwa pengubaha Serat Wiwaha Jarwa merupakan imbangan terhadap penciptaan Serat Suryaraja, yang ditulis oleh Putra Mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) di Keraton Yogyakarta pada tahun 1700 Jawa (1774 masehi). Disitu tampak adanya kompetisi legitimasi Surakarta ataukah Yogyakarta yang merupakan “Kraton baru” yang sah menggantikan keraton Kartasura.

Dengan menggubah serat wiwaha jarwa, Paku Buwana III menampilkan diri sebagai “raja” sekaligus “pendeta” atau “raja” sekaligus “pujangga”. Tugas seorang pujangga adalah menulis dalam rangka legitimasi kedudukan sang raja.

Serat wiwaha jarwa memuat kisah Arjuna yang bertapa berhasil menaklukan Niwatakawaca dan memperoleh pahala dari kahyangan. Disini legitimasi kerajaan dihubungkan dengan Arjuna, yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Jawa.

Serat Suryaraja mengambil bentuk babad yang memuat kisah Keraton Yogyakarta dengan menyamarkan tokoh-tokohnya menjadi tokoh-tokoh mistis. Didalamnya dapat dilacak bagaimana Keraton Yogyakarta menghadapi masalah-masalah dalam menyongsong “abad baru”.
Putra mahkota (kelak: Hamengku Buwono II) ini juga kiranya penulis Babad Mangkubumi, yang mengisahkan masa pemerintahan Mangkubumi (Hamengku Buwono I) sesudah pembagian kerajaan pada tahun 1755.
Bagian pertama yang merupakan bagian terbesar dari babad ini, selesai ditulis pada tahun 1773. Bagian kedua ditambahkan sesudah wafatnya Sultan Mangkubumi dan putra mahkotanya, sangat keras mengritik. Mangkunegoro, tidak mengacuhkan Paku Buwono III, dan melawan Paku Buwono IV.
Penulisan babad yang penting juga di keraton Yogyakarta adalah penulisan Babad Keraton oleh Raden Tumenggung Jayengrat pada tahun 1703 Jawa (1777 Masehi). Babad ini memuat kisah dari Adam sampai jatuhnya keraton Kartasura. Semula babad ini berakhir dengan berdirinya keraton Kartasura, kemudian dilanjutklan dengan jatuhnya keraton itu. Dengan jatuhnya keraton Kartasura, maka karaton Yogyakarta merupakan karatopn baru pada awal abad baru, yang merupakan pengpengganti langsung dan sah dari karaton Kartasura.
Melihat dari kisahnya, bisa dikatakan Babad Keraton bisa bersifat memandang ke belakang. Ini berbeda dengan serat Suryaraja yang bersifat profetis dan memandang ke masa depan.

