“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (Nuurun ‘Alaa-Nuur), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memper-buat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur: 35)

Dalam bab ini, kita akan mencoba menguraikan masalah washilah yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Islam, agar supaya mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai Ilmu Tasawwuf, khususnya mengenai Ilmu Thariqat dan Sufi. Para ulama memahami washilah  ini berbeda-beda pendapat namun intinya mereka bersepakat bahwa washilah adalah sesuatu yang dibenarkan dan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di   dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah : 35:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

Pengertian Washilah

1. Washilah menurut bahasa ialah “Sesuatu yang dapat mendekatkan kepada yang lain.”

2. Di dalam kamus dinyatakan : Al-wasilah dan Al-Waasilah.

“Almanzilatu indal maliki” yang berarti “Satu kedudukan di sisi raja”.

Dan diartikan juga dengan “ad-darjatu” (derajat) dan “al-qurbatu” (dekat) “Wa wassala ilalahi tausila (Dia mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah)”

3. Dalam “Al-Mishbah”, dinyatakan :

“Wassaltu Ilallahi bil’amal (Saya mendekatkan diri kepada Allah dengan amal).”

“Taqarroba ilaihi bi’amalin (Dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal).”

4. Didalam tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 dijelaskan :

“Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud.”

Dan “nama sebuah tempat kediaman Rasulullah SAW dalam surga, paling dekat dengan ‘Arasy”.

5. Dalam kamus “Al-Munjid” disebutkan washilah berarti sesuatu yang didekatkan kepada yang lain.

Mengenai pengertian kata “washilah” yang tersebut di atas, menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam kitabnya “At-tawashshul ila haqiqatit-tawashshul” sependapat (ijmak) ahli-ahli bahasa menyatakan demikian.

Adapun tawashshul menurut hukum Islam ialah pendekatan diri kepada Allah, dengan mentaati dan beribadat kepada-Nya, mengikuti Nabi-Nabi dan Rasul-Nya, dengan semua amal yang dikasihi dan diridhoi-Nya.

Ibnu Abbas ra, menegaskan : “Al-washilah hiyal qurbah (Wasilah ialah pendekatan).”

Qatadah menafsirkan Al-Qurbah itu : “Dekatkan diri kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan apa saja yang disukai-Nya.”

Demikianlah setiap yang diperintahkan Syara’, baik yang wajib maupun yang sunnat adalah tawassul atau washilah menurut Syara’.

Adapun washilah terbagi dua :

1. Washilah yang disyariatkan (masyru’).

2. Washilah yang dilarang (mamnu’).

Adapun washilah yang disyariatkan ialah setiap washilah yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, sehingga  dapat mendorong kita untuk melaksanakannya. Dan washilah seperti itu dijelaslah  “sesuatu pendekatan kepada Allah dengan taat dan mengerjakan amal-amal saleh yang disukai dan diridhoi-Nya.”

Washilah yang disyariatkan itu terbagi pula menjadi 3 (tiga) diantaranya :
Washilah seorang Mu’min kepada Allah dengan zat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi.
Washilah seorang Mu’min kepada Allah, dengan amal-amal shalehnya.
Washilah seorang Mu’min kepada Allah dengan do’a saudaranya yang Mu’min.

Dasar Hukum Washilah

Adapun dasar hukum washilah itu antara lain firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Maidah 35 :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ayat ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Jadi ayat ini bukan ditujukan untuk orang-orang yang setengah beriman (ragu-ragu terhadap adanya Tuhan), orang-orang yang musyrik dan orang-orang kafir, sebab mereka ini akan menjadikan jalan (washilah) itu sebagai Tuhan mereka.

2. Untuk mencapai kebahagiaan harus melalui syarat-syarat sebagai berikut :

a.  Dengan selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.

b.  Hendaknya mencari jalan (washilah) untuk menuju kepada-Nya.

c.  Berjuang pada jalan-Nya itu.

d.  Jika hal tersebut di atas dijalankan maka akan mendapat keberuntungan atau kemenangan.

Pendapat-pendapat ahli tafsir tentang maksud “washilah” dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tafsir Al-Khazin jilid 2 menyatakan :

“Carilah (tuntutlah) “pendekatan” kepada-Nya, dengan mematuhi dan mengamalkan sesuatu yang diridhoi-Nya.”

2. Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 menyatakan :

“Kata Soufyan Ats-Tsauri dari Tholhah, ‘Atho’ dan dari Ibnu Abbas, maksud “washilah” itu adalah “pendekatan”.

Pendapat itu diperkuat oleh Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir dan Ibnu Zaid, dan lain-lain.

3. Tafsir “Fi Zhilalil Qur’an”, jilid 6 menyatakan :

“Menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, ibtaghu ilaihil washilah berarti “ibtaghu ilahil hajah”, artinya “carilah hajat kepada-Nya.”

