Aswaja Dari Teologi Sampai Ideologi Gerakan
Oleh : Abdul Mun'im DZ

Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh karena itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan social.
Walaupun Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1)  misalnya, walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.
Upaya menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi al Misri,(5) sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer, akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di berbagai kitab sehingga perlu  perhatian khusus untuk memahaminya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat manusia dewasa ini.
Gerakan Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin, tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DALAM PMII
Oleh: Aris Adi Leksono
Berbicara Ahlussunah wal Jama’ah atau yang biasa disebut dengan ASWAJA akan lebih runut dan sempurna dalam pemahamannya, apabila kita sudah mengenal tentang, apa itu PMII?. Baik dari segi historisnya, keorganisasiannya, serta paling penting adalah kita memahami nilai-nilai, norma-norma, serta etika dalam berucap, berfikir, dan bergerak dalam PMII. Disini ada AD/ART, Peraturan Organisasi, Surat Keputusan, Hasil Pleno Pengurus, NDP, PKT, ASWAJA, dan nilai-nilai lainya yang harus difahami, ketika kita memilih PMII sebagai alat untuk memaksimalkan potensi social dan potensi akademik yang kita miliki.

Mengenal ASWAJA
Secara sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai: sekelompok golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan perkataan yang dijalankan oleh Rasul SAW, Sahabatnya, dan para pengikut sahabatnya dimanapun berada, kapan pun dan siapa pun (4 ulama’ madzab, salafussholikh, dll).
Awal munculnya ASWAJA menjadi salah satu kelompok dalam kehidupan social, adalah karena perdebatan teologi, di sini ada Mu’tazilah (akal), Syi’ah (percaya mutlak ahlul bait), Khowarij (tekstual), dan ASWAJA (moderat) Muncul sebagai alternatif perdebatan kelompok-kelompok tersebut).
Prinsip yang dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah-tengah), Wasathon, mempertimbangan teks dan konteks, prinsip seperti itu sebenarnya telah ada dalam pesan risalah nubuwwah Muhammad SAW, baik dalal al-qur’an maupun dalam al-hadits. Dalam prisip dan sikap seperti ini, ASWAJA selalu menjadi solusi alternatif dalam setiap persoalan perdebatan yang bersifat dhonni (masih butuh penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling benar, paling bermanfaat, dan menghilangkan kemadlorotan (usulul fiqhi). Tokoh perintis faham ASWAJA, Abu hasan al-Basri (w.110 H/728M), Abu Hasan Al-Asy’ari (w.324 H/935 M), dan Abu Mansur al-Maturidzi (w.331 H/944 M), dan banyak ulama’ sunni lainnya.

Perkembangan ASWAJA
Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-annya. Di mana ulama sunni, baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala Sunni, dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya local yang sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu meng-islam-kan Jawa dengan wajah moderatnya.
Artinya sebenarnya model Islam yang seprti itulah, (sunni, moderat, mengedepankan maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin) menjadi kelihatan semakin nyata.
Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi kemasyarakatan yang ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai senuah Nilai, idiologi, dan doktrin kedisiplinan. dan PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di kalangan pemuda, terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).
Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori oleh (alm.) K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menajdikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama’ dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara tekS dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fakir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.

Ethik Aswaja PMII sebagai sebuah Spirit Pikir dan Gerak Kader
Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII).
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja PMII:
Maqosidu Al-Syar`iy (Tujuan Syariah Islam)
- Hifdzunnafs (menjaga jiwa)
- Hifdzuddin (menjaga agama)
- Hfdzul `aqli (menjaga aqal)
- Hifdzulmaal (menjaga harta)
- Hifdzul nasab (menjaga nasab)
Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :
Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)
Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)
Hfdzul `aqli (kebebasan berfikir)
Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)
hifdzul nasab (kearifan local)
Karakteristik ulama ahlussunnah waljama`ah dalam berfikir dan bertindak
Tasamuh (toleran)
Tawazun (menimbang-nimbang)
Ta’adul (berkeadilan untuk semua)
`Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar)
`Adamuttasyau` (tidak terpecah belah).
`Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan)
Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah)
Luzumuljamaah. (selalu berjamaah)
`Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu)
Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong)