Yosodipuro
Beberapa waktu kemudian pada pergantian abad ke-18-19 dilingkungan keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I (1792-1803). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Namun, penelitian Ricklefs akhir-akhir ini menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada enam karya harus diragukan atau ditolak sebagai karya Yosodipuro I, yakni Tajusalatin, menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha jarwa, dan Cebolek.
Yosodipuro I inilah yang menggubah kakawin-kakawin lama menjadi karya-karya bertembang macapat. Umpamanya: serat serat rama (dari kakawin ramayana), serat Bharatayuda (dari kakawin Bharatayuddha), dan serat Arjuna sasrabahu (diperbaharui oleh Yosodipuro II; dari Kakawin Arjunawijaya). Mengingat kasus serat wiwwaha jarwa gubahan Paku buwono III, mungkin Yosodipuro I juga bekerja atas dasar terjemahan prosa yang telah ada, yang dibuat pada jaman Kartasura. Selain itu Yosodipuro I juga menggubah serat Dewaruci.
Serat rama memuat kisah rama yang bertempur melawan rahwana untuk memperoleh Sinta. Ajaran penting yang terdapat dalam serat rama adalah ajaran rama kepada wibisana tentang sikap dan perilaku seorang raja dalam memerintah rakyat. Ajaran itu dikenal dengan Asthabrata, delapan sikap dan perilaku seorang raja sesuai dengan watak dan perilaku delapan dewa.
Ajaran Asthabrata banyak dikaji, dikutip, dan digubah kembali, sehingga menghasilkan banyak versi, baik dalam bentuk tembang maupun prosa. Dalam pentas wayang kulit, ajaran ini juga dituturkan dalam berbagai konteks cerita, antara lain dalam lakon Makutharama.
Serat Bratayuda memuat kisah pertempuran Pandawa Kurawa yang memperebutkan Kerajaan Hastina. Secara alegoris kisah ini membayangkan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Suksesi kerap kali melibatkan perang saudara. Dalam upacara bersih desa dan upacara nyadran (mengirim doa untuk para leluhur dan mereka yang sudah meninggal) kerap kali dipentaskan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Bratayuda. Pembersihan Bumi dan penyucian dosa bagi mereka yang telah meninggal dikaitkan dengan gugurnya para pahlawan Bratayuda.
Serat Arjunasasrabahu memuat kisah kelahiran Rahwana dan saudara-saudaranya, serta pertempuran Rahwana melawan Arjunasasrabahu. Berkat salah paham atas teks Jawa kuna, kisah pertemuan Wisrawa-sukesi menimbulkan ngelemu sastra jendra, ilmu tentang hakikat terjadinya manusia yang dianggap rahasia.
Serat Dewaruci memuat kisah Bima yang atas perintah Drona mencari air suci (tirta perwira sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajarang tentang hakikat diri manusia. Dalam pentaswayang kulit, Lakon Dewaruci kerap kali dianggap berpasnagan dengan lakon Mintaraga.
Lakon Dewaruci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas ditengah masyarakat. Sedangkan lakon Mintaraga menampilkan usaha manusia untuk mendisiplinkan diri sehingga sanggup melaksanakan tugas membina kesejahteraan dunia (mamayu hayuning buwana).

“Babad Giyanti”
Yosodipuro I juga menulis babad yang penting, yakni Babad Giyanti. Babad ini tidak mencantumkan tanggal penulisannya, tetapi diperkirakan paling lambat sekitar 1803 babad itu telah selesai ditulis.
Yang menarik perhatian, dalam babad ini tampak Yosodipuro I mengagumi Sultan Mangkubumi dan menjadikannya tokoh utama. Ini tentu sesuatu yang istimewa karena Yosodipuro adalah pujangga keraton Surakarta, sementara Sultan Mangkubumi adalah raja Keraton Yogyakarta.

Perhatian terhadap babad di lingkungan Keraton Surakarta tampak dari munculnya babad pakepung dan babad tanah jawi. Babad pakepung mengisahkan krisis tahun 1790 di Surakarta. Babad ini tampaknya ditulis oleh Raden Ngabehi Yosodipuro II.

Babad Tanah Jawi mulai disusun pada pemerintahan Paku Buwono IV (1788-1820). Penyusunan babad ini mungkin berhubungan dengan usaha Paku Buwono IV untuk mengkukuhkan kedudukan dan kekuasaan sebagai raja.

Paku Buwono IV menuangkan ajarannya untuk anak-cucu, kerabat dan abdinya dalam Serat Wulangreh. Paku Buwono IV memang banyak menulis serat (ajaran), yang dapat ditafsirkan sebagai pedoman dan sarana kontrol perilaku di lingkunan istana.

“Serat Centhini”
puncak dari perkembangan sastra Jawa ini mungkin berlangsung sekitar tahun 1815, saat putra mahkota (kelak: Paku Buwono V, memerintah 1820-1823) bersama sebuah tim redaksi menyusun Serat Centhini. Kitab ini biasa disebut “ensiklopedi Jawa”. Kisah yang merangkai beraneka ragam ilmu itu ialah sebuah kisah perjalanan. Perjalanan seseorang yang mengembara mencari ilmu keseluruh pelosok tanah Jawa ini, dilaporkan dalam kisah perjalanan Bujangga Manik, yang termuak dalam sebuah naskah Sunda dari akhir abad XV. Kisah perjalanan yang menjadi ciri genre sastra jenis ini, yang disebut juga santri Lelana.