Al-washilah dalam ayat itu bermakna “al-hajat”.

4. Ar-Roghib dalam “Qamus Qur’annya “Mufrodatul Qur’an” menyatakan :

“Hakikat washilah kepada Allah itu ialah memelihara jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah.”

“Si Pulan berwashilah kepada Allah, artinya apabila dia melakukan amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya.”

5. Tafsir “Al-Futuhatul Ilahiyah” jilid 1 menyatakan :

“Sesuatu yang mendekatkan kamu kepada-Nya, dengan mentaati-Nya.”

Imam Syeikh Syarbaini Al-Khatib dalam Tafsirnya “Sirojul Munir”, Imam Zamakhsari dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf”, Qadhi Al-Baid-dhowi dalam tafsirnya “Anwarut Tanzil” Fakhrur Razi dalam tafsirnya “Al-Kabir” pada umumnya menyatakan bahwa maksud ayat itu adalah “carilah jalan supaya kamu dapat taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.”

Jika kita perhatikan pendapat ahli-ahli tafsir itu, dengan seksama, maka maksud ayat 35 surat Al-Maidah itu adalah Allah menyuruh kita mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mentaati semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Washilah dalam ayat itu mengandung pengertian umum. Kalangan ahli thariqat berpendapat salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah itu adalah dengan perantaraan rabhithah (pertalian ruhani dengan Mursyid yang selanjutnya sampai ke ruhani Rasulullah SAW dan akhirnya sampai kepada Allah), karena menurut mereka rabithahlah washilah yang sebaik-baiknya, sebab yang dijadikan rabithah itu Nabi SAW, Syeikh-syeikh atau orang yang menempati kedudukan yang tinggi.

Namun demikian bukanlah kalangan thariqat mengartikan washilah dalam ayat itu adalah rabithah, sebab arti demikian bertentangan dengan penafsiran kitab-kitab Tafsir yang mu’tabar. Cuma dari sekian banyak jalan pendekatan, menurut mereka yang paling baik adalah melalui rabithah.

1. Firman Allah Q.S. Al-A’raf 180 :

“Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Ayat itu mengandung perintah supaya kita berdo’a kepada Allah dengan washilah nama-nama-Nya yang Agung atau Ismul A’dham. Dengan berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung tersebut diharapkan permohonan kita cepat diperkenankan atau dikabulkan oleh Allah SWT.

Abu Yusuf berpendapat tidak wajar seseorang berdo’a kepada Allah tanpa berwashilah kepada nama-nama-Nya yang Agung, dan dengan do’a-do’a yang dibenarkan dan diperintahkan.

Jelaslah bahwa ayat itu menganjurkan supaya kita berdo’a kepada-Nya dengan nama-Nya, Sifat-sifat-Nya dan Zat-Nya.

2. Firman Allah Q.S. Ibrahim 38 – 40 :

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.  Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a.  Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do`aku.”

Ayat itu menerangkan satu di antara beberapa contah washilah Nabi Ibrahim as ketika bermohon kepada Allah. Ia memulai do’anya dengan menyebut ketinggian ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu di langit dan di bumi. Allah terpuji pada zat, sifat dan perbuatan-Nya. Allah mendengar do’a hamba-Nya di mana pun mereka berada dan dengan bahasa apa pun mereka pergunakan dan dengan maksud apa pun yang mereka tuju. Dan dia perkenankan do’a itu jika Dia kehendaki.

Nabi Ibrahim as di depan do’anya berwasilah dengan Ilmu Allah, anugerah-Nya, puji-pujianNya dan pendengaran-Nya. Kemudian baru berdo’a meminta supaya ia dan anak cucunya menjadi penegak shalat, meminta ampuni dosanya dan dosa ibu bapanya dan dosa-dosa orang mu’min nanti pada hari kiamat. Ayat itu menjadi dalil kepada kita supaya berwashilah dalam berdo’a.

3. Hadits Abu Daud dan Turmudzi dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya :

“Bahwa Rasulullah SAW, mendengar seorang laki-laki berdoa : “Ya Allah, saya mohon kepada-Mu dengan mengakui bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, yang bergabung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada  seorangpun yang setara dengan dia.”

Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya ananda telah bermohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan namanya yang Agung (Ismul A’dham).”

4. Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi dari Anas bin Malik.

“Bahwa Anas pada suatu hari duduk bersama Rasulullah SAW. Seorang laki-laki sedang shalat dan kemudian berdoa : “Ya Allah saya mohon kepada-Mu, dengan segala jenis puji bagi-Mu, tiada Tuhan melainkan Engkau, Tuhan yang menganugerahi, pencipta langit dan bumi, Wahai Tuhan yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, Wahai Yang Hidup dan Maha Berdiri Sendiri.”