Kesimpulan
Aswaja sebagai salah satu farian kelompok praktik ajaran Islam yang tidak hanya berpedoman pada al-Qur’an dan al-Hadits saja (teks), tetapi juga memandang konteks (fiqih/usul fikih) sebagai pijakan dalam menentukan putusan, tindakan, ucapan, dan bersikap.
PMII menjadikan Aswaja sebagai salah satu nilai, dan instrumem dalam beridiologi, sebagai doktrin fikir dan gerak kader, sebagai nilai disiplin berorganisasi, dikarenakan selain PMII lahir dari dinamika perkembangan pemikiran anak muda NU, Aswaja juga memiliki landasan histories dengan risalah kenabian, makna risalah Agama Islam, konteks masuknya Islam di Indonesia dan perkembangannya, serta selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah bangsa, Pancasila.
Implementasi nilai Aswaja dalam relaita sosial menjadi sangat penting, di situlah identitas kita akan terlihat, di situlah disiplin nilai akan terbukti, di situlah letak dedikasi kader terhadap organisasi, loyalitas kader terhadap sesama kader. Misalnya; membiasakan hubungan saling tolong menolong (tawa’awun), disiplin waktu, menciptakan hubungan kebersamaan (komunitarian) dalam PMII, hubungan timbal balik dalam hal bisnis, menjaga ritus dan tradisi Islam Indonesia, ke-NU-an, dan tradisi positif, berbasis lokal lainnya.
*Penulis adalah Ketua Bidang Kaderisasi PKC PMII DKI Jakarta
LP. Ma’arif NU, Ahlussunah Wal Jama’ah
Kiai Said Aqil, Kontrofersi Aswaja, Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
PMPI, Aswaja sebagai Manhajul Harakah
PKC PMII DKI Jakarta, Hasil Lokakarya Nasional ASWAJA PKC Se-Indonesia

tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil Siradj : 1998).
Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana bisa relevan dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan ini.

II Aswaja Dan Perkembangannya
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahab embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.

III Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

IV Penutup
Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bisa direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan yang baru, sebab ini adalah ‘hanya’ sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu dan untuk menghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan stagnasi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian merumuskan kembali menjadi rumusan yang kontekstual. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Diposkan oleh PMII_UPN_FAMILY di 22.18





BUKU ASWAJA BAB 1; AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah[1]
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan frase (gabungan kata) yang terdiri dari tiga kata utama, yaitu ahlu, sunnah, dan jamaah. Kata ahlu mempunyai beberapa arti diantaranya adalah keluarga, pemilik, penduduk, pengikut, dll. Dalam hal ini, makna kata “ahlu” yang paling tepat untuk istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pengikut. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berarti pengikut Sunnah dan pengikut Jama’ah.
a.       Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah secara bahasa berarti pengikut As-sunnah. Kata As-sunnah menurut pengertian bahasa berarti sirah, perjalanan hidup, dan thariqoh. Adapun menurut istilah, para ulama tauhid mendefinisikan As-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh rasululllah dan para sahabatnya, yaitu jalan yang selamat dari fitnah syubhat dan syahwat.
Dari definisi ulama ahli hadits, ushul fiqih, dan tauhid dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah Sunnah adalah jalan hidup rasulullah saw serta petunjuk yang beliau ajarkan kepada ummatnya, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir/ persetujuannya. Barangsiapa mengikutinya, maka ia terpuji, dan barangsiapa menyelisihinya maka ia tercela.
b.      Ahlul Jama’ah
Ahlul Jama’ah berarti pengikut jama’ah. Secara bahasa, Jama’ah berarti sebuah kelompok, perkumpulan, kesepakatan, dan persatuan. Artinya umat islam diperintahkan untuk berjamaah dan melarang mereka dari perpecahan.
Jama’ah disini berarti bersepakat dalam mengikuti satu akidah, satu ilmu, dan satu manhaj (metode), yaitu Al-Quran dan As-sunnah, artinya memahami dan mengamalkannya sebagaimana pemahaman dan pengamalan para sahabat rasulullah saw. serta para Salafus Shalih.
Ahlul Jama’ah berarti mengikuti kebenaran meski kebenaran itu diikuti oleh seorang saja, dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu diikuti oleh mayoritas umat. Dan ukuran kebenarannya adalah Al-quran dan Hadits.

Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Dari penjelasan diatas, menjadi jelaslah bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ummat islam yang berpegang teguh dengan Al-quran dan As-sunnah, memahami dan mengamalkannya sebagaimana yang diperintahkan Allah dan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Amalan sunnah merupakan penopang dari kesempurnaan amalan fardhu, sebab seorang muslim telah menyaksikan bahwa Nabi Muhamad saw. adalah rasulullah, sehingga harus mengikuti apapun yang diajarkan Rasul, baik itu fardhu maupun sunnah, artinya tidak memilih-milih amalan hanya fardhu saja. Dalam Al-qur’an surat Al Hasyr ayat 7, Allah berfirman bahwa seorang muslim haruslah menerima dan mengamalkan ajaran yang disampaikan Rasulullah saw.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, maka terimalah!, dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah” (Qs. Al Hasyr 59:7).
Dijelaskan pula bahwa tertata rapihnya agama seseorang tergantung pada ketaatannya dalam menjalankan sunnah-sunnah Rasul.
اِنْتِظَامُ الدِّيْنِ يَتَوَقَّفُ عَلَى اِتِّبَاعِ سُنَنِ النَّبِى ص م
“Besarnya/teraturnya agama tergantung pada ketaatan mengikuti sunnah-sunnah Nabi saw.”[2]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun sering disebut Ahlul Haq, As Salafus Shalih, As Sawadul A’dzom, dan Jumhurul Ummah Al-Islamiyah. Penyebutan ini didasarkan pada konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menggunakan i’tiqad dan pengamalan ibadahnya mengikuti cara Rasulullah saw.
Penyebutan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini didasarkan pada Hadits sebagai berikut;
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ مَنْ هُمْ يَارَسُوْلَ الله؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (رواه الطبرانى)
“Demi tuhan yang menguasai jiwa Muhammad, ummatku akan berkelompok menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu akan masuk surga, dan yang tujuh puluh dua akan masuk neraka. Maka ditanyakan: Siapakah yang tidak masuk neraka tersebut wahai Rasulullah?. Beliau menjelaskan: Ahlus Sunnah wal Jama’ah (golongan yang mengamalkan sunnah dan mengikuti jamaah shahabat).”[3]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam perkara yang Rasulullah berada diatasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah saw. dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai akhir zaman (hari kiamat).

Sekilas Pemahaman Ahlus Sunnah Asy’ariyah Al Maturidiyah.
Ungkapan Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan “Sunni”, hal ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah, yaitu Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Sedangkan Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari Mu’tazilah. Jadi Ahlus Sunnah bukanlah Syi’ah dan bukan pula Mu’tazilah. Jadi Ahlus Sunnah disini merupakan kelompok orang-orang yang memiliki faham dan konsep yang berlawanan dengan Syi’ah dan Mu’tazilah. Kelompok ini dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidy pada tahun 300 H.
Berikut ini dipaparkan sedikit pembahasan yang diperdebatkan oleh para aliran kalam, termasuk didalamnya pandangan Ahlussunnah Asy'ariyah.

Tabel Perbandingan Antar Aliran Kalam
Dalam Bahasan; Pelaku Dosa Besar
(Siapa yang kafir/ keluar dari islam/ murtad, dan siapa yang masih islam)
Khawarij
Orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah kafir millah dan selamanya disiksa dalam neraka bersama orang kafir lainnya
Murjiah
Orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah tidak kafir dan tidak selamanya disiksa dineraka
Mu’tazilah
Orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah tidaklah mukmin dan tidak pula kafir, melainkan manzilah bainal manzilatain, mereka akan disiksa selamanya dalam neraka namun siksanya akan lebih ringan dibandingkan dengan orang kafir
Asy’ariyah
Orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah tidaklah kafir. Adapun diakhirat kelak adalah kehendak Allah, mengampuni dan tidaknya. Namun apabila disiksapun tidaklah kekal dineraka.
Syi’ah Zaidiyah
Orang yang berbuat dosa besar hukumnya adalah kafir dan kekal dineraka. Apabila mereka telah bertobat dengan sungguh-sungguh maka allahpun akan membebaskan nya dari neraka