Banyak serat ( kitab ) yang diserap kedalam Serat Centhini dan dirangkaikan sebagai ajaran yang diperoleh para santri lelana di berbagai tempat pengembaraan mereka. Kisah perjalanan ini juga memberi kesempatan memasukkan legenda, cerita tentang tempat-tempat dan peninggalan purbakala, lukisan alam, uraian berbagai upacara dan seni pertunjukan dan sebagainya.

Dari hal ihwal yang demikian itu dapat ditafsirkan bahwa dalam serat centhini, hendak dikumpulkan berbagai kitab dan berbagi situasi tanah Jawa dulu, seakan-akan ada kekhawatiran bahwa semuanya itu akan lenyap berhadapan dengan “ dunia baru “ dengan arus global nanti yang semakin kuat pengaruhnya.

SASTRA JAWA DALAM PERJALANAN SEJARAH
Perjalanan sejarah sastra Jawa dapat ditelusuri dengan melihat koleksi naskah Jawa yang terdapat dalam pelbagai museum, terutama di museum Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan diluar negri yang banyak terdapat di Negeri Belanda. Dari pelbagai naskah itu kita akan jumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, sastra suluk.

Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dll.
Jenis sastra Jawa yang paling tua adalah Ramayana Kakawin dan kitab-kitab parwa yang menceritakan nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Meskipun kisah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India, tetapi isi yang diambil oleh masyarakat Jawa adalah pada pertentangan antara yang baik dan yang buruk , yang berakhir dengan kemenangan yang baik. Ada 8 parwa yag dikenal, yaitu : Adiparwa, Wiathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Asramasaparwa, Mosalaparwa, Prathanikaparwa dan Swargarohanaparwa, yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada jaman raja Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur pada kahir abad ke 10.
Sastra yang dipengaruhi India itu mendominasi dunia sastra Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kirab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Kalau pada jaman sebelum Majapahit tokoh-tokoh didalam karya-karya sastra yang ditonjolkan berupa tokoh mitologis, terutama tokoh yang diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, maka pada jaman Majapahit tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah tokoh-tokoh sejarah. Baik tokoh yang hidup dan digambarkan secara riil maupun tokoh sejarah yang hidupnya telah diolah sebagai mitos, misalnya tokoh-tokoh dalam serat-serat Panji dan kitab Pararaton.

Pada jaman Majapahit karya sastra mulai menggarap tokoh-tokoh sejarah yang pola kelakuannya bisa diteladani, seperti , Hayam Wuruk, Rati Tribuwana, Jayakatwang, Sora, Nambil dan sebagainya.

Sastra piwulang
Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula kar a sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri.
Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi..

Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.

Metrum macapat
Ketika stabilitas politik terjadi pada jaman Surakarta, para pujangga aktif dengan karya-karya sastranya, dan yang sangat menonjol adalah karya-karya dalam bentuk metrum macapat atau puisi macapat. Karya-karya Jawa Kuna seperti serat Batarayuda, Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabau, Wiwahajarwa dirubah dalam bentuk puisi macapat. Demikian pula sastra piwulang, juga dibentuk dalam puisi macapat seperti serat Wicarakeras, Sanasusnu oleh Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Sri Sunan Paku Buwana IV, Wedhatama oleh Sri Mangkunegoro IV, serat Centhini oleh Sri Susuhunan Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat ini juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti. Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya.

Pada jaman itu juga muncul karya sastra yeng bersifat futuristik (ramalan) yang banyak digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal karena ramalannya dalam Serat Kalatidha.