Maka beliau pun bersabda : “Sesungguhnya dia telah berdoa dengan nama Allah yang mulia, yang apabila berdoa dengan nama yang mulia itu, niscaya diperkenankan, dan apabila meminta dengannya, niscaya akan diberi.”

Dua hadis itu menerangkan bahwa dua orang sahabat telah berdo’a berwashilah kepada nama-nama-Nya yang mulia, dan diakui oleh Nabi SAW, bila berdo’a dengan nama-nama itu niscaya diperkenankan.

5. Hadis riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya, Abu Nu’aim dalam “Amalul Yaumi Wal Lailah”, Al-Baihaqi dalam kitabnya “Ad-Da’awat”, At-Thabrani dalam “Kitabud Du’a”, Ibnu As-Sunni dan Ibnu Majah, menyatakan bahwa Nabi SAW berwashilah dan mengajari kita supaya berwashilah. Beliau berwashilah kepada orang yang meminta-minta, ketika berjalan menuju masjid.

Lafadz do’a Nabi SAW itu menurut Musthafa Abu Saif Al-Hamami seorang tokoh Ulama Al-Azhar dalam kitabnya “Ghautsul ‘Ibad” adalah :

“Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang bermohon kepada-Mu, dan saya bermohon kepada-Mu dengan kebenaran perjalananku ini kepada-Mu, . . . “ dan seterusnya.

6. Hadis Turmudzi dan An-Nasai, Al-Baihaqi dan At-Thabrani, menurut “Ghautsul ‘Ibad” menyatakan :

“Seorang laki-laki yang buta telah mendatangi Nabi SAW, seraya berkata : “Do’akanlah kepada Allah, supaya disembuhkan-Nya butaku ini.”

Laki-laki itu berkata pula : “Do’akanlah!”

Maka beliau menyuruhnya supaya mengambil wudhu dengan sempurna (baik) dan berdo’a kepada Allah dengan mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya saya mohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan (perantara) Nabi Muhammad SAW yang beroleh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya saya menghadapkanmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, supaya diperkenankan-Nya. Ya Allah maka syafaatkanlah ia pada hajatku ini.”

Selesai berdo’a sesuai dengan yang diperintahkan Nabi SAW, maka ia pun menjadi sehat dan dapat melihat kembali sebagaimana semula.

Menurut Imam Syaukani dalam kitabnya “Tuhfauz Dzakirin”, hadits yang sama maksudnya dengan itu dikeluarkan oleh Turmudzi (hasan-sahih-gharib), An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Menurut Al-Hakim hadits itu sahih atas dasar syarat Bukhari dan Muslim, dari Utsman bin Hanif.

7. Hadits sahih tentang Umar bin Khatab dan sahabat-sahabat berdo’a kepada Allah ketika shalat istisqa’ (minta hujan), dengan berwashilah kepada paman Nabi SAW, Abbas.

Menurut hadits Bukhari dalam Sahih-nya dari Anas :

“Sesungguhnya Umar bin Khatab, apabila mereka (para sahabat) ditimpa kemarau, ia meminta turunkan hujan dengan washilah Abbas bin Abdul Muthalib, seraya mengucapkan : “Ya Allah, kami telah berwashilah kepada-Mu dengan Nabi kami SAW, lantas Engkau turunkan hujan kepada kami. Dan sesungguhnya sekarang ini kami berwashilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.”

Kata Anas : “Maka hujan pun turun, menyirami mereka.”

Tiada seorang sahabat pun yang membantah perbuatan Umar itu.

Menurut Ibnu Hajar dalam “Fat-hul Bari”, sesudah Umar berwashilah kepada Abbas, maka Abbas pun berdo’a :

“Ya Allah sesungguhnya bala (ujian) tidak turun melainkan karena dosa, dan ia tidak tersingkap, melainkan karena tobat. Sesungguhnya orang banyak telah menghadapkan aku dengan-Mu, karena kedudukanku di samping Nabi-Mu. Inilah tangan-tangan tertadah kepada-Mu, disebabkan dosa-dosa, kami saling nasehat menasehati supaya tobat kepada-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Maka hujan pun turun seperti gunung (lebat).”

Abbas berwashilah kepada Allah dengan mengakui kesalahan, kemudian tobat daripadanya. Ini termasuk amal saleh.

Abbas berdo’a, orang banyak mengaminkan, dan sebelum meletakkan tangan (selesai do’a), hujan pun turun laksana gunung lari dari langit.

8. Hadis Bukhari dan Muslim, muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Umar tentang tiga orang yang terkurung dalam sebuah goa, disebabkan pintunya tertutup oleh sebuah batu besar yang jatuh dari atas sebuah gunung. Ketiganya berdo’a kepada Allah dengan washilah amal saleh masing-masing. Akhirnya batu penghalang itu pun bergeser, dan mereka pun keluar dengan selamat.