Perbedaan dalam memahami tatalaksana ibadah (ubudiyah) sudah terjadi sangat lama. Pada awalnya perbedaan pendapat antar ummat islam muncul sepeninggal Rasulullah saw. terutama tentang siapa yang paling layak menggantikan beliau. Perbedaan itu terus berlanjut kemasalah hukum, khususnya hukum syari’at/fikih.
Diakhir zaman ini, banyak golongan yang mengklaim hanya dirinyalah yang termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan beberapa argumentasi dan praktek peribadatannya yang mengaku sesuai dengan sunnah Rasul saw.
Berdasarkan pada pengertian awal, bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan umat islam yang semua tatalaksana peribadatannya sesuai dengan sunnah Nabi saw., maka jadi jelaslah bahwa tatalaksana ibadah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. beserta para sahabat dan tabi’innya.
Dalam pengertian disini, sunnah bukanlah hanya yang terucap atau tertulis saja, namun segala sesuatu yang berkaitan dengan segi hidup dan kehidupan Nabi Muhammad saw. baik itu berupa tatalaksana ibadahnya maupun dalam tatacara kehidupannya, karena Nabi Muhammad saw. adalah teladan dan sebagai realisasi dari Al-quran.
Dengan demikian, ummat islam membutuhkan teladan seorang rasul dalam tatalaksana kehidupannya khususnya tatacara ibadahnya, namun yang tersisa dari semuanya adalah Al-quran dan Sunnah sebagai pegangan utama ummat dalam tujuan hidupnya.
Sunnah/sirah Nabi merupakan penafsiran dari Al-quran, sehingga untuk dapat melaksanakan Al-quran haruslah menteladani Rasul dengan cara mempelajari dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasul saw. yang saat ini lebih dikenal dengan istilah Hadits. Sehingga untuk dapat dikatakan sebagai muslim yang mengikuti Rasulnya (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) maka dalam tatacara ibadahnya melalui pembelajaran terhadap Hadits-Hadits Nabi saw., baik itu berupa Hadits Shohih maupun Hadits Dho’if, karena terdapat banyak dalil yang menyatakan bahwa Hadits Dho’if dapat digunakan selama dalam hal Fadho’ilul A’mal (keutamaan-keutamaan amal ibadah). Seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi sebagai berikut;
(فصل) قَالَ العُلَمَاءُ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالْفُقَهَاءِ وَغَيْرِهِمْ : يَجُوْزُ وَيُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ فِى الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مَالَمْ يَكُنْ مَوْضُوْعًا . وَاَمَّا اْلاَحْكَامُ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ وَالطَّلاَقِ وَغَيْرِ ذَلِك فَلاَ يُعْمَلُ فِيْهَا اِلاَّ بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ اَوِ الْحَسَنِ
“(Fasal) Para ulama ahli hadits dan ahli fiqih dan lainnya mengatakan: Boleh bahkan disunnahkan mengamalkan hadits yang mengenai tentang keutamaan amal, pemberi kegembiraan, ancaman, dengan menggunakan hadits Dho’if, asalkan bukan hadits Maudlu’ (hadits yang dibuat-buat/ palsu). Dan adapun mengenai hukum halal, haram, jual beli, nikah, talak, dan lainnya, maka tidak boleh menggunakan hadits dlo’if, tapi harus dengan hadits shoheh atau paling tidak hadits hasan."[4]
Begitupun yang disampaikan oleh Sayyid Najili dalam kitabnya;
اِنَّ الْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ يُعْمَلُ بِهِ فَضَائِلُ اْلاَعْمَالِ
“Sesungguhnya hadits Dho’if itu boleh diamalkan dalam Fadho’ilul Amal.”[5]
Implementasi (Penerapan) Konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tuntunan Syekhuna (Asy-syahadatain)
Asy-syahadatain adalah sebuah kelompok muslim yang menapaki jalan yang diridhoi oleh Allah dengan realisasi ibadahnya berdasarkan tuntunan-tuntunan Rasulullah saw. dengan dibimbing oleh Syekhuna Al-Mukarrom Al-Habib Umar bin Isma’il bin Yahya.
Tuntunan Syekhuna merupakan pengamalan yang berlandaskan pada konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu menjalankan perintah Allah dengan menteladani Rasulullah saw. Artinya Asy-syahadatain menjalankan perintah wajib dan amalan sunnah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. serta mengikuti para Salafus Shalih.
Dengan demikian, konsep dan realisasi ibadahnya sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjadikan Rasul dan para Salafus Shalih sebagai teladan, khususnya dalam peribadatan kepada Allah swt.

Pengenalan Asy-syahadatain sebagai organisasi
Nama Asy-syahadatain merupakan penisbatan dari pengamalan pada tuntunan ِِAl-Habib Abah Umar yang selalu membaca dua kalimat syahadat (syahadatain). Namun pada dasarnya, Asy-syahadatain bukanlah sebuah organisasi islam, ataupun ormas, tetapi merupakan sebuah tuntunan ubudiyah dalam menapaki jalan yang diridhai Allah, bahkan lebih dekat dikatakan sebagai Thariqat.
Pengorganisasian Asy-syahadatain disebabkan karena adanya penekanan dari pemerintah. Menurut aturan pemerintah yang berlaku disaat itu bahwa setiap ada perkumpulan dengan banyak orang tanpa adanya organisasi yang jelas maka dapat dikategorikan sebagai pemberontak, dan atau berpotensi sebagai ancaman terhadap ketahanan nasional. Oleh sebab itu, Asy-syahadatain dibentuk menjadi sebuah organisasi, namun pada hakekatnya tetaplah bukan sebagai organisasi tetapi sebagai tuntunan ibadah.
[1] Kelompok Telaah Kitab Ar-Risalah, "Buku Pintar Aqidah", hal. 76, Roemah Buku, Sukoharjo.
[2] Hujjatullah Al-Balighoh juz 1 hal 17 (dikutip dari kitab Miftahussa'adah karya Kiyai Khazim)
[3]
[4] Imam Nawawi, "Al-Adzkar Al-Nawawi", hal. 5, Maktabah Toha putra, Semarang.
[5] Sayyid An-Najili, "Khazinah Al-Asrar", hal. 188, Al-Haramain, Indonesia.

http://syangar.bodo.blogspot.co.cc