Pengaruh penjajahan Belanda juga terlihat pada karya-karya sastra pada masanya, terutama setelah berdirinya Balai Pustaka yang menerima naskah sastra Jawa. Ciri khusus dari sastra yang diterbitkan Balai Pustaka ialah tidak lagi mengambil peran tokoh-tokoh wayang, bukan pula tokoh raja-raja, melainkan dari tokoh imaginer dari masyarakat konkret.Pemecahan masalah tidak lagi dicari di alam kayangan atau wasiat adikodrati melainkan ditekankan pada masalah pendidikan,yang waktu itu telah dirintis di jaman penjajahan Belanda

SERAT SABDO JATI
Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu
MarGAne suka basuki
Dimen luWAR kang kinayun
Kalising panggawe SIsip
Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos

Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir, tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh Kewuhan sajroning ati Yen tiniru ora urus Uripe kaesi-esi Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela akhirnya menjadi sengsara.

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon

Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun Yen temen-temen sayekti Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun Aling-aling kang ngalingi Angilang satemah katon  Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh Sudranira andadi Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt Kongas welase kepati Sulaking jaman prihatos Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut, senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji Sabuk tebu lir majenum Galibedan tudang tuding Anacahken sakehing  ong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu Kala Suba kang gumanti Wong cilik bisa gumuyu Nora kurang sandhang bukti Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba. Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik Nanging kaseranging ngumur Andungkap kasidan jati Mulih mring  
tining enggon
Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hamper datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti

Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).

SERAT KALATIDA
Sinom
1. Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.

3.Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beak

Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu. Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna

Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan. Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala, guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.

7. Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.

8. Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.

10. Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan
waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martini
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundit
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.

SABDA TAMA
Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun
Angayomi lukitaning kalbu
Gambir wanakalawan hening ing ati
Kabekta kudu pitutur
Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan dengan hati yang hening
disebabkan ingin memberikan petuah-petuah agar dapat menyingkirkan hal-hal yang salah.
2. Den samya amituhu
Ing sajroning Jaman Kala Bendu
Yogya samyanyenyuda hardaning ati
Kang anuntun mring pakewuh
Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu
sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan kepada kerepotan.
Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.

3.Ngajapa tyas rahayu
Nyayomana sasameng tumuwuh
Wahanane ngendhakke angkara klindhih
Ngendhangken pakarti dudu
Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik.
Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga.
Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka, melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

4. Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung.
Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai,
selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.

5. Ilang budayanipun
Tanpa bayu weyane ngalumpuk
Sakciptane wardaya ambebayani
Ubayane nora payu
Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh.
Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya.
Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun mempercayainya.
Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

6. Rong asta wus katekuk
Kari ura-ura kang pakantuk
Dandanggula lagu palaran sayekti
Ngleluri para leluhur
Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya. Hanya tinggallah berdendang.
Mendendangkan lagu dandang gula palaran hasil karya nenek moyang dahulu kala, betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.

7. Galak gangsuling tembung
Ki Pujangga panggupitanipun
Rangu-rangu pamanguning reh harjanti
Tinanggap prana tumambuh
Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya mungkin ada kelebihan dan kekurangannya.
Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir,
barangkali terdapat kesalahan/kekeliruan tafsir, sebab sedang prihatin.

8. Wartine para jamhur
Pamawasing warsita datan wus
Wahanane apan owah angowahi
Yeku sansaya pakewuh
Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli, wawasan mereka keadaan selalu berubah-ubah.
Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.

9. Sidining Kala Bendu
Saya ndadra hardaning tyas limut
Nora kena sinirep limpating budi
Lamun durung mangsanipun
Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka.
Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik.
Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

10. Ing antara sapangu
Pangungaking kahanan wus mirud
Morat-marit panguripaning sesame
Sirna katentremanipun
Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,
penghidupan semakin morat-marit, tidak ketenteraman lagi, kesedihan disana-sini.

11. Kemang isarat lebur
Bubar tanpa daya kabarubuh
Paribasan tidhem tandhaning dumadi
Begjane ula dahulu
Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan.
Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya dapat makan.

12. Ndhungkari gunung-gunung
Kang geneng-geneng padha jinugrug
Parandene tan ana kang nanggulangi
Wedi kalamun sinembur
Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan
meskipun demikian tidak ada yang berani melawan.
Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa.
Bisa racun ular itu bagaikan air panas.