Hadits-hadits tersebut menunjukkan berwashilah yang sesuai dengan ajaran syari’at, tidak dilarang dan bahkan sebaliknya, dianjurkan.

9. Abu Yusuf Musthafa Al-Hamami, seorang tokoh Ulama Al-Azhar, Kairo, dalam kitabnya “Ghautsul ‘Ibad”, menerangkan bahwa tentang dibenarkannya berwashilah itu, tidak perlu diragukan, karena diamalkan orang dari Timur ke Barat. Sebab menurut beliau, imam madzhab yang empat membenarkannya, tanpa ikhtilaf. Dan kita tidak dapat keluar dari salah satu pendapat yang empat itu. Seandainya, terdapat kemudharatan, tentu Imam yang empat tidak ijmak dalam masalah ini.
Jika ada yang mengatakan bahwa berwashilah itu, membuat perantara di antaranya dengan Allah, dan hal itu tidak boleh, memudharatkan, maka kami mengatakan, siapa yang mengatakan bahwa washilah seperti itu, memudharatkan ? Bagaimana mungkin memudharatkan, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita supaya berwashilah, baik di dunia maupun di akhirat.

Di akhirat nanti, orang berebut-rebut mendatangi Nabi masing-masing, meminta pertolongan dan menjadikannya washilah diantaranya dengan Tuhan-nya.

Adapun di dunia ini, Allah menjadikan para Nabi dan Rasul menjadi perantara (washilah) antara-Nya dengan hamba-Nya yang fakir dan miskin, untuk menyampaikan sebagian rezki-Nya kepada mereka. Allah menjadikan para dokter, perantara diantara-Nya dengan penderita sakit, untuk disembuhkan. Allah menjadikan makanan, perantara di antara-Nya dengan hewan-hewan, untuk dapat hidup, untuk memperoleh kenyang dan menolak kelaparan. Allah jadikan air, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk memuaskan dahaga. Allah menjadikan pakaian, perantara diantara-Nya dengan hamba-Nya, untuk menutupi tubuh, dijadikan-Nya perkawinan untuk mendapat anak, dijadikan-Nya kapal-kapal untuk alat angkutan di lautan.

Sekiranya tidak dijadikannya air, tentu kita akan mati kehausan, kalau tidak diadakannya pakaian, tentu kita akan mati kepanasan dan kedinginan. Kalau tidak ada tidur tentu kita akan mati kelelahan, kalau tidak karena adanya anak-anak maka manusia tidak akan berkembang. Kalau sekiranya tidak diadakan-Nya kapal-kapal, niscaya kita akan mati tenggelam. Kalau tidak karena usaha dan ikhtiar, tentu kita tidak memperoleh rezki. Demikianlah seterusnya, semua yang ada ini dibina atas dasar perantara-perantara.

Bukan Allah tidak bisa menjadikan anak tanpa kawin, bukan Allah tidak bisa membikin orang sakit menjadi sehat tanpa obat, bukan Allah tidak bisa membuat orang kenyang tanpa makan, semuanya bisa, karena Allah itu Maha Kuasa atas segala-galanya. Tetapi Allah tidak melakukannya secara langsung. Dia buat washilah atau perantaranya.

Bahkan orang mati di akhirat tidak akan masuk surga atau neraka, melainkan dengan washilah amalnya.

Firman Allah Q.S. Al-A’raf 8 dan 9 :

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”

Jika kalangan yang melarang washilah, berkata “kenapa orang tidak meminta langsung saja kepada Allah, tanpa washilah”, maka itu masalah lain. Bukan itu yang menjadi pembicaraan.

Allah menjadikan beberapa sebab untuk menyampaikan hajat hamba-Nya, dan memerintahkan supaya penyebab itu dilaksanakan. Maka berdo’a kepada Allah untuk sesuatu hajat, adalah satu faktor penyebab. Dan berwashilah kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam memohon hajat itu, adalah menjadi faktor penyebab kedua.

Maka orang yang bermohon kepada Allah tentang sesuatu hajat, dengan washilah, berarti ia telah mengerjakan dua faktor penyebab, sedangkan orang yang bermohon kepada Allah secara langsung tidak berwashilah, berarti ia hanya mengerjakan satu faktor penyebab. Tentu saja orang yang mengajukan permohonan-Nya dengan dua faktor penyebab lebih utama dari orang yang bermohon dengan hanya melaksanakan satu faktor penyebab.

Oleh sebab itu, berwashilah lebih baik daripada tidak berwhasilah, sebagaimana dilakukan juga oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya.

Wabillahi Taufik Walhidayh Walinyah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraakatuh wamaghfirah
http://syangar.bodo.blogspot.co.cc