Terma Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) pada awalnya memiliki konotasi sebagai paham teologis (Kalam) dalam Islam yang dirumuskan pertama kali oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari (w. 324 H/936 M) dan Abu Manshur al Maturidi (w.333 H/944 M) Dalam perkembangan sejarahnya kemudian istilah tersebut mencakup paham keagamaan dalam dimensi yang lebih luas, meliputi dimensi Islam eksoteris: hukum atau fiqh dan dimensi esoteris (akhlaq, tasawuf). Dalam aspek hukum Aswaja menganut system yang dirumuskan para pendiri mazhab besar terutama: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sementara dalam aspek tasawuf-akhlaq menganut aturan-aturan yang disusun oleh Abu Hamid al Ghazali dan Abu Qasim al Junaidi.
Melihat sejarah awal pembentukannya, sistem doktrin Aswaja, lahir dalam kerangka merespon perkembangan pemikiran umat Islam pada masanya yang cenderung telah bersifat ekstrim baik kanan maupun kiri terutama dalam persoalan ilmu Kalam. Asy’ari dan Maturidi hadir untuk menengahi kedua pikiran ekstrim itu. Misalnya ekstrimitas antara golongan Qadariyah dan Jabariyah dalam soal kebebasan tindakan manusia, dan antara golongan rasionalis-liberal dan konservatif tekstual tentang sifat-sifat Tuhan. Dua tema inilah yang paling krusial dalam perdebatan dalam Kalam.
Dalam soal kebebasan bertindak (af’al al ‘ibad) golongan Qadariyah mempercayai kebebasan manusia. Tuhan menurut mereka telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk bertindak bebas dan karena itu ia harus bertanggungjawab atas akibat-akibatnya. Sementara golongan Jabariyah meyakini bahwa manusia tidak bebas. Seluruh tindakan manusia sudah ditentukan dan diatur Tuhan. Jadi tindakan manusia adalah keterpaksaan (majbur) bagaikan kapas yang ditiup angin. Asy’ari dan Maturidi menengahi keduanya melalui teori “kasb” (perolehan). Menurut teori ini perbuatan manusia tidak dilakukan dalam keadaan bebas tetapi juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap ditentukan Tuhan tetapi manusia diberikan hak untuk memilih (ikhtiar). Dalam bahasa masyarakat : Manusia berencana Tuhan yang menentukan”. Di Pesantren doktrin Aswaja ini dikemukakan misalnya dalam kitab Jauhar al Tauhid :
“Bagi kita (Aswaja) manusia terbebani oleh kasb, dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya. Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas. Namun tidak seorangpun mampu berbuat sekehendaknya”.
Pada sisi lain teologi Aswaja, meskipun secara umum menempatkan naql (nash) di atas akal (taqdim al naql ‘ala al aql), tetapi ia juga berusaha menengahi dua kubu yang berlawanan. Yakni antara kubu rasionalis-liberal yang diwakili oleh Mu’tazilah dan kubu tekstualis-fundamentalis yang anti takwil yang diwakili kelompok mujassimah. Ini misalnya muncul dalam kajian tentang teks-teks mutasyabihat. Aswaja mengapresiasi dua katagori : salaf dan khalaf. Golongan salaf lebih banyak menolak takwil. Mereka memaknai ayat-ayat mutasyabihat menurut makna harfiyahnya, sementara golongan khalaf menerima takwil sepanjang sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa Arab dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam dimensi fiqh, Aswaja menghargai pandangan ahl al hadits yang lebih menekankan pemahaman tekstual seperti pada umumnya mazhab Hambali di satu sisi dan pandangan ahl al ra’yi yang menerima analogi atau qiyas, seperti pada umumnya mazhab Hanafi pada sisi yang lain. Dalam bidang tasawuf, Aswaja berada di antara tasawuf salafi dan tasawuf falsafi. Tasawuf Sunni mainstream tidak menganut paham ittihad (Penyatuan Eksistensi). Tasawuf Sunni berakhir pada akhlaq dan menghargai tradisi-tradisi masyarakat seperti ziarah kubur, muludan, marhabanan, tahlilan dan sejenisnya.
Beberapa pandangan Aswaja di atas memperlihatkan kepada kita ciri utama Aswaja yaitu “al tawassuth” (moderat) atau jalan tengah dan tasamuh (toleran). Inilah yang menjadikan Aswaja dapat tetap eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang dan menyebar luas di berbagai belahan dunia muslim. Pendekatan keagamaan Aswaja yang moderat tersebut dewasa ini menjadi signifikan dalam mengatasi berbagai persoalan yang berkembang dan terutama ketika munculnya cara-cara keberagamaan yang ekstrim atau radikal (tatharruf) baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
Dengan begitu, maka Aswaja dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan yang berbasis rasionalitas dari manapun datangnya, tetapi juga tetap menghargai pemahaman keagamaan yang sederhana sepanjang memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka. Inilah yang dalam tradisi NU dikenal dengan kaedah : “al Muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al Akhdz bi al Jadid al Ashlah” (mempertahankan tradisi/pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik (dari manapun datangnya).
Berangkat dari paradigma Aswja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam
sumber : http://www.fahmina.or.id/component/content
0 komentar:
Posting Komentar