13. Kalonganing kaluwung
Prabanira kuning abang biru
Sumurupa iku mung soroting warih
Wewarahe para Rasul
Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang berwarna kuning merah dan biru sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air.Menurut ajaran Nabi itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

14. Supaya pada emut
Amawasa benjang jroning tahun
Windu kuning kono ana wewe putih
Gegamane tebu wulung
Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat. Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning (Kencana) akan ada wewe putih (setan putih), yang bersenjatakan tebu hitam akan menghancurkan wedhon (pocongan setan).
(Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).

15. Rasa wes karasuk
Kesuk lawan kala mangsanipun
Kawises kawasanira Hyang Widhi
Cahyaning wahyu tumelung
Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya, karena kekuasaan Tuhan telah datang jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi.

16, Karkating tyas katuju
Jibar-jibur adus banyu wayu
Yuwanane turun-temurun tan enting
Liyan praja samyu sayuk
Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut hanya didasarkan kepada ketentraman sampai ke anak cucu. Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati dimanapun.

17. Tatune kabeh tuntun
Lelarane waluya sadarum
Tyas prihatin ginantun suka mrepeki
Wong ngantuk anemu kethuk
Isine dinar sabokor

Segala luka-luka (penderitaan) sudah hilang.
Perasaan prihatin berobah menjadi gembira ria.
Orang yang sedang mengantuk menemukan kethuk (gong kecil)
yang berisi emas kencana sebesar bokor.
18. Amung padha tinumpuk
Nora ana rusuh colong jupuk
Raja kaya cinancangan angeng nyawi
Tan ana nganggo tinunggu
Parandene tan cinolong

Semua itu hanya ditumpuk saja, tidak ada yang berbuat curang maupun yang mengambil. Hewan piraan diikat diluar tanpa ditunggu namun tidak ada yang dicuri.

19. Diraning durta katut
Anglakoni ing panggawe runtut
Tyase katrem kayoman hayuning budi
Budyarja marjayeng limut
pangesthi awon

Yang tadinya berbuat angkara sekarang ikut pula berbuat yang baik-baik. Perasaannya terbawa oleh kebaikan budi. Yang baik dapat menghancurkan yang jelek.

20. Ninggal pakarti dudu
Pradapaning parentah ginugu
Mring pakaryan saregep tetep nastiti
Ngisor dhuwur tyase jumbuh
Tan ana wahon winahon

Banyak yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kurang baik. Mengikuti peraturan-peraturan pemerintah. Semuanya rajin mengerjakan tugasnya masing-masing. Yang dibawah maupun yang diatas hatinya sama saja. Tidak ada yang saling mencela.

21.Ngratani sapraja agung
Keh sarjana sujana ing kewuh
Nora kewran mring caraka agal alit
Pulih duk jaman runuhun
Tyase teteg teguh tanggon

Keadaan seperti itu terjadi diseluruh negeri. Banyak sekali orang-orang ahli dalam bidang surat menyurat. Kembali seperti dijaman dahulu kala. Semuanya berhati baja.

SERAT JOKO LODANG
Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor

Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon
kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan
(akan terjadi wolak waliking jaman), karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya.

2.Nanging awya kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong

Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.
Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam.

3. Nadyan bisa mbarenjul
Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong

Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,
namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.
(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik
tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).
Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan
akan terjadi pada tahun Jawa 1850.
(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).
Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.
Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira

Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada mati,
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.

2. Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira
Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.
Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.
Banyak ulama berbuat maksiat.
Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.

3. Para sudagar ingargya
Jroning jaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma

Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.
Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin menjadi-jadi.
Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1).
Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930.
Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri
kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.

Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon

Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi :
"Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya
segera dan dapat terjadi ".

2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon

Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.
Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.
Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.

3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor
Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)
yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut
isinya tidak lain emas dan kencana.

Wirid Wirayat Jati
Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji.

Inilah sebuah petunujuk yang benar yang menjelaskan tentang ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari ajaran para ahli hikmah di tanah Jawa, yang hendak membuka hakikat kesempurnaan sejati, sebuah pelajaran dari kitab Tasawuf, tersingkapnya ajaran ini terpancar dari kebersihan jiwa heningnya alam pikiran, yaitu tanggapnya rasa atas cipta Tuhan, dengan ihlash mengawali pelajaran ini yakni dengan menukil Firman Allah kepada Nabi Musa AS yang bermakna : Yang sebenar- benar manusia itu adalah kenyataan (adanya) Tuhan, dan Tuhan itu Maha Esa.

Pangandikaning Pangeran ingkang makatên wau, inggih punika ingkang kawêdharakên dening para gurunadi dhatêng para ingkang sami katarimah puruitanipun. Dene wontên kawruh wau, lajêng kadhapuk 8 papangkatan, sarta pamêjanganipun sarana kawisikakên ing talingan kiwa. Mangêrtosipun asung pêpengêt bilih wêdharing kawruh kasampurnan, punika botên kenging kawêjangakên dhatêng sok tiyanga, dene kengingipun kawêjangakên, namung dhatêng tiyang ingkang sampun pinaringan ilhaming Pangeran, têgêsipun tiyang ingkang sampun tinarbuka papadhanging budi pangangên-angênipun (ciptanipun).

Firman Allah yang demikian ini yang diajarkan oleh para ahli (mursyid) kepada sesiapa yang diterima penghambaannya(salik). Dimana ajaran itu, kemudian teringkas menjadi 8 hal, penyampaiannya dengan cara membisikkan ke telinga murid sebelah kiri. Pemahaman semacan ini memberikan pengertian bahwa ilmu 'kasampurnan' ini tidak seyogyanya diajarkan kepada sembarang orang, kecuali kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah SWT, artinya orang yang telah tercerahkan dirinya (ciptanya).

Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos sêrat punika sayuginipun sinêmbuha nunuwun ing Pangeran, murih tinarbuka ciptaning sagêd anampeni saha angêcupi suraosing wejangan punika, awit suraosipun pancen kapara nyata yen saklangkung gawat. Mila kasêmbadanipun sagêd angêcupi punapa suraosing wêjangan punika, inggih muhung dumunung ing ndalêm raosing cipta kemawon.

Maka dari itu, barang siapa yang sudi membaca tulisan ini seyogyanya berlandaskan permohonan kepada Allah, agar kiranya dapat terbuka ciptanya hingga mampu menerima dan memahami maknanya, karena makna dari ajaran ini ternyata sangat rumit/berbahaya. Maka bisanya memahami ajaran ini tidak lain hanya berada di dalam cipta - rasa pribadi.

Mila inggih botên kenging kangge wiraosan kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, inggih ingkang dereng kêparêng angsal ilhaming Pangeran. Hewa dene sanadyana kangge wiraosing kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, wêdaling pangandika ugi mawia dudugi lan pramayogi, mangêrtosipun kêdah angen mangsa lan êmpan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.
Maka tidak boleh kiranya untuk didiskusikan dengan orang yang belum sapai atau belum mengunggal rasanya dengan kita, yaitu orang yang belum menerima hidayah dari Allah SWT.

Kalau demikian seandainya harus disampaikan kepada orang yang belum sampai, hendaknya disampaikan dengan sangat hati-hati, melihat situasi- kondisi, waktu dan tempat yang tepat serta disampaikan dengan kiasan bahasa yang indah.

Mênggah wontêning wêwêjangan 8 pangkat wau, kados ing ngandhap punika:
Delapan wejangan tersebut di atas, sebagaimana di bawah ini:
I, 1. Wêwêjangan ingkang rumiyin, dipun wastani: pitêdahan wahananing Pangeran, sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng Nabi Mohammad s.a.w. Makatên pangandikanipun: Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun sajatine kang urip luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat, sipat, asma, afngal).
I. 1 Wejangan yang pertama, disebut pelajaran akan sifat-sifat Allah. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW yang bermakna kurang lebih begini: Sesungguhnya tidak ada apa-apa tatkala sebelum masa penciptaan, yang ada (paling awal) itu hanya Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku yang Hidup dan Maha Suci baik asma maupun sifatKu (dzat, sifat, asma, af'al).
I, 2. Mênggah dunungipun makatên: kang binasakake angandika ora ana Pangeran anging ingsun, sajatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih gêsang kita punika rinasuk dening Pangeran kita, mênggahing warna nama lan pakarti kita, punika sadaya saking purbawisesaning Pangeran kita, inggih kang sinuksma, têtêp tintêtêpan, inggih kang misesa, inggih kang manuksma, umpami surya lan sunaripun, mabên lan manisipun, sayêkti botên sagêd den pisaha.
I. 2. Yang dimaksud begini: Yang digambarkan tiada tuhan kecuali aku, hakekat hidup yang suci, sesungguhnya hidup kita ini adalah melambangkan citra Allah, sedang nama dan perbuatan kita itu semua berasal dari Kemahakuasaaan Allah, yang 'menyatu' ibarat matahari dan sinarnya, madu dengan manisnya, sungguh tiada terpisahkan.
I, 1. Wêwêjangan ingkang kaping kalih, dipun wastani: Pambuka kahananing Pangeran, pamêjangipun amarahakên papangkatan adêging gêsang kita dumunung ing dalêm 7 kahanan, sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng Nabi Mohammad s.a.w. Makatên pangandikanipun: Satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasan anitahakên sawiji-wiji, dadi padha sanalika saka karsa lan pêpêsteningsun, ing kono kanyatahane gumêlaring karsa lan pakartiningsun, kang dadi pratandha.
II.1 Wejangan yang kedua adalah : Pengertian adanya Allah., Wejangan ini mengajarkan bahwa elemen hidup kita ini berada pada 7 keadaan, sebagaimana firman Allah kepada Muhammad SAW yang maknanya begini: Sesungguhnya Aku adalah Allah, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu dengan kun fa yakun dari qodrat dan iradatKu, yang demikian ini menjadi pertanda bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
II, 2. Kang dhihin, ingsun gumana ing dalêm awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wêkasan, iya iku alam ingsun kang maksih piningit.
II.2. Yang pertama, Aku ada dalam ketiadaan yang tanpa awal serta tanpa akhir, itulah alamKu yang Maha Gaib.
II, 3. Kapindho, ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dumunung ana ing alam pasênêdaningsun.
II, 3. Kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai manifestasiKu, berada dalam kehendakKu.
II, 4. Kaping têlu, ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan dadi rahsaningsun,
umunung ana ing alam pambabaraning wiji.
II, 4. Ketiga, Aku menciptakan bayang-bayang sebagai pertanda citraKu, yang berada pada alam kejadian/penciptaan (mula-jadi).
II, 5. Kaping pat, ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaningsun, dumunung ana ing alaming gêtih.
II. 5. Keempat, Aku mengadakan ruh sebagai pertanda hidupku, yang berada pada darah.
II, 6. Kaping lima, ingsun anganakake angên-angên kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalêm alam kang lagi kêna kaumpamaake bae.
II, 6. Kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga menjadi sifatku, yang berada pada alam yang baru boleh diumpamakan saja.
II, 7. Kaping ênêm, ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pêncaring angên-angên kang dumunung ana ing dalêm alaming badan alus.
II, 7. Keenam, Aku mengadakan budi, yang merupakan kenyataan penjabaran angan- angan yang berada pada alam ruhani.
II, 8. Kaping pitu, ingsun anggêlar warana kang minangka kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasêbut nêm prakara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya iku sajatining manungsa.
II, 8. Ketujuh, aku menggelar akal sebagai sentral/wadah atas semua ciptaanku. Enam perkara tersebut di atas tercipta di dunia yang merupakan hakikat manusia.
Wirayat Jati, Raden Ngabehi Ranggawarsita], Kapethil saking serat Jawi Kandha ing Surakarta Hadiningrat tahun 1908.
http://syangar.bodo.blogspot.co.cc